Suku Kedayan
Suku Kedayan/Kadayan adalah salah satu dari tujuh suku bangsa asli Brunei. Suku Kedayan sering juga disebut Melayu Kedayan karena secara linguistik termasuk dalam rumpun bahasa Melayu Lokal. Sebagian suku Kedayan bermigrasi ke Sarawak dan Sabah. Orang Kedayan berpenduduk sekitar 240.000 jiwa. Bahasa Kedayan dianggap sebagai salah satu dialek dalam Bahasa Melayu Brunei. Kata Kedayan memiliki arti "Orang Pedalaman" atau "Orang Darat". Nama lama kepala suku dusun di Brunei juga disebut Kedayan atau Sang Kedayan. Sang Kedayan merupakan kata yang digunakan untuk membedakan "Orang Laut" (pesisir) dan Darat (Kedayan). Kedayan Islam/Kedayan Melayu diduga berkerabat dengan Kan(d)ayan Dayak dari Kalimantan Barat yang menyebar hingga ke pesisir utara Kalimantan sampai di Sipitang, Sabah. Sementara itu, suku Banjar dari Kalimantan Selatan menyebar hingga ke utara Kalimantan sampai ke Keningau, yaitu Kampung Banjar Keningau, yang berada di pedalaman Sabah di tengah-tengah suku Dayak Dusun dan Dayak Murut. Suku Kedayan merupakan salah satu bangsa yang menetap di Miri. Dipercayai berasal dari Brunei, kebanyakan bangsa Kedayan daerah Bekenu. Selain itu, bangsa Kedayan juga boleh ditemui di bagian utara Sarawak, pesisir timur Sabah dan Labuan. Bahasa yang digunakan ialah Bahasa Kedayan ("bahasa de facto" Brunei). Kaum Kedayan di Labuan bukannya orang pantai, dan cenderung menetap di kawasan pedalaman. Rumah-rumah di kampung dibina agak dekat antara satu sama lain, mengikut pola kelompok, dengan taman-taman bercabang seperti jejari ke luar.[1] Asal-Usul Suku Kedayan Di Brunei DarussalamMenurut penelitian Kedayan merupakan bangsa campuran dari Jawa Ponorogo dan Masyarakat Dayak Brunei yang mana peristiwa Sultan Brunei Ke 5 yaitu Sultan Bolkiah (1473-1521) yang rajin singgah di tanah nusantara seperti di Jawa, Sumatra, dan termasuklah Di tanah Filipina. Dan di tanah Jawa Baginda dapat melihat aktivitas orang Jawa yang rajin bercocok tanam dan bertani dan mereka ini dikenali dengan masyarakat agraris (hasil pangan mereka yang banyak membuahkan hasil), maka baginda segera menawarkan mereka untuk menetap di Brunei. Setelah di Brunei banyak aktivitas pertanian dibuat dengan giat dan banyak hasilnya lalu Baginda memberikan hadiah. Di sinilah mulanya ikatan pertalian dan persaudaraan orang Jawa Ponorogo melalui perkawinan campur dengan Masyarakat Melayu Brunei sehingga pada masa kini puak kedayan banyak menetap di Daerah Temburong, Tutong, Belait, dan Muara (Jerudong). Dan kemudian berpindah-pindah ada yang menetap di Sabah dan di Serawak. Pada tahun 144 masehi, Fa Hsien seorang Biksu Buddha dari Tiongkok singgah di Java-Dwipa dan tinggal di sana selama lima bulan [perlu diingat bahwa pada masa lalu] , Borneo (Kalimantan) disebut sebagai Jawa Besar dan pulau Jawa disebut Jawa Kecil. Juga disebut sebagai Varuna Dvipa dan Java Dvipa. Kemungkinan bahwa apa yang disebut sebagai Jawa adalah Pulau Borneo atau Kalimantan. Jawa disini bukanlah suku Jawa yang dimaksud tetapi daratan yang dinamai oleh orang luar untuk pulau Borneo (Kalimantan). Jawa kecil itulah yang kemungkinan besar adalah pulau jawa saat ini. Pulau Borneo sangat kaya bahasa. Ada ratusan jenis bahasa di Borneo dan beberapa di antaranya sudah mulai punah. Berdasarkan teori bahasa bahwa dimana kawasan yang terdapat banyak bahasa yang beragam adalah kemungkinan sebagai tanah asal usul bahasa yang digunakan di kawasan nusantara, artinya bahwa Kalimantan atau Borneo tersebut merupakan tanah leluhur masyarakat di pulau nusantara ini. Pendapat yang mengatakan suku Kedayan itu berasal dari Jawa dan dibawa ke Brunei oleh Sultan Bolkiah di tentang dan tidak disetujui oleh sebagian besar tokoh Kedayan. Ini karana dalam cerita rakyat Serawak khususnya suku Melanau, suku Kedayan itu memang telah ada di Brunei sebelum kedatangan Alak Betatar, sekitar tahun 1300. Menurut cerita itu, bangsa Kedayan itu bukanlah Melayu dan menjadi Melayu saat berdirinya kesultanan Brunei. Malah jika dilihat dalam Syair Awang Semaun, orang Kedayan memang telah ada di Brunei sejak abad ke 14. Mereka yang dikatakan menolong angkatan perang Johor mencari puteri Burung Pingai yang dilarikan oleh Awang Semaun untuk dijadikan isteri Alak Betatar. Malah sebagian besar tokoh budayawan Kedayan itu sendiri menolak teori Jawa ini dan mengakui kemungkinan Kedayan itu berasal dari Kalimantan atau istilah Jawa itu merujuk kepada wilayah Kalimantan yang menerima pengaruh Jawa Majapahit. Malah ada yang mengungkapkan bahwa suku Kedayan berasal dari Kutai. Menariknya, cerita rakyat Kedayan Laila Menchanai itu mirip kisah Puteri Junjung Buih kisah mitos kerajaan Kutai. Jika merujuk ke struktur dan kosakata bahasa Kedayan yang ada di kawasan Miri, Brunei, Sabah dan sebagian Kalimantan Timur jelas sudah bahwa orang kedayan bukanlah suku Melayu. Mereka adalah suku asli Borneo yang kini telah banyak memeluk agama Islam. Perkataan Melayu pada kata Melayu Kedayan merupakan bias dari pengaruh Islam kedalam suku kaum tersebut sehingga penyebutan istilah "Bahasa Melayu Kedayan" menjadi tercipa atau dibuat dalam kerangka politis. Walau bagaimanapun banyak orang Kedayan itu sendiri lebih senang dianggap sebagai suatu suku yang berbeda dengan Melayu walaupun mereka itu memeluk keyakinan yang sama yaitu Islam. Dalam Perlembangan Negeri Serawak Malaysia contohnya, suku Kedayan itu berdiri atas nama sukunya sendiri dan bukan bagian dari Melayu, Kedayan sama seperti bebearap suku Islam Serawak yang lainnya yang kekal menggunakan identitas masing-masing seperti suku Melanau. Sesungguhnya suku Kedayan/Kandayan yang ada di Brunei itu sendiri adalah orang Borneo asli yang beragama Islam, namun juga perlu diketahui bahwa suku Kedayan/Kandayan bukan hanya ada di kawasan Brunei, Miri, Kuala Belait, Tutong, Temburong, Sabah, Kalimantan Timur, namun penamaan Kedayan juga ada di Kabupaten Landak, Kabupaten Bengkayang, Kabupaten Sanggau, Kabupaten Sambas dan Kabupaten Kubu Raya di Kalimantan Barat-Indonesia. Suku kaum Kedayan di Kalbar justeru sebaliknya beragama Kristen baik Katolik ataupun Protestan. Tidak ada perbedaan bahasa yang terlalu signifikan antara Kedayan di Brunei dengan Kedayan di Kalimantan Barat dimana kosakata bahasa keduanya memiliki keterikatan yang sangat erat dan hampir 99% sama. Hanya saja uniknya adalah orang Kedayan di Kalbar lebih suka menyebut dirinya sebagai orang Dayak. Dari segi bahasa Kedayan di brunei dengan Kadayan di Kalbar memiliki kesamaan yang sangat tinggi hanya saja Kedayan di Brunei lebih berafiliasi menyebut diri sebagai "Melayu Kedayan". Hal tersebut dapat dimaklumi karena pengaruh Islam yang begitu besar pada zamannya. Sebelum Islam ada di Borneo hampir keseluruhan pulau borneo beragama Hindu yang dihelad oleh kerajaan Kutai semasa itu, yang artinya adalah tidak ada Islam, tidak ada Kristen dan tidak ada sebutan Melayu ataupun Dayak. Sebutan kedua nama "Melayu dan Dayak" sendiri adalah nama eksonem atau nama pemberian orang luar kepada suku kaum Borneo itu sendiri, artinya orang Borneo seharusnya tidak dipecahkan oleh dua istilah tersebut sebab semua berasal dari puak yang sama. Perbedaan agama dan sebutan suku yang kemudian melekat justeru menjadikan penduduk Borneo terpecah belah. Saya nyatakan hal ini sebab ayah saya seorang suku kaum Kandayan di Kalimantan Barat. Ketika saya membaca kamus Kandayan-Banjar-Indonesia terlihat jelas bahwa Suku Kaum Kandayan yang ada di Brunei memiliki kesamaan kosakata yang sangat tinggi hanya saja keyakinan kedua Kandayan tersebut kini berbeza yang satu Islam dan yang satu lagi Kristian. Inilah dasar saya mau menulis suntingan artiket tersebut bahwa Dayak Kandayan di KAlimantan Barat memiliki kesamaan yang besar dengan Kandayan di Brunei. Jadi ada benarnya juga bahwa orang Kandayan mungkin dahulu pada suatu masa telah menguasai daratan Borneo jauh lebih dahulu dari suku kaum lainnya sebab terlihat jelas bahwa bahasa Banjar juga memiliki kesamaan yang besar dengan bahasa Kandayan di Kalimantan Barat dan Brunei. Ini berarti jelas bahwa pada suatu masa Kandayan pernah berjaya dimana-mana kawasan di pulau Borneo ini. Dia pernah ada di Banjarmasin Kalimantan Selatan dan di Kalimantan Barat serta di sebagian kawasan Sarawak serta Brunei. Jika kita hendak menyatukan kembali khasanah suku kaum Kandayan hendaklah tidak memandang kepada kepercayaan masing-masing sebab kepercayaan atau agama boleh kita miliki dan juga boleh kita tinggalkan namun darah suku kaum bangsa Kandayan akan mungkinkah terbuang dari tubuh kita? Kita semua harus dapat menerima perbezaan itu kini sebab Kandayan boleh saja beragama Islam dan boleh saja beragama Ksristian, tiada yang melarang.Artinya apa? artinya adalah orang Kandayan is Kandayan. Ini sangat penting sebagai kajian bersama siapa sesungguhnya suku kaum Kandayan itu? Pakaian KedayanPakaian adat yang digunakan oleh masyarakat Kedayan berwarna hitam dengan tepi warna merah, warna ini merupakan pengaruh yang kuat dari Penadon pakaian adat Ponorogo yang merupakan leluhur suku kedayan. Kala itu petani Ponorogo dibawa oleh sultan Bolkiah V sebagai petani pilihan terbaik untuk mengajarkan teknik bertani di Brunei. Bahasa KedayanBahasa Kedayan merupakan satu kelainan bahasa Melayu. Abjad bahasa Kedaya hanya terdiri daripada 18 huruf, seperti berikut: Kecuali dipengaruhi oleh bahasa Melayu yang dipelajari oleh orang-orang Kedayan sebagai lingua franca, vokal o dan e hampir tidak wujud dalam perbendaharaan kata bahasa Kedayan. Umpamanya:
Vokal o hanya wujud sebagai gandingan kepada konsonan r, umpamanya taloo untuk 'telur', dengan o berfungsi sebagai konsonan gantian. Konsonan bahasa Melayu yang ditinggalkan oleh bahasa Kedayan ialah f, q, r, v, z ( x tidak wujud dalam abjad bahasa Melayu). Bagaimanapun, ketinggalan konsonan r merupakan satu huruf paling nyata. Bergantung kepada bunyi dan gandingan huruf, perkataan bahasa Kedayan akan berbunyi seperti berikut:
Kecuali ketika mengikut dasar sistem ejaan bahasa Melayu yang menetapkan bahawa semua perkataan pinzaman perlu sedapat-dapatnya mengekalkan bunyinya, bahasa Kedayan hanya menggunakan 18 huruf yang tersebut.[2] Kamus Bahasa Kedayan (kxd-ked)[3]
Di sini jelas bahawa Bahasa Kadayan seperti mana bahasa Asia Tenggara lainnya ada "Kelainan daripada bahasa Melayu" artinya bahasa Kadayan memiliki perbedaan dengan bahasa Melayu dari semenanjung yang juga memiliki beratus-ratus dialek yang berbeza-beza. Ini karena memang jelas bahwa Kadayan yang miskin dengan kepelbagaian tidak sepertimana kepelbagaian dialek Melayu di semenanjung. Sebagai misal,dalam bahasa melayu yang kaya dialek ini perkataan bodoh sahaja terdiri dari beratus-ratus perkataan seperti pahaloy, bahaloi, balul, paluy, poloi, bangang, bahlul, bingung, gubluk , goblok dan lain-lain tetapi dalam kedayan hanya ada satu iaitu palui sahaja. kedayan adalah bangsa terasing tidak seperti bangsa agung lain yang banyak suku kaumnya seperti cina atau Tamil. Kadayan sendiri merupakan suku kaum asli pulau Borneo yang telah memilih Islam sebagai pegangan hidup namun sebelum ISlam masuk tentulah Kadayan adalah orang asli Borneo yang disebut sebagai Dayak. Pengaruh ISlam telah begitu besar memengaruhi kehidupan masyarakat Kadayan sehingga perlahan-lahan ISlam menjadi bagian dari hidup orang Kadayan yang pada akhirnya secara politis dikarenakan telah memeluk Islam disebut sebagai "Melayu Kadayan". Kesamaan antara Kadayan yang menyebut diri sebagai "Melayu Kadayan" dengan Kadayan yang menyebut diri sebagai "Dayak Kadayan" adalah daripada bahasanya. Kedua dua belah pihak memiliki bahasa yang serupa. Mungkinlah perlu kajian mendalam daripada hal ini untuk menjelaskan lebih jauh siapa sebenarnya orang Kadayan tersebut. Ada istilah yang mengatakan bahwa "Bahasa adalah indentity bangsa", artinya dari bahasalah kita tahu siapa mereka. Hal itu sama dengan perumpamaan buah asam. Untuk mengenal buah asam tentulah kita akan mencium baunya sehingga kita tahu kalau itu adalah buah asam sekalipun bentuk dan rupa buah itu tidaklah selalu sama. Resam asam itu bermacam-macam tetapi memiliki bau yang serupa. Nah seperti itulah kita mengenal siapa orang Kadayan. Untuk mengenal nya tentulah kita lebih dulu harus tahu dari bahasanya dan kosakata bahasanya. Apabila memiliki kesamaan 80% berarti ia adalah kumpulan resam suku kaum Kandayan sekalipun agama dan sebutan suku kaumnya sudah berbeza. Perbandingan antara bahasa Kadayan, Banjar, dan Indonesia
Perbandiangan antara bahasa Kadayan, Kutai, dan Indonesia
Perbandiangan antara bahasa Kadayan, Jawa, dan Indonesia
bahasa Nusantara ialah bahasa indonesia + melayu + brunei Pada tajuk diatas disebutkan bahwa orang Kandayan adalah campuran daripada orang Jawa dengan orang Borneo atau Brunei, hal ini perlu kajian mendalam sebab daripada kosakata bahasa saja antara orang Kandayan dengan Jawa sangatlah jauh perbezaannya walaupun boleh saja pemahaman akan adanya percampuran tersebut boleh berlaku semasa dahulu namun bukanlah berarti orang Kandayan adalah campuran orang Jawa dengan orang Brunei atau orang Borneo sebab tidaklah patut jika hal tersebut menjadi legal sebab hal tersebut masih harus diyakinkan lagi dengan penelitian. Kita boleh jabarkan daripada kosakata antara Kandayan Brunei-Jawa-Kandayan Kalbar sebagai berikut: JAWA - KANDAYAN KALBAR - INDONESIA sing nang yang opo ahe apa emoh bai' tidak mau nengdi ka' mae ke mana sopo sae siapa ngene lea nian begini mlaku bajalatn jalan-jalan kesusu ganceh buru-buru lele kalek ikan kelik/lele pikun tuha tua masih banyak lagi perbedaan bahasa Jawa yang tidak mendekati bahasa Kandayan sehingga tidak dapat dikatakan bahwa Orang Kandayan merupakan keturunan orang Jawa, Dari segi fisik mungkin saja ada terjadi percampuran tetapi dari segi bahasa sama sekali tidak sama. Itu contoh sederhana yang terlihat bahwa ternya itu bukanlah buah asam tetapi buah lain yang baunya juga tidak berbau buah asam. Disini jelas bahwa bahasa Jawa berbeda dengan bahasa Kandayan. Bahasa Dayak dan Melayu justeru memiliki kekerabatan yang sangat dekat dengan bahasa Kandayan karena memang Melayu dan Dayak merupakan satu rumpun tertua yang ada di kawasan nusantara. Referensi
Pranala luar
|