Ali Moertopo lahir dari pasangan Raden Sutikno Kartoprawiro dan Soekati. Tanggal dan tempat lahir Ali Moertopo sebetulnya bukan 23 September 1924, pada tahun 1964 ketika akan membuat paspor ia memerintahkan anak buahnya Mayor. LB Moerdani untuk membuatkannya. Ali Moertopo tidak tahu persis, LB Moerdani lah kemudian berinisiatif untuk menuliskan tanggal 23 September 1924.[1] Ali Moertopo memiliki julukan akrab sejak kecil yaitu "Mangkyo".
Ali Moertopo sedari muda di kenal sebagai sosok yang gigih, cerdik dan fokus. Hal tersebut membuatnya telat menikah, Ali yang sering mengunjungi kerabatnya di Karanganyar, Kebumen membawanya berkenalan dengan gadis asal Klirong, Kebumen bernama Wastoeti, keduanya menikah pada 25 Mei 1956 dan di karuniai 2 orang anak, yaitu Harris Ali Moerfi (lahir pada 1959 dan meninggal pada 2010), dan Lucky Ali Moerfiqin (lahir pada 1963).[2]
Awal karier
Ali bergabung dengan BKR setelah Kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada tahun 1945. Pada dasawarsa 1950-an, Ali Murtopo ditugaskan di Kodam Diponegoro. Pada mulanya, ia adalah bagian dari pasukan Banteng Raider. Pasukan yang berada di bawah komando Ahmad Yani ini, merupakan sebuah pasukan khusus yang berupaya untuk menumpas pemberontakan Darul Islam. Pada tahun 1956, bersama dengan Yoga Soegomo, Ali mendukung Letnan Kolonel Soeharto dalam upayanya untuk menjadi Pangdam Diponegoro. Manuver ini berhasil dan Soeharto sukses mendapatkan jabatan Pangdam Diponegoro dengan pangkat kolonel. Sebagai imbalan atas dukungannya, Ali ditunjuk oleh Soeharto sebagai Asisten Teritorial.
Pada saat itu, Republik Indonesia sedang menghadapi gerakan koreksi daerah melalui PRRI dan banyak pasukan-pasukan ABRI yang dikirim ke Sumatra untuk menanggulangi gerakan ini. Ali dikirim ke Sumatra pada tahun 1959 dan ia menjabat sebagai Kepala Staf Resimen II dengan Yoga Sugama sebagai Komandan Resimennya. Pada tahun yang sama, Soeharto dicopot dari jabatan Pangdam oleh KSADAH Nasution karena terlibat kasus penyelundupan dan ditugaskan belajar di SSKAD pada tahun 1960. Setelah PRRI dikalahkan, Ali kembali ke Jawa Tengah untuk melanjutkan tugasnya dengan Kodam Diponegoro yang sekarang dipimpin oleh Pranoto Reksosamudro.
Setelah Soeharto menyelesaikan pendidikan di SSKAD, ia ditarik ke Jakarta dan menjabat sebagai Deputi I KSAD (Operasi). Pada saat inilah, Ali bergabung lagi dengan atasannya yang lama itu. Pada waktu yang sama Soeharto juga dipercaya oleh Nasution untuk membentuk CADUAD (Cadangan Umum Angkatan Darat) dan setelah satuan tempur tersebut dibentuk, Soeharto ditunjuk sebagai Panglima CADUAD dengan pangkat Brigadir Jenderal. Sekali lagi, Ali menjadi bawahan Soeharto dengan jabatan sebagai Asisten Kepala Staf CADUAD .
Orde Baru
Ali berperan besar dalam melakukan modernisasi intelejen Indonesia. Ia terlibat dalam operasi-operasi intelejen dengan nama Operasi Khusus (Opsus) yang terutama ditujukan untuk memberangus lawan-lawan politik pemerintahan Soeharto.
Pada tahun 1968, Ali menggagas peleburan partai-partai politik, yang saat itu sangat banyak jumlahnya, menjadi beberapa partai saja agar lebih mudah dikendalikan. Hal ini kemudian terwujud pada tahun 1973 sewaktu semua partai melebur menjadi tiga partai: Golkar, PPP (penggabungan partai-partai berbasis Islam), dan PDI (penggabungan partai-partai berbasis nasionalis).
^Departemen Dalam Negeri, Indonesia (1976). Mimbar. Indonesia: Departemen Dalam Negeri. hlm. 29.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Administrator (1984-12-22). "Menerima penghargaan". Tempo (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2023-05-30.