Antiokhos III yang Agung, (YunaniἈντίoχoς Μέγας; ca. 241–187 SM) adalah Raja Diraja (Kaisar) Iran dari Dinasti Seleukia, berkuasa pada 223-187 SM. Dia mewarisi takhta dari saudaranya, Seleukos III Keraunos. Sepeninggalnya, takhta diwariskan pada putranya, Seleukos IV Philopator.
Naik takhta pada usia muda, Antiokhos adalah penguasa yang ambisius. Meskipun usaha awalnya dalam peperangan melawan Kerajaan Ptolemaik tidak berhasil, penaklukan pada tahun-tahun berikutnya membuktikan bahwa Antiokhos adalah penguasa Seleukia paling berhasil setelah Seleukos I sendiri.
Riwayat hidup
Antiokhos III adalah anggota dinasti Seleukia.[1][2][3][4] Ayahnya adalah Seleukos II, raja Dinasti Seleukia yang berkuasa pada 246–225 SM. Ibunya adalah Laodike yang berasal dari keluarga bangsawan berpengaruh di kawasan Anatolia. Antiokhos III lahir sekitar 242 SM di dekat Susa di Persia.[5] Kakak laki-lakinya, Seleukos III, adalah raja Dinasti Seleukia yang berkuasa pada 225–223 SM. Nama lahirnya mungkin bukan Antiokhos, kemungkinan dimulai dengan Ly-, menurut kronik Babilonia. Setelah Seleukos III mangkat, dia menjadi kaisar dengan nama takhta Antiokhos. Antiokhos III berada di Babil pada saat pembunuhan Seleukos III.[6]
Antiokhos naik tahta ketika berusia 18 tahun, dengan keadaan negara yang tidak teratur. Tidak hanya Asia Kecil lepas dari kendali pusat, tetapi provinsi paling timur telah memisahkan diri, yakni Baktria di bawah Diodotos I, juga Parthia di bawah Andragoras yang kemudian dikalahkan oleh kepala suku pengembara Arsakes. Pada 222 SM, wilayah Media dan Persia memberontak di bawah gubernur mereka, Molon dan Aleksander bersaudara. Di bawah pengaruh menteri Hermeias, Antiokhos III memimpin serangan ke Syria yang dikuasai Dinasti Ptolemaik alih-alih pergi sendiri untuk menghadapi pemberontak. Serangan terhadap Syria terbukti gagal, dan para jenderal yang dikirim untuk melawan Molon dan Aleksander menemui kegagalan. Hanya di Asia Kecil, pasukan Seleukia di bawah pimpinan sepupu Antiokhos III bernama Akhaios berhasil meraih kemenangan dengan mendorong kekuatan Pergamum kembali ke batas awalnya.[7]
Pada tahun 221 SM, Antiokhos pergi ke timur jauh, dan pemberontakan Molon dan Aleksander runtuh yang menurut Polybios sebagian karena mengikuti nasihat Zeuxis daripada Hermeias. Media Bawah yang sempat menyatakan kemerdekaannya di bawah kepemimpinan Artabazanes juga berhasil ditaklukkan kembali. Antiokhos menyingkirkan Hermeias dengan pembunuhan diam-diam dan kembali ke Suriah (220 SM). Sementara itu, Akhaios sendiri telah memberontak dan menyatakan diri sebagai raja di Asia Kecil. Namun, karena tidak cukup kuat untuk memungkinkan serangan ke Suriah, Antiokhos membiarkan Akhaios untuk sementara waktu dan memperbarui usahanya untuk menundukkan Suriah yang berada di bawah kekuasaan Ptolemaik Mesir.[7]
Kampanye tahun 219 SM dan 218 SM membawa pasukan Seleukia hampir ke batas Kerajaan Mesir, tetapi Ptolemaios IV Philopator kemudian mengalahkan Antiokhus di Pertempuran Rafah pada tahun 217 SM. Kekalahan ini membatalkan semua keberhasilan Antiokhos dan memaksanya mundur ke utara Lebanon. Pada 216 SM, pasukan Antiokhos bergerak menuju Anatolia barat untuk menekan pemberontakan lokal yang dipimpin oleh Akhaios dan berhasil mengusirnya pada tahun 214 SM ke Sardis. Akhaios kemudian ditangkap dan dieksekusi. Benteng Sardis sendiri masih bertahan di bawah kepemimpinan janda Akhaios, Laodike dari Pontos, sebelum akhirnya juga ditaklukkan pihak Antiokhos pada 213 SM.[7]
Setelah merebut kembali bagian tengah Asia Kecil (karena pemerintah Seleukia terpaksa menoleransi kekuasaan beberapa dinasti di Pergamum, Bitinia, dan Kapadokia), Antiokhos beralih untuk memulihkan provinsi-provinsi terpencil di utara dan timur. Dia mengepung Xerxes dari Armenia pada 212 SM yang menolak membayar upeti dan memaksanya untuk menyerah.[8] Pada 209 SM, Antiokhos menyerbu Parthia dan menduduki ibu kota Hekatompylos, kemudian maju ke Hirkania dan memenangkan Pertempuran Gunung Labus. Raja Parthia Arsak II ternyata berhasil mengajukan perdamaian.[7]
Pada tahun 20 SM di Baktria, Antiokhos berhasil menumbangkan pemberontakan Euthydemus I dalam Pertempuran Arius.[9] Namun Euthydemus kemudian mendapat perdamaian kehormatan dari Antiokhos. Bahkan Antiokhos menjanjikan menikahkan putrinya sendiri, Laodike, dengan putra Euthydemus, Demetrios.[7][10]
Mengikuti jejak Aleksander Agung, Antiokhos kemudian menyeberang ke lembah Kabul, mencapai wilayah raja India Subhagasena (Sophagasenus) dan kembali ke barat melalui Sistan dan Kerman.[7]
Dari kota Seleukia di Tigris, Antiokhos memimpin ekspedisi singkat ke Teluk Persia melawan penduduk Gerra di pantai Arab (205/204 SM). Antiokhus tampaknya telah memulihkan wilayah Seleukia di timur sehingga dia digelari "Yang Agung" (Megas). Pada tahun 205/204 SM, Ptolemaios V Epifanis yang masih berusia sekitar lima tahun naik takhta Mesir. Antiokhos dikatakan (terutama oleh Polybius) telah menandatangani perjanjian rahasia dengan Raja Makedonia Filipus V untuk membagi kekuasaan Ptolemaios untuk mereka berdua.[7] Di bawah ketentuan pakta ini, Makedonia akan menerima kawasan sekitar Laut Aegea dan Kirene, sementara Antiokhos akan mencaplok Siprus dan Mesir.
Antiokhos kembali menyerang Koile Suriah dan Fenisia dan mengambil alih kepemimpinan kawasan tersebut pada tahun 199 SM. Penguasa Aitolia, Skopas, sempat merebutnya kembali untuk Ptolemaios. Namun itu adalah perebutan yang singkat lantaran Antiokhos mengalahkan Skopas dalam Pertempuran Panium pada 198 SM, dekat sumber-sumber Sungai Yordan, suatu pertempuran yang menandai berakhirnya kekuasaan Dinasti Ptolemaik di Palestina.[7]
Ia menyebut diri sendiri "pemenang kemerdekaan Yunani atas dominasi Romawi" saat berperang melawan Republik Romawi di tanah Yunani pada musim gugur tahun 192 SM.[11][12] Namun pada tahun 191 SM, tentara Romawi di bawah pimpinan konsul Manius Acilius Glabrio mengalahkannya dalam Perang Thermopylae dan memaksanya mundur ke Asia Kecil. Tentara Romawi terus menyerang Anatolia, dan kemenangan telak Scipio Asiaticus dalam Pertempuran di Magnesia ad Sipylum (190 SM), setelah kalahnya Hannibal di laut dekat Side, membuat Republik Romawi menguasai Asia Kecil seluruhnya.
Berdasarkan "Perjanjian Apamea" (188 SM) raja Seleukia harus angkat kaki dari wilayah di utara pegunungan Taurus, yang diberikan oleh Republik Romawi kepada sekutu-sekutunya di sana. Akibat kekalahan ini, provinsi-provinsi di perbatasan luar Kerajaan Seleukia mulai melepaskan diri. Antiokhos melancarkan serangan baru ke bagian timur di Luristan, di mana ia gugur ketika menyerang sebuah kuil dewa Bel di Elymaïs, Persia, pada tahun 187 SM.[12]
Keluarga
Pada tahun 222 SM, Antiokhos III menikah dengan Laodice III dari Pontus, putri raja Mithridates II dari Pontus dan Laodice II. Pasangan ini adalah saudara sepupu dari kakek yang sama, Antiokhos II Theos. Antiokhos dan Laodice mempunyai 8 anak (3 putra dan 5 putri):
Antiokhos (221 - 193 BC), putra mahkota dan raja bersama ayahnya dari tahun 210 - 193 SM
Laodice III mati sekitar tahun 191 SM. Kemudian pada tahun yang sama, Antiokhos III menikah lagi dengan Euboea dari Chalcis. Mereka tidak mempunyai anak.[13]
Hubungan dengan orang Yahudi
Antiokhos III menempatkan 2000 keluarga Yahudi dari Babel ke daerah berkebudayaan Yunani di Lydia dan Phrygia.[14] Sejarawan Flavius Yosefus menggambarkannya berlaku baik terhadap orang Yahudi dan menghargai kesetiaan mereka kepadanya dengan menurunkan pajak serta membiarkan mereka hidup "menurut hukum nenek moyang mereka".[15] Berlawanan sekali dengan putranya, Antiokhos IV, yang menindas orang Yahudi, menghina Bait Allah dan menyebabkan pemberontakan Makabe yang menjadi asal mula peringatan Hanukkah.
^Baskin, Judith R.; Seeskin, Kenneth (2010). The Cambridge Guide to Jewish History, Religion, and Culture. Cambridge University Press. hlm. 37. ISBN978-0-521-68974-8. The wars between the two most prominent Macedonian Generals dynasties, the Ptolemies of Egypt and the Seleucids of Syria, unalterably change the history of the land of Israel…As a result the land of Israel became part of the empire of the Syrian Greek Seleucids.
^Glubb, Sir John Bagot (1967). Syria, Lebanon, Jordan. Thames & Hudson. hlm. 34. OCLC585939. Although the Ptolemies and the Seleucids were perpetual rivals, both dynasties were Macedonian and ruled by means of Macedonian officials and Macedonian soldiers. Both governments made great efforts to attract immigrants from Macedonia and Greek city states, thereby adding yet another racial element to the population.
^Jonsson, David J. (2005). The Clash of Ideologies. Xulon Press. hlm. 566. ISBN978-1-59781-039-5. Antiochus III was born in 242 BC, the son of Seleucus II, near Susa, Persia.
^Whitehorne, John Edwin George (1994). Cleopatras. Routledge. hlm. 84. ISBN9780415058063. ...pada musim gugur tahun 192 SM mereka mendengar bahwa Antiokhos III telah menyeberang ke Yunani dengan tentaranya dan menyatakan diri sebagai pemenang kemerdekaan Yunani atas dominasi Romawi.
^ abWilson. Nigel Guy (2006). Encyclopedia of ancient Greece. Routledge. hlm. 58. ISBN9780415973342. ANTIOCHUS III THE GREAT c242-187 BC Seleucid king Antiochus III the Great was the sixth king (223-187 BC) … Antiochus landed on the mainland of Greece posing as a champion of Greek freedom against the Romans (192 BC).
^Eerdmans Dictionary of the Bible. Amsterdam University Press. 2000. hlm. 61. ISBN9789053565032. Jewish settlements in the interior of Asia Minor were known as early as the 3rd century BCE when Antiochus III resettled 2000 Jewish families from Babylonia into Lydia and Phrygia
Rawlings, Hunter R. (1976). "Antiochus the Great and Rhodes, 197-191 BC". American Journal of Ancient History. 1: 2–28.
Sherwin-White, Susan; Kuhrt, Amélie (1993). From Samarkhand to Sardis: A New Approach to the Seleucid Empire. Berkeley: University of California Press.