Naskah Proklamasi adalah konsep naskah proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia yang ditulis oleh Soekarno pada selembar kertas blocknote berwarna putih dengan ukuran panjang 25,8 cm, lebar 21,3 cm, dan tebal 0,5 mm.
Sejarah
Penulisan naskah proklamasi yang kemudian menjadi teks untuk dibacakan ketika proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 telah melalui proses yang tidak mudah. Semuanya berawal dari kekalahan Jepang yang menyerah tanpa syarat kepada pihak sekutu pada 15 Agustus 1945.[1]
Sebaik mendengar berita Jepang menyerah kepada sekutu dari siaran radio BBC milik Inggris, golongan muda seperti Soekarni, Wikana dan Chaerul Saleh mendesak Soekarno dan Mohammad Hatta untuk segera memanfaatkan situasi dengan menyatakan proklamasi, tetapi Soekarno-Hatta tegas menolak karena belum ada pernyataan resmi dari kekaisaran Jepang dan tetap berpegang pada tanggal yang ditetapkan Marsekal Terauchi ketika menerima Soekarno di Dalat, Vietnam yaitu tanggal 24 Agustus 1945 sebagai tanggal kemerdekaan Indonesia.[2]
Hingga akhirnya terjadilah peristiwa yang dikenal dengan Peristiwa Rengasdengklok yaitu sebuah peristiwa penculikan yang dilakukan golongan pemuda kepada Soekarno-Hatta guna mendesak Soekarno-Hatta untuk segera memproklamirkan kemerdekaan Indonesia.[2]
Tepat pada hari Jumat tanggal 17 Agustus 1945 sekira pukul 03.00 dini hari, setelah melalui pemikiran hampir dua jam lamanya,[2]Soekarno menulis dengan tangan naskah proklamasi itu disebuah meja makan di rumah Laksamana Tadashi Maeda yang terletak di Jalan Meiji Dori (sekarang Jalan Imam Bonjol Nomor 1, Jakarta Pusat).
Ada dua orang yang mendampingi Soekarno ketika ia menulis naskah proklamasi, adalah Achmad Soebardjo di sebelah kirinya dan Mohammad Hatta di sebelah kanannya. Kedua orang itu mendiktekan naskah proklamasi dan Soekarno menulisnya.[3]
Setelah berakhirnya rapat perumusan dan penulisan naskah proklamasi kemerdekaan, naskah proklamasi itu kemudian dibuatkan teks dan diketik oleh Sayuti Melik. Tetapi naskah ini dibuang karena dianggap tidak diperlukan lagi, kemudian naskah atau blocknote yang sudah dibuang tersebut diambil dan disimpan oleh Burhanuddin Mohammad Diah. Dan pada tahun 1993 Burhanuddin Mohammad Diah menyerahkan naskah proklamasi tersebut kepada presiden saat itu yaitu Presiden Soeharto dan kemudian pada tahun 1995 naskah tersebut disimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia hingga saat ini.[4][5]
Disimpan B.M. Diah
Setelah naskah proklamasi itu selesai dibuatkan teks yang diketik, Sayuti Melik kemudian meninggalkan naskah itu begitu saja di dekat mesin tik. B.M. Diah yang juga berada di tempat perumusan naskah proklamasi itu kemudian mengambil dan menyimpannya.[4]
Saya melihat teks asli itu tergolek di meja. Karena rasa gembira, teks asli itu terlupakan. Kertas itu kemudian saya ambil, saya lipat baik-baik dan kemudian saya masukkan ke dalam kantung. Empat puluh tujuh tahun lamanya saya simpan teks asli itu dan selalu saya bawa ke mana saja saya berkeliling dunia.
Naskah proklamasi tersebut saat ini disimpan di dalam brankas di ruang bertemperatur khusus di Gedung Arsip Statis, Arsip Nasional Republik Indonesia. Kondisinya dalam keadaan baik dan terawat meski ada sedikit kerusakan di beberapa bagian kertasnya antara lain 15 lubang bekas dimakan serangga, warna kertas yang berubah menjadi kuning kecokelatan, serta pada bagian tengah dan bawah terdapat bercak kecokelatan yang disebabkan oleh reaksi kimia bahan perekat pada selotip yang mengering. Meski demikian, seluruh kalimat masih terbaca jelas.[5]