Lani adalah suku asli di Ilaga, Puncak, Papua Tengah hingga Lanny Jaya, Papua Pegunungan. Suku Lani sering disebut Dani Barat oleh para misionaris asing untuk mengelompokan suku tersebut dengan suku Dani yang tinggal di Lembah Baliem di sebelah timur. Ini dikarenakan kemiripan bahasa yang mereka gunakan yaitu bahasa Lani sehingga disebut juga bahasa Dani Barat. Wilayah Ilaga ini merupakan suatu lembah luas dan indah, yang dibelah oleh aliran Sungai ll arong. Daerah dengan ketinggian di alas 1.500 meter ini bersuhu 6-2 Celcius. Disepanjang aliran sungai, lereng bukit, bahkan sampai ke puncak bukit.[2]
Etimologi
Suku Hubula (Dani) menamakan wilayah pegunungan di sebelah barat dari Lembah Baliem dengan nama Laani yang artinya "bagian barat". Toponomi ini kemudian digunakan untuk menyebut orang yang tinggal di pegunungan sebelah barat dari Lembah Baliem.[3] Kata Lani sendiri secara harafiah dalam bahasa Hubula (Dani) berarti "(kamu) pergi" digunakan untuk menyuruh orang untuk pergi melakukan sesuatu. Arti kedua adalah dalam kata ap lani untuk laki-laki menyendiri yang belum menikah atau memang tidak mau menikah, dimana ia melakukan kegiatan seperti memasak dan berkebun sendiri.[4] Sehingga Lani bisa diartikan sebagai "Orang-orang otonom, mandiri, independen dan berdaulat penuh."[5][6] Selain itu terdapat kelompok-kelompok Lani lain yang bisa berbahasa lain seperti Lani Loma adalah kelompok lani yang tinggal di Kabupaten Puncak Jaya. Mereka berbicara menggunakan bahasa Lani dan bahasa Moni, dan terkadang juga memakai bahasa Damal.[7]
Sejarah
Kontak pertama ekspedisi Belanda dengan suku Lani terjadi pada Otober 1920 saat Ekspedisi Nugini Tengah yang dipimpin oleh A.J.A. van Overeem dan J. Kremer. Tim ekspedisi ini sampai ke Lembah Swart (sekarang disebut Lembah Toli, Kabupaten Tolikara), dan bertemu dengan suku lokal yang disebut Timorini sekarang disebut suku Lani. Mereka disebut pintar berkebun dengan tanaman berupa tebu, ubi jalar, keladi, pisang, dll dengan bidang tanah teratur dan dipagari supaya tidak dimakan babi yang berkeliaran.[8]
Budaya
Perkawinan dan pernikahan
Sama seperti suku pegunungan lainnya suku Lani menganut sistem moietaseksogami dimana masyarakat Lani terbagi menjadi dua kelompok sosial (paroh masyarakat) yang disebut moietas keturunan kakak beradik yang bernama Wenda dan Kogoya. Paroh Wenda mencakup marga Wenda atau Wonda, Murib, Enumbi, Wakerkwa, Jikwa dan Alom. Sedangkan paroh Kogoya mencakup Kogoya, Wanimbo, Tabuni, Tugubal, Enembe, Kulua, Telenggen, Begal, dan Agabal. Perkawinan didalam satu kelompok paruh dilarang karena dianggap perbuatan terkutuk karena hubungan sedarah (piyanak atau pulunik).[9][10][11] Penyebutan paroh masyarakat ini berbagai macam seperti di Bokondini adalah Woda dan Weja walaupun sudah tidak benar-benar eksogami, sedangkan di Panaga adalah Wenda dan Woja. Penelitian Denise O'Brien tahun 1961-63 di Kondaga hanya menemukan sedikit bukti tentang sistem ini masih dipakai.[12]
Rumah adat
Sama seperti suku-suku di wilayah pegunungan Papua lainnya, rumah adat suku Lani berbentuk honai dan disebut kunume yang berasal dari kunu artinya 'laki-laki'.[1] Rumah tersebut hanya untuk laki-laki berusia 5–6 tahun keatas, pemuda, dan dewasa. Bangunan tersebut bisa ditempati 5–10 orang, tidak memiliki jendela, dan bisa berlantai dua. Perempuan dilarang untuk masuk kunume dan memiliki honai perempuan sendiri yang disebut ndupaga atau dupaga, dari kata nduk yang artinya 'dasar tubuh manusia' dan paga yang artinya 'tempat membentuk'. Penghuni dupaga adalah kaum perempuan dan anak laki-laki yang belum diijinkan masuk kunume. Bangunan lainnya adalah honai untuk memasak dan kandang ternak yang disebut lakame atau oliana.[13]
Busana
Aksesori
noken sebagai aksesori kepala, dan tenggen gelang rotan pada lengan
Suku Lani biasa menggunakan aksesori kepala yang disebut luki, dibuat dari bulu burung cendrawasih berwana putih atau kuning, bulu ayam, dan bulu kelinci, namun karena kelangkaan sumber daya bulu cendrawasih, hanya digunakan untuk acara penyambutan tamu atau oleh orang penting (big man), dan diganti dengan noken.[14]
seni lukis mini
Wajah juga biasanya akan dilukis dan seni ini dinamakan dengan mini, biasa menggunakan warna merah, putih, dan hitam. Warna merah berasal dari biji kesumba; sedangkan warna hitam berasal dari arang, oli, dan biji kopi; sedangkan warna putih berasal dari getah petiol singkong atau odol. Pada lengan biasa digunakan aksesori berupa gelang di lengan yang dibuat dari rotan, dan disebut tenggen, dan bisa diselipkan dedaunan. Aksesori lainnya adalah taring babi yang disebut wam eyak yang bisa dipakai di hidung atau digantung sebagai mata kalung.[14]
Pakaian adat
Sama seperti beberapa suku lain di Pegunungan Papua, orang Lani juga menggunakan koteka yang disebut Kobewak atau Kobeba yang dibuat dari Labu air yang dibuang isinya dan dikeringkan. Koteka orang Lani berbeda dari suku lain karena berdiameter besar dan relatif pendek, dan multiguna, seperti untuk menyimpan rokok atau receh.[15] Arah Koteka bergantung pada status penggunanya, jika tegak lurus berarti penggunanya adalah lelaki sejati atau pejaka yang artinya belum pernah berhubungan intim. Jika miring ke kanan, artinya penggunanya adalah pria yang gagah dan berani, memiliki kekayaan yang berlimpah, dan berkedudukan bangsawan; sedangkan jika miring ke kiri artinya penggunanya berasal dari golongan menengah atau merupakan keturunan Panglima Perang (Apendabogur). Rok perempuan orang Lani berupa sali yang dibuat dari kulit kayu. Terdapat dua jenis sali, yaitu sali keragi yang berwarna coklat dan ujungnya berwarna ungu tua, dan sali koe yang berwarna beragam dari hijau, kuning, merah, lalu ujungnya berwarna ungu tua.[14]
Senjata tradisional
Yigin
Yigin adalah busur panah senjata tradisional orang lani untuk berburu dan berperang. Busur panah biasa terbuat dari kayu bumbu, kayu malelo, kayu nanguri, dan kayu kalinggirak. Tali busur atau disebut yigin engale dibuat dari telop dan brin. Anak panah yang disebut male dibuat dari kayu kalum dan kayu libu. Bahan khusus tersebut digunakan agar panah tidak mudah patah dan putus.[14]
Woluwak
Tombak orang Lani disebut woluwak yang dibuat dari kayu yang diasah menjadi tajam. Digunakan untuk berburu dan berperang.[14]
Populasi suku Lani
Jumlah populasi suku Lani pada 1980an dikabarkan oleh Douglas Hayward dalam bukunya The Dani of Irian Jaya, Before and After Conversion yang mengatakan bahwa jumlah mereka sekitar 200.000 orang (termasuk suku Dani).[16]
^Heider, K.G. The Dugum Dani: A Papuan Culture in the Highlands of West New Guinea. The Dugum Dani: a Papuan culture in the highlands of West New Guinea. Wenner-Gren Foundation for Anthropological Research. hlm. 63. ISBN978-0-202-36958-7.Parameter |access-date= membutuhkan |url= (bantuan)