Gereja Katolik Yunani Melkit
Gereja Katolik Yunani Melkit (bahasa Arab: كنيسة الروم الملكيين الكاثوليك, Kanisatur Rumul Malakiyinul Katulik; bahasa Yunani: Μελχιτική Ελληνική Καθολική Εκκλησία, Melkitike Elenike Katolike Eklesia; bahasa Latin: Ecclesiae Graecae Melkitae Catholicae) adalah salah satu Gereja Katolik Timur dengan Ritus Bizantin, dan bersatu dengan Tahta Suci, dan oleh karena itu merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Gereja Katolik sejagat. Umat Melkit merunut asal usulnya sampai kepada umat Kristen purba di Antiokhia, kota tempat Santo Petrus berkarya.[3][4] Gereja Melkit memiliki derajat homogenitas etnis yang tinggi dan Gereja ini berasal dari Timur Dekat,[5] tetapi umat Katolik Yunani Melkit ada di seluruh dunia karena migrasi. Di luar Timur Dekat, Gereja Melkit juga telah bertumbuh melalui kawin-campur dengan, dan konversi agama, orang-orang dari berbagai suku-bangsa. Sekarang ini warga Gereja Melkit sedunia kira-kira berjumlah 1,6 juta jiwa.[6][7] Ciri dan tata liturgi Bizantin Gereja Katolik Melkit berakar pada tata liturgi Ortodoksi Timur, meskipun Gereja ini menjalin persekutuan dengan Gereja Katolik di Roma sejak terpisah dari Gereja Ortodoks Yunani Antiokhia pada 1729.[8] Nama GerejaMelkit, dari kata malkā yang dalam bahasa Suryani berarti "Raja", awalnya adalah julukan peyoratif bagi umat Kristiani Timur Tengah yang tunduk pada kewenangan Konsili Kalsedon (451) dan Kaisar Bizantin. Julukan ini diberikan oleh golongan non Kalsedonian.[9] Dari Gereja-Gereja Kalsedonian, umat Katolik Yunani mempertahankan julukan tersebut, tidak demikian halnya dengan umat Ortodoks Timur. Yunani, mengacu pada warisan Ritus Bizantin Gereja ini, yakni liturgi yang digunakan oleh semua Gereja Ortodoks Timur.[10] Katolik, menunjukkan pengakuan Gereja ini akan kewenangan Sri Paus dan yang bermakna keikutsertaan dalam Gereja sedunia. Menurut tradisi Gereja ini, Gereja Melkit Antiokhia adalah "komunitas Kristen tertua di dunia yang masih bertahan sampai sekarang".[11] Dalam bahasa Arab, yang menjadi bahasa resminya,[5] Gereja ini disebut Arrumul Katulik (bahasa Arab: الروم الكاثوليك). Kata "Rūm" dalam bahasa Arab bermakna Konstantinopel (sebelumnya Bizantium, sekarang Istanbul), yang nama resminya adalah Roma Baru (bahasa Latin: Nova Roma, bahasa Yunani: Νέα Ρώμη). Meskipun nama ini sering keliru diterjemahkan menjadi "Katolik Roma", terjemahan yang lebih akurat adalah Melkit atau Katolik Yunani, mengacu pada warisan Bizantin yang berkaitan dengan kota "Roma Baru", yakni Konstantinopel. SejarahGereja Katolik Melkit berawal dari pendirian Kekristenan di Timur Tengah. Ketika Kekristenan mulai menyebar, para murid Kristus mewartakan Injil ke seluruh kawasan itu dan untukertama kalinya disebut "Kristen" di Kota Antiokhia (Kis. 11:26), tahta historis dari Kebatrikan Katolik Melkit. Beberapa puak Melkit percaya bahwa leluhur mereka menerima warta Injil dari salah seorang Rasul Kristus, dan bahkan ada yang menerimanya dari Kristus sendiri. Akibat emigrasi besar-besaran dari Timur tengah, yang diawali dengan pembantaian Damaskus pada tahun 1860, yang merenggut korban dari sebagian besar komunitas-komunitas Kristiani, kini Gereja Katolik Melkit didirikan di seluruh dunia dan keanggotaannya tidak lagi eksklusif warga keturunan Timur Tengah. Perkembangan ini disebut "Diaspora". Banyak orang di Amerika Utara dan Selatan, Eropa, dan Australia kini dapat beribadah di Gereja yang sangat dekat hubungannya dengan negeri-negeri tempat Yesus dan para rasul-Nya pernah berjalan, berdakwah dan mewartakan Khabar Baik bagi seluruh Dunia. Gereja Katolik-Yunani Melkit berasal dari berbagai komunitas Kristiani di kawasan Levant dan Mesir. Kepemimpinan Gereja ini memegang jabatan tiga dari kebatrikan apostolik purba: Aleksandria, Antiokhia, dan Yerusalem. Sejarah Gereja ini dan hubungannya dengan Gereja-Gereja lain kerap diringkas dalam empat momentum penentu sebagai berikut: Akibat konsili ekumenis keempatMomentum penentu pertama adalah akibat sosio-politik dari Konsili Ekumenis keempat, Konsili Khalsedon, yang berlangsung pada tahun 451 Masehi. Masyarakat Kristiani Timur Tengah abad kelima Masehi secara tajam terbagi menjadi golongan yang menerima dan golongan yang tidak menerima hasil Konsili tersebut. Golongan yang menerima hasil konsili, yakni kaum Khalsedonia, umumnya adalah penduduk perkotaan penutur Bahasa Yunani, dan disebut kaum Melkit (kaum kerajaan) oleh kaum anti-Khalsedonia. Kaum anti-Khalsedonia merupakan warga provinsi yang umumnya merupakan para penutur Bahasa Syria, Bahasa Arab, atau Bahasa Koptik. Fusi dengan bahasa dan budaya ArabMomentum penentu kedua lebih merupakan suatu periode ketimbang suatu pergerakan mendadak. Perang Yarmuk (636) menceraikan tanah air umat Melkit dari kendali Bizantium dan menempatkannya dalam genggaman bangsa Arab Muslim.[12] Meskipun bahasa dan budaya Yunani tetap penting artinya, khususnya bagi umat Melkit di Yerusalem, tradisi Melkit mengalami fusi dengan bahasa dan budaya Arab. Sesungguhnya ada puisi Kristiani Arab dari masa sebelum Islam, namun fusi dengan budaya dan bahasa Arab ini makin memperlebar jarak dengan Batrik Konstantinopel, pertama-tama dari para batrik Ortodoks, dan berikutnya dari para batrik Melkit beserta umatnya. Meskipun dikuasai bangsa Arab, umat Melkit terus memainkan peranan penting dalam Gereja universal. Umat Melkit berada di barisan depan dalam pengutukan terhadap bidaah ikonoklastik ketika muncul kembali di awal abad ke-9, dan merupakan yang pertama dari Gereja-Gereja Timur yang merespon introduksi klausa filioque di Barat.[13] Persatuan dengan Tahta Suci RomaMomentum penentu ketiga adalah Konsili-Konsili Persatuan Kembali di mana para hierark Ortodoks menerima persatuan dengan Tahta Suci Roma setelah melewatu periode panjang skisma. Pada tahun 1054, Batrik Mikhael Kerularios dan Kardinal Humbert dari Silva Candida saling mengekskomunikasi, sehingga menjadikan skisma tersebut bersifat formal. Batrik Petrus III dari Antiokhia menentang perselisihan antara Kardinal latin dan Batrik Konstantinopel itu. Pada tahun 1965, Paus Paulus VI dan Batrik Athenagoras I "menyatakan eskomunikasi-ekskomunikasi tersebut dilupakan." Akan tetapi para Pejuang Perang Salib mendudukkan prelatus-prelatus Latin pada tahta-tahta apostolik di Timur, dan pada Perang Salib IV terjadi penjarahan kota agung Konstantinopel dan pendudukan atasnya oleh para "Pejuang Perang Salib" selama lima puluh tujuh tahun. Perkembangan ini mengakibatkan perselisihan Kardinal-Batrik tersebut menjadi bahan perenungan semua orang namun tidak ada deklarasi skisma secara formal. Karena tidak pernah ada perpisahan secara formal dari Skisma Timur-Barat, maka para 'muallaf' dari misionaris-misionaris latin tadi menjadi golongan pro-Barat, yakni golongan pro-Katolik dalam Ortodoksi Timur. Sepanjang abad ke-17 para rohaniwan Yesuit, Kapusin dan Karmelit mendirikan misi-misi dengan persetujuan para uskup Ortodoks lokal di Kerajaan Ottoman. Para rohaniwan Dominikan telah ada di Irak sejak era 1300-an sampai sekarang. Konsili Lyons II (1274) dan Konsili Florence (1439) di mana Batrik Konstantinopel, Yosef II dan Kaisar Yohanes VIII Palaelogos menerima persatuan dengan pihak Barat dengan harapan mendapatkan bantuan untuk menyelamatkan Konstantinopel. Tak satupun persatuan-persatuan itu yang bertahan, meskipun dua kaisar Konstantinopel terakhir melakukan pernyataan iman Katolik; di lain pihak tidak ada bantuan signifikan apapun dari kerajaan-kerajaan Eropa yang saling berperang pada masa itu. Sejak tahun 1342, para biarawan Katolik Roma membuka misi-misi di Timur Tengah, khususnya di Damaskus. Ajaran mereka berpengaruh besar terhadap rohaniwan dan umat Melkit, namun dalam tradisi Melkit para rohaniwan Yesuitlah, yang baru didirikan pada tahun 1534, yang sungguh-sungguh menjadi penentu dalam formasi golongan Katolik dalam Kebatrikan Ortodoks Antiokhia. Kaum Yesuit bukanlah biarawan namun lebih patut disebut imam-imam terpelajar yang duduk dalam dewan penasehat kebatrikan. Hal ini menjadikan mereka lebih dapat diterima daripada para biarawan. Terpilihnya Kyril VIMomentum penentu keempat adalah dipilihnya Kyril VI, pada tahun 1724, oleh para uskup Melkit Syria sebagai Batrik Antiokhia yang baru. Karena Kyril adalah seorang tokoh yang terang-terangan pro-Barat, Batrik Konstantinopel, Jeremias III, merasa kewibawaannya dipertanyakan. Jeremias menyatakan pemilihan Kyril invalid, mengucilkannya, dan menunjuk Sylvester, seorang rahib Yunani, untuk menduduki tahta Kebatrikan Antiokhia. Sylvester memperburuk keretakan Gereja karena memimpin Gereja dengan tangan besi, sehingga banyak umat melkit justru mengakui Kyril sebagai batrik mereka. Dominasi Yunani, Hellene atau Phanariot atas Kebatrikan Ortodoks Bizantin di Antiokhia ini berlangsung hingga tahun 1899. Lima tahun setelah terpilihnya Kyril Tanas, yakni pada tahun 1729, Paus Benediktus XIII mengakui Kyril sebagai Batrik Antiokhia yang sah serta menyambut masuknya dia bersama para pengikutnya ke dalam komuni penuh dengan Gereja Katolik Roma. Sejak saat itu Gereja Katolik-Yunani Melkit berdiri terpisah sekaligus paralel dengan Gereja Ortodosk Timur Antiokhia di Timur Tengah. Gereja Ortodoks Antiokhia pada masa sekarang sudah tidak umum lagi disebut Melkit. Gereja Katolik-Yunani Melkit telah berperan penting dalam kepemimpinan umat Kristiani Arab. Gereja ini senantiasa dipimpin oleh orang-orang Kristen berbahasa Arab, sebaliknya saudara-saudara Ortodoks mereka dipimpin para batrik Yunani sampai tahun 1899. Sesungguhnya sejak awal keterpisahannya, sekitar tahun 1725, salah satu dari para pimpinan awam Gereja ini, sarjana dan teolog, Abdallah Zakher dari Aleppo (1684-1748) mendirikan media massa cetak pertama di Timur Tengah. Pada tahun 1835, Maximos III Mazlum, Batrik Katolik-Yunani Melkit di Antiokhia, diakui Kekaisaran Ottoman sebagai seorang pemimpin millet, yakni komunitas umat beragama tertentu dalam kekaisaran itu. Paus Gregorius XVI menganugerahi Maximos tri-kebatrikan Antiokhia, Aleksandria dan Yerusalem, gelar yang hingga kini masih dipegang oleh kepala Gereja Katolik-Yunani Melkit. Penggantinya yakni Paus Pius IX (1846-1878), pada tanggal 23 Juli 1847, melembagakan kembali Kebatrikan Latin di Yerusalem dalam diri seorang yang masih muda (berusia 34 tahun) dan ulet, Giuseppe Valerga (1813-1847-1872), yang dijuluki "Si Jagal" karena menentang keras Gereja-Gereja asli di Tanah Suci. Ketika dia tiba di Yerusalem pada tahun 1847 terdapat 4.200 jiwa umat Katolik Latin di Tanah Suci, ketika dia wafat pada tahun 1872 jumlahnya sudah 8.400 jiwa. Usaha Valerga untuk menghentikan proselitisasi dari Gereja asli setempat merupakan suatu respons terhadap dominasi Kebatrikan Yerusalem oleh Persaudaraan Makam Suci yang beranggotakan orang-orang Yunani, jauh sebelum penempatan Batrik Silvester dalam Kebatrikan Melkit di Antiokhia pada abad ke-18 (1724). Valerga berusaha mengalihkan umat ritus Bizantin (Katolik dan Ortodoks) Palestina menjadi umat Katolik Ritus Latin. Upaya-upaya untuk menjembatani jarak antara Gereja Katolik Latin dan Gereja Katolik Melkit berlanjut hingga abad ke-19. Batrik Gregorius II Yusuf (1864–1897) adalah seorang penentang infabilitas kepausan dalam Konsili Vatikan Pertama. Yusuf yakin bahwa menjadikan infabilitas kepausan sebagai doktrin akan makin menjauhkan umat Melkit dari umat Kristiani Timur lainnya. Gereja di Zaman ModernPertarungan antara Tradisi Latin dan Tradisi MelkitBatrik Maximos IV Sayegh ikut serta dalam Konsili Vatikan II. Di sana dia berhasil mengunggulkan tradisi Kekristenan Timur, dan memperoleh respek besar dari para pengamat Ortodoks Timur dalam Konsili itu serta pujian dari Batrik Agung Konstantinopel, Athenagoras I. Meskipun demikian, dukungannya terhadap penggunaan alat kontrasepsi dinilai luar biasa sebagaimana hal-hal lain yang juga didukungnya dalam konsili itu, akan tetapi hal tersebut dengan keras ditolak oleh Batrik Athenagoras yang sama ketika Sri Paus Paulus VI mengeluarkan ensiklik "Humanae Vitae" pada tanggal 25 Juli 1968. Menurut beberapa pakar sejarah seusai Konsili Vatikan II, Gereja Melkit meninggalkan latinisasi dan kembali ke tradisi Melkit. Beberapa pakar sejarah menghubung-hubungkan perubahan trend ini dengan para anggota "The Cairo Circle" - Lingkaran Kairo, suatu perkumpulan imam muda yang berpusat di lingkungan Kolose Kebatrikan Kairo di Jalan Ratu Nazli pada tahun 1930-an: Romo (Pastur) Georgius Selim Hakim, Romo Yosef Elias Tawil, Romo Elias Zoughby dan Romo Oreste Kerame. Orang-orang ini, yang berupaya mendorong Gereja Melkit kembali ke akarnya, kelak menjadi uskup-uskup, para Bapa Konsili Vatikan II. Pada masa itu, beberapa perubahan dilakukan untuk merestorasi tradisi-tradisi Melkit awal. Sebagai contoh, beberapa gereja Melkit yang menyelenggarakan ibadah-ibadah dalam ritus Latin termasuk tradisi menunda pemberian ekaristi bagi bayi, menggantinya dengan ibadah-ibadah ritus Bizantin termasuk tradisi pemberian komuni segera setelah seseorang menerima sakramen krisma seusai dibaptis. Lagipula, sebelum didirikannya keuskupan Melkit di Amerika Serikat semua imam Melkit tunduk kepada uskup ritus Latin di tempat mereka melaksanakan pelayanan. Perubahan-perubahan ini sempat menuai protes dari beberapa gereja Melkit yang berpendapat bahwa de-latinisasi tersebut sudah terlampau jauh melangkah. Semasa Maximos IV (Sayegh) menjabat sebagai Batrik, beberapa gereja Melkit di Amerika serikat menolak menggunakan bahasa setempat dalam perayaan Liturgi Ilahi (Misa Kudus), gerakan penggunaan bahasa setempat ini dipelopori oleh Romo Yosef Raya dari Birmingham, Alabama yang kelak menjadi Uskup Agung Nazaret. Isu ini menarik liputan pers nasional setelah Uskup Fulton Sheen merayakan Liturgi Ilahi Pontifikal dalam bahasa Inggris pada Konvensi Nasional Melkit di Birmingham pada tahun 1958, yang beberapa bagiannya ditayangkan dalam siaran-siaran berita televisi nasional (Sebelum Konsili Vatikan II, Ritus Latin hanya menggunakan Bahasa Latin, sedangkan Ritus-Ritus Timur memperbolehkan penggunaan bahasa setempat). Pada tahun 1960 isu ini diselesaikan oleh Sri Paus Yohanes XXIII atas permintaan Batrik Maximos IV dengan mengizinkan penggunaan bahasa setempat dalam perayaan Liturgi Ilahi (Sebelum Konsili Vatikan II). Paus Yohanes juga menahbiskan seorang biarawan Melkit, Romo Akasius Coussa, sebagai uskup di Kapela Sistina dengan ritus Bizantin dan menggunakan Tiara Paus sebagai mitra (mahkota uskup). Uskup Coussa hampir saja segera diangkat menjadi Kardinal, namun dia meninggal dunia dua tahun setelah pentahbisannya. Ordo biaranya, Basilians di Aleppo, mengajukan alasan kanonisasi baginya. Protes-protes lebih lanjut terhadap de-latinisasi Gereja ini timbul semasa Maximos V Hakim menjabat sebagai batrik (1967–2000), tatkala beberapa gereja dan pejabat gereja yang mendukung tradisi Latin memprotes pemberian izin bagi para pria beristri untuk ditahbiskan menjadi rohaniwan. Upaya penyatuan umat Melkit DiasporaSelama masa jabatannya, Batrik Maximos V menyaksikan hadirnya banyak Gereja Melkit di pelbagai belahan bumi, yang disebut pula "Diaspora":[14] eparki-eparki (keuskupan-keuskupan otonom yang tunduk langsung pada Roma namun memiliki kursi dalam sinode para uskup Partiarkal) didirikan di Amerika Serikat, Kanada, Brasil, Australia, dan Argentina sebagai respons terhadap pengosongan Timur Tengah secara berkesinambungan dari warga aslinya yang beragama Nasrani. Sesudah pecah revolusi di Mesir pada tahun 1952, banyak warga Melkit yang meninggalkan Timur Tengah disebabkan kebijakan-kebijakan pembaharuan Islam, pro-bumiputera, dan sosialis dari rejim Nasser. Pada tahun 1950, komunitas Melkit terkaya di dunia berada di Mesir, dan pada tahun 1945 keuskupan tunggal yang terbanyak warganya adalah keuskupan Akko, Haifa, Nazaret dan seluruh Galilea; sejak tahun 1955 tidak lagi demikian adanya akibat tindakan-tindakan anti-Arab dari Israel terhadap orang-orang Arab baik Nasrani maupun Muslim. Pada tahun 1967, seorang warga negara Mesir keturunan Syria-Aleppo, Georgius Selim Hakim, uskup agung pertama Keuskupan Akko, Haifa, Nazaret dan seluruh Galilea (1943-1967), yang masyhur di kalangan ekumenis dengan julukan "The Archbishop of the Arabs - Uskup Agung Umat Arab" tatkala menyambut kedatangan Paus Paulus VI di Tanah Suci pada bulan Januari 1964, terpilih sebagai pengganti Maximos IV, dan mengambil nama Maximos V. Ia memegang jabatan sampai pensiun pada usia 92 tahun, bertepatan dengan Peringatan Yubileum Milenium tahun 2000. Ia wafat setahun kemudian yakni pada tanggal 29 Juni 2001, bertepatan dengan Perayaan Santo Petrus dan Paulus. Nominasi Penghargaan Nobel PerdamaianDua pengganti Batrik Maximos V di Keuskupan Akko, Haifa, Nazareth dan seluruh Galilea telah dinominasikan untuk menerima penghargaan Nobel Perdamaian: Uskup Agung kedua, Yosef Maria Raya (1968-1974) dan Uskup Agung kelima dan yang sekarang menjabat, Elias Michael Chaccour, warga Palestina pertama yang menduduki jabatan tersebut dan sekaligus pendiri Institut Pendidikan Mar Elias di Ibillin, Galilea. Uskup Agung kelima ini ditahbiskan sebagai uskup di Gerejanya sendiri di Ibillin dan dinobatkan di Katedral Haifa pada tahun 2006. Tradisi GerejaGereja Katolik Melkit berada dalam persekutuan sepenuhnya dengan Gereja Katolik Roma akan tetapi menjalankan kebiasaan-kebiasaan yang jauh berbeda, yakni tradisi Bizantin. Bahasa tradisional yang digunakan dalam ibadah adalah bahasa Yunani dan Aram-Suryani. Kini, ibadah-ibadah diadakan dalam berbagai bahasa menurut negara tempat Gereja berlokasi. Di Kerajaan Inggris, Kanada, Amerika Serikat dan Australia; Bahasa Inggris dan Prancis digunakan selain bahasa Arab yang digunakan oleh para imigran dari Timur Tengah. Bahasa Spanyol dan Portugis digunakan pula di Brasil dan di negara-negara Amerika Selatan yang berbahasa Spanyol. Keuskupan-Keuskupan Melkit saat iniBatrik Katolik-Yunani Melkit di Antiokhia dan seluruh dunia Timur, dan Aleksandria dan Yerusalem saat ini adalah Gregorius III Laham. Kebatrikan berlokasi di Damaskus. Di kawasan Timur Tengah, Gereja ini memiliki keuskupan-keuskupan di:
Di belahan bumi lainnya, Gereja ini memiliki keuskupan-keuskupan di:
Pranala luar
Referensi
Catatan kakiWikimedia Commons memiliki media mengenai Melkite Greek Catholic Church.
|