James MattisJames Norman Mattis (lahir 8 September 1950), yang juga dikenal sebagai Jim Mattis,[5] adalah seorang veteran militer Amerika Serikat yang menjabat sebagai Menteri Pertahanan Amerika Serikat ke-26 dari tahun 2017 hingga 2019. Sebagai purnawirawan jenderal bintang empat Korps Marinir, ia memimpin pasukan dalam Perang Teluk Persia, Perang di Afghanistan, dan Perang Irak. Jim Mattis bergabung dengan Korps Marinir melalui Korps Pelatihan Perwira Cadangan Angkatan Laut setelah lulus dari Universitas Central Washington. Sebagai seorang Marinir karier, dia mendapatkan reputasi di antara rekan-rekannya dalam hal intelektualisme dan akhirnya naik pangkat menjadi jenderal. Dari tahun 2007 hingga 2010, dia memimpin Komando Pasukan Gabungan Amerika Serikat dan merangkap jabatan sebagai Transformasi Panglima Tertinggi Sekutu NATO. Dia adalah komandan Komando Pusat Amerika Serikat dari tahun 2010 hingga 2013, dengan Laksamana Bob Harward sebagai wakil komandannya. Setelah pensiun dari militer, ia bekerja di beberapa posisi di sektor swasta, termasuk sebagai anggota dewan di Theranos.[6] Jim Mattis dinominasikan sebagai menteri pertahanan oleh presiden ke-45 Donald Trump, dan dikukuhkan oleh Senat pada tanggal 20 Januari 2017. Sebagai menteri pertahanan, Mattis menegaskan komitmen Amerika Serikat untuk membela sekutu lamanya Korea Selatan selama periode krisis Korea Utara tahun 2017.[7][8] Sebagai lawan dari kolaborasi yang diusulkan dengan Rusia dan Tiongkok,[9] Mattis menekankan pandangannya sebagai "ancaman terhadap tatanan dunia yang dipimpin Amerika".[10] Mattis kerap menyuarakan ketidaksetujuannya terhadap beberapa kebijakan pemerintahan Trump, seperti penarikan diri dari perjanjian nuklir Iran,[11] penarikan pasukan dari Suriah dan Afganistan,[12] dan pemangkasan anggaran yang menghambat kemampuan untuk memonitor dampak perubahan iklim.[13][14] Menurut The Hill, Mattis juga dilaporkan menghalangi Trump untuk mencoba membunuh Bashar al-Assad, presiden Suriah.[15] Pada tanggal 20 Desember 2018, setelah gagal meyakinkan Trump untuk mempertimbangkan kembali keputusannya untuk menarik seluruh pasukan Amerika dari Suriah, Mattis mengumumkan pengunduran dirinya yang berlaku efektif pada akhir Februari 2019; setelah pengunduran diri Mattis menghasilkan liputan media yang signifikan, Trump tiba-tiba mempercepat tanggal kepergian Mattis ke tanggal 1 Januari 2019, dan menyatakan bahwa ia pada dasarnya telah memecat Mattis.[16] Kehidupan awal dan pendidikanJames Norman Mattis lahir pada tanggal 8 September 1950, di Pullman, Washington.[17] Ia adalah anak dari Lucille (Proulx) Mattis (1922–2019)[18] dan John Mattis (1915–1988),[19][20] seorang pelaut pedagang. Sementara itu, Ibunya berimigrasi ke Amerika Serikat dari Kanada saat masih bayi dan bekerja di Intelijen Angkatan Darat di Afrika Selatan selama Perang Dunia II.[21] Ayah Mattis pindah ke Richland, Washington, untuk bekerja di pabrik yang memasok bahan fisil untuk Proyek Manhattan.[22] Mattis dibesarkan di sebuah rumah tangga kutu buku tanpa memiliki televisi.[22][5] Mattis lulus dari SMA Richland pada tahun 1968.[22][23] Mattis memperoleh gelar BA dalam bidang sejarah dari Universitas Central Washington pada tahun 1971.[24][25][26] dan Master of Arts dalam bidang keamanan internasional dari Sekolah Tinggi Perang Nasional , Universitas Pertahanan Nasional pada tahun 1994.[27] Karier MarinirJim Mattis mendaftar di Korps Marinir Cadangan pada tahun 1969.[28] Dia ditugaskan sebagai letnan dua melalui Korps Pelatihan Perwira Cadangan Angkatan Laut pada tanggal 1 Januari 1972.[29] Selama tahun-tahun pengabdiannya, Mattis dianggap sebagai "intelektual" di antara para perwira tinggi.[30] Robert H. Scales , pensiunan mayor jenderal Angkatan Darat Amerika Serikat, menyebutnya "salah satu pria paling sopan dan terpelajar yang pernah saya kenal."[31] Sebagai letnan, Mattis ditugaskan sebagai komandan peleton senapan dan senjata di Divisi Marinir ke-3. Sebagai kapten, dia ditugaskan sebagai Perwira Batalyon Sekolah Persiapan Akademi Angkatan Laut , memimpin kompi senapan dan senjata di Resimen Marinir ke-1 , kemudian bertugas di Stasiun Perekrutan Portland, Oregon, sebagai mayor.[32] Setelah dipromosikan menjadi letnan kolonel, Mattis memimpin Batalyon ke-1, Marinir ke-7 , salah satu batalyon serbu Gugus Tugas Ripper selama Perang Teluk.[33] Sebagai kolonel, Mattis memimpin Resimen Marinir ke-7 dari tanggal 28 Juni 1994 hingga 14 Juni 1996.[34] Mattis adalah lulusan Sekolah Perang Amfibi Korps Marinir AS, Sekolah Staf dan Komando Korps Marinir AS, dan Sekolah Tinggi Perang Nasional . Dia terkenal karena minatnya dalam studi sejarah militer dan sejarah dunia,[35][36] dengan perpustakaan pribadi yang pernah memiliki lebih dari 7.000 volume,[1] dan kegemarannya untuk menerbitkan daftar bacaan wajib bagi Marinir di bawah komandonya.[37][38] Dia mengharuskan Marinirnya untuk membaca dengan baik mengenai budaya dan sejarah daerah tempat mereka ditempatkan, dan meminta Marinir yang dikirim ke Irak menjalani "pelatihan kepekaan budaya".[36] Menurut sebuah artikel yang diterbitkan pada tahun 2004 oleh Los Angeles Times, kepeduliannya terhadap para tamtama serta energi dan antusiasmenya itulah yang membuatnya mendapat julukan "Mad Dog."[a][3][4] Namun pada tahun 2016, ketika Presiden Trump yang baru saja terpilih bertanya kepada Mattis apakah nama panggilannya memang "Mad Dog", Mattis menjawab, "Tidak, Pak," dengan mengatakan bahwa nama panggilannya yang sebenarnya adalah "Chaos."[39] Perang di AfganistanJim Mattis memimpin Brigade Ekspedisi Marinir ke-1 sebagai komandan setelah dipromosikan menjadi brigadir jenderal.[40] Sebagai komandan resimen inilah dia mendapatkan julukan dan tanda panggilnya, "CHAOS" terj. har. 'KEKACAUAN', singkatan dari "Colonel Has Another Outstanding Solution"[b], yang pada awalnya terdengar aneh.[41][5] Selama perencanaan awal untuk Perang di Afganistan, Mattis memimpin Gugus Tugas 58 dalam operasi di bagian selatan negara itu yang dimulai pada November 2001,[42] dan menjadi perwira Korps Marinir pertama yang memimpin Gugus Tugas Angkatan Laut dalam pertempuran.[29] Menurut Mattis, tujuannya ketika tiba di Afganistan adalah untuk "memastikan bahwa musuh tidak merasa memiliki tempat berlindung yang aman, menghancurkan rasa aman mereka di Afganistan selatan, mengisolasi Kandahar dari jalur komunikasinya, dan bergerak melawan Kandahar."[43] Pada bulan Desember 2001, sebuah serangan udara yang dilakukan oleh sebuah pesawat pengebom B-52 secara tidak sengaja menarget sebuah posisi yang ditempati oleh pasukan operasi khusus Amerika Serikat dan anggota milisi Afganistan di Provinsi Uruzgan. Sejumlah personel terluka dalam insiden tersebut, tetapi Mattis berulang kali menolak untuk mengirim helikopter dari Kamp Rhino di dekatnya untuk menyelamatkan mereka, dengan alasan keamanan operasional. Alih-alih, sebuah helikopter Angkatan Udara terbang dari Uzbekistan untuk mengangkut para prajurit ke pangkalan Korps Marinir di mana helikopter sudah tersedia tetapi tidak diizinkan untuk terbang. Kapten Jason Amerine menyalahkan penundaan yang disebabkan oleh keputusan Mattis yang menolak memerintahkan operasi penyelamatan atas kematian beberapa personelnya. Amerine menulis, "Setiap elemen di Afghanistan berusaha membantu kami kecuali unit sahabat terdekat, yang dikomandoi oleh Mattis," lebih lanjut dia juga menulis bahwa "Tidak ada yang dinilai dengan benar karena [Grup Pasukan Khusus ke-5] memilih untuk tidak meminta penyelidikan formal. Grup ke-5 ingin mengakhiri pemberitaan buruk yang terkait dengan friendly fire dan kelambanan dari Mattis hanya memperburuk keadaan, sehingga mereka mengubur keluhan saya yang penuh kemarahan dan berusaha untuk menutup mulut saya tentang semua yang terjadi pada hari itu."[44][45] Kasus ini digunakan untuk menyerang Mattis saat dia dicalonkan sebagai menteri pertahanan pada tahun 2016.[46] Mattis menjelaskan bahwa ia diberi tahu lokasi Osama bin Laden pada bulan Desember 2001 dan membuat rencana untuk membunuhnya, namun rencana tersebut tidak pernah terlaksana.[5] Saat bertugas di Afganistan sebagai brigadir jenderal, Mattis dikenal sebagai perwira yang melibatkan anak buahnya dengan "kepemimpinan yang nyata."[47] Seorang perwira Marinir, Nathaniel Fick , mengatakan bahwa dia menyaksikan Mattis berada di dalam lubang pertempuran berbicara dengan sersan dan kopral lance: "Tidak seorang pun akan mempertanyakan Mattis jika dia tidur selama delapan jam setiap malam di kamar pribadi, untuk dibangunkan setiap pagi oleh ajudan yang menyeterika seragam dan menghangatkan MRE-nya . Tapi di sanalah dia, di tengah malam yang membeku, berada di garis depan bersama pasukan Marinirnya."[48] Perang IrakSebagai seorang mayor jenderal, Mattis memimpin Divisi Marinir ke-1 selama invasi Irak 2003 dan Perang Irak.[35] Mattis memainkan peran penting dalam operasi tempur di Fallujah, termasuk negosiasi dengan komando pemberontak di dalam kota selama Operasi Vigilant Resolve pada April 2004, serta berpartisipasi dalam perencanaan Operasi Phantom Fury berikutnya di bulan November.[49] Pengeboman pesta pernikahanPada bulan Mei 2004, Mattis memerintahkan pengeboman pada pukul 3 pagi di tempat yang dilaporkan oleh bagian intelijennya sebagai tempat persembunyian musuh di dekat perbatasan Suriah, tetapi kemudian dilaporkan sebagai pesta pernikahan dan diduga mengakibatkan kematian 42 warga sipil, termasuk 11 wanita dan 14 anak-anak. Mattis mengatakan bahwa ia hanya membutuhkan waktu 30 detik untuk memutuskan apakah akan mengebom lokasi tersebut. Menggambarkan pernikahan tersebut sebagai sesuatu yang tidak masuk akal, dia berkata, "Berapa banyak orang yang pergi ke tengah padang pasir ... untuk mengadakan pernikahan yang berjarak 80 mil (130 km) dari peradaban terdekat? Mereka adalah lebih dari dua lusin pria usia militer. Janganlah bersikap naif."[50] Terjadinya pernikahan dibantah oleh pejabat militer, tetapi Associated Press memperoleh rekaman video yang menunjukkan pesta pernikahan dan video keesokan harinya menunjukkan alat musik dan dekorasi pesta di antara jasad-jasad tersebut.[51] Saat ditanya oleh pers tentang rekaman di televisi Arab yang memperlihatkan jasad seorang anak yang diturunkan ke dalam liang lahat, Mattis menjawab: "Saya belum melihat gambar-gambar itu, tetapi hal-hal buruk terjadi dalam perang. Saya tidak perlu meminta maaf atas perilaku anak buah saya."[52] Survei Departemen PertahananMenyusul survei Departemen Pertahanan yang menunjukkan bahwa hanya 55% tentara AS dan 40% Marinir yang akan melaporkan seorang rekannya karena melakukan kekerasan terhadap warga sipil, Mattis mengatakan kepada Marinir pada bulan Mei 2007 bahwa "setiap kali Anda menunjukkan kemarahan atau rasa jijik kepada warga sipil, itu merupakan kemenangan bagi al-Qaeda dan pemberontak lainnya." Percaya bahwa perlunya menahan diri dalam perang sebagai kunci untuk mengalahkan pemberontakan, dia menambahkan kepada Marinirnya: "setiap kali Anda melambaikan tangan kepada warga sipil Irak, Al Qaeda akan berguling ke kuburannya."[53] Moto Divisi Marinir ke-1 "tidak ada teman yang lebih baik, tidak ada musuh yang lebih buruk"Jim Mattis mempopulerkan moto Divisi Marinir ke-1 "tidak ada teman yang lebih baik, tidak ada musuh yang lebih buruk" (no better friend, no worse enemy), sebuah parafrase dari batu nisan (epitaf) yang ditulis oleh diktator Romawi Lucius Cornelius Sulla untuk dirinya sendiri,[54] dalam surat terbukanya untuk semua orang di dalam divisi tersebut atas kembalinya mereka ke Irak. Kalimat ini kemudian terpublikasikan secara luas selama penyelidikan terhadap perilaku Letnan Ilario Pantano , seorang komandan peleton yang bertugas di bawah Mattis; yang dimana dia memberikan tanda parafrase tersebut di mobil warga sipil tak bersejata yang telah tewas ditembaki.[55][56][57][58][59] Pelatihan kepekaan budayaKetika divisinya bersiap untuk diberangkatkan, Mattis memanggil "para ahli budaya Arab" untuk "pelatihan kepekaan budaya." Dia terus-menerus berkeliling ke medan perang untuk menceritakan kisah-kisah Marinir yang mampu menunjukkan "kebijaksanaan dan kepekaan budaya pada saat-saat penuh tekanan." Sebagai contoh nyata, dia mendorong Marinirnya untuk menumbuhkan kumis agar terlihat lebih mirip dengan orang-orang yang bekerja dengan mereka; sebelumnya dia mewajibkan untuk mencukur kumis karena berdasarkan laporan intelijen mengatakan adanya dugaan warga Irak yang mungkin menyamar sebagai personel pasukan AS.[36] Pencopotan para pemimpin seniorJim Mattis juga dikenal untuk tidak segan-segan mencopot para pemimpin senior di bawah komandonya ketika militer Amerika Serikat tampak tidak mampu atau tidak bersedia untuk membebastugaskan para perwira yang dianggap berkinerja buruk atau tidak kompeten. Selama divisi tersebut mendobrak maju ke Baghdad, Mattis membebastugaskan Kolonel Joe D. Dowdy, komandan Tim Tempur Resimen-1 (Regimental Combat Team-1; RCT-1). Hal itu merupakan kejadian langka dalam militer modern sehingga menjadi berita utama di halaman depan surat kabar. Meskipun demikian, Mattis menolak untuk mengomentari masalah ini secara terbuka selain mengatakan bahwa praktik pembebasan perwira tetap hidup, atau setidaknya "kami melakukannya di Marinir."[48] Kemudian, wawancara dengan para perwira dan anak buah Dowdy mengungkapkan bahwa "kolonel itu ditakdirkan untuk ditakdirkan oleh ketegangan masa perang yang sudah berlangsung lama: Anak buah versus misi—di mana dia lebih memilih anak buahnya," sementara Mattis bersikeras menjalankan misi untuk merebut Baghdad dengan cepat.[60] Komando Pengembangan TempurSetelah dipromosikan menjadi letnan jenderal, Mattis mengambil alih komando di Komando Pengembangan Tempur Korps Marinir . Pada Februari 2005, berbicara di sebuah forum di San Diego, dia berkata, "Sebenarnya cukup menyenangkan untuk melawan mereka, Anda tahu. Sangat menyenangkan untuk menembak beberapa orang. Saya akan berada di sana bersama Anda. Saya suka berkelahi. Anda pergi ke Afghanistan, Anda akan menemukan orang-orang yang menampar wanita selama lima tahun karena mereka tidak mengenakan cadar. Anda tahu, orang-orang seperti itu tidak memiliki kejantanan yang tersisa. Jadi, sangat menyenangkan untuk menembak mereka."[61] Pernyataan Mattis tersebut memicu kontroversi; Jenderal Michael Hagee , komandan Korps Marinir, mengeluarkan pernyataan yang menunjukkan bahwa Mattis seharusnya memilih kata-katanya dengan lebih hati-hati, meskipun dia tidak akan didisiplinkan.[62] Komando Pasukan Gabungan ASGedung Pentagon mengumumkan pada tanggal 31 Mei 2006, bahwa Mattis telah dipilih untuk mengambil alih komando Pasukan Ekspedisi Marinir I (I MEF), yang berbasis di Kamp Pangkalan Korps Marinir Pendleton.[63] Pada tanggal 11 September 2007, Menteri Pertahanan Robert Gates mengumumkan bahwa Presiden George W. Bush telah menominasikan Mattis untuk diangkat sebagai jenderal dan memimpin Komando Pasukan Gabungan AS (US Joint Forces Command; USJFCOM) di Norfolk, Virginia. NATO setuju untuk menunjuk Mattis sebagai Panglima Sekutu Tertinggi Transformasi (Supreme Allied Commander Transformation; SACT). Pada tanggal 28 September 2007, Senat Amerika Serikat mengkonfirmasi pencalonan Mattis, dan dia menyerahkan komando I MEF pada tanggal 5 November 2007, kepada Letnan Jenderal Samuel Helland.[32] Mattis dipromosikan menjadi jenderal bintang empat dan mengambil alih kendali USJFCOM/SACT pada tanggal 9 November 2007. Pada 9 September 2009, Jenderal Angkatan Udara Prancis Stéphane Abrial mengambil alih posisi SACT. Mattis tetap menjadi komandan JFCOM dari November 2007 hingga September 2010.[64] Komando Pusat ASPada awal 2010, Mattis dilaporkan masuk dalam daftar jenderal yang dipertimbangkan untuk menggantikan James T. Conway sebagai komandan Korps Marinir AS.[65] Pada bulan Juli, dia direkomendasikan oleh Menteri Pertahanan Robert Gates untuk dicalonkan menggantikan David Petraeus sebagai komandan Komando Pusat Amerika Serikat (United States Central Command; USCENTCOM/CENTCOM),[17][66] Mattis mengambil alih komando dalam sebuah upacara di Pangkalan Angkatan Udara MacDill pada tanggal 11 Agustus.[67][68][69] Sebagai kepala Komando Pusat, Mattis mengawasi perang di Irak dan Afganistan serta bertanggung jawab atas wilayah yang mencakup Suriah, Iran, dan Yaman.[70] Dia melobi pemerintahan Obama untuk memberikan tanggapan yang lebih agresif terhadap Iran, termasuk lebih banyak tindakan operasi rahasia untuk menangkap maupun membunuh agen-agen Iran dan mengacaukan pengiriman senjata Iran ke Suriah dan Yaman.[71] Setelah sebuah insiden pada tahun 2011 di mana sebuah jet Iran menyerang pesawat tak berawak AS yang terbang di atas Teluk Persia di wilayah udara internasional, Mattis meminta izin untuk menembak jatuh pesawat Iran yang menyerang pesawat tak berawak AS, tetapi pemerintahan Obama menolak permintaan ini.[72] Menurut Leon Panetta, pemerintahan Obama tidak menaruh banyak kepercayaan pada Mattis karena dia dianggap terlalu bersemangat untuk melakukan konfrontasi militer dengan iran.[73] Panetta kemudian mengatakan bahwa beberapa ketidakpercayaan itu tidak dapat dibenarkan, yang timbul dari kurangnya pengalaman beberapa staf Gedung Putih yang tidak memahami perlunya "melihat semua opsi yang harus dilihat oleh seorang presiden untuk membuat keputusan yang tepat." Namun demikian, sikap keras kepala Mattis tidak sejalan dengan perspektif Gedung Putih, dan "pada akhirnya, advokasi dan gaya agresif Mattis membuat Gedung Putih dan presiden yang dia layani menjadi terasingi."[74] Mattis pensiun pada Maret 2013, dan Menteri Pertahanan menominasikan Jenderal Lloyd Austin untuk menggantikannya.[75] Sheikh Mohamed bin Zayed al-Nahyan meminta Mattis untuk menjadi penasihat militer dalam konflik perang Yaman. Selama masa jabatan Mattis sebagai Menteri Pertahanan di bawah Presiden Trump, konsultasinya dengan Uni Emirat Arab dihilangkan dari catatan publik dan pengungkapan keuangan. Hubungan Mattis dengan U.A.E. sangat kuat, termasuk pidato di Abu Dhabi yang awalnya akan diberi kompensasi sebesar $100.000, namun kemudian diklarifikasi bahwa ia tidak dibayar.[76] Menteri PertahananPada 20 November 2016, Presiden Amerika Serikat terpilih Donald Trump bertemu dengan Mattis selama kurang lebih satu jam di Bedminster, New Jersey.[77] Trump kemudian menyatakan di Twitter bahwa "Jenderal James 'Mad Dog' Mattis, sedang dipertimbangkan untuk menjadi Menteri Pertahanan, ia sangat mengesankan kemarin. Benar-benar seorang Jenderal!."[78] Pada sebuah kesempatan di Cincinnati tanggal 1 Desember 2016, Trump mengumumkan bahwa ia akan mencalonkan Mattis sebagai Menteri Pertahanan Amerika Serikat.[79] Mattis pensiun dari militer pada tahun 2013, pencalonannya sebagai Menteri Pertahanan memerlukan pengabaian dari Undang-Undang Keamanan Nasional 1947, di mana dalam undang-undang tersebut diatur bahwa terhitung sejak ia pensiun, dibutuhkan masa tunggu tujuh tahun bagi seorang mantan atau pensiunan personil militer untuk dapat menjabat sebagai Menteri Pertahanan.[80] Mattis adalah Menteri Pertahanan kedua yang mendapatkan pengabaian tersebut, setelah George Marshall.[80] Mattis secara resmi dikukuhkan sebagai Menteri Pertahanan dengan suara 98 berbanding 1[c] di Senat Amerika Serikat pada 20 Januari 2017.[83] CatatanReferensi
Karya yang dikutip
Pranala luar
|