Suku Anak Dalam Batin Sembilan adalah kelompok suku lokal yang salah satunya bermukim di Desa Tanjung Lebar, Kecamatan Sungai Bahar, Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi Jambi. Keberadaan SAD Batin Sembilan telah ada sejak sebelum masa kemerdekaan juga sejak Desa Tanjung Lebar masih berstatus sebagai dusun sebelum tahun 1981. Semenjak diberlakukan Undang-Undang Desa pada tahun 1979, banyak perubahan yang dihadapi oleh SAD Batin Sembilan seiring dengan perubahan status dusun menjadi desa tersebut. Perubahan tersebut disusul oleh adanya gelombang besar kedatangan masyarakat pendatang akibat adanya kebijakan transmigrasi dan perhutani, perusahaan, maupun penduduk wilayah lain yang datang dengan sendirinya untuk membuka ladang baru.[1]
Asal usul
SAD Batin Sembilan diyakini sebagai keturunan Sembilan bersaudara anak dari Raden Ontar. Raden Ontar sendiri dikenal sebagai anak dari Pangeran Nagosari dan cucu dari Maruhun Sungsang Romo yang memiliki darah Mataram Hindu. Pangeran Nagosari kemudian menikah dengan Putri Bayan Lais yang merupakan putri dari Pangeran Bagas Gayur yang berasal dari Kerajaan Pagaruyung sekaligus keturunan dari Putri Berdarah Putih dari Gunung Kembang, Kabuaten Sarolangun.[2]
Anak Raden Ontar yang berjumlah Sembilan itu adalah Singo Jayo, Singo Jabo, Singo Pati, Singo Inu, Singo Besak, Singo Laut, Singo Delago, Singo Mengalo, dan Singo Anum. Setelah dewasa, kesembilan anak itu diperintahkan oleh Raden Ontar untuk menguasai sembilan anak sungai berbeda yang ada di Jambi. Kesembilan anak sungai tersebut disebut sebagai Batin. Sementara itu, persebaran anak Raden Ontar dalam menguasai sungai adalah di sekitar Sungai Batanghari, Batang Tembesi, dan Sungai Lalan. Delapan anak Raden Ontar memilih tempat di wilayah timur Batanghari dan Batang Tembesi, yaitu Sungai Burung Antu, Telisak, Sekamis, Pumisiran, Jangga, Jebak, Bulian, dan Bahar. Satu anaknya memilih berada di wilayah Barat Batanghari, yaitu Sungai Singoan. Berawal dari setiap batin inilah, keturunan Raden Ontar tersebut berkembang biak hingga sekarang.[1]
Saat ini, keturunan SAD Batin Sembilan telah berkembang menjadi kelompok-kelompok kecil yang menguasai sungai-sungai tersier di wilayah Jambi. Konsekuensi dari perkembangan kelompok mereka adalah memunculkan beragam cerita lisan yang berbeda antar kelompok mengenai nenek moyang dan wilayah kekuasan yang diwariskan oleh nenek moyang mereka. Hampir setiap kelompok SAD Batin Sembilan memiliki cerita yang berbeda mengenai legenda asal usul nenek moyang mereka.
Kondisi sekarang
Suku Anak Dalam Batin Sembilan telah menunjukkan hubungan sosial yang berbeda dengan Orang Rimba lain yang bermukim di Taman Nasional Bukit Duabelas. SAD Batin Sembilan telah membaur dengan suku bangsa lain dan hampir sulit untuk dikenali perbedaannya. Mereka tidak lagi hidup bergerombol sesama suku bangsanya, sebagaimana yang dilakukan oleh Orang Rimba. SAD Batin Sembilan juga telah menggunakan pakaian layaknya masyarakat pada umumnya dan memanfaatkan teknologi modern seperti alat komunikasi, kendaraan bermotor, dan sarana hiburan.
Selain itu, SAD Batin Sembilan juga telah hidup menetap dalam kurun waktu lama serta membuka hubungan atau komunikasi dengan pihak di luar kelompok suku mereka. Sikap terbuka yang mereka miliki tidak lepas dari peran penjajah Kolonial Belanda yang membuka jalan di daerah pemukiman mereka untuk kegiatan eksplorasi minyak bumi. Keberadaan industri minyak bumi tersebut menjadikan banyak pendatang yang kemudian menetap di daerah pemukiman SAD Batin Sembilan.[3] Hal itu menyebabkan interaksi mereka dengan pihak luar menjadi semakin intens.
Meskipun demikian, SAD Batin Sembilan tidak serta merta sepenuhnya terpengaruh dengan hal-hal yang dibawa komunitas dari komunitas mereka. Mereka justru banyak belajar untuk menyerap pengetahuan dan pengaruh yang dibawa pihak luar untuk mempertahankan eksistensi mereka sebagai SAD. Hal itu juga justru menjadikan mereka mampu mempertahankan dan merekonstruksi adat agar tetap memiliki identitas sebagai Suku Anak Dalam.
Struktur Sosial SAD Batin Sembilan
Eksistensi struktur sosial SAD Batin Sembilan banyak mengalami perubahan, terutama yang disebabkan oleh batas administratif pemerintahan dan pembagian wilayah yang ada. Kendati demikian, SAD Batin Sembilan masih banyak yang mengerti struktur sosial asli mereka.
Jabatan tertinggi dalam struktur sosial SAD Batin Sembilan ditempati oleh seseorang yang memiliki nama depan Depati. Istilah depati digunakan oleh SAD Batin Sembilan untuk menyebut seseorang yang menjadi penguasa dari suatu wilayah batin (sungai). Selain Depati, SAD Batin Sembilan juga mengenal istilah Pesirah. Istilah pesirah memiliki konteks historis tersendiri, yaitu ketika pembubaran Kesultanan Jambi oleh Belanda pada tahun 1906. Setelahnya, wilayah Jambi dibagi menjadi 12 marga berdasarkan hukum adat. Pesirah adalah sebutan untuk ketua di setiap marga tersebut.
Sistem pangkat di SAD Batin Sembilan tersebut berkaitan dengan status sosial seseorang berdasarkan kedudukannya sebagai penguasa atas suatu wilayah. Dampaknya adalah, ketika muncul industry ekstraktif[3] tertentu yang beroperasi di wilayah mereka dan menguasai hak-hak ulayat, struktur sosial asli dalam SAD Batin Sembilan tersebut mulai dibangkitkan kembali. Kelompok-kelompok kecil seperti kelompok SAD Sungai Lalan yang mempunyai kepentingan atas wilayah tersebut mulai belajar untuk kembali membangun struktur sosial mereka.[1]
Sebagai misal, kelompok SAD Sungai Kandang terlebih dahulu merekonstruksi struktur sosial asli mereka sebelum SAD lainnya. Mereka membuat hukum adat yang dinamakan “Selemak Semanis” yang diiringi dengan pembuatan suatu lembaga adat yang diinisiasi oleh Temanggung, Depati, Menti, dan Ulubalang. Setiap jabatan tersebut diisi oleh wakil dari kelompok-kelompok kecil yang setiap saat dapat berubah-ubah. Lebih jauh lagi, Himpunan Masyarakat Adat SAD Batin Sembilan juga membuat penyelarasan struktur sosial dalam menghadapi industri ekstraktif yang muncul di wilayah mereka.[1]
Aturan Adat
Secara umum, daur kehidupan SAD Batin Sembilan adalah lahir, menikah, beranak-pinak, kemudian meninggal dunia. Suku Anak Dalam Batin Sembilan percaya bahwa ketika anak perempuan SAD Batin Sembilan menikah dengan orang luar, maka orang luar tersebut harus ikut dengan SAD. Adat menetap setelah menikah tersebut dianut oleh SAD Batin Sembilan dengan sebutan adat uxorilokal yang menentukan bahwa pengantin baru menetap sekitar pusat kediaman kaum kerabat istri.[4] Setelah menikah, pasangan baru SAD tersebut akan dibuatkan rumah di seberang sungai besar dan harus hidup mandiri.[1]
Setelah menikah, pasangan baru SAD tersebut akan membuka beberapa bidang tanah untuk hidup. Selain membuka tanah baru, pasangan baru tersebut juga telah memiliki tanah warisan yang diberikan oleh kedua orang tuanya. Apabila kelak pasangan tersebut meninggal dunia, tanah warisan tersebut kemudian akan diwariskan kepada anak-anak keturunan mereka selanjutnya. Hukum waris dalam kelompok SAD Batin Sembilan tersebut disebut dengan istilah "adat lamo pusako using". Prinsip tersebut menghendaki pembagian harta warisan untuk anak perempuan sama besarnya dengan anak laki-laki. Pemahaman hukum waris ini memberikan jaminan bahwa hak anak, baik laki-laki maupun perempuan, akan selalu terjamin dan terlindungi dari harta warisan dari kedua orang tuanya.[1]
Hukum waris dalam kelompok SAD Batin Sembilan tersebut disebut dengan istilah “adat lamo pusako using. Prinsip tersebut menghendaki pembagian harta warisan untuk anak perempuan sama besarnya dengan anak laki-laki. Pemahaman hukum waris ini memberikan jaminan bahwa hak anak, baik laki-laki maupun perempuan, akan selalu terjamin dan terlindungi dari harta warisan dari kedua orang tuanya.
Dalam perkembangannya, SAD Batin Sembilan tidak lagi berbicara tentang warisan di level keluarga inti, melainkan dalam keluarga besar. Hal itu disebabkan oleh kebijakan pemerintah dan masuknya industry ekstraktif ke dalam wilayah ulayat mereka yang secara jelas mengganggu kehidupan mereka. Wilayah adat mereka berubah menjadi sempit setelah kedatangan perusahaan-perusahaan tersebut. Hal itu membangkitkan kembali perbincangan tentang warisan wilayah.[1]
Klaim tanah ulayat yang dilakukan oleh SAD Batin Sembilan bukan sesuatu yang baru. Sejak zaman puyang-puyang mereka, klaim tanah ulayat tersebut telah terjadi. Pertama, Asisten Residen Palembang pada zaman Belanda pada tahun 1927 telah mengesahkan surat klaim atas tanah ulayat tersebut. Kedua, peta dari kulit kijang yang menggambarkan wilayah ulayat SAD Sungai Lalan. Bukti tersebut dipegang oleh SAD Batin Sembilan Tanjung Lebar untuk menyuarakan hak mereka terhadap tanah ulayat adat seluas 15.000 hektar.[5]
Bagi mereka, tanah adalah penghubung pada nenek moyang hingga puyang. Maka dari itu, mereka terus mempertahankan diri untuk tetap tinggal di kawasan tanah ulayat tersebut. Jika mereka pergi, mereka akan kehilangan hak atas Tanah ulayat tersebut. Petuah dan warisan dari payuang mereka sangat mereka jaga hingga saat ini.
Referensi
- ^ a b c d e f g Mubarok, Ahmad Ihksan. 2017. Kesadaran Adat sebagai Perlawanan di Wilayah Sembilan Batin. Skripsi Program Studi S1 Antropologi Universitas Gadjah Mada. Lihat melalui http://lib.ugm.ac.id
- ^ Hidayat, Riyan. 2012. Membangkitkan Batang Terendam (Sejarah Asal Usul, Kebudayaan dan Pejuangan Hak SAD Batin 9), Jambi: Yayasan Setara Jambi
- ^ a b http://repository.upnyk.ac.id/2258/1/Abstrak.pdf
- ^ Koentjaraningrat. 1980. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat
- ^ Tim Peneliti STPN. 2013. Membaca Ulang Politik dan Kebijakan Agraria. Yogyakarta: Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, STPN Yogyakarta