AXIS (sebelumnya bernama Lippo Telecom dan NTS) adalah sebuah produk layanan telekomunikasi dari XL Axiata, anak perusahaan dari Axiata. AXIS meluncurkan layanannya pada bulan April 2008 dan kini tersedia di lebih dari 400 kota di seluruh pulau-pulau besar Indonesia, termasuk Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Bali dan Lombok yang mencakup 80% penduduk. Jaringan AXIS juga diperkuat oleh jaringan XL sehingga cakupannya menjadi lebih luas. Berkantor pusat di Jakarta, AXIS merupakan salah satu operator seluler 2G, 3G, 4G dan 5G dengan pertumbuhan tercepat di Indonesia, melayani lebih dari 15 juta pelanggan dan didukung oleh lebih dari 800 pegawai yang berdedikasi.[1]
Merek AXIS awalnya dikelola oleh PT Axis Telekom Indonesia (dahulu PT Natrindo Telepon Seluler). Setelah proses merger dan akuisisi oleh XL Axiata pada 2013-2014, merek ini akhirnya dikelola oleh PT XL Axiata Tbk sampai saat ini dan AXIS tidak lagi berdiri sebagai sebuah perusahaan independen, melainkan hanya sebagai merek semata.
Operator ini bermula dari upaya Grup Lippo untuk membangun operator seluler (pertamanya) yang dimulai pada pertengahan 1998.[3] Kala itu, pemerintah melakukan tender untuk membangun jaringan komunikasi berbasis GSM (atau nama lainnya DCS, Digital Cellular System/Sistem Seluler Digital) 1800 MHz pertama di Indonesia. Bersama dengan 4 perusahaan lain (yaitu PT Astratel Nusantara, PT Ariawest International, PT Primarindo Sistel, dan PT Kodel Margahayu Telindo), perusahaan patungan Lippo (85,6%) dan raksasa telekomunikasi Hong Kong, Hutchison Telecommunications bernama PT Natrindo Global Telekomunikasi (yang telah berdiri sejak 11 April 1994)[4] berhasil memenangkan tender yang diadakan pemerintah pada November 1998.[5] Tender ini bernilai US$ 60 juta dan Natrindo mendapatkan hak untuk membangun jaringan tersebut di Jawa Timur.[6][7][8] Seiring waktu, bisnis dan rencana pembangunan jaringan GSM 1800 dari PT Natrindo Global Telekomunikasi kemudian dialihkan ke PT Natrindo Telepon Seluler yang didirikan pada 2 Oktober 2000 dengan komposisi kepemilikan yang sama, yaitu oleh Lippo dan Hutchison.[9] Selain kedua perusahaan ini, kemudian bergabung juga SoftBank dan China Resources sebagai pemegang saham minoritas.
Setelah persiapan, pada 27 April 2001 operasional PT Natrindo diluncurkan di Jawa Timur dengan merek Lippo Telecom. Target pelanggan awalnya adalah 80.000, dan berhasil menggaet 20.000 pelanggan di awal beroperasi. Modal awal yang dikeluarkan adalah US$ 20 juta dan 100 BTS. Lippo Telecom merupakan perusahaan pertama di Indonesia yang beroperasi dengan sistem GSM 1800 MHz dan pada saat itu pihaknya mengklaim bahwa sistem ini merupakan teknologi GSM termodern dunia.[10][11][12] Untuk memperluas operasinya, Lippo melakukan beberapa upaya, seperti mengakuisisi perusahaan lain (yang belum beroperasi tapi memegang lisensi GSM 1800) yaitu PT Primarindo Sistel (yang beroperasi di Kalimantan) pada 14 Desember 2001,[13][14] PT Kodel Margahayu (yang beroperasi di Sulawesi dan Bali) pada 2002,[15] PT Mitra Perdana (yang beroperasi di Jawa Tengah) serta berhasil menguasai 35% saham konsorsium yang didirikan oleh PT Industri Telekomunikasi Indonesia (INTI) untuk mengelola jaringan seluler GSM 1800 di Jabodetabek, yaitu PT Inti Mitratama Abadi seharga Rp 60 M. (PT Inti Mitratama, PT Mitra Perdana ditambah Indosat dan Telkom merupakan pemain baru di GSM 1800).[16][17][18][19]
Upaya akuisisi ini diharapkan bisa mewujudkan niat Natrindo untuk beroperasi secara nasional, dan dengan hal tersebut Lippo sudah mempunyai peluang untuk beroperasi di Jawa Tengah, Jawa Timur, Jabodetabek dan Kalimantan. Bahkan, pada akhir 2002 sempat direncanakan perusahaan-perusahaan tersebut akan dilebur dalam PT Natrindo, ditambah dengan dua perusahaan GSM 1800 lain yang belum diakuisisi (dan juga sama-sama belum beroperasi), yaitu PT Astratel Nusantara dan PT Ariawest Internasional.[19][20] Lippo juga berencana untuk menggunakan jaringan bisnisnya yang "menggurita" di mana-mana untuk membangun bisnis komunikasinya ini.[21] Hal ini diwujudkan dengan kerjasama misalnya dengan Bank Lippo dan AIG Lippo Life.[22][23] Bahkan, sempat ada rumor bahwa Lippo Telecom akan berkongsi dengan partnernya, Hutchison untuk mengambilalih saham pemerintah di Indosat,[24] walaupun pada akhirnya saham Indosat justru jatuh ke Temasek HoldingsSingapura.
Namun, banyak yang menduga bahwa langkah mulus Lippo ini dibantu oleh pemerintah lewat Menteri Perhubungan dan TransportasiAgum Gumelar, mengingat pemiliknya yang merupakan konglomerat besar berkoneksi tinggi. Agum misalnya pada November 2002 memerintahkan agar operator seluler diatas untuk segera merger dengan Lippo Telecom atau izin mereka akan dicabut. Pemerintah beralasan bahwa karena semua operator tersebut (Ariawest, Astratel, Inti Mitratama, Primarindo, Kodel Margahayu dan Mitra Perdana) belum beroperasi, maka lebih baik mereka menggabungkan diri.[19] Di Juni 2002, sebelumnya juga berhembus kabar bahwa Agum memaksa operator "raksasa" Excelcomindo, Satelindo dan Telkomsel untuk memberikan jasa roaming kepada Lippo Telecom.[20][25]
Dalam perkembangannya, akhirnya seluruh izin perusahaan tersebut untuk menyelenggarakan GSM 1800 MHz resmi digabungkan dengan izin GSM 1800 Lippo Telecom pada November 2002. Izin operasi nasional Lippo Telecom kemudian keluar pada 20 Desember 2002, dan pada 17 Januari 2003, Lippo Telecom menyatakan dirinya sebagai operator GSM 1800 pertama yang memiliki lisensi beroperasi nasional.[26] Namun, dalam proses ini, hanya izin GSM 1800 keenam perusahaan itu saja yang beralih ke Lippo Telecom. Terkecuali bagi satu perusahaan, yaitu PT Kodel Margahayu Telindo yang dimerger pada 15 November 2002 dengan Natrindo, perusahaan lain diatas tidak dimerger dengan perusahaan ini. Khusus untuk PT Primarindo Sistel (yang sudah dimiliki Lippo), kemudian juga dijadikan anak usaha dari Natrindo.[27]
Selama beroperasi, Lippo Telecom cukup bisa menawarkan layanan yang lebih murah dibanding pesaingnya.[28] Menurut pihak Lippo Telecom, hal ini disebabkan mereka tidak terlalu banyak beriklan namun memfokuskan ke soal harganya.[15] Produk-produk yang ditawarkan seperti kartu prabayar bermerek Prima, Solusi dan Prabayar Ekonomis.[22][29] Di Jawa Timur, Lippo Telecom pada Januari 2003 tercatat sudah memiliki 82 BTS dan memiliki 62.000 pelanggan.[30] Namun, sayangnya upaya Lippo Telecom untuk berekspansi sepertinya tidak berjalan mulus, karena biaya infrastruktur GSM 1800 yang terlalu tinggi dan kesulitan melakukan pengembangan bisnis. Akibatnya, pada 2005 justru Lippo Telecom tidak berkembang sesuai harapan awalnya untuk menasional, melainkan tetap bertahan di Jawa Timur, sehingga penggunanya menurun menjadi hanya sebesar 10.000. Sebenarnya, pada 17 September 2004, Lippo Telecom sudah diberikan izin 3G kedua nasional (setelah PT Cyber Access Communication), tetapi lagi-lagi Lippo Telecom tampak belum juga memanfaatkan potensi ini dan mampu mengembangkannya. Kerugian pun membengkak menjadi US$ 20 juta pertahun, dan akhirnya partner Lippo di Natrindo, Hutchison memutuskan untuk melepas seluruh sahamnya pada 2004.[8][31][32][33] Pada akhirnya, Lippo memutuskan untuk melakukan kerjasama dengan konglomerat lain asal Malaysia, Ananda Khrisnan yang kebetulan bermain di bisnis telekomunikasi.
Perubahan kepemilikan
Pada 22 Januari 2005, Grup Lippo menandatangani kesepakatan dengan perusahaan Khrisnan, Maxis Communications untuk menjual 51% saham Lippo Telecom kepada Maxis. Transaksi ini melibatkan anak perusahaan kedua pihak dimana Lippo lewat PT Aneka Tirta Nusa dan Maxis lewat Asia Communications BV, serta memakan biaya US$ 100 juta.[34] Menurut pemimpin Lippo, James Riady, alasannya berkongsi dengan Khrisnan adalah karena kedua perusahaan sama-sama bermain di komunikasi dan multimedia. Lalu James juga menyatakan bahwa Maxis berjanji untuk menginvestasikan dana dengan total US$ 250 juta di sektor komunikasi dalam perusahaan patungan mereka, Lippo Telecom. Selain itu, keduanya akan mempersiapkan rencana untuk melakukan penawaran umum perdana Natrindo dalam waktu dua tahun di bursa saham.[35] Untuk biaya pengembangannya, keduanya akan menanggungnya secara bersama.[36]
Bagaimanapun, bisnis patungan Lippo-Maxis ini hingga 2007 masih belum menunjukkan tanda-tanda pengembangan. Awalnya, di akhir 2005, pihak Lippo Telecom sempat berencana untuk mengoperasikan layanan 3G dan meluaskan jaringan 2G yang sudah dioperasikan ke seluruh Indonesia. Bahkan pada awal 2006 pihak Natrindo sudah menjalin kerjasama dengan beberapa perusahaan senilai US$ 200 juta.[37][38] Namun, tampaknya rencana ini diundur lagi, dan kemudian pada akhir 2006, Natrindo sempat berencana untuk mengoperasikan 3G yang sudah didapatkan izinnya dan telah lulus uji laik operasi untuk 3G dan 2G bersistem UMTS.[39] Jaringan ini pertama kali dioperasikan di Surabaya dan Bandung, dan manajemen berencana untuk segera meluncurkan layanan barunya ini segera dan memperluas operasinya.[40] Kemudian, pihak Natrindo berjanji lagi untuk memulai layanannya pada 28 Februari 2007, setelah mereka membangun BTS-nya (yang diperkirakan mencapai 600 buah) di Jakarta. Untuk membangun jaringan ini, Natrindo menggandeng Ericsson dan menyiapkan dana US$ 1,3 miliar.[41] Sejumlah BTS-nya direncanakan dibangun di jalan tol dan Lippo Telecom diharapkan mampu menggaet 5 juta pelanggan dalam 3 tahun.[31]
Namun kemudian tampak rencana itu ditunda lagi dan sampai 2007, Lippo Telecom hanya menggaet 12.000 pelanggan di Bandung dan Surabaya. Akibat tindakan Lippo Telecom yang mengulur-ulur peluncurannya dan tampak tidak serius beroperasi di 3G, pada Juni 2007 BRTI sempat merencanakan untuk mencabut operasional perusahaan ini, dan BRTI memberi waktu 6 bulan agar Natrindo segera menyelesaikan kewajibannya.[42][43] Namun, kemudian di tahun 2007 juga Natrindo mengalami perubahan kepemilikan kembali dengan Lippo menjual 44% sahamnya (dari anak usaha perusahaan afiliasinya, PT Aneka Tirta Nusa bernama Penta Investment BV) ke anak usaha Maxis lain, Althem BV dengan harga US$ 123,92 juta.[44][45] Penjualan yang berlangsung pada 25 April 2007 ini mengakibatkan saham Lippo menjadi hanya tersisa sangat sedikit sedangkan 95% dikuasai oleh Maxis Telecom. (Sebenarnya, anak usaha Maxis lain bernama Teleglobal Investments BV juga memiliki hak untuk membeli 5% saham sisa Lippo, tetapi tampaknya tidak dilakukan). Penjualan ini sempat menuai kontroversi karena dituduh jual-beli lisensi (walaupun Menkominfo saat itu Sofyan Djalil tidak menolaknya)[46] dan awalnya Maxis sempat menyampaikan akan mencari partner lokal lain.[47] Sebelum transaksi ini dilakukan, sebenarnya merek Lippo Telecom sejak Februari 2007 sudah berganti nama menjadi NTS, singkatan dari Natrindo Telepon Seluler.[48]
Sebenarnya, Maxis tidak ingin merengkuh saham Natrindo secara mutlak dalam waktu lama pasca-akuisisi 44% saham tersebut, bahkan pada Mei 2007 Maxis sudah berencana untuk melepas saham mayoritas perusahaan tersebut.[49] Pada 26 Juni 2007, Maxis berhasil menjalin kesepakatan dengan Saudi Telecom Company (STC), sebuah perusahaan telekomunikasi besar Arab Saudi untuk menjual 51% sahamnya di Natrindo senilai US$ 3,05 miliar.[50] Menurut STC, transaksi ini dilakukan seiring upaya mereka untuk memperluas operasinya di berbagai negara Asia. Setelah transaksi ini, 51% saham dikuasai STC, 44% oleh Maxis dan sisanya oleh pihak lain.[51] Akuisisi ini dilakukan dengan menjual perusahaan Maxis yang memegang saham di Natrindo, Teleglobal Investments BV kepada STC.[52] (Transaksi Maxis dan STC ini jelas memakan biaya yang berkali-kali lipat lebih besar daripada saat Lippo menjual Natrindo pada Maxis beberapa tahun lalu, sehingga konon Lippo berang atas "kecerdikan" perusahaan Khrisnan ini. Akibatnya, keduanya terlibat konflik senilai US$ 250 juta yang pada akhirnya berakibat pada hancurnya kerjasama mereka di TV kabelAstro Nusantara yang dimiliki juga sebagian oleh perusahaan Khrisnan lain, Astro. Konflik ini melibatkan berbagai laporan ke polisi dan gugatan di berbagai pengadilan dalam dan luar negeri).[51][53][54] Setelah proses akuisisi itu, Natrindo makin memantapkan niatnya untuk segera memulai operasinya, di akhir 2007.[55] Sebelum berubah menjadi AXIS, pelanggan NTS terakhir tercatat sebanyak 20.000 pelanggan dan beroperasi di Bandung serta Surabaya.[56]
Peluncuran AXIS
Pada akhirnya, di tanggal 27 Februari 2008, Natrindo resmi mengganti merek NTS dengan AXIS dengan wilayah layanan awal di Jawa Timur (yang sebelumnya sudah dilayani oleh Lippo Telecom). Secara rinci, wilayah tersebut adalah Surabaya, Mojokerto, Lamongan, Magetan, Madiun, Nganjuk, Malang dan Kota Batu, dilayani dengan 300 BTS. Untuk memperluas operasinya yang ditargetkan mencapai seluruh Jawa Timur pada akhir 2008, Axis merencanakan menambah 1.000 BTS hingga akhir tahun. Perluasan akan dilakukan ke beberapa kota seperti Trenggalek dan Jember, dengan memakan biaya US$ 500 juta. Demi menarik pelanggan, AXIS pada saat itu menawarkan telepon dengan harga murah dan sudah membangun "AXIS Center" di beberapa wilayah Malang dan Surabaya.[57]
Seiring dengan rencana juga untuk beroperasi secara nasional dengan wilayah awal di Sumatera Utara, Jawa, Bali dan Lombok, jumlah BTS yang dibangun direncanakan bertambah menjadi 3.700 dengan biaya US$ 1 miliar. AXIS juga menjalin kerjasama menara telekomunikasi dengan XL Axiata demi jaringannya, serta telah menggandeng Huawei dan Ericsson untuk membangun jaringannya lewat kerjasama 50-50. Di akhir Maret 2008, operasional AXIS kemudian juga diperluas ke Bandung (wilayah layanan Lippo Telecom sebelumnya), Cimahi, Garut, Subang, Purwakarta dan Cianjur dengan 200 BTS. Di Jabodetabek, persiapan juga sudah mulai dilakukan dengan menyiapkan 700 BTS.[58]
Pada saat itu, AXIS belum meluncurkan layanannya secara nasional walaupun sudah ada izinnya, sehingga pada Maret 2008 sempat muncul desakan untuk mencabut izin perusahaan ini.[59] Namun, akhirnya polemik itu dapat diatasi setelah pada 23 April 2008, AXIS resmi diluncurkan untuk beroperasi secara nasional, dengan dimulai dari daerah Jawa Barat, Jawa Timur dan Jabodetabek. Selanjutnya, operasi direncanakan diperluas ke wilayah Indonesia, yaitu di Sumatera Utara pada Mei 2008 dengan 400 BTS, Jawa Tengah pada Juni 2008 dengan 250 BTS, dan Bali-Lombok pada Juli 2008 dengan 120 BTS. Targetnya, adalah 2 juta pelanggan di akhir tahun, 10% pangsa pasar dalam 3 tahun dan operasionalnya sudah menasional pada akhir 2009.[60][61][62]
Namun, baru mulai beroperasi, pada bulan Mei 2008 AXIS sempat tersandung isu setanisme karena menggunakan angka yang mirip dengan 666 (Rp 60/SMS, Rp 60/menit menelepon sesama AXIS, Rp 600/menit menelepon ke operator lain) dalam iklannya. Rumor yang banyak menyebar di kalangan Kristen ini dibantah oleh manajemen AXIS hanya sebagai miskonsepsi.[63][64][65] Juga sempat ada rumor bahwa pemegang saham utama AXIS, STC sempat berencana untuk menjual 20% sahamnya di AXIS pada pihak lain, meskipun akhirnya dibantah oleh AXIS.[66] Terlepas dari hal tersebut, pada akhir 2008 wilayah layanan AXIS sudah menyebar ke wilayah yang ditargetkan sebelumnya, ditambah Banten dan Riau. Manajemen menargetkan pada 2009 sudah memiliki 6.000 BTS, dan pemerintah meminta AXIS jika berkomitmen ingin bermain dalam industri ini harus sudah punya 10.000 BTS pada akhir 2010.[67][68]
Di awal 2009, tercatat pengguna AXIS sudah menjadi 3,5 juta orang dengan mayoritas adalah kaum pemuda. Tahun 2009 juga direncanakan AXIS akan memperluas jaringannya ke Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatera Barat, Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, Bengkulu, Jambi dan Bangka Belitung.[69] Dalam membantu penjualannya, telah disiapkan 1 juta kartu perdana baru dan layanan kerjasama dengan sejumlah bank.[70] Kerjasama juga dilakukan misalnya dengan meluncurkan telepon seluler jenis feature phone (seperti untuk pelajar dan merek AXIS Hoki) maupun smartphone seperti BlackBerry.[71][72][73] Akhir Juli 2009, sudah ada 4.700 BTS dan 192 kota di jaringan AXIS,[74] dan di beberapa wilayah seperti Jawa Timur sudah 85% ter-cover.[75] Lalu pada 2010, layanan juga diperluas ke Sulawesi seperti di Makassar dan Kalimantan seperti di Pontianak. Pada Juli 2010 pengguna AXIS mencapai 6,5 juta.[76] Promosi seperti SMS dan internet juga ditawarkan,[77] dan di tahun 2010, pasar AXIS difokuskan ke Sumatera dengan penawaran harga jasa yang murah dibanding operator lain.[78] Fokus AXIS pada saat itu adalah lebih ke jasa telepon dan SMS, bukan data internet dan oleh karena itu, manajemen berusaha meningkatkan layanannya untuk telepon, terutama dari luar negeri seperti Malaysia dan Arab Saudi.[79]
Pada 2011, AXIS sudah melayani 11 juta pelanggan dan beroperasi di 400 kota di seluruh Indonesia, yang membuatnya diklaim sebagai operator terbesar keempat di Indonesia dalam hal luas wilayah jangkauan. Selain untuk konsumer, di Maret 2011 AXIS juga menjalin kerjasama dengan Artatel dalam meluncurkan produk khusus korporasi.[80][81] Di tanggal 15 Maret 2011, STC (lewat Teleglobal) menaikkan kepemilikan sahamnya menjadi 80,1%, sedangkan sisa 14,9% sahamnya masih dipegang oleh Maxis (lewat Althem) dan 5%-nya lagi oleh perusahaan lokal Indonesia bernama Harmersha Investindo (yang kurang jelas siapa pemiliknya). STC juga berencana untuk memberikan dana lebih dari US$ 300 juta untuk pengembangan AXIS, setelah pengendalian perusahaan kini beralih sepenuhnya kepadanya. STC awalnya juga merencanakan di waktu mendatang akan meningkatkan sahamnya lagi dengan membeli sisa saham Maxis.[82][83] Seiring dengan perkembangan perubahan kepemilikan ini, pada 7 Juni 2011 nama perusahaan berubah dari PT Natrindo Telepon Seluler menjadi PT Axis Telekom Indonesia.[84]
Di tahun 2012, AXIS tetap melakukan pemasaran produk-produknya yang diklaim lebih murah. Pada Februari 2012, misalnya diluncurkan program "Makin Dekat Dengan Rakyat"[85] dan pada Maret 2012 AXIS membagikan jutaan kartu perdana secara gratis.[86] Lalu, sebuah paket bernama "Super Hemat" diluncurkan pada Mei 2012,[87] dan paket internet-SMS 1500 diluncurkan pada Juni 2012.[88] Pada Agustus 2012, diluncurkan layanan Voice Morphing yang mampu mengubah suara pelanggan[89] dan pada Desember 2012 diluncurkan fitur "Pinjam Pulsa" (yang diklaim pertama di Indonesia) sehingga pelanggannya mampu meminjam pulsa senilai Rp 2.000.[90] Di tahun ini, pihak AXIS tetap berusaha agresif, dengan menargetkan menambah 5 juta pelanggan (30%) dan membangun 5.000 BTS dalam beberapa tahun kedepan.[91] Pemasaran dan ekspansi produk ini terus dilakukan pada 2013 seperti meluncurkan BlackBerry 10,[92] meluncurkan pembayaran sistem digital,[93] serta mengeluarkan beberapa kampanye program seperti "Pasti Plus" pada akhir Januari 2013[94] dan program "Semuanya Unlimited" pada Agustus 2013.[95] Mulai akhir Mei 2013 juga, AXIS melakukan perpindahan frekuensi 3G 2100 MHz-nya ke blok 11-12 dari sebelumnya 2-3.[96]
Akuisisi dan merger oleh XL Axiata
Walaupun AXIS bertumbuh dengan cepat dari hanya puluhan ribu pelanggan pada 2008 menjadi 16,8 juta pada 2011, namun bisa dikatakan bahwa usaha STC ini memang sulit untuk menembus persaingan pasar di Indonesia yang ketat. Seiring waktu, pada 2013 pengguna AXIS sudah menurun menjadi 13,3 juta, berada di posisi kelima dari 7 operator besar yang ada.[97][98] Meskipun AXIS pendapatannya meningkat, tetapi bagi STC, investasinya ini justru membawa kerugian dimana pada semester I 2013 mencapai Rp 1,6 triliun (SAR 604 juta). Rugi tersebut banyak disebabkan oleh penurunan kurs mata uang di pasar.[99]
Dengan kondisi tersebut, maka pada 30 Juni 2013, STC mengumumkan bahwa mereka hendak menjual kepemilikan sebesar 80,1% mereka di AXIS kepada pihak lain. Pada Mei 2013, sebuah sumber anonim menyatakan bahwa XL Axiata telah berminat untuk mengakuisisi perusahaan ini, walaupun belum terbukti.[100] Namun, memasuki Juni, rumor ini semakin berhembus kencang dengan adanya pemberitaan di media dan konfirmasi Kemenkominfo[101] yang tampaknya hendak memberikan lampu hijau untuk akuisisi ini. Kuatnya indikasi merger ini, misalnya dilatarbelakangi oleh kedua pihak yang sudah melakukan kerjasama seperti jaringan dan roaming sejak beberapa tahun sebelumnya, dari saat AXIS beroperasi.[102]
Rumor ini akhirnya terkonfirmasi lewat perjanjian jual-beli bersyarat atau conditional sales purchase agreement, yang dilakukan pada 26 Desember 2013. Dalam perjanjian jual-beli ini, STC dan Maxis lewat anak usahanya, Teleglobal BV dan Althem BV akan menjual seluruh kepemilikan sahamnya (95%) kepada XL Axiata.[103][104] XL Axiata akan mengeluarkan kocek senilai US$ 865 juta, yang digunakan untuk membayar saham dan hutang AXIS. Kondisi AXIS dalam akuisisi ini adalah akan bersih dari utang dan posisi kas nol (cash free and debt free).[105] Menurut Presiden Direktur XL, Hasnul Suhaimi, akuisisi ini dilakukan dalam rangka konsolidasi industri telekomunikasi, mampu memperkuat kinerja XL dan mengatasi masalah yang dihadapi XL. Pada saat itu, XL sedang menghadapi masalah di tengah transisi pasar yang berpindah dari jasa telepon/SMS ke layanan internet data yang memakan kapasitas besar, sehingga diharapkan XL dengan akuisisi ini bisa menambah frekuensinya.[104][106][107] Selain itu, akuisisi ini juga dilatarbelakangi beberapa hal seperti permasalahan hutang AXIS. Pada semester I 2013, hutang AXIS mencapai Rp 11 triliun, dan menurut MenkominfoTifatul Sembiring, AXIS bermasalah karena tidak mampu membayar Biaya Hak Penggunaaan (BHP) frekuensi mereka senilai Rp 1 triliun. Pada saat itu, Tifatul sempat berusaha membantu dengan menyarankan Telkomsel untuk membeli AXIS, tetapi Telkomsel menolak karena biaya awalnya Rp 17 triliun dianggap terlalu mahal. Jadilah XL yang menjadi pembeli AXIS, tetapi dengan harga lebih rendah dari taksiran awal US$ 880 juta.[108][109][110]
Dalam transaksi dimana Merrill Lynch (Singapore) Pte. Ltd. (Bank of America Merrill Lynch) bertindak sebagai penasihat keuangan dari XL ini,[111][112][113] XL mendapatkan dananya dari pinjaman beberapa pihak, yaitu dari induknya, Axiata senilai US$ 500 juta ditambah sisanya dari pinjaman bank asing yaitu UOB, Bank of Tokyo-Mitsubishi, dan DBS.[114] Sebelumnya, pihak XL juga sempat merencanakan menerbitkan obligasi, melakukan rights issue dan berbagai tindakan lainnya untuk mendapatkan pendanaan dalam proses akuisisi.[115] Transaksi ini rupanya mendapatkan "lampu hijau" dan persetujuan dari berbagai pihak, seperti Kemenkominfo, KPPU, RUPSLB pada Februari 2014 dan juga dari pasar saham sehingga berjalan dengan cukup baik.[116] Syaratnya, awalnya XL harus mengembalikan sejumlah frekuensi pada negara, dan masalah frekuensi ini sempat menimbulkan polemik di Kemenko Perekonomian dan Komisi I DPR.[117][118] Namun akhirnya pemerintah sepakat hanya frekuensi 2100 MHz yang dikembalikan ke pemerintah untuk nantinya dilelang.[119] (Walaupun demikian, BRTI berpendapat pengembalian ini tidak perlu dilakukan karena tidak ada aturan yang memerintahkan hal itu).[120]
Seiring waktu, kemudian pada tanggal 20 Maret2014, XL telah menyelesaikan kesepakatan akuisisi dengan penandatangan dokumen penyelesaian transaksi pada tanggal 19 Maret2014 antara XL dan STC. Dengan selesainya transaksi ini, maka XL telah secara resmi menjadi pemegang saham mayoritas (95%) di AXIS.[121] Seiring transaksi ini, juga ada perpindahan pemegang saham minoritas (5%) dari PT Harmersha Investindo yang dijual pada PT Pesona Nuansa Abadi dengan harga US$ 5, seiring dengan keuangan AXIS yang buruk (rugi Rp 7,31 T pada 2014).[122] Dari US$ 865 juta yang digunakan dalam akuisisi, US$ 100 dibayar pada Teleglobal BV dan sisanya untuk membayar hutang dan kewajiban AXIS.
Proses akuisisi ini rupanya tidak berakhir dengan kepemilikan saham mayoritas XL atas PT Axis Telekom, melainkan juga merger antara keduanya. Dalam proses merger ini, yang sudah disepakati sejak awal dan disetujui dalam RUPSLB XL Februari 2014, penggabungan usaha awalnya direncanakan terjadi pada 28 Februari 2014.[114][123] Dalam merger ini, XL akan memiliki 65 juta pelanggan dan 21% pangsa pasar, sedangkan merek AXIS tetap dipertahankan sebagai brand XL Axiata.[110] Setelah sempat tertunda, akhirnya pada 8 April 2014 keduanya resmi merger setelah mentandatangani perjanjian penggabungan.[124] Pemegang saham yang tersisa (5%) di AXIS, yaitu PT Pesona Nuansa Abadi, kemudian menjual sahamnya ke XL dalam proses merger ini sehingga dalam "detik-detik merger" ini kepemilikan XL atas PT Axis Telekom sudah mencapai 100%.[122][125] Merger ini menghasilkan XL Axiata sebagai surviving company, sedangkan PT Axis Telekom adalah perusahaan yang melebur. Setelah penggabungan usaha ini, kedua perusahaan tersebut melakukan integrasi di segala bidang, termasuk integrasi jaringan, pelanggan, sistem tarif, hingga sumber daya karyawan. Integrasi akan dipimpin oleh Ongki Kurniawan, Chief Service Management Officer XL. Setelah integrasi selesai, tongkat kepemimpinan akan kembali ke Hasnul.
Awalnya, tampak bahwa kebijakan mempertahankan merek AXIS masih dilakukan seiring dengan penuntasan proses integrasi kedua perusahaan yang memakan 3-9 bulan (dan akhirnya masih belum ditentukan), namun kemudian akhirnya diputuskan untuk mempertahankan merek AXIS.[126] Kebijakan XL Axiata yang tetap mempertahankan merek XL ini didasari sejumlah alasan, terutama untuk persaingan bisnis. Menurut pihak XL Axiata, AXIS akan diposisikan sebagai produk bagi kelas bawah, anak muda, pengguna data dan bertarif terjangkau dengan lawannya adalah Indosat dan Tri, sedangkan XL akan diposisikan melawan Telkomsel. Kedua merek akan fokus ke segmennya masing-masing dan tidak saling "kanibalisasi", melainkan saling melengkapi.[127][128][129] Hasnul Suhaimi menyatakan bahwa keuntungan akan diperoleh baik oleh pengguna XL dan AXIS: pengguna XL mendapat tambahan frekuensi sedangkan pemakai AXIS mendapat jaringan yang lebih luas.[130]
Wajah baru AXIS
Pada tanggal 30 Maret2015, AXIS kembali hadir dengan wajah baru setelah bergabung dengan XL.[131] Kini, merek layanan yang identik dengan warna ungu itu menawarkan gaya hidup baru dalam menggunakan layanan telekomunikasi melalui penyediaan layanan yang simpel, terutama untuk sekadar menelpon, SMS, dan data/internet sesuai kebutuhan dengan tarif irit. Pengenalan kembali AXIS kali ini ditandai dengan peluncuran program gaya hidup “Iritology” yakni penawaran layanan Ngobrol Irit, Ngenet Irit, Awet Irit, Axis Hura-Hura (hanya ada di Sumatra saja, diluncurkan bulan September 2016).
Dian Siswarini mengatakan, “Peluncuran kembali merek AXIS ini adalah tindak lanjut dari proses merger dan akuisisi sebelumnya. Keputusan mempertahankan merek AXIS adalah untuk memberikan layanan yang lengkap kepada pelanggan, sesuai dengan kebutuhan masing-masing. AXIS dan XL akan saling melengkapi satu sama lainnya dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. Nah, untuk AXIS baru ini, kami mengenalkan konsep Iritologi yakni gaya hidup menggunakan layanan telekomunikasi yang simple sesuai kebutuhan dengan tarif irit.”
Pada tanggal 14 November2023, XL Axiata memperkenalkan layanan migrasi operator seluler AXIS ke layanan operator seluler XL melalui aplikasi myXL dan AXISnet, hal ini tidak menghilangkan nomor ponsel AXIS dan paket sebelumnya.