Lebanon adalah republikparlemendemokratis dengan kerangka konfesionalisme, salah satu bentuk konsosiasionalisme yang merupakan pembagian kekuasaan, tetapi di Lebanon berdasarkan agama tertentu. Konstitusi memberikan rakyat hak untuk mengubah pemerintah mereka. Namun, dari pertengahan 1970-an sampai pemilihan parlemen tahun 1992, perang saudara menghalangi pelaksanaan hak-hak politik tersebut. Menurut konstitusi, pemilu untuk parlemen harus diadakan setiap 4 tahun. Pemilihan parlemen terakhir diadakan pada tahun 2009.[1]Parlemen kemudian akan memilih Presiden setiap 6 tahun untuk satu periode. Presiden tidak dapat mencalonkan kembali pada pemilihan berikutnya. Pemilihan presiden terakhir diadakan pada tahun 2008. Presiden dan parlemen memilih Perdana Menteri. Partai politik dapat dibentuk; sebagian besar berdasarkan pada kepentingan sektarian. Tahun 2008 menjadi sebuah perubahan signifikan pada konstelasi politik Lebanon ketika Perjanjian Doha memperbolehkan oposisi menggunakan hak veto pada Dewan Menteri Lebanon dan meneguhkan konfesionalisme sebagai sarana pembagian kekuasaan.
Perkembangan politik sejak 1943
Sejak munculnya negara setelah kehancuran Kesultanan Utsmaniyah, kebijakan nasional sebagian besar ditentukan oleh kelompok tradisional daerah dan pemimpin sektarian. Pakta Nasional 1943, kesepakatan tidak tertulis yang berisi dasar politik Lebanon modern, mengatur kekuasaan politik dengan sistem konfesional berdasarkan sensus tahun 1932. Kursi di parlemen dibagi antara Kristen dan Muslim dengan rasio 6:5, sampai tahun 1990 ketika rasio berubah menjadi 1:1. Pakta ini juga membagi jabatan di pemerintahan sesuai dengan agama, dengan tiga pejabat tertinggi sebagai berikut:
Usaha untuk menggantikan atau menghapuskan sistem konfesional mengenai pembagian kekuasaan telah menjadi perdebatan di Lebanon selama beberapa dekade. Beberapa kelompok agama yang diuntungkan dengan formula tahun 1943 memilih untuk mempertahankannya, sementara yang dirugikan menginginkan untuk diubah sesuai dengan data demografi terbaru atau dihapuskan sepenuhnya. Walau demikian, poin-poin yang terdapat pada Pakta Nasional dikodifikasikan pada Perjanjian Ta'if 1989, meneguhkan sektarianisme sebagai elemen penting dalam politik Lebanon.
Meskipun kekuasaan presiden telah berkurang pada Perjanjian Ta'if, Konstitusi tetap memberikan Presiden kewenangan yang kuat. Presiden memiliki kewenangan untuk menetapkan undang-undang yang disahkan oleh Parlemen, untuk mengeluarkan pertaturan tambahan mengenai pelaksanaan undang-undang, dan untuk meratifikasi perjanjian.
Anggota parlemen dipilih oleh seluruh warga berusia tidak kurang dari 21 tahun[2] berdasarkan sistem mayoritas untuk berbagai kelompok konfesional. Terdapat upaya untuk mengubah sistem menjadi perwakilan proporsional yang lebih dapat akurat untuk memberikan perwakilan kelompok politik dan lebih memungkinkan untuk kelompok minoritas didengar. Sebagian besar anggota parlemen tidak mewakilkan partai politik eperti di negara Barat, dan jarang membentuk blok politik ala Barat di Parlemen. Blok politik biasanya didasarkan pada kepentingan agama dan daerah dan bukan pada ideologi politik.
Parlemen memainkan peran penting dalam urusan keuangan, karena memiliki tanggung jawab untuk menetapkan pajak dan mengesahkan anggaran. Parlemen juga memiliki kontrol politik atas kabinet melalui pertanyaan formal kepada menteri mengenai masalah kebijakan.
Sistem peradilan Lebanon didasarkan pada Undang-undang Napoleon. Sistem peradilan Lebanon memiliki tiga tingkat—pengadilan tingkat pertama, pengadilan tingkat banding, dan pengadilan kasasi. Ada juga sistem pengadilan agama yang memiliki yurisdiksi atas status pribadi, misalnya, aturan tentang hal-hal seperti pernikahan, perceraian dan warisan.
Lembaga politik Lebanon sering memainkan peran sekunder yang didasarkan kepentingan golongan tertentu terutama agama. Keluarga berpengaruh juga memainkan peran dalam memobilisasi suara bagi pemilihan parlemen. Meskipun demikian, sejumlah partai politik, ada di Lebanon, bahkan lahir sebelum kemerdekaan. Partai terbesar umumnya berideologi agama. Gerakan Patriotik Kebebasan, Partai Kataeb, juga dikenal sebagai Partai Falangis, Blok Nasional, Partai Liberal Nasional, Pasukan Lebanon, dan Pengawal Cedar (sekarang dilarang) merupakan partai dengan basis massa Kristen. Amal dan Hizbullah adalah partai dengan agama Syi'ah, dan PSP (Partai Sosialis Progresif) adalah partai Druze utama. Ketika Partai Syiah dan Druze sama-sama mempunyai loyalitas yang tinggi terhadap pemimpinnya, partai Kristen mengalami perpecahan di antara faksi. Partai Sunni belum dapat menjadi kendaraan politik bagi calon, dan cenderung untuk fokus untuk masalah di Lebanon mengenai Sunni pada umumnya. Partai Sunni di Lebanon antara lain Hizbut Tahrir, Gerakan Masa Depan, Organisasi Nasseris Independen, Al-Tauhid, dan Ahbash. Selain partai domestik, ada cabang partai sekuler pan-Arab (Partai Ba'ath, sosialis, dan komunis) yang aktif pada tahun 1960-an dan selama perang saudara.
Ada perbedaan di antara masing-masing Partai Muslim dan Kristen mengenai peran agama dalam negara. Terdapat pula aktivisme politik yang sangat tinggi di antara para pemimpin agama di seluruh spektrum sektarian. Aksi saling mempengaruhi untuk jabatan dan kekuasaan di antara agama, partai politik, dan pemimpiin partai dan kelompok membuat politik di Lebanon sangat rumit.
Di masa lalu, sistem ini mampu menghasilkan demokrasi yang baik. Namun, dengan perubahan keseimbangan demografi Muslim-Kristen-Druze mengakibatkan segregasi yang lebih menyeluruh pada seluruh spektrum sosial. Interaksi antarsektarian sangat kurang baik itu partai politik, tempat tinggal, sekolah, media, bahkan tempat kerja. Semua faksi telah menyerukan reformasi sistem politik.
Beberapa orang Kristen mendukung desentralisasi politik dan administratif dari pemerintah, dengan bagian Muslim dan Kristen bekerja secara berpisah di dalam kerangka sebuah konfederasi. Sebagian besar umat Islam lebih memilih pemerintahan pusat yang bersatu dengan pembagian kekuasaan yang sesuai dengan populasi. Dinamika reformasi Perjanjian Ta'if telah sampai pada usulan ini, tetapi belum sepenuhnya terwujud.
Pengungsi Palestina, yang umumnya beragama Islam Sunni dan berjumlah antara 160.000-225.000, tidak terlalu aktif dalam panggung politik Lebanon.
Pada 3 September 2004, Parlemen Lebanon memutuskan untuk mengamendemen konstitusi dengan memperpanjang masa jabatan Presiden Émile Lahoud yang seharusnya enam tahun (dan akan berakhir) ditambah tiga tahun lagi. Langkah itu didukung oleh Suriah, yang mempunyai banyak personel militer di Lebanon.
Setelah penarikan pasukan Suriah pada April 2005, Lebanon menggelar pemilihan parlemen dalam empat putaran, dari 29 Mei-19 Juni. Pemilu ini adalah pertama kalinya dalam 33 tahun yang diadakan tanpa adanya militer Suriah. Pemilu ini dimenangkan oleh Aliansi Empat Partai, koalisi dari beberapa partai dan organisasi-organisasi baru yang menentang dominasi Suriah di politik Lebanon.
Presiden dipilih oleh Parlemen untuk masa jabatan enam tahun dan tidak dapat dipilih kembali lagi sampai enam tahun sejak akhir masa jabatan pertama.[3]Perdana Menteri dan Wakil Perdana Menteri ditunjuk oleh Presiden setelah berkonsultasi dengan Parlemen; Presiden diharuskan untuk beragama Maronit, Perdana Menteri Sunni, dan Ketua Parlemen Syiah.
Sistem konfesional ini berdasarkan pada data sensus 1932 yang menunjukkan Kristen Maronit menjadi agama mayoritas. Pemerintah Lebanon terus menolak untuk melakukan sensus baru.
Cabang legislatif
Lembaga legislatif Lebanon disebut Majelis Perwakilan (Majlis al-Nuwab dalam bahasa Arab). Sejak pemilu tahun 1992 (pertama sejak reformasi Perjanjian Ta'if 1989 dengan jumlah kursi sama antara Kristen dan Islam), Parlemen mempunyai 128 anggota. Masa jabatan anggota parlemen empat tahun, tetapi baru-baru ini telah diperpanjang sampai lima tahun.
Kursi di Parlemen didistribusikan berdasarkan agama tetapi dipilih secara langsung dengan hak pilih universal. Masing-masing agama memiliki jatah kursi di Parlemen. Mereka tidak hanya mewakili warga yang seagama, tetapi, semua calon di suatu daerah pemilihan, terlepas dari afiliasi agama, harus menerima jumlah suara yang cukup, termasuk pengikut dari semua agama. Sistem ini dirancang untuk meminimalkan kompetisi antarsektarian dan memaksimalkan kerjasama antaragama: calon hanya akan berhadapan dengan yang seagama, tetapi harus mencari dukungan dari luar agamanya untuk terpilih.
Partai oposisi, Perkumpulan Qornet Shehwan, sebuah kelompok yang menentang pemerintahan pro-Suriah, terdahulu, mengklaim bahwa daerah pemilihan yang dibuat memungkinkan Muslim Syiah dipilih dari daerah pemilihan mayoritas Syi'ah (di mana Hizbullah berkuasa), sedangkan banyak Kristen ditempatkan di daerah pemilihan mayoritas Muslim, memaksa para calon dari Kristen untuk mewakili kepentingan Muslim. (Tuduhan serupa, tetapi sebaliknya, terjadi pada pemerintahan Chamoun pada tahun 1950-an).
Tabel berikut menunjukkan alokasi kursi berdasarkan agama di Parlemen sebelum dan setelah Perjanjian Ta'if.
Lebanon memiliki banyak partai politik, tetapi mereka tidak terlalu memainkan peran yang signifikan dalam politik Lebanon dibanding pada negara demokrasi parlementer umumnya. Banyak "partai" yang hanya merupakan daftar calon yang didukung oleh seorang tokoh nasional atau lokal. Koalisi longgar dibentuk untuk tujuan pemilu oleh negosiasi antara pemimpin klan dan calon-calon yang mewakili berbagai komunitas agama. Koalisi seperti inibiasanya hanya ada pada pemilu, dan jarang membentuk suatu blok utuh di Parlemen setelah pemilu. Tidak ada satu partai yang pernah memenangi lebih dari 12,5% kursi di Parlemen, dan tidak ada koalisi partai yang memenangkan lebih dari 35%.
Terutama di luar kota besar, pemilu cenderung lebih fokus pada isu lokal daripada isu nasional, dan hal biasa bagi sebuah partai untuk mengikuti pemilu di salah satu daerah pemilihan dan bersekutu dengan partai lawan - bahkan dengan partai yang berlawanan secara ideologis - di daerah pemilihan lainnya.
Cabang yudikatif
Lebanon adalah negara dengan hukum sipil.
Untuk cabang yudikatif terdiri dari:
Dewan Tertinggi mendengar tuduhan terhadap presiden dan perdana menteri jika perlu.
Sistem pengadilan militer yang juga memiliki yurisdiksi atas warga sipil untuk kejahatan spionase, pengkhianatan, dan kejahatan lainnya yang dianggap berkaitan dengan keamanan.[5]