Kejuaraan Eropa UEFA 1984 atau lebih dikenal dengan UEFA Euro 1984 diadakan di Prancis pada tanggal 12 hingga 27 Juni 1984. Jerman Barat juga membidik posisi tuan rumah ajang ini.[1] Ini merupakan edisi ketujuh dari Kejuaraan Eropa UEFA yang diadakan empat tahun sekali dan diadakan oleh UEFA.
Pada saat itu, hanya ada delapan negara yang mengikuti babak final turnamen ini, tujuh di antaranya melalui proses kualifikasi. Prancis lolos otomatis sebagai tuan rumah; dipimpin oleh Michel Platini, di mana ia mencetak sembilan gol dalam 5 pertandingan yang dilakoni Prancis, Les Bleus memenangkan turnamen ini – turnamen besar pertama yang pernah dimenangkannya.
Maskot resmi turnamen ini adalah Peno, seekor ayam betina, mewakili lambang negara, Prancis. Di dada bagian kirinya ada angka 84, dan ia memakai baju biru, celana pendek putih, dan kaos kaki merah, seperti apa yang dipakai oleh timnas Prancis.
Kepanitiaan
Format turnamen
Setelah mencoba berbagai format, pada akhirnya UEFA mendapatkan format yang tepat untuk kedelapan peserta. Delapan peserta yang lolos dibagi menjadi dua grup yang tiap grupnya berisi empat peserta. Mereka bermain menganut sistem round-robin. Dua peserta terbaik dari setiap grupnya lolos ke babak semifinal (kembali digunakan setelah turnamen tahun 1980) dan pemenangnya akan melaju ke babak final. Pertandingan untuk menentukan peringkat ketiga, tidak dibutuhkan, dan tidak digunakan. Seperti biasa, pada waktu itu, pemenang hanya mendapatkan dua poin, dan peserta dengan nilai yang sama akan ditentukan melalui selisih gol daripada hasil pertemuan terakhir mereka, dan aturan sistem gugur dalam waktu tambahan juga tidak digunakan.
Tempat dan jadwal
Kemenangan Prancis dalam membidik menjadi tuan rumah didasarkan pada tujuh stadion. Stadion Parc des Princes yang menampung 48.000 tempat duduk merupakan tempat penyelenggaraan pertandingan pembuka dan final. Dibangun pada tahun 1972, stadion ini masih state-of-the-art dan hanya membutuhkan sedikit perbaikan. Stade Vélodrome yang terletak di Marseille diperbesar kapasitasnya menjadi 55.000 tempat duduk untuk menjadi tuan rumah satu pertandingan semifinal dan beberapa pertandingan penyisihan grup, dan menjadi stadion terbesar Prancis pada saat itu. Stade de Gerland yang terletak di Lyon merupakan tempat penyelenggaraan satu pertandingan semifinal dan beberapa pertandingan penyisihan grup, dan diperbesar kapasitasnya menjadi 40.000 tempat duduk. Stade Geoffroy-Guichard yang terletak di Saint-Étienne dan Stade Félix-Bollaert di Lens merupakan salah satu stadion yang menjadi tuan rumah pertandingan penyisihan grup dan diperbesar kapasitasnya menjadi 53.000 dan 49.000 tempat duduk, secara berturut-turut. Dua stadion baru juga dibangun, Stade de la Beaujoire di Nantes (53.000 tempat duduk) dibangun di sebuah situs yang sama sekali baru, di mana Stade de la Meinau di Strasbourg dibangun kembali dari tempat lamanya menjadi stadion yang berkapasitas 40.000 tempat duduk.
Jadwal pertandingan dijadwalkan berdasarkan dengan rotasi jadwal inovatif, di mana setiap peserta bermain dalam tiga pertandingan babak penyisihan di tiga tempat berbeda. Tuan rumah Prancis, secara instan, bermain di Paris, Nantes, dan Saint-Étienne. Formula ini memberikan tantangan tersendiri, karena itu mengekspos penduduk sebuah kota yang didatangi lebih banyak peserta, dan tetapi sering kali membutuhkan biaya lebih besar untuk kota ke kota bagi para penggemar yang mengikuti perkembangan timnya. Setelahnya, panitia memutuskan kembali ke formula semula, yaitu satu peserta bertanding di satu atau dua kota.
Sedikit insiden berbau suporter garis keras terekam selama pelaksanaan turnamen. Hanya satu insiden kecil mengenai masalah penggemar terekam. Di Strasbourg, pada pertandingan Jerman Barat melawan Portugal, grup kecil yang beranggotakan suporter garis keras Jerman yang bertanggungjawab membuat kekacauan, ditangkap dan dideportasi ke Jerman Barat saat itu juga, menggunakan hukum yang berlaku di Prancis. Secara keseluruhan, kepanitiaan sangat sempurna, dan merupakan salah satu prestasi Prancis dalam kredibilitas kepanitiaan dan membantu mereka menjadi tuan rumah Piala Dunia FIFA 1998.
Keseluruhan kompetisi ditandai oleh cuaca yang sangat baik yang, bersama dengan kualitas bermain tinggi sepanjang turnamen (menyambut perubahan 1980) dan ketidakhadiran para suporter garis keras, merupakan kontribusi positif dan pengalaman yang dapat dinikmati oleh para peserta dan penggemar.
Prancis merupakan salah satu favorit juara pada saat itu. Warga Inggris menjagokannya di bursa taruhan dengan hitungan 5/8. Perkiraan di kandang sendiri sangat tinggi, di mana pada saat itu mereka bermain sangat brilian, dan pernah menjadi juara ketiga Piala Dunia 1982. Les Bleus pada tahun 1984 menjadi lebih kuat, dan pada waktu itu memiliki anggota tim yang mantap di Piala Dunia. Joël Bats adalah salah satu kiper terbaik Prancis pada saat itu. Dua pemain di sektor pertahanan Prancis pada tahun 1982 merupakan salah satu yang paling kuat, di mana posisi tersebut ditempati oleh Yvon Le Roux (bek sentrlal) dan Patrick Battiston sebagai poros halangnya. Di sektor tengah, yang sangat berani dan agresif, ditempati oleh Luis Fernandez, bergabung dengan pemain-pemain di Piala Dunia 1982 seperti Jean Tigana, Alain Giresse, dan Michel Platini, yang dijuluki carré magique (segiempat ajaib), dan mereka dikatakan sebagai salah satu yang terbaik di dunia. Dalam urusan menyerang, pelatih Michel Hidalgo bekerja keras untuk menyatukan skuat dengan formasi 4–4–2, karena sedikitnya penyerang berkelas dunia. Sistem tersebut membuat Platini, dengan kemampuannya yang luar biasa, beralih dari pengatur permainan menjadi sentral-depan. Yang menjadi pertanyaan sampai sekarang adalah, bagaimana tim tersebut dapat tampil luar biasa dalam tekanan, ketika mereka langsung lolos otomatis sebagai tuan rumah.
Belgia juga merupakan salah satu favorit juara pada saat itu, dengan hitungan 7/1 di bursa taruhan. Finalis yang mengejutkan tahun 1980 dan peserta putaran kedua 1982. Tim ini terdiri dari penjaga gawang Jean-Marie Pfaff, gelandang Enzo Scifo, dan penyerang Erwin Vandenbergh dan Jan Caulemans. Tim ini juga terbukti keberaniannya di turnamen-turnamen sebelumnya, dan tim ini merupakan tim kuat selama Piala Dunia dan fase kualifikasi, dan membuat lawan kerepotan. Salah satu momen krusial di mana salah satu pemain terbaik Belgia, Eric Gerets, absen karena cedera.
Denmark merayakan partisipasi pertamanya dalam turnamen akbar dan merupakan kuda hitam untuk memenangkan turnamen ini (dengan hitungan 8/1) karena kehebatan mereka di fase kualifikasi. Mereka mencapai turnamen ini setelah mengalahkan Inggris di Wembley dengan skor 1–0. Kekompakan pelatih Sepp Piontek, sisi atletisnya mengandalkan para pemain profesional yang berpengalaman dari beberapa liga terbaik di Eropa saat itu (Belgia, Jerman Barat, Belanda, Spanyol, Italia), tidak memiliki kelemahan yang jelas, dan dapat mengandalkan bakat individu kelas dunia seperti Frank Arnesen, Michael Laudrup, atau Søren Lerby untuk membuat perbedaan tersebut.
Yugoslavia merupakan salah satu tim mengejutkan dengan hitungan 16/1. Seperti biasa, tim yang berlokasi di kawasan Balkan ini kaya akan talenta istimewa (Katanec, Sušić, Baždarević, Zl. Vujović, Hadžibegić, "Piksi" Stojković) yang sering membuat iri tim lawan. Salah satu pertanyaan yang masih belum bisa dijawab sampai sekarang adalah, apakah pelatih Todor Veselinović dapat mempersatukan pemain-pemain bintang menjadi sebuah tim yang kohesif, sebuah masalah yang membuat kehancuran setiap tim Yugoslavia di final sebelumnya. Juga, yang paling unik dari tim ini adalah, tim ini lemah di bagian penjaga gawang.
Grup B
Jerman Barat merupakan favorit kedua untuk menjadi juara turnamen ini, dengan hitungan 5/2, setelah mencapai babak final Piala Dunia dua tahun sebelumnya. Skuat ini berisi talenta luar biasa seperti penjaga gawang Harald Schumacher, dikatakan sebagai kiper terbaik pada saat itu, pemain bertahan Hans-Peter Briegel dan Karl-Heinz Förster, gelandang defensif Lothar Matthäus, atau penyerang Pierre Littbarski, Rudi Völler, dan Karl-Heinz Rummenigge. Walau begitu, gelandang ofensif menjadi lemah ketika tim ini berjuang keras di fase kualifikasi karena absennya beberapa pengatur permainan seperti Hansi Müller, Bernd Schuster (dua-duanya terperosok dalam permusuhan dengan Federasi Sepak bola Jerman), atau Felix Magath (bermain buruk). Kekuatan tim ini masih impresif dan kemampuan melegenda yang luar biasa, salah satu faktornya.
Portugal, dengan hitungan 14/1, sedang berada dalam performa terbaik yang berpartisipasi dalam turnamen akbar setelah dua dekade. Mengeliminasi juara ketiga Piala Dunia 1982, Polandia, dan tim kuat Uni Soviet, tim ini dilabeli tim berkualitas dengan pemain mudanya (disebut "generasi emas") Fernando Chalana atau penyerang Diamantino dan Rui Jordão. Tim ini membawa kekuatan tradisional sepak bola Portugis dengan kekuatan ofensif kelas dunia, gelandang yang inspiratif, dan pertahanan yang berani. Tidak berpengalaman dalam putaran final dan penyimpangan berkali-kali membuat pelatih Fernando Cabrita kebingungan saat turnamen dibuka.
Rumania, dengan hitungan 16/1, merupakan tim nyaris sempurna di mana, memenangi pertandingan kualifikasi melawan juara Piala Dunia, Italia, dan juara ketiga Euro 1980, Cekoslowakia yang inspiratif. Kesempatan untuk mengobservasi tim dan pemain bintang, yang datang dari tim domestik, hanya sedikit di mana tim ini dengan tegas dijuluki Iron Curtain. Hanya gelandang Ladislau Bölöni mencatatkan namanya ketika ia bermain luar biasa inspiratif saat melawan Italia, di mana ada gelandang muda Gheorghe Hagi yang perjalanan kariernya amat terkenal.
Ringkasan turnamen
Penyisihan Grup
Pertandingan pembuka turnamen ini mempertemukan Prancis dan Denmark. Mereka bermain luar biasa sampai akhirnya Michel Platini mencetak gol untuk memberikan kemenangan 1–0 untuk Prancis. Pertandingan pembuka ini juga memperlihatkan berakhirnya turnamen untuk gelandang Denmark, Allan Simonsen, yang mengalami patah kaki. Setelah mencetak gol melawan Denmark, Platini mencetak hat-trick saat melawan Belgia dan Yugoslavia, dengan Prancis mendapatkan poin maksimum untuk melaju ke babak selanjutnya. Denmark berada di posisi kedua grup dengan kemenangan melawan Belgia dan Yugoslavia, sedangkan Belgia hanya menang satu kali. Yugoslavia, daripada tereliminasi dengan poin kosong, tampil luar biasa ketika unggul 1–0 di babak pertama, dan mengejar ketertinggalan saat Prancis unggul 3–1 (melalui tendangan penalti Stojkovic), hanya enam menit sebelum pertandingan berakhir. Pertandingan di Grup A berjalan luar biasa dengan jumlah 23 gol tercetak dalam 6 pertandingan.
Grup B terlihat kurang menyenangkan dalam urusan mencetak gol, namun masih cukup untuk membuat kejutan; Jerman Barat tidak lolos ke babak semifinal setelah kalah 1–0 dari Spanyol, setelah gol diciptakan oleh Antonio Maceda. Ini adalah salah satu kemunduran dari prestasi Jerman Barat dan penggemarnya di mana mereka tidak memperkirakan timnya tersisih lebih awal. Portugal menempati posisi kedua klasemen, di belakang Spanyol.
Semifinal dan Final
Semifinal pertama antara Prancis dan Portugal dikatakan sebagai salah satu pertandingan terbaik sepanjang sejarah Kejuaraan Sepak Bola Eropa.[2] Jean-François Domergue membuka keunggulan Prancis, namun disusul oleh Portugal melalui Rui Jordão di menit ke-74. Pertandingan tersebut memasuki waktu tambahan, dan Jordão mencetak gol lagi di menit ke-98 untuk memberikan kejutan keunggulan bagi Portugal. Tetapi, Prancis kembali mengejar dan Domergue mencetak gol 16 menit setelah keunggulan Portugal. Kemudian, pada adu penalti, Platini mencetak gol kedelapannya dan memberikan kemenangan 3–2 untuk Prancis.
Partai semifinal lainnya yang mempertemukan Spanyol dan Denmark melihat dua tim secara merata saling memperlihatkan yang terbaik, dan pertandingan berakhir 1–1; gol yang dicetak oleh Søren Lerby setelah tujuh menit disamakan oleh Maceda satu jam setelahnya. Tidak ada gol yang tercipta di waktu tambahan, dan adu penalti pun dimenangkan oleh Spanyol dengan skor 5–4. Spanyol pun melaju ke final Kejuaraan Sepak Bola Eropa pertamanya sejak 1964.
Babak Final dimainkan di depan penonton, diselenggarakan di Parc-des-Princes di Paris dan penggemar tuan rumah tidak akan dikecewakan oleh penampilannya. Belum satu jam, Platini mencetak gol melalui tendangan bebas terkontrol. Spanyol berjuang keras untuk kembali dalam ritme pertandingan, akan tetapi mereka tidak mendapatkan jalan keluar. Jumlah pemain Prancis berkurang menjadi sepuluh, karena Yvon Le Roux di-kartu merah dan Spanyol tidak memanfaatkan kesempatan dengan baik. Prancis kembali unggul melalui gol yang dicetak Bruno Bellone di menit ke-90 dan membukukan kemenangan untuk Prancis 2–0. Dengan begitu, Prancis memenangkan turnamen akbar pertamanya.