Chaerul lahir pada 13 September 1916 di Sawahlunto, Sumatera Barat.[2] Ia merupakan anak tunggal dari seorang dokter bernama Achmad Saleh yang pernah dicalonkan menjadi anggota Volksraad dan Zubaidah binti Ahmad Marzuki.[3] Pada usia dua tahun, orang tuanya bercerai dan ia dibawa pulang oleh sang ibu ke Lubuk Jantan, Lintau, Tanah Datar. Karena ibunya sakit, Chaerul diasuh oleh pamannya yang bernama Sulaeman Raja Mudo hingga berumur empat tahun.[4] Sesudah itu, ayahnya membawa Chaerul ke Medan dan menyekolahkannya di sekolah rakyat.[5] Setelah ayahnya berpindah tugas ke Bukittinggi, ia melanjutkan sekolahnya di Europeesche Lagere School (ELS) yang ada di sana dan akhirnya lulus pada 1931.[6]
Tamat ELS, Ia masuk ke Hoogere Burgerschool (HBS) Bagian B di Medan dan diasuh oleh Suwis.[7] Selama sekolah di Medan, ia sering pulang ke Bukittinggi yang juga mempertemukannya dengan Yohana Siti Menara Saidah, putri Lanjumin Dt. Tumangguang yang kelak menjadi istrinya. Karena Yohana, Chaerul pindah ke Batavia.[3] Chaerul hanya bersekolah selama tiga tahun di sini dan melanjutkan sekolah di Koning Willem III School te Batavia pada umur 18 tahun.[8] Selama di Koning, Chaerul menjadi ketua dari sebuah organisasi yang beranggotakan orang Indonesia saja bernama Oesaha Kita.[9] Berikutnya, ia melanjutkan pendidikan di Rechtshoogeschool te Batavia (RHS) pada 1937 sampai 1942.[3]
Aktivisme
Saat masih menjadi mahasiswa, Chaerul merupakan penggemar dari Mohammad Yamin. Bahkan, ia pernah mengajak temannya, Zainal Sabaruddin Nasution mengunjungi Jalan Pejambon yang menjadi lokasi gedung Kementerian Luar Negeri pada saat ini untuk mendengarkan pidato dari Yamin saat menghadiri sidang Volksraad. Chaerul juga pernah diundang untuk mengunjungi rumah Yamin bersama Sabaruddin, Suyono Siegfried, Achmad Astrawinata dan Soepeno di Pecenongan, Sawah Besar. Mereka berdiskusi tentang para pribumi yang didiskriminasi, kemerdekaan serta masalah politik. Akibat perisitiwa inii, sebuah surat dari RHS terbit dan memberitahukan agar para mahasiswa untuk tidak mengikuti kegiatan politik dan hanya harus fokus dengan kegiatan akademik mereka.[9]
Selama menjadi pelajar di RHS, Chaerul bergabung dengan Perhimpoenan Peladjar-Peladjar Indonesia dan dalam waktu singkat menjadi sekretaris[10]. Pada 1939, ia pun terpilih menjadi ketua [11] Chaerul melakukan perubahan yang radikal untuk organisasinya. Pada masa jabatannya, ia menyelenggarakan Studenten Kamp, menginisiasi clubhuis (balai pertemuan), dan mengatur penerbitan media cetak Indonesia Raya sebagai organ PPPI. Di Indonesia Raya, Chaerul menerbitkan artikelnya berjudul "Verbrokkelingen" (bahasa Indonesia: "Tercerai-berai") yang membahas kurang eratnya hubungan antarpartai politik sehingga tidak mampu melaksankan tugasnya sebagai partai politik.[10] Chaerul bersama anggota PPPI lainnya menolak Petisi Soetardjo.[12] Petisi itu menyebut bahwa Indonesia diajukan untuk memiliki pemerintahan otonom kepada Ratu Wilhelmina dari Belanda, tetapi akhirnya ditolak dengan alasan pemerintah Indonesia dinilai belum matang untuk melakukan pemerintahan sendiri.[13] Petisi ini mengajukan pemerintahan otonom untuk Indonesia, tetapi tetap dalam Kerajaan Belanda layaknya dominion. Adapun Chaerul menginginkan Indonesia sebagai negara merdeka.[12]
Chairul menjadi perwakilan PPPI dalam rapat Gabungan Politik Indonesia (GAPI) pada 1940. GAPI mengusulkan Indonesia berparlemen dengan anggota yang berasal dari Indonesia dan pemerintah bertanggung jawab terhadap parlemen.[14] Untuk memperjuangkan ini, pada rapat tersebut, delegasi PPPI yang dipimpin Chaerul mengajukan mosi: bila usul Indonesia Berparlemen ditolak oleh Pemerintah Hindia Belanda, maka para anggota partai politik yang tergabung dalam GAPI akan keluar meninggalkan jabatannya sebagai pegawai Hindia Belanda. Namun, mosi itu ditolak oleh GAPI dan berakhir kepada utusan PPPI yang meninggalkan ruang rapat, tetapi masih menjadi bagian Kongres Rakyat Indonesia.[15]
Pada waktu Bataviase Studenten Corps ingin mengajukan sebuah pernyataan setia terhadap Pemerintah Hindia Belanda pada saat Kerajaan Belanda berperang melawan Jerman, Italia, Jepang pada Perang Dunia II. Mereka mengajak Unitas Studisorum Indonesiensis, Indonesisch Verbond van Studeerenden, Christen Studenten Vereeniging, Roman Catholic Students Association Saint Bellarminus, Studenten Islam Studieclub, TASHOH, dan PPPI. Satu-satunya oganisasi yang menolak ajakan ini adalah PPPI. Chaerul bersama Soepeno dan Astrawinata yang keduanya menjadi wakil ketua menyatakan tujuannya adalah kemerdekaan Indonesia dan perang yang terjadi tidak ada hubungannya dengan tujuan yang ingin mereka capai.[15] Pada 1940, masih dalam masa kepemimpinan Chaerul, mereka menyewa clubhuis (balai pertemuan) di Jalan Laan Kadiman No. 9 yang sekarang menjadi Jalan Gunung Sahari.[16]
Masa penjajahan Jepang
Pada awal pergantian kekuasaan antara Belanda dan Jepang, pimpinan PPPI berniat melakukan penyambutan terhadap tentara Jepang di Jakarta sekaligus pernyataan syukur atas kalahnya Belanda kepada Jepang sehingga berakhirnya kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda. Rencana ini dibicarakan pada 13 Maret 1942, dalam rapat anggota luar biasa di clubhuis yang telah pindah ke Gang Kernolong No. 11, Kramat, sejak awal tahun. Rencana ini mendapat penolakan pada rapat oleh Rusmali, Soedarisman Poerwokoesoemo dan Abu Hanifah karena mereka menganggap Jepang dan Belanda memiliki cara politik yang sama. Walaupun mendapat penolakan, rencana ini tetap dilaksanakan oleh Chaerul, Soepeno dan Astrawinata. Pada 15 Maret 1942, mereka berangkat bersama dengan 200 orang menuju Hotel Des Galeries melalui Simpang Harmoni dengan membawa bendera merah putih untuk menyambut kedatangan Jepang.[17] Akan tetapi, dugaan Rusmali, Poerwokoesoemo dan Hanifah ternyata benar. Tidak lama setelah itu, pada tanggal 21 Maret 1942, Jepang mengeluarkan keputusan untuk membubarkan semua organisasi yang bergerak di bidang politik.[18] Seiring surat keputusan inilah, PPPI akhirnya bubar di bawah kepemimpinan Chaerul sebagai ketua terakhir. [19]
Angkatan Baru Indonesia
Namun pergerakannya tidak langsung berhenti, dia menjadi anggota dari Jawatan Propaganda Jepang atau yang dikenal dengan nama Sendenbu.[20] Dia menjabat sebagai penasihat (sanyo) untuk Barisan Pelopor di bawah kepemimpinan Soekarno.[21] Selama bekerja untuk Jepang, Chaerul dipercaya juga memimpin kursus yang bernama Angkatan Baru Indonesia bersama Sukarni. Kursus inilah yang menjadi cikal bakal dari Asrama Angkatan Baroe Indonesia atau Asrama Menteng 31. [22] Lokasi asrama berada di Jalan Menteng No. 31, Kebon Sirih, Menteng, Jakarta Pusat yang menjadi bekas dari Hotel Schomper yang dimiliki oleh L.C. Schomper yang diambil paksa oleh pemerintah Jepang setelah kekalahan Hindia Belanda. Saat ini, gedung Asrama ini digunakan sebagai Gedung Joang 45.[23]
Asrama ini didirikan oleh Hitoshi Shimizu dan disponsori oleh Sendenbu yang awalnya diperuntukkan untuk mendidik pengetahuan politik pemuda-pemuda Indonesia demi kepentingan Jepang. Akan tetapi, kesempatan ini dimanfaatkan Chaerul dan rekan-rekannya untuk memberikan pendidikan tentang semangat nasionalisme. Anggota dari Asrama ini terdiri dari 50-60 orang setiap angkatannya.[24] Pada awalnya mereka menyusun susunan kepemimpinan asrama yang terdiri dari Soekarni sebagai ketua, Chairul sebagai wakil ketua, A.M. Hanafi sebagai sekretaris, dan Ismail Wijaya sebagai bendahara. Para pemberi materi untuk kegiatan di asrama ini terdiri dari Soekarno, Mohammad Hatta, Sunario Sastrowardoyo, Mohammad Yamin, dan Amir Syarifoeddin.[25] Selain tokoh Indonesia, beberapa tokoh dari Jepang juga memberikan materi pembelajaran seperti Bakki yang mengajarkan geopolitik, Makatani mengajar Bahasa Jepang, serta Shimizu mengajar pengetahuan umum.[26] Pada pertengahan 1943, asrama ini dibubarkan karena dianggap membahayakan Jepang akibat terlalu mengedepankan nasionalisme.[27]
Angkatan Pemuda
Pada pertengahan 1944, Pemerintah Jepang membentuk organisasi pemuda yang dikenal dengan nama Angkatan Pemuda. Dua tokoh yang menjadi bagian organisasi ini adalah Sukarni dan Chaerul.[28] Bersama Angkatan Muda, Chaerul dan rekan-rekannya mengadakan kongres Pemuda pada tanggal 16 Mei 1945 hingga 18 Mei 1945 di Villa Isola. Kongres ini merupakan hasil prakarsa dari Djamal Ali, Hamid dan M. Tahir yang bertujuan untuk mendiskusikan penurunan kekuatan militer Jepang di Asia Pasifik.[29] Kongres ini diikuti lebih dari 100 pemuda yang berasal dari beragam daerah di Pulau Jawa. Raden Mas Bambang Soeprapto Dipokoesoemo, S. Karna, Ibnu Parna, Rochyati, Sutiah dan Marthadi yang berasal dari Semarang sebagai perwakilan Angkatan Muda Republik Indonesia (AMRI), S.W. Lagiono, Poerwokoesumo, Mantoro Tirtonegoro, Adi Sumarto dan Asrar dari Gerakan Pemuda Republik Indonesia yang berasal dari Yogyakarta. Lalu, Jamal Ali, Soerjono atau yang lebih dikenal sebagai Pak Kasur, Koswara yang berasal dari Bandung. Selain Bandung, Jawa Barat juga mengikutsertakan pemuda dari Cirebon, yaitu Derajat dan Kusaeri dari Sukabumi. Jawa Timur diwakilkan oleh Soemarsono dari Surabaya sebagai bagian dari Pemuda Republik Indonesia dan dari Kediri yang diwakili oleh Handoko. Selaku pusat kepemimpinan Angkatan Pemuda, Jakarta mengirimkan peserta yang terdiri dari Zus Ratulangi, Anas Ma'ruf, Aidit, Chaerul, Kusnandar dan Sidik Kertapati. Selain utusan daerah, turut hadir Anwar Tjokroaminoto, Harsono Tjokroaminoto, Darwis Thaib serta mahasiswa dari Ika Dai Gako.[30]
Konferensi ini menjadi konferensi pertama yang menyanyikan lagu Indonesia Raya, tanpa harus menyanyikan lagu kebangsaan Jepang Kimigayo serta pengibaran bendera merah putih berkibar tanpa mengibarkan Hinomaru secara bersamaan hoho dengan merah putih.[31] Setelah 3 hari konferensi, konferensi ini pun menghasilkan dua resolusi:[32]
Semua golongan Indonesia, terutama golongan pemuda dipersatukan dan dibulatkan di bawah satu pimpinan nasional.
Dipercepatnya pelaksanaan pernyataan kemerdekaan Indonesia.
Akan tetapi, dikarenakan usaha mewujudukan kemerdekaan ini masih ada campur tangan Jepang, maka muncullah penolakan dari Chaerul, Sukarni dan Harsono. Sebagai bentuk penolakan ini, mereka merencakan konferensi lanjutan. Konferensi lanjutan dilaksanakan di gedung Jawa Hokokai yang berlokasi di Jalan Gambir Selatan No.6, Jakarta. Pada saat itu, ada 49 oramg yang berkumpul pada konferensi ini.[33] Dari 49 orang yang hadir, dipilihlah Panitia Sementara Angkatan Baru yang terdiri dari 10 orang, yaitu B.M Diah, Sukarni, Soediro, Syarief Thayeb, Harsono, Wikana, Chaerul, P. Gultom, Supeno dan Asmara Hadi. B.M Dia terpilih menjadi ketua di antara panitia sementara ini.[34] Pada tanggal 8 Juni 1945, Panitia sementara ini bertemu dengan Sukarno dan mengatakan bahwa gerakan terasa lambat dan disarankan untuk mengambi keputusan secepatnya terkait nasib Indonesia.[35]
Pada tanggal 15 Juni 1945, terbentuklah gerakan bernama Angkatan Baroe Indonesia.[36] Gerakan ini memiliki tujuan yang disebarkan pada surat kabar Asia Raja pada edisi pertengahan bulan Juni 1945:[37]
mencapai persatuan kompak di antara seluruh golongan masya rakat Indonesia.
menanamkan semangat revolusioner massa atas dasar kesadaran mereka sebagai rakyat yang berdaulat
membentuk negara kesatuan Republik Indonesia
mempersatukan Indonesia bahu-membahu dengan Jepang, tetapi jika perlu gerakan itu bermaksud untuk " mencapai kemerdekaan dengan kekuatannya sendiri.
Pada sidang Chuo Sangi In ke VII, muncul usulan untuk pembentukan organisasi yang bertujuan mengikutsertakan pemuda. Gerakan ini disebut dengan Gerakan Rakyat Baroe yang rencananya akan dibentuk pada bulan Juli 1945.[38] Kemudian, pada tanggal 2 Juli 1945, Gerakan Rakyat Baru yang mengikutsertakan Chaerul, Sukarni, Diah, Hadi , Harsono, Wikana, Sudiro, Supeno, Adam Malik , S.K. Trimurti, Sutomo dan Pandu Kartawiguna setelah disetujui oleh yang baru, Letnan Jenderal Y. Nagano sebagai Saikō Shikikan yang baru. Gerakan tersebut terdiri dari 80 orang yang berasal dari beragam latar belakang, yaitu Indonesia, Jepang, Tionghoa, Arab dan peranakan Eropa.[37]
Penolakan Chaerul Saleh terus berlanjut dalam sidang Gerakan Rakyat Baru pada tanggal 16 Juli di gedung Chuo Sangi In di Pejambon saat mebahas bentuk kenegaraan. Golongan pemuda ingin mencantumkan kata - kata “ Republik Indonesia ” , di dalam Anggaran dasar, tapi usul ini ditolak oleh golongan tua, yaitu Soekarno, Hatta, Subarjo, Yamin dan Abikusno. Sebagai bentuk protes, para pemuda secara demonstratif meninggal kan sidang satu per satu setelah menyampaikan alasan penolakan mereka yang dimulai oleh Adam Malik. Chaerul pun turut menyampaikan aspirasinya dengan berkata "
“Pemuda-pemuda menghendaki Negara Republik Kesatuan dan ingin merdeka sekarang juga! Siapa merintangi perjuangan kami, adalah penghalang dan pengkhianat!”.
Di tengah konflik, pihak Jepang mendatangi Soekarno dengan membisikkan sesuatu. Kemudian Soekarno mengatakan bahwa berdasarkan perintah Tokyo, bentuk kenegaraan tidak boleh dibicarakans elama sidang sehingga pembicaraan bentuk kenegaraan ditangguhkan. Sebagai respons kemarahan ini, para pemuda meninggakan ruangan, yaitu Chaerul, B.M. Diah , Trimurti dan pemuda lainnya, kecuali Bung Tomo dan Moewardi. [39] Pada tanggal 28 Juli 1945, Gerakan Rakyat Baru secara resmi dibentuk dengan turut serta menggabungkan Partai Masyumi dan Jawa Hokokai. Meskipun, di dalam gerakan ini, para pemuda tidak menjabat di posisi yang telah disediakan sebagai bentuk penolakan.[40]
Pada masa-masa sebelum proklamasi, rumah Chaerul di Jalan Pegangsaan Barat menjadi lokasi pertemuan para pemuda untuk berdiskusi tentang perjuangan kemerdekaan. Untuk menghindari kecurigaan Jepang, tempat tersebut disamarkan jadi tempat latihan silat. Bahkan, mereka mengundang 2 pelatih silat untuk memperkuat penyamaran ini. Kemudian, pada tanggal 12 Juli 1945, Chaerul terpilih sebagai ketua Comite Van Actie. Semenjak jadi ketua, dia sering merencanakan situasi dan siasat untuk merebut kuasa Jepang.[41]
Pada tanggal 14 Agustus 1945, Jepang menyerah kepada sekutu dengan pengumuman oleh Clement Attlee dan Harry S Truman bahwa Jepang melakukan kapitulasi yang diikuti pidato oleh Hirohito yang menyatakan " bahwa Jepang mengakhiri perlawanan".[42] Setelah pengumuman tersebut pada pukul 10 pagi, kelompok pemuda melakukan rapat di Taman Ismail Marzuki yang merupakan sebuah kebun binatang saat itu. Mereka mencapai beberapa keputusan penting: [43]
Pemuda siap berjuang sampai titik darah penghabisan.
Persatuan total dari semua unsur dalam masyarakat.
Siap menjalani latihan secara intensif untuk membela tanah air.
Langkah lanjutan yang dilakukan oleh para pemuda adalah mengadakan rapat di sebuah ruangan Lembaga Bakteriologi di Pegangsaan Timur, Jakarta yang sekarang menjadi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia pada tanggal 15 Agustus 1945 di jam 8 malam. Rapat ini menghasilkan beberapa keputusan yang dipimpin oleh Chaerul:
Mendesak Soekarno-Hatta untuk memproklamasikan kemerdekaan hari itu juga.
Menunjuk Wikana, Darwis Karimoeddin, dan Subadio untuk menemui Soekarno-Hatta dan menyampaikan keputusan rapat. Namun dengan catatan, kemerdekaan tidak diproklamasikan melalui Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)
Membagi tugas kepada mahasiswa, pelajar, dan pemuda di seluruh Jakarta untuk merebut kekuasaan dari Jepang.[44]
Rapat ini dihadiri oleh Chaerul, Djohar Nur, Kusnandar, Subadio, Soebianto Djojohadikoesoemo, Margono Djojohadikoesoemo, Wikana dan G.S. Armansjah.[45] Kemudian, Wikana dan Darwis pergi ke tempat tinggal Soekarno pada jam 10 malam untuk memberitahukan berita kapitulasi Jepang kepada Soekarno sekaligus mendesak Soekarno melakukan proklamasi segera.[46] Namun, desakan ditolak keras oleh Soekarno dengan berkata
" Inilah leherku, saudara boleh membunuh saya sekarang juga. Saya tidak bisa melepaskan tanggungjawab saya sebagai ketua PPKI. Karena itu saya tanyakan kepada wakil- wakil PPKI besok” .[47]
Keputusan rapat tersebut disampaikan oleh Wikana dan Darwis pada pukul 22.30 waktu Jawa jaman Jepang (pukul 22.00 WIB) di rumah kediaman Ir . Sukarno, Pegangsaan Timur ( sekarang jalan Proklamasi) 56, Jakarta, Tuntutan Wikana agar Proklamasi di nyatakan oleh Ir . Sukarno pada keesokan harinya telah mene gangkan suasana karena ia juga menyatakan bahwa akan terjadi pertumpahan darah jika keinginan mereka tidak dilaksanakan . Mendengar ancaman itu Ir . Sukarno menjadi marah dan melon tarkan kata- kata yang bunyinya kurang-lebih sebagai berikut: " Inilah leherku, saudara boleh membunuh saya sekarang juga. Saya tidak bisa melepaskan tanggungjawab saya sebagai ketua PPKI. Karena itu saya tanyakan kepada wakil- wakil PPKI besok” .220 Ketegangan itu disaksikan oleh tokoh- tokoh nasionalis
Chaerul merupakan salah satu tokoh penting dibalik Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Bersama Sukarni, Wikana, dan pemuda lainnya dari Menteng 31, ia menculik Soekarno dan Hatta dalam Peristiwa Rengasdengklok. Mereka menuntut agar kedua tokoh ini segera membacakan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Pada tahun 1946, Chaerul bergabung dengan Persatuan Perjuangan pimpinan Tan Malaka. Kelompok ini menuntut kemerdekaan 100% dan berdiri sebagai pihak oposisi pemerintah. Oleh karenanya pada tanggal 17 Maret 1946, beberapa tokoh kelompok ini ditangkap termasuk diantaranya Chaerul. Pada tanggal 6 Juli 1948, Tan Malaka mendirikan Gerakan Rakyat Revolusioner dan menunjuk Chaerul Saleh sebagai sekretaris pergerakan.
Pada bulan Desember 1956 sepulangnya dari Jerman, Chaerul ditunjuk oleh pemerintah untuk menjadi Wakil Ketua Umum Legiun Veteran RI. Satu tahun kemudian, ia masuk Kabinet Djuanda dan menjabat sebagai Menteri Negara Urusan Veteran. Chaerul dikenal sebagai tokoh sosialis yang cemerlang. Karena kepandaiannya itu ia beberapa kali menjadi orang kepercayaan Presiden Soekarno, dan sebagai penyeimbang tokoh-tokoh PKI di kabinet. Pada tahun 1959, ia ditunjuk sebagai Menteri Muda Perindustrian Dasar dan Pertambangan pada Kabinet Kerja I. Di kabinet berikutnya, Kabinet Kerja II dan Kabinet Kerja III Chaerul menjadi Menteri Perindustrian Dasar dan Pertambangan. Pada tahun 1960 hingga 1966, ia juga menjabat sebagai Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara.
Sebagai orang kepercayaan Soekarno, Chaerul memiliki keberanian untuk menantang lawan-lawan politiknya. Tanggal 3 April 1961, Chaerul berkeliling Sumatera Barat dan berpidato di muka umum. Ia menentang para pemimpin Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia seperti Natsir dan Syafruddin Prawiranegara, yang dianggapnya menyetujui hasil KMB.
Tahun 1963 kariernya menanjak dan ia dipercaya sebagai Wakil Perdana Menteri III. Pada bulan April 1964, Chaerul terlibat dalam intrik kekuasaan. Ia mencoba untuk menduduki posisi Wakil Perdana Menteri I yang saat itu dijabat oleh Soebandrio. Perhitungannya adalah jika Soekarno lengser maka ia yang akan naik menjadi Perdana Menteri. Untuk menyingkirkan Soebandrio dari kedudukannya sebagai Menteri Luar Negeri, ia juga akan menyodorkan Adam Malik. Selain berusaha menggeser Soebandrio, ia juga membendung Hatta yang sewaktu-waktu bisa saja naik menjadi Wakil Perdana Menteri I. Untuk itu ia menginstruksikan Selo Soemardjan untuk membentuk organisasi intelijen yang mengkonsolidasi kedudukannya. Pada masa itu selain orang-orang Murba, Angkatan Darat dan PKI juga memposisikan dirinya sebagai pengganti Soekarno.[49]
Untuk menjatuhkan wibawa PKI di mata Soekarno, pada sidang kabinet di akhir tahun 1964 Chaerul mengeluarkan sebuah dokumen yang menyatakan PKI akan melakukan kudeta terhadap Presiden. Dokumen yang berjudul "Resume Program dan Kegiatan PKI Dewasa Ini" itu, menyatakan bahwa revolusi Agustus 1945 telah gagal. Dan PKI harus mengambil tindakan untuk merebut pimpinan revolusi. Pembahasan dokumen itu terus berlanjut ke pertemuan partai politik di Bogor tanggal 12 Desember 1964. Disitu pimpinan PKI DN Aidit menuduh Chaerul telah membuat berita bohong dan sebagai antek-Nekolim. Dari pertemuan itu kemudian terbit Deklarasi Bogor yang meminta partai-partai politik untuk tetap setia kepada pimpinan besar revolusi, Soekarno.[50]
Penahanan
Dalam Gerakan 30 September, semula nama Chaerul termasuk salah seorang tokoh yang akan diculik. Namun Aidit mencoret namanya karena pada tanggal 30 September Chaerul sedang berada di Peking, China. Tanggal 18 Maret 1966, Chaerul Saleh ditahan oleh Soeharto tanpa melalui proses peradilan. Ia dianggap sebagai menteri yang mendukung kebijakan Soekarno yang pro-komunis.[50] Ia meninggal pada tanggal 8 Februari 1967 dengan status tahanan politik. Hingga sekarang tidak pernah ada penjelasan resmi dari pemerintah mengenai alasan penahanannya.[8]
Kehidupan pribadi
Pada awalnya, hubungan pernikahan Yohana dan Chaerul tidak mendapatkan restu dari orang tua Chaerul karena keluarga Yohana memiliki penyakit genetik dan merupakan anak dari Tumanggung yang mengalahkan ayahnya dalam pemilihan Voolksraad. Namun, pada akhirnya mereka berdua tetap menikah pada tahun 1940 di Jalan Kesehatan II /25.[51]
Karya
Perlawanan Rakyat Sumatera Barat terhadap Kolonialisme Belanda, 1962
^Soewito, Irna Hanny Nastoeti Hadi (1993). Chairul Saleh, tokoh kontroversial. Jakarta: Tim Penulis. hlm. 22.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Rahman, Momon Abdul; Darmansyah; Wardoyo, Kusumo; Winarti, Siti Sugi (2006). Pergerakan Mahasiswa Pada Masa Hindia Belanda(PDF). Jakarta: Museum Sumpah Pemuda. hlm. 58.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Poesponegoro, Marwati Djoenoed; Notosusanto, Nugroho (1984). Sejarah nasional Indonesia. VI. Jakarta: Balai Pustaka. hlm. 75.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)