Berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 80 tahun 2017 tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan, susunan organisasi Badan POM terdiri atas[1][2]:
Kepala;
Sekretariat Utama;
Deputi Bidang Pengawasan Obat, Narkotika, Psikotropika, Prekursor, dan Zat Adiktif;
Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Suplemen Kesehatan, dan Kosmetik;
Badan Pengawas Obat dan Makanan, yang selanjutnya disingkat BPOM adalah lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan Obat dan Makanan. BPOM berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.
BPOM mempunyai tugas menyelenggarakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan Obat dan Makanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Obat dan Makanan terdiri atas obat, bahan obat, narkotika, psikotropika, prekursor, zat adiktif, obat tradisional, suplemen kesehatan, kosmetik, dan pangan olahan.
Dalam melaksanakan tugas pengawasan Obat dan Makanan sesuai dengan Perpres Nomor 80 Tahun 2017[3], BPOM menyelenggarakan fungsi:
penyusunan kebijakan nasional di bidang pengawasan Obat dan Makanan;
pelaksanaan kebijakan nasional di bidang pengawasan Obat dan Makanan;
penyusunan dan penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang Pengawasan Sebelum Beredar dan Pengawasan Selama Beredar;
pelaksanaan Pengawasan Sebelum Beredar dan Pengawasan Selama Beredar;
koordinasi pelaksanaan pengawasan Obat dan Makanan dengan instansi pemerintah pusat dan daerah;
pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang pengawasan Obat dan Makanan;
pelaksanaan penindakan terhadap pelanggaran ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengawasan Obat dan Makanan;
koordinasi pelaksanaan tugas, pembinaan, dan pemberian dukungan administrasi kepada seluruh unsur organisasi di lingkungan BPOM;
pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab BPOM;
pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan BPOM; dan
pelaksanaan dukungan yang bersifat substantif kepada seluruh unsur organisasi di lingkungan BPOM.
Periode zaman penjajahan sampai perang kemerdekaan
Sekolah asisten apoteker pada pemerintahan kolonial Hindia Belanda dianggap sebagai tonggak sejarah kefarmasiaan di Indonesia. Siswa sekolah asisten apoteker biasanya menempuh pendidikan di tempat-tempat pelayanan kefarmasian dan digurui oleh seorang apoteker yang mengelola dan memimpin suatu apotek. Ujian kompetensi akan dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda bagi calon apoteker yang dianggap telah memenuhi syarat setelah bekerja dalam beberapa periode tertentu. Dikutip dari buku Verzameling Voorschriften tahun 1936 terkait Het Reglement op de Dienst der Volksgezoindheid (DVG) tertulis jika Sekolah Asisten Apoteker didirikan dengan Surat Keputusan Pemerintah No. 38 tanggal 7 Oktober 1918, kemudian diubah dengan Surat Keputusan No. 15 (Stb No. 50) tanggal 28 Januari 1923 dan No. 45 (Stb. No. 392) tanggal 28 Juni 1934 dengan nama Leergang voor de opleleiding van apotheker-bedienden onder den naam van apothekers-assisten school".
Peraturan ujian asisten apoteker dan persyaratan ijin kerja diatur dalam Surat Keputusan Kepala DVG No. 8512/ F tanggal 16 Maret 1933 yang kemudian diubah dengan Surat Keputusan No. 27817/ F tanggal 8 September 1936 dan No. 11161/ F tanggal 6 April 1939. Syarat yang harus dimiliki oleh seorang calon apoteker agar dapat mengikuti ujian kompetensi apoteker adalah memiliki ijazah MULO bagian B, calon apoteker bekerja di pelayanan kefarmasian secara kontinyu selama 20 bulan di bawah pengawasan apoteker di Indonesia yang memimpin apotek, atau telah mengikuti sekolah asisten apoteker di Jakarta.
Sekolah Tinggi Farmasi di Indonesia mulai dibuat pada masa penjajahan Jepang dan diresmikan pada 1 April 1943. Sekolah Tinggi Farmasi tersebut dinamakan Yakugaku yang merupakan bagian dari Jakarta Ika Daigaku. Yakugaku diganti namanya menjadi Yaku Daigaku pada tahun 1944.
Periode setelah perang kemerdekaan sampai dengan tahun 1958
Pada periode tahun 1950an jumlah tenaga farmasi, terutama tenaga asisten apoteker mulai bertambah dalam jumlah yang relatif besar. Namun pada tahun 1953 terdapat kekurangan tenaga apoteker sehingga pemerintah mengeluarkan Undang- Undang No. 3 tentang Pembukuan Apotek. Sebelum dikeluarkannya Undang-Undang ini, untuk membuka sebuah apotek boleh dilakukan dimana saja dan tidak memerlukan izin dari pemerintah.
Dengan adanya undang-undang ini, maka pemerintah dapat melarang kota-kota tertentu untuk mendirikan apotek baru karena jumlahnya sudah dianggap cukup memadai. Izin pembukaan apotek hanya diberikan untuk daerahdaerah yang belum ada atau belum memadai jumlah apoteknya. Undang-undang No. 3 ini kemudian diikuti dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 4 tahun 1953 tentang apotek darurat, yang membenarkan seorang asisten apoteker untuk memimpin sebuah apotek. Undang-undang tentang apotek darurat ini sebenarnya harus berakhir pada tahun 1958 karena klausula yang termaktub dalam undangundang tersebut yang menyatakan bahwa undang- undang tersebut tidak berlaku lagi 5 tahun setelah apoteker pertama dihasikan oleh Perguruan Tinggi Farmasi di Indonesia. Akan tetapi, karena lulusan apoteker ternyata sangat sedikit, undangundang ini diperpanjang sampai tahun 1963 dan perpanjangan tersebut berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 770/ Ph/ 63/ b tanggal 29 Oktober 1983.
Periode tahun 1958 sampai dengan 1967
Pada periode ini meskipun usaha untuk memproduksi obat telah banyak dirintis, dalam kenyataannya industri-industri farmasi menghadapi hambatan dan kesulitan yang cukup berat, antara lain kekurangan devisa dan terjadinya sistem penjatahan bahan baku obat sehingga industri yang dapat bertahan hanyalah industri yang mendapat jatah atau mereka yang mempunyai relasi dengan luar negeri. Oleh karena itu, penyediaan obat menjadi sangat terbatas dan sebagian besar berasal dari import. Sementara itu karena pengawasan belum dapat dilakukan dengan baik, banyak terjadi kasus bahan baku maupun obat jadi yang tidak memenuhi standar.
Pada periode ini pula ada hal penting yang patut dicatat dalam sejarah kefarmasian Indonesia, yakni berakhirnya apotek-dokter dan apotek darurat.
Dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 33148/ Kab/ 176 tanggal 8 Juni 1962, antara lain:
Tidak dikeluarkannya lagi izin baru untuk pembukaan apotek-dokter
Semua izin apotek-dokter dinyatakan tidak berlaku lagi sejak tanggal 1 Januari 1963
Sedangkan berakhirnya apotek darurat ditetapkan dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 770/ Ph/ 63/ b tanggal 29 Oktober 1963 yang isinya antara lain:
Tidak lagi dikeluarkan izin baru untuk pembukaan apotek darurat
Semua izin apotek darurat ibu kota daerah Tingkat I dinyatakan tidak berlaku lagi sejak tanggal 1 Februari 1964
Semua izin apotek darurat di ibu kota daerah Tingkat II dan kota-kota lainnya dinyatakan tidak berlaku sejak tanggal 1 Mei 1964
Pada tahun 1963, sebagai realisasi Undang-Undang Pokok Kesehatan telah dibentuk Lembaga Farmasi Nasional (Surat Keputusan Menteri No. 39521/ Kab/199 tanggal 11 Juni 1963). Dengan demikian pada waktu itu ada dua instansi pemerintah di bidang kefarmasian yaitu Direktorat Urusan Farmasi dan Lembaga Farmasi Nasional. Direktorat Urusan Farmasi yang semula Ispektorat Farmasi pada tahun 1967 mengalami pemekaran organisasi menjadi Direktorat Jenderal Farmasi.
Periode Orde Baru
Pada masa orde baru stabilitas politik, ekonomi dan keamanan telah semakin mantap sehingga pembangunan di segala bidang telah dapat dilaksanakan dengan lebih terarah dan terencana. Pembangunan kesehatan sebagai bagian integral Pembangunan Nasional, dilaksanakan secara bertahap baik pemenuhan sarana pelayanan kesehatan maupun mutu pelayanan yang semakin baik serta jangkauan yang semakin luas. Hasil-hasil pembangunan kesehatan yang telah dicapai selama orde baru ini dapat diukur dengan indikator-indikator penting, antara lain kematian, umur harapan hidup dan tingkat kecerdasan yang semakin menunjukkan perbaikan dan kemajuan yang sangat berarti.
Pada periode Orde Baru ini pula, pengaturan, pengendalian dan pengawasan di bidang kefarmasian telah dapat ditata dan dilaksanakan dengan baik. Sehingga pada tahun 1975, institusi pengawasan farmasi dikembangkan dengan adanya perubahan Direktorat Jenderal Farmasi menjadi Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan. Berbagai peraturan perundangundangan telah dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan sebagai basis dan kerangka landasan untuk melanjutkan pembangunan pada masa-masa mendatang. Terhadap distribusi obat telah dilakukan penyempurnaan, terutama penataan kembali fungsi apotek melalui Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1980
Periode tahun 2000
Untuk mengoptimalkan pengawasan terhadap obat dan makanan tersebut maka pemerintah mengambil kebijakan dengan mengadakan perubahan Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, yang mana dahulu Direktorat Jenderal Obat dan Makanan bertanggung jawab kepada Departemen Kesehatan namun sekarang setelah terjadinya perubahan maka Badan Pengawas Obat dan Makanan bertanggung jawab kepada Presiden. Badan Pengawas Obat dan Makanan sekarang merupakan Lembaga Pemerintah Non-Departemen berdasarkan Keputusan Presiden No. 103 tahun 2000 dan telah mengalami perubahan melalui Keputusan Presiden No. 166 tahun 2003.
Kepala Badan
Sejarah Kepala Badan POM dari masa ke masa adalah sebagai berikut:
Berdasarkan hasil pengawasan terhadap produk yang beredar di pasaran (post-market vigilance) melalui pengambilan contoh dan pengujian terhadap parameter DNA babi, akhirnya pada 30 Januari 2018, BPOM mengeluarkan pernyataan bahwa sampel produk Viostin DS dengan nomor izin edar (NIE) POM SD.051523771 nomor bets BN C6K994H yang diproduksi PT. Pharos Indonesia dan Enzyplex tablet yang diproduksi PT Medifarma Laboratories dengan NIE DBL7214704016A1 nomor bets 16185101 terbukti positif mengandung DNA babi. Badan POM RI telah menginstruksikan PT. Pharos Indonesia dan PT Medifarma Laboratories untuk menghentikan produksi dan/atau distribusi produk dengan nomor bets tersebut.[8][9]
Pada 31 Januari 2018, PT. Pharos Indonesia sebagai produsen Viostin DS, menyatakan jika salah satu bahan baku pembuatan Viostin DS yang tercemar dengan DNA babi adalah kondroitin sulfat.[9]
Ranitidin
Ranitidin merupakan obat kelompok antagonis reseptor H2 yang dapat menurunkan sekresi asam lambung sehingga digunakan untuk mengobati penyakit pada lambung dan esofagus seperti tukak lambung, tukak duodenum, refluks esophagitis, GERD, sindrom Zollinger-Ellison, dispepsia episodik kronis, tukak akibat AINS (antiinflamasi nonsteroid), dan tukak duodenum karena infeksi bakteri H. pylori.[10][11][12] Ranitidin tersedia dalam bentuk sediaan tablet, sirup, dan injeksi.[13][14] Ranitidin secara resmi telah beredar di Indonesia sejak tahun 1989.
US Food and Drug Administration (US FDA) dan European Medicine Agency (EMA) mengeluarkan peringatan pada 13 September 2019 mengenai ditemukannya cemaran NDMA (N-Nitrosodimetillamin) pada sampel produk yang mengandung bahan aktif ranitidin dalam jumlah yang relatif kecil.[15][16] Nilai ambang batas dari cemaran dalam studi global yang diperbolehkan adalah 96 ng/hari (batas harian yang diperbolehkan).[17][18] Cemaran NDMA (N-Nitrosodimetillamin) ini bersifat karsinogenik jika dikonsumsi di atas ambang batas yang telah ditentukan secara rutin.[19][20] Kebijakan yang dikeluarkan US Food and Drug Administration (US FDA) dan European Medicine Agency (EMA) mengenai adanya temuan cemaran dalam sampel produk ranitidin tersebut dijadikan dasar oleh Badan POM dalam mengatur peredaran ranitidin di Indonesia.[21]
Badan POM pertama kali menerbitkan penjelasan terkait sampel produk ranitidin yang terdeteksi cemaran NDMA (N-Nitrosodimetillamin) pada 4 Oktober 2019. Terhadap industri farmasi pemegang izin edar produk ranitidin yang terdeteksi cemaran NDMA (N-Nitrosodimetillamin) di atas ambang batas, Badan POM memerintahkan industri farmasi tersebut untuk melakukan penghetian produksi dan distribusi serta melakukan penarikan kembali (recall) terhadap seluruh bets produk yang terdeteksi cemaran.[21]
Sebagai upaya dalam melindungi masyarakat, per 9 Oktober 2019, Badan POM memerintahkan seluruh industri farmasi pemegang izin edar produk ranitidin untuk menghentikan sementara produksi, distribusi, dan peredarannya.[21]
Badan POM memberikan tenggat waktu 80 hari kerja dimulai sejak konferensi pers resmi oleh Badan POM pada tanggal 11 Oktober 2019 kepada industri farmasi dan pedagang besar farmasi untuk melakukan penarikan ranitidin di sarana pelayanan kefarmasian (apotek, klinik, dan rumah sakit).[22][23]
Sebagaimana yang tercantum pada lampiran resmi, per 21 November 2019, Badan POM menginformasikan jika produk ranitidin sudah dapat diedarkan kembali di pasaran.[24][25] Pengecualian terhadap produk ranitidin yang tidak tercantum dalam lampiran resmi, produk tersebut dinyatakan ditarik (recall) dari peredaran serta akan dilakuakn pemusnahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Industri farmasi dapat memproduksi kembali dan mengedarkan produk ranitidin setelah memastikan bahwa hasil produksinya tidak mengandung NDMA (N-Nitrosodimetillamin) melebihi ambang batas yang diperbolehkan.[26]
Pencabutan persetujuan penggunaan darurat (Emergency Use Authorization)
Hidroksiklorokuinon dan klorokuin
Klorokuin disintesis dari suatu senyawa aktif golongan alkaloid yang ditemukan di kulit pohon Cinchona.[27][28] Dua puluh tahun setelah penemuan sintesis klorokuin, hidroksiklorokuinon yang juga merupakan turunan dari klorokuin berhasil disintesis.[29][30] Hidroksiklorokuinon memiliki struktur kimia yang mirip dengan klorokuin, namun diketahui lebih aman dibandingkan dengan klorokuin.[31][32] Selain dikenal sebagai obat antimalaria, hidroksinklorokuinon dan klorokuinon juga digunakan untuk pengobatan pada rheumatoid arthritis, systematic lupus erythematosus, dan penyakit inflamasi lainnya.[33][34] Klorokuin sebagai obat malaria, izin edarnya pernah ditarik karena masalah resistensi.[35][36]
Klorokuin dan hidroksiklorokuin derivatnya terbukti secara in vitro memiliki aktivitas sebagai antivirus dalam melawan sindrom pernapasan akut berat coronavirus-2 (SARS-CoV-2). Hasil studi in vitro tersebut menjadi dasar penggunaan klorokuin dan hidroksiklorokuin untuk terapi COVID-19.[37][38]
Hidroksiklorokuin dan klorokuin merupakan dua obat yang pernah digunakan sebagai terapi Covid-19 di Indonesia. Pada akhir Oktober 2020, Badan POM menerima laporan yang menunjukkan bahwa penggunaan terapi hidroksiklorokuinon atau klorokuinon pada 213 pasien Covid-19 menyebabkan terjadinya gangguan jantung berupa perpanjangan interval QT sebesar 28,2%. Nilai tersebut diperoleh dari hasil penelitian observasional selama 4 bulan di 7 rumah sakit di Indonesia.[39][40]
Berdasarkan hasil studi klinik global dan data penelitian di Indonesia serta menimbang risiko yang lebih besar daripada manfaat kedua obat ini, maka dalam rangka kehati-hatian, Badan POM RI mencabut persetujuan penggunaan darurat (Emergency Use Authorization) hidroksiklorokuin dan klorokuin untuk pengobatan COVID-19. Di mana sebelumnya, United States Food and Drug Administration (US-FDA) telah mencabut persetujuan penggunaan darurat (Emergency Use Authorization) untuk klorokuin dan hidroksiklorokuin.[41][42] Disusul World Health Organization (WHO) yang menghentikan uji klinis (Solidarity Trial) hidroksiklorokuin karena dinilai memiliki risiko lebih besar daripada manfaatnya.[39][40]
Persetujuan penggunaan darurat
Dengan adanya Persetujuan Penggunaan Darurat (EUA), lembaga pengawas obat dan makanan di suatu negara dapat mengizinkan penggunaan produk medis untuk membantu memperkuat perlindungan kesehatan masyarakatnya terhadap ancaman kimia, biologi, radiologi, dan nuklir termasuk penyakit menular dengan memfasilitasi ketersediaan dan penggunaan tindakan pencegahan medis yang diperlukan selama keadaan darurat kesehatan.[43][44]
Persetujuan Penggunaan Darurat (EUA) dapat ditetapkan dengan beberapa kriteria yaitu:[45]
Telah ditetapkan keadaan kedaruratan kesehatan masyarakat oleh Pemerintah
Terdapat cukup bukti ilmiah terkait aspek keamanan dan khasiat dari obat (termasuk vaksin) untuk mencegah, mendiagnosis, atau mengobati penyakit/keadaan yang serius dan mengancam jiwa berdasarkan data non-klinik, klinik, dan pedoman penatalaksanaan penyakit terkait.
Obat (termasuk vaksin) memiliki mutu yang memenuhi standar yang berlaku serta dan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB).
Memiliki kemanfaatan lebih besar dari risiko (risk-benefit analysis) didasarkan pada kajian data nonklinik dan klinik obat untuk indikasi yang diajukan dan terakhir belum ada alternatif pengobatan/penatalaksanaan yang memadai dan disetujui untuk diagnosa, pencegahan, atau pengobatan penyakit penyebab kondisi kedaruratan kesehatan masyarakat.
Vaksin Covid-19 di Indonesia
Beberapa Vaksin Covid-19 yang telah mendapatkan Persetujuan Penggunaan Darurat (EUA) dari Badan POM yaitu:
Sinovac
Untuk pertama kalinya, Badan POM memberikan persetujuan penggunaan dalam kondisi darurat (Emergency Use Authorization) untuk vaksin COVID-19 per 11 Januari 2021 kepada vaksin CoronaVac yang diproduksi oleh Sinovac Biotech Inc. yang bekerja sama dengan PT. Bio Farma.[45][46]
Vaksin Bio Farma
Melalui PT. Bio Farma, Indonesia mendatangkan vaksin produksi dari PT. Sinovac Life Science, Beijing sebanyak 3 juta dosis. Izin penggunaan dalam masa darurat (Emergency Use Authorization) dari vaksin tersebut diberikan oleh Badan POM per tanggal 11 Januari 2021. Di samping itu, PT. Bio Farma juga mendatangkan bulk bahan baku vaksin yang siap untuk di-filling dan dikemas di sarana produksi milik PT. Bio Farma.[47][48]
Vaksin COVID-19 yang diproduksi PT. Bio Farma memiliki kandungan, profil khasiat, dan keamanan yang sama dengan vaksin CoronaVac yang diproduksi di Sinovac Beijing. Namun, karena terdapat perbedaan tempat produksi, perbedaan kemasan dari single dose menjadi multiple dose maka sesuai peraturan wajib diregistrasikan untuk mendapatkan Persetujuan Izin Edar ataupun persetujuan penggunaan dalam kondisi darurat (Emergency Use Authorization).[48]
Berdasarkan hasil evaluasi terhadap data hasil uji stabilitas, dokumen validasi proses produksi, dan validasi metode analisis, spesifikasi produk dan spesifikasi kemasan yang digunakan, maka per tanggal 16 Februari 2021, Badan POM memberikan persetujuan penggunaan dalam kondisi darurat (Emergency Use Authorization) terhadap vaksin yang diproduksi oleh PT. Bio Farma.[48]
Astrazeneca
Vaksin AstraZeneca merupakan vaksin COVID-19 yang dikembangkan oleh Oxford University bekerja sama dengan AstraZeneca menggunakan platform Non-Replicating Viral Vector (ChAdOx 1).[49][50] Vaksin AstraZeneca didaftarkan ke Badan POM melalui 2 jalur, yaitu jalur bilateral oleh PT. Astra Zeneca Indonesia dan jalur multilateral melalui mekanisme COVAX facility yang didaftarkan oleh PT. Bio Farma. Vaksin AstraZeneca yang diperoleh Indonesia melalui mekanisme COVAX facility diproduksi oleh SK Bioscience Co. Ltd., Korea, dan telah masuk dalam daftar yang disetujui oleh WHO Emergency Use Listing.[51][52] Sementara vaksin Astra Zeneca yang didaftarkan melalui jalur bilateral adalah produksi AstraZeneca Eropa dan Siam Bio Science Thailand.[53][54]
Moderna
Moderna COVID-19 Vaccine merupakan vaksin yang dikembangkan dengan platform mRNA.[55][56] Vaksin ini diperoleh melalui COVAX facility yang merupakan jalur multilateral dan diproduksi oleh Moderna TX., Inc USA. Moderna COVID-19 Vaccine merupakan vaksin mRNA yang memerlukan teknologi penyimpanan berbeda dari jenis vaksin dari platform inactivated virus yang sebelumnya telah memperoleh EUA. Vaksin ini perlu sarana penyimpanan pada suhu -20o C.[57][58] Karena kebutuhan teknologi khusus tersebut, vaksin ini akan diserahkan ke Indonesia bersamaan dengan teknologi penyimpanan dan distribusinya.[59]
Pfizer
Badan POM menerbitkan persetujuan penggunaan dalam kondisi darurat (Emergency Use Authorization) untuk vaksin COVID-19 yang dikembangkan dengan platform mRNA yaitu Vaksin Comirnaty yang diproduksi oleh Pfizer and BioNTech per 14 Juli 2021.[60][61] Vaksin dengan platform mRNA yang memiliki spesifikasi penyimpanan khusus dengan menggunakan ultra low temperature (suhu -80° sampai -60 °C).[62][63]
Sputnik-V
Vaksin COVID-19 Sputnik-V merupakan vaksin yang dikembangkan oleh The Gamaleya National Center of Epidemiology and Microbiology di Rusia yang menggunakan platform Non-Replicating Viral Vector (Ad26-S dan Ad5-S).[64][65] Vaksin ini didaftarkan oleh PT. Pratapa Nirmala sebagai pemegang EUA dan bertanggung jawab untuk penjaminan keamanan dan mutu vaksin ini di Indonesia.[66]
Janssen dan Convidecia
Badan POM menerbitkan EUA bagi 2 (dua) produk vaksin COVID-19 yaitu Vaksin COVID-19Janssen dan Vaksin Convidecia per tanggal 7 September 2021.[67] Vaksin Covid-19 Janssen adalah vaksin yang dikembangkan oleh Janssen Pharmaceutical Companies dengan platform Non-Replicating Viral Vector menggunakan vektor Adenovirus (Ad26).[68][69] Vaksin ini diproduksi di beberapa fasilitas produksi, antara lain di Grand River USA, Aspen South Africa, dan Catalent Indiana, USA. Di Indonesia, vaksin ini didaftarkan oleh PT. Integrated Health Indonesia (IHI) sebagai pemegang EUA dan bertanggung jawab untuk penjaminan keamanan, khasiat, dan mutu vaksin.[70]
Sementara, Vaksin Convidecia merupakan vaksin yang dikembangkan oleh CanSino Biological Inc. dan Beijing Institute of Biotechnology juga dengan platform Non-Replicating Viral Vector namun menggunakan vektor Adenovirus (Ad5).[71][72] Vaksin ini diproduksi oleh CanSino Biological Inc, China dan didaftarkan oleh PT. Bio Farma sebagai pemegang izin EUA yang akan bertanggung jawab untuk penjaminan keamanan, khasiat, dan mutu vaksin ini di Indonesia.[70]
Zififax
Badan POM mengeluarkan Izin Penggunaan Darurat (Emergency Use Authorization) untuk produk vaksin COVID-19 dengan nama dagang Zifivax per tanggal 7 Oktober 2021.[73] Zifivax merupakan vaksin yang dikembangkan dan diproduksi oleh Anhui Zhifei Longcom Biopharmaceutical dengan platform rekombinan protein sub-unit.[74][75]
Covovax
Badan POM mengeluarkan Izin Penggunaan Darurat (Emergency Use Authorization) untuk vaksin Covid-19, vaksin Covovax per tanggal 17 November 2021.[76] Vaksin Covovax merupakan vaksin dengan teknologi platform rekombinan protein subunit glikoprotein spike menggunakan vaksin adjuvan Matrix-M1. Vaksin Covovax diproduksi oleh Serum Institute of India Pvt. Ltd., India (SII).[77][78]
Layanan
Laboratorium Obat- Pusat Pengembangan Pengujian Obat dan Makanan Nasional (PPPOMN)
Laboratorium Obat-Pusat Pengembangan Pengujian Obat dan Makanan Nasional (PPPOMN) adalah salah satu laboratorium di Badan POM yang menyediakan jasa pengujian analisis dan baku pembanding yang dikualifikasi oleh WHO telah memenuhi ketentuan yang berpedoman pada WHO Good Practices for Pharmaceutical Quality Control Laboratory, WHO TRS 957, Annex 1, 2010. Berikut Ruang Lingkup pengujian yang telah terkualifikasi[79][80]:
Tipe Analisis
Uji
Fisika/Kimia
pH, Kadar air, Susut pengeringan, Disolusi, Keseragaman kandungan, dan Keseragaman Sediaan
KCKT (detektor UV, PDA, fluorosens, elektrokimia), GC, spektrofotometer (UV-Vis, AAS, dan FTIR), volumetrik, titrasi potensiometri, dan gravimetri
Cara Mendapatkan Izin Edar BPOM
Pemilik usaha dapat mendaftarkan produknya untuk mendapatkan izin edar BPOM dengan dua cara[81]. Pertama, melalui jalur umum. Kedua, melalui jalur kilat atau disebut juga sebagai one day service. Produk yang dapat didaftarkan melalui one day service memiliki risiko lebih rendah karena tak langsung dikonsumsi tubuh.
Persyaratan umum yang harus dipenuhi adalah:
Melampirkan fotokopi surat izin industri yang dikeluarkan oleh Departemen Perindustrian dan Perdagangan serta Badan Koordinasi Penanaman Modal
Melampirkan surat keterangan analisis hasil laboratorium yang berkaitan dengan uji kimia, cemaran biologi, dan lain-lain
Label rancangan dan contoh produk
Formulir pendaftaran yang sudah diisi
Pemilik usaha dapat mendaftarkan produknya secara daring melalui e-Reg BPOM. Proses mendapatkan izin edar BPOM berlangsung selama 30 hari. Izin edar BPOM ini berlaku untuk lima tahun.