Phra Buddha Yotfa Chulaloke (1736 - 1809; terlahir dengan nama Thongduang) adalah pendiri dan raja pertama dinasti Chakri di Siam (kini Thailand) tahun 1782. Gelar lengkap nya dalam Bahasa Thai adalah Phra Bat Somdet Phra Paramoruracha Mahachakkriborommanat Phra Phutthayotfa Chulalok (bahasa Thai: พระบาทสมเด็จพระปรโมรุราชามหาจักรีบรมนารถ พระพุทธยอดฟ้าจุฬาโลก). Ia mulai bertakhta pada tahun 1782, setelah mengalahkan Raja Taksin dari Thonburi dalam sebuah pemberontakan. Ia juga dianggap sebagai pendiri Rattanakosin (kini Bangkok) sebagai ibu kota baru kerajaan yang telah disatukan kembali.
Rama I lahir dari keturunan Suku Mon. Dari jalur ayahnya ia adalah cicit dari Kosa Pan, seorang diplomat Siam. Ayahnya bekerja di pengadilan Kerajaan Ayutthaya, dan membantu Raja Taksin dalam peperangan melawan Dinasti Konbaung dari Burma dan membantunya menyatukan Siam. Selama waktu tersebut ia muncul sebagai pemimpin militer Siam paling kuat. Thongduang adalah Somdet Chao Phraya pertama, gelar ini adalah yang paling tertinggi yang bisa diraih. Pada tahun 1782, ia mengambil alih Siam dan memahkotai dirinya sebagai Raja. Peristiwa paling terkenal dalam kekuasaannya adalah Perang Burma-Siam tahun 1785.
Nama
Sama seperti tokoh terkemuka lainnya di Siam kuno, Rama I beberapa kali berganti nama sepanjang hidupnya, dari posisi-posisi yang telah ia raih dan jabat atau nama yang secara anumerta diberikan kepadanya. Ia lahir dengan nama Thongduang (atau dieja Thong Duang ทองด้วง), nama keluarga belum digunakan di Siam pada masa itu.
Saat Thongduang menjabat sebagai deputi gubernur Provinsi Ratchaburi selama kekuasaan Raja Ekkathat dari Ayutthaya, ia menyandang gelar LuangYokkrabat. Saat Kerajaan Ayutthaya berakhir, Raja Taksin memberinya gelar Phra Ratcharin Chao Krom Phra Tamruat (kepala Departemen Kepolisian), Phraya Aphaironnarit,[1]Phraya Yommarat, Phraya Chakri dan Chaophraya Chakri (Mentri wilayah-wilayah Utara). Terakhir, Raja Taksin memberinya gelar Somdet Chaophraya Maha Kasatsuek, gelar tertinggi yang belum ada orang lain yang menyandangnya, membuatnya memperoleh status ko-raja.
Saat ia menjadi raja pada tahun 1782, ia memakai nama Ramathibodi, sama seperti nama pendiri Kerajaan Ayutthaya. Gelar lengkapnya menjadi (Phra Borommarachathirat Ramathibodi Sisin Borommaha Chakkraphat Rachathibodin etc.), yang dimaksudkan untuk menunjukkan kekuatan seperti Raja-Raja Siam sebelumnya.
Sepeninggalnya, ia diingat dengan nama Phaendin Ton ("kekuasaan pertama"), sama seperti anaknya yang disebut Phaendin Klang ("kekuasaan pertengahan"). Secara aturan maka, cucunya Raja Rama III akan disebut "kekuasaan terakhir". Maka untuk menghilangkan gelar yang tidak sesuai kenyataannya ini, ia mendonasikan dua patung Budha yang diletakkan di samping Buddha Zamrud di Wat Phra Kaeo yang didedikasikan untuk ayah (Rama II) dan kakeknya (Rama I). Dan ia bertitah untuk menyebut dua pendahulunya tersebut dengan nama patung Budha tersebut. Satu patung didedikasikan untuk Rama I sebagai Raja Dinasti Chakri pertama dengan nama Phra Phutthayotfa Chulalok atau Buddha Yodfa Chulaloke ("sang Buddha yang berkedudukan di atas langit dan mahkota dunia-dunia"). Nama inilah yang digunakan di buku pelajaran sejarah Thailand.[2]
Raja Vajiravudh (Rama VI) yang menjalani studi di Inggris, menyadari bahwa nama-nama Raja Siam sangat sulit diingat oleh kalangan Barat. Ia lalu mengubah penggunaan nama raja-raja Dinasti Chakri dengan nama Rama dan dilengkapi dengan nomor yang berurutan. Lalu, Raja Buddha Yodfa Chulaloke mendapat nama Rama I di literatur Barat. Pada tahun 1982, memperingati 200 tahun naik takhta, kabinet pemerintahan Thailand memutuskan memberinya gelar Maharat ("yang Agung").
Kehidupan awal
Aristokrat Ayutthaya
Thongduang lahir pada tahun 1737 pada masa kekuasaan Raja Boromakot dari Ayutthaya. Ayahnya adalah Thongdi, seorang bangsawan Mon yang bekerja di istana kerajaan dengan gelar Phra Akson Sunthonsat (Sekretaris Kerajaan Siam Utara, Penjaga Panji Kerajaan) (secara anumerta diberi gelar Somdet Phra Prathom Borommahachonnok – "kakek purba"). Phra Akson Sunthonsat juga keturunan Kosa Pan, pemimpin delegasi Raja Narai ke Istana Prancis.[3][4] Ibunya, Daoreung (memiliki nama asli Yok), adalah keturunan Tionghoa.[5][6][7] Thongduang memiliki 6 saudara.
Thongduang memasuki Istana Kerajaan pada saat kekuasaan Raja Uthumphon, di mana saat itu ia bertemu kawan masa kecilnya Taksin. Pada tahun 1757, saat ia berumur 21, ia menjadi biksu untuk sementara waktu sesuai dengan adat Siam. Pada tahun 1760, ia menikahi Nak, anak dari patron lokal di Samut Sakorn. Ia lalu ditunjuk menjadi Luang Yokkrabat (deputi gubernur) Provinsi Ratchaburi oleh Raja Ekkathat pada tahun 1758.
Di bawah kekuasaan Raja Taksin
Pada masa kejatuhan Kerajaan Ayutthaya, Phraya Wachiraprakan (kemudian menjadi Raja Taksin) telah melihat bahwa kejatuhan ini tidak dapat dihindarkan. Wachiraprakan memutuskan memindahkan benteng kerajaan ke lokasi baru. Phraya Ratchaburi juga bergabung dalam pemindahan ini. Pada tahun 1767, Ayutthaya yang dipimpin Raja Ekkathat benar-benar ditaklukkan oleh Burma, seluruh kota terbakar, hancur dan isinya dijarah. Pemimpin perang lokal lalu muncul untuk membentuk kedudukan mereka karena ketidakhadiran kekuasaan pusat.
Selama masa itu Phraya Ratchaburi menjadi salah satu dari enam menteri Raja Taksin[8] dan bersama dengan Phraya Pichai mereka digelari Raja sebagai dua jenderal paling terkemuka.
Pemimpin Militer
Setelah itu Taksin merancang rencana strategis untuk merebut kembali Ayutthaya dalam satu tahun. Pada tahun 1768 Taksin memahkotai dirinya sendiri dan mendirikan Kerajaan Thonburi di tepi barat Sungai Chao Phraya dan menjadikan Thonburi sebagai ibu kota baru. Dalam masa Thonburi ini, Thongduang ditunjuk sebagai kepala kepolisian kerajaan, yang menyandang gelar Phra Ratcharin. Bersama dengan Bunma (saat itu bernama Phra Mahamontri, kemudian menjadi Maha Sura Singhanat) Ia menaklukan pasukan Phimai (seorang pimpinan perang), ia dinaikkan gelarnya menjadi Phraya Aphairanarit.
Setelah kampanye perang untuk menaklukan pasukan Lord Fang pada tahun 1769, Thongduang dinaikkan gelarnya menjadi Phraya Yommarat dan tahun berikutnya menjadi Chao Phraya Chakri – sang Samuhanayok (menteri senior untuk provinsi-provinsi di utara). Chakri memimpin pasukan Siam untuk berperang melawan Burma dan menaklukan Kamboja. Bunma yang merupakan saudaranya (saat itu bergelar Phraya Anuchit Raja), menemaninya pada beberapa kampanye. Chakri dan saudaranya itu dikirim ke Lan Na pada tahun 1774 untuk membebaskan kerajaan dari kekuasaan Burma dengan dibantu oleh Phraya Kawila, seorang pangeran dari Lampang. Pada tahun 1776, ia menaklukan Khmer Pa Dong (daerah sekitar Provinsi Surin). Ia juga memimpin tugas menaklukkan kerajaan-kerajaan Laos, di mana tahun 1778 tiga kerajaan (Vientiane, Luang Prabang dan Champasak) dapat ditaklukkan oleh Siam. Ia lalu dinaikkan gelarnya menjadi Somdet Chao Phraya Maha Kasatsuek, satu-satunya yang menjabat gelar ini.
Menjadi Raja
Pada tahun 1781, ia memimpin pasukan melawan Kamboja, hanya sesaat sebelum adanya ketidak stabilan di Thonburi. Pemberontakan Phraya Sun pecah untuk menggulingkan Raja Taksin. Beberapa sumber menyebutkan Raja Taksin diasingkan ke sebuah biara Budhha. setelah tiba pada 1782, Chao Phraya mengalahkan Phraya Sun dengan pasukannya. Ia lalu menggulingkan dan mengeksekusi Taksin dan meraih kekuatan untuk menjadikannya raja. Ia lalu mendirikan Dinasti Chakri, yang memerintah Thailand hingga hari ini.
Jenderal Maha Kasatsuek memahkotai dirinya sendiri pada 6 April 1782. Segera setelah itu, ia memindahkan ibu kota Siam ke tepi timur Sungai Chao Phraya karena beberapa alasan, termasuk posisi strategisnya dan keinginan meraih kekuatan dari daerah baru. Ia menamai ibu kota barunya dengan nama "Rattanakosin" ("Tempat Buddha Zamrud dijaga"). Rama I juga menjadikan anggota keluarganya menjadi kerabat kerajaan. Ia menunjuk saudaranya Surasi (Bunma atau Anuchit Raja) atau Maha Sura Singhanat sebagai "Istana Depan" (gelar untuk wali raja) dan keponakannya Thong-In atau Anurak Devesh sebagai Istana Belakang.
Raja Rama I memiliki 42 anak. Sepuluh diantaranya lahir dari permaisuri Ratu Amarinda, dan yang lain dilahirkan dari selir-selir. Anak dari Ratu Amarindra termasuk diantaranya Pangeran Isarasundhorn, kemudian menjadi Raja Buddha Loetla Nabhalai (Rama II) (yang ditunjuk raja menjadi Istana Depan menggantikan Maha Sura Singhanat setelah kematiannya pada 1803), Pangeran Maha Senanurak dan Pangeran Maha Sakdi Polsep.
Pada periode 1784–1785, Penguasa Nguyễn terakhir, Nguyễn Ánh, membuat Rama I menyerang Vietnam, yang kala itu berada dalam kekuasaan Tây Sơn bersaudara. Namun, pasukan gabungan Nguyễn-Siam ini dihancurkan dalam Pertempuran Rach Gam–Xoai Mut di Delta Mekong. Keinginan Nguyễn untuk mendapat bantuan Siam membuat Siam mampu merebut pengaruh politik istana Nguyễn. Mac Tu Sinh, anak dari Mạc Thiên Tứ dan istri Siamnya ditunjuk menjadi Gubernur Hà Tiên hingga kematiannya pada tahun 1787. Ngo Ma, seorang jenderal keturunan Siam, ditunjuk menjadi pejabat gubernur mengantikan Mac.[9] Nguyễn Ánh juga menampung pengungsi dari Siam di istana raja sambil menunggu kesempatan untuk menaklukan Tây Sơn. Hal ini menunjukkan keinginan Rama I untuk memperluas daerah kekuasaannya.
Di Kamboja, Raja Reamraja (Ang Non II) digulingkan pada tahun 1779 dan takhtanya diberikan kepada pangeran muda Ang Eng. Namun, para bangsawan pro-Vietnam dibawah Ang Eng membuat Raja Rama I bereaksi. Sebagai hasilnya, Rama I membawa Ang Eng ke Bangkok dan mengadopsinya sebagai anak dengan tujuan meningkatkan sentimen pro-Siam di sana. Raja Rama juga mengangkat Chao Phraya Abhaya Bhubet sebagai Penguasa Kamboja.
Nguyễn Ánh secara diam-diam meninggalkan Vietnam pada tahun 1787, meninggalkan Rama I sebuah catatan. Nguyen menaklukkan Saigon pada tahun 1788 dan kemudian naik takhta menjadi Kaisar Gia Long pada 1802.[10] (Thai; Phrachao Vietnam Ya Long)
Pada tahun 1794, Rama I menjadikan dirinya menjadi Narairaja III dari Kamboja. Wilayah di sekitar Siemreap dan Battambang ditaklukkan oleh Siam, dan menaruh Abhaya Bhubet sebagai gubernur disana. Namun, Rama I memperbolehkan wilayah ini diperintah berdasarkan tradisi Kamboja.
Raja Bodawpaya dari Burma mulai mengejar ambisinya untuk memperluas dominasi ke Siam. Perang Burma-Siam (1785–1786), yang dikenal di Siam dengan nama Perang Sembilan Pasukan karena Burma datang dalam sembilan pasukan pecah. Pasukan Burma datang memenuhi Lanna dan Siam Utara. Pasukan Siam yang dikomandoi oleh Kawila, Pangeran Lampang, melakukan pertarungan yang berani untuk menunda tekanan Burma, dan menunggu bantua kekuatan dari Bangkok. Saat Phitsanulok tertangkap, Anurak Devesh sang Istana Depan dan Rama I sendiri memimpin Pasukan Siam ke Utara.
Di Selatan, Bodawpaya menunggu di Chedi Sam Ong dan siap untuk menyerang. Sang Istana Depan diperintahkan memimpin pasukannya ke selatan untuk menhadang Burma yang hendak menuju ke Ranong melewati Nakhon Si Thammarat. Ia lalu melakukan pertempuran melawan Burma di Kanchanaburi. Burma juga menyerang Thalang (Phuket), di mana disana gubernurnya baru saja meninggal. Chan, istri gubernur, dan saudaranya Mook mengumpulkan warga lokal dan sukses mempertahankan Thalang dari Burma. Chan lalu ditetapkan sebagai pahlawan berkat aksi heroiknya mempin pasukan melawan invasi Burma. Rama I lalu memberikan gelar kepada mereka Thao Thep Kasattri dan Thao Sri Sunthon.
Burma juga ingin menaklukan Songkhla. Mendengar berita tersebut, Gubernur Phatthalung pergi untuk menghadang. Seorang biksu bernama Phra Maha mendorong warga untuk mengangkat senjata melawan Burma, kampanyenya sukses dan Phra Maha diberikan gelar bangsawan oleh Rama I.
Saat pasukannya hancur, Bodawpaya mundur. Tahun berikutnya, ia melakukan serangan lagi. Kali ini ia membentuk pasukannya hanya satu saja. Saat Pasukan Bodawpaya melewati Chedi Sam Ong dan berhenti di Tha Din Daeng. Istana Depan memimpin pasukan untuk menghadapi Bodawpaya. Pertempuran yang terjadi sangat pendek karena Bodawpaya dengan mudah dikalahkan. Perang yang pendek ini disebut Pertempuran Tha Din Daeng.
Gelar dan Gaya
1737–1758: Nai Thongduang (นายทองด้วง)
1758–1768: Luang Yokkrabat dari Ratchaburi (หลวงยกกระบัตรเมืองราชบุรี)
Secara anumerta diberikan oleh Raja Nangklao (Rama III) sebagai: Phra Bat Somdet Phra Phutthayotfa Chulalok (พระบาทสมเด็จพระพุทธยอดฟ้าจุฬาโลก)
Secara anumerta diberikan oleh Raja Mongkut (Rama IV) sebagai: Phra Bat Somdet Phra Paramoruracha Mahachakkriborommanat Phra Phutthayotfa Chulalok (พระบาทสมเด็จพระปรโมรุราชามหาจักรีบรมนารถ พระพุทธยอดฟ้าจุฬาโลก)
Secara anumerta diberikan oleh Raja Vajiravudh (Rama VI) sebagai: Phra Bat Somdet Phra Ramadhibodi Srisindra Maha Chakri Borommanath Phra Phutthayotfa Chulalok (พระบาทสมเด็จพระรามาธิบดีศรีสินทรมหาจักรีบรมนารถ พระพุทธยอดฟ้าจุฬาโลก)
Secara anumerta diberikan oleh Raja Vajiravudh (untuk kalangan mancanegara) sebagai: Rama I
Secara anumerta diberikan oleh Pemerintah Thailand pada 1982 sebagai: Phra Bat Somdet Phra Phutthayotfa Chulalok Maharat (พระบาทสมเด็จพระพุทธยอดฟ้าจุฬาโลกมหาราช)
Kematian dan peninggalan
Raja Rama I meninggal pada 7 September 1809 setelah mengalami sakit keras,[11] Ia digantikan oleh putranya Panegran Isarasundhorn sebagai Buddha Loetla Nabhalai atau Rama II.
Siam selama kekuasaan Rama I meraih kekuatan yang lebih besar dari masa manapun sejak abad ke-16. Secara militer Siam dapat dengan sukses mengusir invasi Burma dan meraih kekuasaan di Laos, Kamboja dan Vietnam. Rama I juga mendorong pengusahaan budaya dengan melakukan rehabilitasi kepada masyarakat yang terdampak berbagai perang. Ia juga membangun beberapa kuil-kuil dan monumen selama masa kekuasaannya. Seluruh kebijakannya menjadi pondasi kebijakan Siam untuk beberapa dekade berikutnya.
Referensi
^Klaus Wenk (1968). The restoration of Thailand under Rama I, 1782–1809. The University of Arizona Press. hlm. 3.
^Sulak Sivaraksa (1985). Siamese Resurgence: A Thai Buddhist Voice on Asia and a World of Change. Asian Cultural Forum on Development. hlm. 175.