Perbudakan Modern (Bahasa Inggris: Modern Slavery) merupakan suatu praktik eksploitatif yang menimpa seseorang atau sekelompok akibat adanya ancaman baik fisik maupun nonfisik (re: kekerasan), pemaksaan, penipuan, dan/atau penyalahgunaan kekuasaan.[1] Perbudakan Modern memiliki beragam jenis, diantaranya adalah perdagangan manusia, kerja paksa, bonded labor, eksploitasi seksual, perbudakan domestik, perkawinan paksa, pengambilan organ tubuh ilegal.[2] Laporan dari penelitian bersama yang dilakukan oleh International Labour Organization (ILO), Walk Free Foundation, International Organization for Migration (IOM), dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) lainnya seperti Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights (OHCHR) memperkirakan bahwa pada tahun 2016 terdapat 40,3 juta orang yang mengalami perbudakan modern, 24,9 juta diantaranya tergolong dalam kategori forced labor atau kerja paksa. Dari 24,9 juta orang yang terjebak dalam kerja paksa tersebut, 16 juta orang diantaranya dieksploitasi di sektor swasta seperti pekerjaan rumah tangga, konstruksi atau pertanian, sedangkan 4,8 juta orang dieksploitasi secara seksual, dan 4 juta orang terjebak dalam kerja paksa yang didukung oleh otoritas negara.[3]
Sejarah Perbudakan
Perbudakan adalah kondisi di mana terjadi penguasaan atau pengontrolan seseorang oleh orang lain dan biasanya terjadi untuk memenuhi kebutuhan akan buruh atau kegiatan seksual. Orang yang merupakan korban dari kegiatan ini disebut sebagai budak. Menurut para ahli sejarah, perbudakan pertama-tama diketahui terjadi di masyarakat Sumeria (yang sekarang adalah Irak) lebih dari lima-ribu tahun yang lalu. Perbudakan juga terjadi di masyarakat Cina,India, Afrika, Timur-Tengah dan Amerika. Kebanyakan orang kuno berpendapat bahwa perbudakan merupakan keadaan alam yang wajar, yang dapat terjadi terhadap siapapun dan kapanpun. Tidak banyak yang memandang perbudakan sebagai praktik jahat atau tidak adil. Sebagaimana dikatakan oleh Aristoteles, “Seseorang harus memerintah dan lainnya mematuhi, keduanya sama-sama dibutuhkan. Memang ada beberapa hal yang telah ditentukan sejak kelahiran, antara lain ada yang ditakdirkan untuk memerintah, dan ada yang diperintah”[4]
Perdagangan budak trans-Atlantik yang terjadi di sepanjang Samudera Atlantik dari abad ke-15 sampai ke-19 menjadi momentum kelam peristiwa perbudakan global. Sebagian besar orang yang diperbudak dibawa ke Dunia Baru (merujuk pada benua Amerika), mereka adalah orang-orang Afrika dari bagian tengah dan barat benua tersebut yang dijual oleh orang Afrika lainnya kepada pedagang budak dari Eropa Barat.[5] Perdagangan budak menjadi peristiwa krusial bagi negara-negara Eropa Barat pada akhir abad ke-17 dan ke-18, kala itu bangsa Eropa saling bersaing memperebutkan wilayah-wilayah jajahan.[6] Bangsa Portugis merupakan bangsa pertama yang melakukan perdagangan budak di Dunia Baru pada abad ke-16.[7] Pada 1526, bangsa Portugis menyelesaikan perjalanan budak trans-atlantik pertama dari Afrika ke benua Amerika, dan negara-negara lainnya.[6] Budak-budak tersebut dijual untuk dipekerjakan di perkebunan kopi, tembakau, kokoa, gula dan kapas, pertambangan emas dan perak, ladang padi, industri pembangunan, penebangan kayu untuk perkapalan, dan sebagai pekerja domestik (asisten rumah tangga).[8]
Perbudakan mulai dipandang sebagai tindak kejahatan antara tahun 1777 dan 1804. Di Eropa, Denmark menarik diri dari perdagangan budak pada 1792 dan Inggris pada 1807. Namun, penyelundupan budak terus berlangsung, Angkatan Laut Inggris menutup perdagangan budak sejak 1815. Akan tetapi, perbudakan masih dianggap hal yang sah di tempat lain. Pemberontakan budak di koloni Prancis, Santo Domingo pada 1791-1793 mendorong penghapusan perbudakan oleh Prancis, tetapi dilegalkan lagi pada 1803. Pada 1831, pemberontakan budak di Virginia, Amerika Serikat, yang dipimpin oleh Nat Turner (1800-1831) menyebabkan dikeluarkannya peraturan baru yang keras terhadap praktik perbudakan dan menyebabkan meningkatnya dukungan bagi anti-perbudakan di antara penduduk kulit putih. Kemudian gerakan abolisionis perbudakan bermunculan sebagai upaya untuk menghentikan perdagangan budak trans-atlantic dan pembebaskan budak-budak yang berada di koloni negara-negara Eropa dan di Amerika Serikat. Pada tahun 1904 di Paris terbentuklah kesepakatan yang menentang adanya perdagangan budak yang ditujukkan untuk tindakan asusila, tertuang dalam International Agreement on the Supression of White Slave Traffic.[9]
Langkah untuk mengatasi perbudakan dan eksploitasi manusia di tingkat internasional pertama kali diumumkan oleh sebuah deklarasi di Kongres Wina pada 1815. Kemudian Liga Bangsa-Bangsa (LBB) pada tahun 1922 mengeluarkan resolusi yang disahkan oleh Majelis Umum yang dimaksudkan untuk menghilangkan perbudakan di Ethiopia.[10] Kemudian pada tahun 1924, Dewan Liga Bangsa-Bangsa mendirikan Komisi Perbudakan Sementara, yang terdiri dari para ahli yang bertugas untuk merumuskan Konvensi Perbudakan. Konvensi Perbudakan ini kemudian pertama kali ditandatangani pada 25 September 1926 yang kemudian dikenal dengan 1926 Slavery Convention or the Convention atau Suppress the Slave Trade and Slavery.
Konvensi Perbudakan 1926 merupakan sebuah perjanjian internasional yang dibuat di bawah naungan Liga Bangsa-Bangsa yang bertujuan untuk menekan perbudakan dan perdagangan budak. Dalam konvensi tersebut disebutkan bahwa negara-negara yang menandatangani setuju untuk mencegah dan mengapuskan segala bentuk perbudakan seperti yang tertuang dalam Pasal 2 “The parties agreed to prevent and suppress the slave trade and to progressively bring about the complete elimination of slavery in all its forms.”[11] Serta sepakat untuk menjatuhkan hukuman kepada para pelaku yang terlibat dalam rantai kejahatan perbudakan yang disebutkan dalam Pasal 6 Konvensi tersebut “The parties undertook to promulgate severe penalties for slave trading, slaveholding, and enslavement.”[11] Dengan berjalannya waktu pada tahun 1926 terdapat 30 anggota Liga Bangsa Bangsa meratifikasi konvensi pelarangan perbudakan dan perdagangan budak antara lain Afghanistan yang berkomitemen untuk menghapuskan perbudakan pada tahun 1923, Nepal pada tahun 1925, Transjordan dan Persia (Irak & Iran) pada tahun 1929, Bahrain pada tahun 1937 dan Ethiopia pada tahun 1942.[12]
Setelah dibubarkannya LBB, Konvensi ini kemudian diamandemen oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) melalui Protokol Tambahan yang dikenal dengan Supplementary Convention on the Abolition of Slavery, the Slave Trade, and Institutions and Practices Similar to Slavery pada tahu 1956.[12] Selain itu, pada tahun 1948 The United Nations General Assembly atau Sidang Umum PBB mengadopsi “Universal Declaration of Human Right” (UDHR) yang secara eksplisit mengutuk perbudakan dan perdagangan budak dalam segala bentuk. UDHR ini menjadi instrumen HAM internasional yang penting dan telah disetujui oleh mayoritas negara-negara di dunia.
Definisi Perbudakan
Definisi perbudakan tercantum dalam Pasal 1 Konvensi Perbudakan 1926, yang berbunyi: “the status or condition of a person over whom any or all of the powers attaching to the right of ownership are exercised”,[13] definisi tersebut kemudian diamandemen dengan menambahkan definisi korban perbudakan (budak) melalui Pasal 7(a) Konvensi Tambahan Penghapusan Perbudakan, Perdagangan Budak, serta Institusi dan Prakik yang serupa dengan Perbudakan (Supplementary Convention on the Abolition of Slavery, the Slave Trade, and Institutions and Practices Similar to Slavery) bahwa budak adalah ... ‘slave’ means a person in such condition or status”.[14] Kemudian dalam Statuta Roma, perbudakan dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan di bawah Pasal 7 Ayat 2(c) dan didefinisikan dalam Pasal 7 Ayat 2(c) sebagai “the exercise of any or all of the powers attaching to the right of ownership over a person and includes the exercise of such power in the course of trafficking in persons, in particular women and children.”[15] Persamaan dari definisi yang tercantum dalam Konvensi Perbudakan 1926 dan Statuta Roma 1998 adalah adanya “the powers attaching to the right of ownership.” yang artinya unsur kepemilihan atau ownership menjadi sine qua non (suatu kondisi yang tidak terelakan adanya) dari segala definisi perbudakan dalam hukum internasional.[16]
Jean Allain, guru besar Fakultas Hukum di Queen’s University of Belfast mengatakan “there has yet to appear a thorough legal analysis of what that term means in international law.”[16] Pernyataan tersebut memiliki impliksi bahwasannya definisi perbudakan masih bersifat ambigu dalam hukum internasional. Faktanya apabila menelisik berbagai macam instrumen hukum internasional yang ada, seringkali tidak ada kesepakatan untuk menyebut perbudakan dengan istilah slavery, enslavement, serfdom, servitude dan praktik ekspoloitasi lainnya. Contohnya, Pasal 6 (c) Piagam IMT Nuremburg menyebut perbudakan sebagai enslavement,[17] namun dalam Konvensi Perbudakan 1926, perbudakan diistilahkan dengan slavery. Penggunaan istilah lainnya dalam perbudakan juga terjadi dalam kasus Siliadin v. France yang di bawa ke Mahkamah Eropa (European Court) pada tahun 2005. Dalam kasus tersebut perbudakan diistilahkan dengan servitude dimana anak-anak Togo dipekerjakan secara paksa dengan tidak dibayarkan lebih dari empat tahun, bekerja selama 15 jam sehari dengan tanpa hari libur. Penggunaan servitude dipilih sebab definisi perbudakan yang tertuang dalam Konvensi Perbudakan 1926 adalah definisi yang merujuk pada praktik perbudakan di masa lampau sehingga kurang relevan apabila digunakan untuk praktik eksploitasi yang terjadi di abas 21.[18]
Kemudian dalam kasus perbudakan seksual yang terjadi di Yugoslavia, The Appeal Chamber (para jaksa yang menangani kasus tersebut) menyebut konsep perbudakan yang tertuang dalam Konvensi Perbudakan 1926 sangatlah tradisional sebab hanya merujuk pada praktik chattel slavery di masa lampau. Padahal perbudakan telah berevolusi ke dalam bentuk-bentuk eksploitatif modern lainnya.[19]
Definisi Perbudakan Modern
Manifestasi perbudakan telah berkembang mengikuti perkembangan zaman. Lahirnya istilah baru berupa perbudakan modern mencerminkan adanya transformasi bentuk atas perbudakan tradisional.[1] Perbudakan tradisional erat kaitannya dengan peristiwa Perdagangan Budak Trans-Atlantik (Bahasa Inggris: Trans-Atlantic Slave Trade). Perbudakan Tradisional (Bahasa Inggris: Chattel slavery) merujuk pada kondisi perbudakan di mana seseorang dimiliki layaknya sebuah barang,[20] seperti ternak atau perabotan, dan dapat dijual atau dipindahtangankan kepada orang lain.[21] Praktik perbudakan tradisional telah jarang ditemui pada abad ke-21.[21]
Dalam konteks modern, terdapat beberapa indikator yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi kondisi perbudakan yang dialami oleh individu, diantarannya: (i) tingkat pembatasan hak inheren individu atas kebebasan bergerak (Bahasa Inggris: freedom of movement); (ii) tingkat kendali atas barang-barang pribadi individu; dan (iii) adanya persetujuan afirmatif dan pemahaman penuh tentang sifat hubungan antara para pihak.[21] Belum ada definisi perbudakan modern yang diakui secara internasional, istilah ini digunakan untuk mencakup berbagai praktik eksploitatif termasuk perdagangan manusia, perbudakan, kerja paksa, pekerja anak, pengambilan organ tubuh, dan praktik serupa perbudakan.[22] Penggunaan istilah perbudakan modern sering digunakan oleh berbagai aktor-aktor internasional, termasuk, antara lain, organisasi internasional, Negara, entitas sui generis, seperti Tahta Suci, organisasi non-pemerintah (LSM), kelompok dan jaringan informal, serta cendekiawan dan media massa.[23]
Pada tahun 2015, pemerintah Inggris mengeluarkan Modern Slavery Act, Inggris menjadi negara pertama yang menggunakan istilah perbudakan modern sebagai tindak pidana yang berdiri sendiri. Penggunaan istilah perbudakan modern sebagai nama dari produk legislasi nasional merupakan yang pertama di dunia karena tidak dicampuradukkan dengan perdagangan manusia, kondisi kerja yang tidak layak, pekerja anak, maupun istilah lainnya.[24] Berdasarkan Modern Slavery Act 2015, pelanggaran perbudakan modern mencakup perbudakan, penghambaan (Bahasa Inggris: servitude), kerja paksa (Bahasa Inggris: forced labor) atau wajib kerja , dan perdagangan manusia (Bahasa Inggris: human trafficking).[22]
Bentuk-Bentuk Perbudakan Modern
Perbudakan dapat terjadi dalam berbagai bentuk eksploitasi seperti prostitusi secara paksa, kerja paksa, pengemis paksa, kriminalitas paksa, pembantu rumah tangga, pernikahan paksa, dan pengambilan organ tubuh secara paksa.[2] Konvensi Tambahan Perbudakan (The Supplementary Convention on the Abolition of Slavery, the Slave Trade and Institutions and Practices Similar to Slavery of 1956) mewajibkan setiap negara yang meratifikasi untuk menghapuskan segala praktik perdukunan dan adat kebiasaan yang mirip dengan kondisi “servile status” seperti:
Perbudakan Utang atau Debt Bondage
Salah satu bentuk paksaan yang digunakan dalam praktik perbudakan modern adalah dengan menggunakan modus operandiperbudakan utang.[25] Berdasarkan Konvensi Tambahan Penghapusan Perbudakan, Perdagangan Budak, dan Institusi dan Praktik-Praktik Serupa Perbudakan (Bahasa Inggris: Supplementary Convention to the Abolition of Slavery, the Slave Trade and Institutions and Practices Similar to Slavery),perbudakan utang didefinisikan sebagai:
"Status atau kondisi yang timbul dari jaminan oleh debitur atas jasa-jasa pribadinya atau dari orang-orang yang berada di bawah kendalinya sebagai jaminan utang, jika nilai jasa-jasa itu menurut penilaian yang wajar tidak diterapkan terhadap likuidasi utang atau panjang dan sifat layanan tersebut masing-masing tidak dibatasi dan ditentukan"
Di Asia Selatan diperkirakan ada jutaan korban perdagangan manusia yang bekerja untuk melunasi hutang nenek moyang mereka. Yang lain menjadi korban pedagang atau perekrut yang secara tidak sah mengeksploitasi hutang awal yang diasumsikan, disadari atau tidak, sebagai jangka waktu kerja. Para pedagang, agen tenaga kerja, perekrut, dan majikan baik di negara asal maupun negara tujuan dapat berkontribusi pada jeratan hutang dengan membebankan biaya perekrutan pekerja dan tingkat bunga yang terlalu tinggi, sehingga sulit bagi korban praktik perbudakan utang untuk melunasinya. Keadaan seperti itu dapat terjadi dalam konteks pekerjaan temporer atau sementara di mana status hukum pekerja di negara tujuan terikat dengan pemberi kerja sehingga pekerja yang merupakan korban praktik perbudakan utang takut mencari ganti rugi.[25]
Serfdom
Merupakan kondisi yang dialami petani atau lebih tepatnya buruh tani yang berdasarkan hukum, perjanjian, atau adat istiadat diharuskan untuk manggarap tanah milik orang lain.[14] Praktik serfdom ini membuat korbannya menjadi terikat dengan ladang tersebut, mereka juga tidak memiliki kebebasan selayaknya manusia pada umumnya, seperti tidak boleh pergi tanpa izin tuan tanah, bahkan segala keputusan yang berhubungan dengan masalah personal seperti menikah, menjual barang, atau mengubah pekerjaan mereka tetap harus melibatkan sang tuan tanah.[26]
Kerja Paksa atau Forced Labor
Kerja paksa dapat diartikan sebagai pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang tanpa adanya kehendak pribadi dan dilakukan di bawah ancaman seperti kekerasan, intimidasi, dan bentuk ancaman-ancaman lainnya.atau dengan cara yang lebih halus seperti utang yang dimanipulasi, penyimpanan surat-surat identitas atau ancaman pengaduan kepada otoritas imigrasi.[3]
Kerja paksa atau forced labor merupakan perbuatan yang dikutuk oleh komunitas internasional, yang mana praktik jenis ini merupakan bentuk baru dari perbudakan. Definisi dari perbudakan terdapat dalam Konvensi tentang Kerja Paksa 1930 Pasal 1 Ayat 2 yang berbunyi “all work or service which is exacted from any person under the menace of any penalty and for which the said person has not offered himself voluntarily”.[27] Yang membedakan praktik kerja paksa dengan perbudakan tradisional adalah ketiadaan konsep kepemilikan dalam definisi kerja paksa. Namun secara jelas bahwa kerja paksa memiliki karakteristik dari perbudakan yaitu pembatasan terhadap kebebasan individu dan adanya elemen kekerasan yang dapat menimbulkan efek yang sama seperti korban-korban perbudakan tradisional (chattel slavery).[21]
ILO melalui ILO’s Special Action Programme to Combat Forced Labour (SAP-FL) telah mengeluarkan 11 indikator yang dapat digunakan untuk menganalisis praktik kerja paksa atau forced labor. Indikator tersebut meliputi: (1) memanfaatkan kerentanan atau vulnerabilitas korban; (2) penipuan; (3) pembatasan pergerakan; (4) isolasi; (5) kekerasan fisik dan seksual; (6) intimidasi dan ancaman; (7) perampasan dokumen identitas; (8) pemotongan upah; (9) jeratan hutang; (10) kondisi kerja dan hidup yang tidak layak; dan (11) jam lembur yang berlebihan. Adanya satu indikator tunggal dapat menyiratkan bahwa seorang individu berada dalam situasi kerja paksa, namun dalam banyak kasus yang terjadi adalah kombinasi dari beberapa indikator secara bersamaan.[28]
Pekerja Anak atau Child Labor
PBB mengilustrasikan secara global terdapat 1 dari 10 anak yang bekerja.[1] Berdasarkan Konvensi ILO Nomor 182 mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak (Bahasa Inggris: ILO Convention Number 182 Concerning the Prohibition and Immediate Action for the Elimination of the Worst Forms of Child Labour) mendefinisikan anak sebagai "semua orang yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun.[29] Mayoritas pekerja anak yang terjadi saat ini adalah untuk dieksploitasi secara ekonomi. Kondisi tersebut bertentangan dengan Konvensi Hak-Hak Anak (Bahasa Inggris: Convention on the Rights of the Child), yang mengakui “hak anak untuk dilindungi dari eksploitasi ekonomi dan dari melakukan pekerjaan apa pun yang mungkin berbahaya atau mengganggu pendidikan anak, atau berbahaya bagi kesehatan anak atau perkembangan fisik, mental, spiritual, moral atau sosial.”[1]
Dalam Konvensi Konvensi ILO Nomor 182 mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak, disebutkan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak meliputi:
"(a) segala bentuk perbudakan atau praktek sejenis perbudakan, seperti penjualan dan perdagangan anak, kerja ijon (debt bondage), dan perhambaan serta kerja paksa atau wajib kerja, termasuk pengerahan anak secara paksa atau wajib untuk dimanfaatkan dalam konflik bersenjata;
(b) pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk pelacuran, untuk produksi pornografi, atau untuk pertunjukan-pertunjukan porno;
(c) pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk kegiatan terlarang, khususnya untuk produksi dan perdagangan obat-obatan sebagaimana diatur dalam perjanjian internasional yang relevan;
(d) pekerjaan yang sifat atau keadaan tempat pekerjaan itu dilakukan dapat membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak-anak."[29]
Perdagangan Manusia
Pada Artikel 3 Klausa huruf (a) dalam Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, specially Women and Children atau Protokol Palermo Tahun 2000 mendefinisikan perdagangan manusia sebagai:
" perekrutan, pengantaran, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan orang, dengan menggunakan ancaman atau kekerasan atau bentuk paksaan lain, penculikan, penipuan, pembohongan, penyalahgunaan kekuasaan atau kedudukan rentan atau dengan memberikan atau menerima bayaran atau keuntungan untuk mendapatkan kewenangan dari seseorang untuk mendapatkan kuasa penuh atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi.[30]
Dalam klausa huruf (c) dalam Protokol untuk Mencegah, Menindak, dan Menghukum Perdagangan Orang, Terutama Perempuan dan Anak-Anak (Bahasa Inggris: Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, specially Women and Children) disebutkan bahwa segala bentuk eksploitasi yang melibatkan anak-anak dapat dikategorikan sebagai bentuk perdagangan manusia, sekalipun tidak digunakan cara-cara seperti kekerasan, penipuan, kebohongan, dan lain-lain.[30] Terjemahan dari Klausa huruf (c) yang dimaksud adalah sebagai berikut:
“Perekrutan, penghantaran, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan seorang anak-anak untuk tujuan eksploitasi harus dianggap sebagai ‘perdagangan orang’ bahkan jika ini tidak melibatkan cara-cara yang ditetapkan dalam klausa (a) pasal ini; ‘anak-anak’ artinya mereka yang berusia dibawah delapan belas tahun”.[30]
Berdasarkan tujuan pengirimannya, perdagangan manusia dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu perdagangan dalam negeri (Bahasa Inggris: internal-trafficking) dan perdagangan manusia antarnegara/lintas batas (Bahasa Inggris: international trafficking). Perdagangan internal biasanya berlangsung dari desa ke kota atau dari kota kecil ke kota besar namun masih berada dalams satu wilayah negara yang sama. Sedangkan perdagangan antarnegara adalah perdagangan manusia dari satu negara ke negara yang lain. Perdagangan manusia antarnegara pada umumnya berkaitan dengan masalah keimigrasian. Orang masuk dari dan ke satu negera biasanya melewati jalur resmi, akan tetapi perdagangan manusia antarnegara melalui jalur tidak resmi.[30]
Pada tahun 2018, Organisasi Buruh Internasional (ILO) menegaskan bahwa sekitar 40 juta orang menjadi korban Perdagangan Manusia. Sekitar 90 persen dari semua kasus yang terdeteksi adalah untuk eksploitasi seksual atau tujuan kerja paksa. Sisa 10 persen kasus sering disatukan dalam kategori “bentuk lain”—termasuk perdagangan organ ilegal.[31] Karenanya, berdasarkan bentuk eksploitasi secara ekonomi, Interpol membagi perdagangan manusia menjadi kategori berikut:
a. Perdagangan Manusia untuk Kerja Paksa
Perdagangan Manusia untuk Kerja Paksa dapat terdjadi di sektor domestik dan sektor publik.[30] Kerja paksa di sektor domestik juga dikenal dengan istilah involuntary domestic servitude, istilah domestik disematkan karena lokus kejahatan terjadi di dalam rumah. ILO dalam laporannya menggambarkan keadaan eskploitatif yang dialami oleh domestic labor, bahwa 75 persen domestic labor yang bekerja di lima Negara (Bangladesh, Indonesia, Nepal, Sri Langka) bekerja lebih dari 8 jam sehari. Selain itu, dokumen legal mereka ditahan oleh majikan atau penyalur tenaga kerja, mereka juga mengalami kekerasan fisik, pelecehan seksual, pemerkosaan, kekurangan makanan, pemotongan gaji, dan kondisi atau lingkungan kerja yang tidak layak.[30]
Di sektor publik, korban dapat terlibat dalam pekerjaan pertanian, pertambangan, perikanan atau konstruksi.[32] Contoh dari perdagangan manusia untuk kerja paksa di sektor publik adalah ekploitasi yang dialami oleh pekerja migran dalam pembangunan fasilitas olahraga dan infrastruktur lainnya di Qatar untuk mempersiapkan Piala Dunia 2022.[33] Pada tahun 2013, Kedutaan Besar Nepal di Qatar mencatat setidaknya terdapat 44 pekerja yang meninggal dalam kurun waktu 4 Juni-8 Agustus. Investigasi yang dilakukan juga menunjukkan adanya bukti kerja paksa dalam pembangunan infrastruktur Piala Dunia 2022 di Qatar dengan bukti adanya penahanan dokumen dan keengganan penyalur tenaga kerja untuk mengurus dokumen keimigrasian agar status korban menjadi pekerja illegal, penahanan/ pemotongan/ keterlambatan pembayaran gaji, dan pembatasan terhadap akses terhadap air minum dan makanan yang layak.[33]
b. Perdagangan Manusia untuk Eksploitasi Seksual
Berdasarkan dokumen Global Report on Trafficking in Persons yang dipublikasikan oleh UNODC, bentuk perdagangan manusia yang paling umum (79%) adalah eksploitasi seksual. Korban eksploitasi seksual sebagian besar adalah perempuan dan anak perempuan.[34] Di Amerika Serikat, melalui Trafficking Victims Protection Act Tahun 2000 yang kemudian diamandemen dengan Justice for Victims of Trafficking Act Tahun 2015, mendefinisikan perdagangan seks sebagai:
"merekrut, menyembunyikan, mengangkut, menyediakan, memperoleh, menggurui, atau meminta seseorang melalui kekerasan, penipuan, atau paksaan untuk tujuan seks komersial”[35]
Bisnis seks kontemporer melibatkan eksploitasi yang sistematis. Eksploitasi terhadap pekerja seks terutama diindikasikan dengan adanya kekerasan dan tidak membayar jasa servis seks. Para korban pelacuran terbiasa mengalami pemerkosaan, penyiksaan, kelaparan, bahkan pembunuhan, juga secara langsung atau tidak langsung mengakibatkan penularan penyakit seksual dan pemakaian psikotropika.[36]
c. Perdagangan Manusia untuk Aktivitas Kriminal
Bentuk perdagangan menusia jenis ini memungkinkan jaringan kriminal untuk meraup keuntungan dari berbagai kegiatan terlarang dengan memanfaatkan kerentanan korban untuk meminimalisir risiko penegakan hukum. Korban dipaksa untuk melakukan berbagai kegiatan ilegal, yang pada gilirannya menghasilkan pendapatan. Kegiatan ilegal yang dimaksud mencakup pencurian, produksi dan distribusi narkoba, penjualan barang palsu, atau pengemis paksa. Para korban seringkali memiliki kuota atau target minimum yang harus dipenuhi dan dapat menghadapi hukuman berat jika mereka tidak bekerja dengan baik.[32] Contoh dari perdagangan manusia jenis ini adalah kasus perdagangan manusia, yang menimpa terpidana mati kasus narkoba, Mary Jane Fiesta Veloso, penduduk Filipina.[37] Sebagai informasi, Mary Jane Fiesta Veloso, ditangkap atas tuduhan membawa heroin seberat 2,6 kilogram di Bandar Udara Adisucipto, Yogyakarta, pada 25 April 2010 silam menggunakan penerbangan pesawat Air Asia dari Kuala Lumpur ke Yogyakarta. Pada 11 Oktober 2010, Pengadilan Negeri Sleman, Yogyakarta, memberikan vonis mati kepada Mary Jane. Putusan tersebut kemudian diperkuat hingga kasasi, bahkan grasinya pun ditolak Presiden Joko Widodo pada 30 Desember 2014.[37]
d. Perdagangan Manusia untuk Pengambilan Organ Tubuh
Perdagangan manusia untuk tujuan pengambilan organ bukanlah fenomena baru. Dengan kekurangan organ yang bersumber secara legal di seluruh dunia, diperkirakan perdagangan ilegal organ manusia menghasilkan sekitar 1,5 miliar dolar setiap tahun dari sekitar 12.000 transplantasi ilegal. Perdagangan jenis ini memiliki konsekuensi serius bagi keamanan manusia, terutama bagi populasi yang paling rentan dengan latar belakang kesulitan ekonomi, seperti pengangguran, tunawisma, dan migran. Misalnya, pada tahun 2017, semakin banyak kasus perdagangan organ yang terungkap di Lebanon selaran dengan meningkatnaya jumlah pengungsi Suriah.[31] Pengambilan organ memiliki konsekuensi yang parah bagi kesehatan para korban, secara fisik, mental dan psikologis (misalnya: rasa malu dan membenci diri sendiri).[38]
Dalam kasus perdagangan orang untuk pengambilan organ, korban direkrut melalui penipuan, tidak diberitahu sepenuhnya tentang sifat prosedur, pemulihan dan dampak dari pengambilan organ pada kesehatannya. Persetujuan mereka juga dapat diperoleh melalui paksaan atau penyalahgunaan posisi rentan.[39]
Berdasarkan penelitian menggunakan analisis bibliometrik yang diterbitkan oleh International Journal of Environmental Research and Public Health pada tahun 2020 menggambarkan organ yang paling umum dibahas dalam literatur perdagangan organ yaitu 85% dari publikasi mengacu pada ginjal, 16% menyebutkan hati, dan sekitar 6% mengacu pada jantung. Peringkat ini konsisten dengan estimasi pengangkatan organ, yaitu ginjal (67%), hati (22%) dan jantung (6%).[31]
Perbudakan Seksual
Kovenan Liga Bangsa-Bangsa (LBB) tahun 1919, mengintruksikan kepada negara-negara anggota untuk berkolaborasi menekan perdagangan anak-anak dan perempuan untuk dieksploitasi secara seksual.[21] Perbedaan perbudakan seksual dengan prostitusi ada tiga. Yang pertama, tidak adanya keuntungan finansial yang didapatkan oleh para budak tersebut. Yang kedua, perbudakan seksual melibatkan kontrol atau penguasaan absolut oleh seseorang terhadap orang lainnya. Yang terakhir, adanya ancaman kekerasan yang ditujukan kepada korban. Perbudakan seksual seringkali terjadi dalam konflik bersenjata atau ketika pendudukan suatu negara ke negara lain.[21]
Penggunaan budak-budak seks ketika waktu perang terjadi dalam bentuk camp pemerkosaan, comfort station (mirip rumah pelacuran) yang dilakukan oleh tentara Jepang pada masa Perang Dunia II, dan bentuk-bentuk pelecehan seksual lainnya. Tindakan tersebut tentu merupakan bentuk pelanggaran terhadap hukum humaniter internasional. Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 melarang pihak-pihak yang berkonflik untuk melakukan “kekejaman terhadap martabat pribadi, khususnya perlakuan yang menghinakan dan merendahkan martabat”.[40] Kemudian, Protokol Tambahan I dan II mengandung pelarangan terhadap segala bentuk perbuatan yang tidak senonoh (indecent) terhadap perempuan dan anak-anak.[41] Namun berbagai instrumen hukum internasional yang ada belum merujuk pemerkosaan sistematis sebagai perbudakan seksual. Tercatat hanya Vienna Declaration and Programme of Action yang menegaskan perbudakan seksual sebagaimana berikut “Semua pelanggaran semacam ini, termasuk khususnya pembunuhan, pemerkosaan sistematis, perbudakan seksual dan kehamilan paksa, memerlukan tanggapan yang sangat efektif.”[42]
Pernikahan Paksa
Praktik atau adat lainnya yang mana seorang anak di bawah umur 18 tahun, diserahkan oleh orang tuanya atau walinya kepada orang lain untuk dieksploitasi secara seksual atau diperkerjakan secara paksa.[26] Praktik Perbudakan jenis ini dapat terjadi melalui skenario berikut:
Serorang perempuan, yang tanpa memiliki hak untuk menolak, dinikahkan secara paksa dengan imbalan berupa uang atau barang yang diberikan kepada orang tuanya, walinya, keluarganya atau orang dan kelompok lainnya.[14]
Suami dari seorang perempuan, dimana keluarga suaminya atau klan dari suaminya memindahtangankan perempuan tersebut untuk mendapatkan imbalan berupa uang atau barang-barang bernilai.[14]
Seorang perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya, kemudian dianggap dapat diwarsikan kepada orang lain.[14]
Pada beberapa kasus, anak perempuan dipaksa untuk menikah dengan tujuan membayar hutang keluarga, atau sebagai denda atas kesalahan yang dilakukan oleh salah seorang dari anggota keluarga. Dapat juga sebagai strategi menyelesaikan perdebatan atau konflik serta tawar menawar dalam urusan bisnis.[30]
Regulasi Internasional mengenai Perbudakan dan Bentuk-Bentuk Perbudakan Modern
Perbudakan merupakan pelanggaran serius terhadap hukum internasional. Perbudakan memiliki status jus cogens sehingga dilarang dalam hukum kebiasaan internasional dan regulasi internasional (dalam bentuk perjanjian internasional dan instrumen HAM internasional). Jus cogens berarti prinsip dasar hukum internasional yang diakui oleh komunitas internasional sebagai norma yang tidak boleh dilanggar.[43] Selain itu, Mahkamah Internasional (ICJ) menganggap larangan perbudakan sebagai kewajiban erga omnes. Kewajiban erga omnes berarti kewajiban setiap negara untuk mencegah, mengkriminalisasi dan menghukum pelaku perbudakan.[43]
Perjanjian universal pertama yang melarang perbudakan dan perdagangan budak adalah Konvensi Perbudakan tahun 1926 (Bahasa Inggris: The Slavery Convention 1926). Konvensi ini diadopsi oleh Liga Bangsa-Bangsa (LBB) pada 1926 dan berlaku setahun setelahnya. Dalam pembukaan konvensi tersebut, dengan jelas tertulis negara-negara wajib untuk “to prevent and suppress the slave trade, and to prevent forced labour from developing into conditions analogous to slavery”.[12] Konvensi ini kemudian diperbaharui pada tahun 1956 dengan dirumuskannya Konvensi Tambahan tentang Penghapusan Perbudakan, Perdagangan Budak, dan Lembaga dan Praktik yang mirip dengan Perbudakan (the Supplementary Convention on the Abolition of Slavery, the Slave Trade, and Institutions and Practices Similar to Slavery).[21]
Larangan perbudakan juga tertuang dalam instrumen utama HAM internasional, yaitu Universal Declaration of Human Rights Tahun 1948 (UDHR), International Covenant on Civil and Political Rights Tahun 1966 (ICCPR), dan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights Tahun 1966 (ICESCR). Dalam UDHR, larangan terhadap perbudakan terdapat dalam Pasal 4 yang berbunyi “No one shall be held in slavery or servitude; slavery and the slave trade shall be prohibited in all their forms”. Sedangkan dalam ICCPR terutama dalam Pasal 8 Ayat 2 disebutkan bahwa “No one shall be required to perform forced or compulsory labour”. Ayat tersebut secara tidak langsung membahas tentang kerja paksa, eksploitasi dan perdagangan manusia dengan menekankan hak pekerja untuk mendapatkan remunerasi yang adil.[44] ICCPR juga menyebut larangan perbudakan dan segala praktik yang berkaitan dengannya adalah hak non- derogable, yang berarti hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi apapun.[45] Instrumen HAM internasional selanjutnya yang secara implisit melarang praktik perbudakan adalah ICESCR, terutama dalam Pasal 7 yang berbunyi “The State Parties to the present Covenant recognize the right of everyone to the enjoyment of just and favourable conditions of work which ensure, in particular: (a) Remuneration... ;(b) Safe and healthy working condition; (c) Equal opportunity... ; (d)... reasonable limitation of working hours”.[46]
Perbudakan modern dalam bentuk kerja paksa juga diatur dalam Protokol untuk Mencegah, Menindak, dan Menghukum Perdagangan Orang, Terutama Perempuan dan Anak-Anak (Bahasa Inggris: Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, specially Women and Children) atau secara singkat disebut dengan Protokol Palermo. Protokol ini dimaksudkan untuk melengkapi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi (Bahasa Inggris: United Nations Convention against Transnational Organized Crime). Dalam Protokol Palermo Pasal 3 disebutkan keterkaitan antara kerja paksa dengan perdagangan manusia,
“'Perdagangan orang' berarti perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan orang, dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk pemaksaan lainnya, penculikan, penipuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau memberi atau menerima pembayaran atau manfaat untuk mendapatkan persetujuan dari orang yang memiliki kendali atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi. Eksploitasi harus mencakup, minimal, eksploitasi pelacuran orang lain atau bentuk-bentuk lain dari eksploitasi seksual, kerja atau layanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penghambaan atau pengambilan organ tubuh.”[47]
Protokol Palermo merupakan instrumen internasional utama untuk memerangi kejahatan transnasional terorganisir di bawah administrasi United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC).[22] UNODC mencatat bahwa definisi perdagangan manusia 'sudah mencakup kerja paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, dan penghambaan sebagai bentuk eksploitasi dalam perdagangan manusia'. UNODC lebih lanjut mencatat bahwa Konvensi dan Protokol, 'memberikan dasar hukum internasional untuk kerja sama internasional formal dan informal untuk dalam menangani tindak kejahatan lintas batas negara.[22]
ILO sebagai organisasi yang berfokus pada isu-isu ketenagakerjaan, telah mengadopsi beberapa konvensi (terbuka untuk ditandatangani dan diratifikasi oleh negara) yang membahas tentang kerja paksa dan bentuk-bentuk eksploitasi manusia lainnya. Konvensi ILO tersebut antara lain: International Labour Organisation Forced Labour Convention 1930 (No 29); International Labour Organisation Abolition of Forced Labour Convention 1957 (No 105; Equal Remuneration Convention; Discrimination (Employment and Occupation) Convention; Employement Policy Convention; Convention concerning Occupational Safety and the Working Environment; dan Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of their Families).[48] Pada tahun 2014, ILO mengadopsi Protokol Tambahan yang berkaitan dengan Forced Labour Convention, 1930 (No. 29). Protokol tersebut dimaksudkan untuk memperkuat kerangka hukum internasional dalam menghapuskan kerja paksa dengan menciptakan kewajiban baru bagi negara untuk mencegah terjadinya kerja paksa, melindungi korban dan untuk menyediakan akses remedy atau pemulihan, seperti kompensasi atas kerugian material dan fisik.[44]
Tabel Regulasi Internasional tentang Perbudakan dan Bentuk Perbudakan Lainnya
Regulasi Internasional
Tanggal Peresmian
Tanggal Berlaku
Jumlah Negara Signatories
Jumlah Negara Parties
International Covenant on Civil and Political Rights
Kasus Perbudakan Modern di Industri Perikanan Thailand
Praktik perbudakan modern di industri perikanan Thailand menarik perhatian komunitas internasional. Hal ini dibuktikan dengan pemberitaan media internasional seperti The Guardian pada tahun 2014 dan Associated Press pada tahun 2015 yang membahas keterkaitan praktik perbudakan di Thailand dengan rantai pasokan produk olahan seafood di pasar Amerika Serikat dan Eropa.[58][59] Kasus ini juga mendapat perhatian dari NGO Internasional seperti Environmental Justice Foundation (EJF) dengan judul publikasi “Sold to the Sea”[60] dan dari Human Rights Watch (HRW) yang berjudul “Hidden Chain”.[61] Para penyintas yang berhasil diwawancarai menuturkan serangkaian labor abuse yang mereka alami. Sebagai contoh, HRW menarasikan cerita penyintas korban perbudakan Thailand dengan sebagai berikut:
“Pada tahun 2011, Saw Win (57) bermigrasi ke Thailand dengan harapan untuk mendapatkan pekerjaan sehingga dapat menghidupi keluarganya di Myanmar. Dia menuturkan kepada Human Right Watch, bahwa dirinya berangkat ke Thailand melalui perantara yang ia temui di Kota Kawthaung yang berada di bagian selatan Myanmar. Perantara tersebut mengatakan bahwa Saw Win akan mendapatkan pekerjaan di sektor pengolahan makanan dengan gaji 4,5 USD setiap harinya. Namun setelah Saw Win menginjakan kaki di perbatasan Thailand, dirinya langsung diangkut dengan truk bersama raturan pekerja migran tanpa dokumen lainnya (undocumented migrant workers). Truk yang dinaiki Saw Win kemudian berhenti di kota pelabuhan Kantang yang terletak di bagian pantai barat daya Thailand. Setelahnya, Saw Win beserta 124 pekerja migran lainnya dikurung dalam sebuah ruangan sempit, dan keesokan harinya mereka dipaksa bekerja di kapal penangkap ikan selama 3 bulan lamanya tanpa upah. Kemudian Saw Win dijual lagi oleh perantaranya ke kapal penangkap ikan yang bermarkas di Songkhla, bagian tenggara Thailand. Disana, Saw Win beserta pekerja migran lainnya mendapatkan perlakuaan kasar dari Kapten kapal penangkap ikan Thailand yang secara teratur memukuli kru dengan batang besi dan mengancam mereka dengan todongan senjata. Selain kekerasan seacra psikis, kubutuhan makan para buruh migran juga tidak tepenuhi, Saw Win menuturkan banyak rekan kerjanya yang meninggal karena kekurangan nutrisi, sehingga banyak yang terkena penyakit serius dan kemudian meninggal. Saw Win berhasil melarikan diri dengan terjun ke laut, kemudian diselamatkan oleh kapal berbendera Malaysia."[62]
Menurut Human Rights Watch jumlah pekerja migran di Thailand belum dapat diestimasikan dengan tepat, terlebih lagi jumlah pekerja migran di sektor-sektor perikanan. Human Right Watch (HRW) sendiri mengestimasi setidaknya terdapat 222.000 pekerja migran bekerja di industri perikanan Thailand.[61] Melissa Marschke & Peter Vandergeest (2016) mendukung pernyataan dari HRW yang mengungkapkan adanya kesulitan dalam memperkirakan secara akurat jumlah pekerja di kapal penangkap ikan Thailand.[63] Pada tahun 2012, survei yang dilakukan oleh National Fisheries Association of Thailand (NFAT) memperkirakan jumlah total pekerja di sektor perikanan mencapai 143.000 pekerja migran di 9500 kapal.[64] Survei ini dianggap tidak merepresentasikan keadaan yang sebenarnya sebab mengecualikan pekerja yang bukan anggota dari NFAT. Sedangkan Environmenttal Justice Foundation pada tahun 2013 memperkirakan sektor indutri perikanan di Thailand mempekerjakan lebih dari 650.000 orang, 200.000 diantaranya merupakan pekerja migran.[65]
Survei penelitian ang diterbitkan oleh Jurnal Marine Policy dengan judul Under the shadow : Forced labour among sea fishers in Thailand Under the shadow : Forced labour among sea fishers in Thailand pada tahun 2018 menunjukkan prakitk kerja paksa berdasarkan indikator yang dikeluarkan oleh ILO SAP-FL yang disajikan dalam tabel di bawah ini.[66]
Tabel Praktik Kerja Paksa di Industri Perikanan Thailand
No.
Indikator
Total Presentase
1.
Memanfaatkan kondisi vulnerabilitas korban (Ketiadaan dokumen dan/atau tidak diijinkan untuk memperoleh dokumen resmi)
72,1 %
2.
Penipuan
49 %
3.
Kekerasan fisik
38 %
4.
Intimidasi dan ancaman
59 %
5.
Pemotongan upah/ upah tidak dibayar
60,4%
6.
Jeratan utang
75%
7.
Kondisi kerja dan hidup yang tidak layak
81,6%
8.
Jam kerja yang berlebihan
66,9%
Berdasarkan hasil wawancara kepada para penyintas yang diterbitkan oleh Jurnal Marine Policy dengan judul Under the shadow : Forced labour among sea fishers in Thailand Under the shadow : Forced labour among sea fishers in Thailand pada tahun 2018 didapati bahwa 66,9% harus bekerja antara 16 sampai 24 jam per hari tanpa istirahat yang cukup.[67] Kondisi jam kerja yang melebihi batas maksimum tanpa waktu istirahat yang wajar merupakan bentuk eksploitasi terhadap pekerja. ILO telah merumusukan beberapa instrumen terkait dengan hal tersebut, salah satunya adalah Hours of Work Convention 1930 yang menetapkan standar maksimum jam bekerja sebesar 8 jam per hari.[68] Dalam Universal Declaration of Human Rights 1948 juga menyebutkan tentang hak pekerja untuk mendapatkan waktu istirahat yang layak, ketentuan ini tertuang dalam Pasal 24 yang berbunyi “Everyone has the right to rest and leisure, including reasonable limitation of working hours and periodic holidays with pay” .[69] Sedangkan menurut Undang-undang ketenagakerjaan Thailand, jumlah maksimum jam kerja adalah 8 jam sehari dan tidak lebih dari 48 jam seminggu. Majikan (pihak yang memperkerjakan) dan pekerja dapat setuju untuk mengatur periode jam kerja untuk beberapa jenis pekerjaan, sebagaimana ditentukan oleh undang-undang ketenagakerjaan Thailand, tetapi jumlah total jam kerja dalam hal apa pun tidak boleh melebihi 48 jam seminggu. Ketentuan tersebut berlaku untuk semua jenis pekerjaan termasuk pekerjaan yang dilakukan di bawah air, di terowongan bawah tanah atau di gua.[70]
Bentuk eksploitasi selanjutnya adalah upah yang kecil atau tidak dibayarkan sama sekali. Berdasarkan tabel 2.3 disimpulkan bahwa 60,4% penyintas mengaku upah mereka terlalu kecil bahkan seringkali mereka tidak dibayar, hal ini terjadi karena upah yang mereka terima ditahan oleh agen/perantara atau untuk digunakan untuk membayar biaya rekrutmen yang menggunakan metode jeratan hutang. Tindakan tersebut tentunya melanggar instrumen HAM internasional yang berlaku, salah satunya adalah UDHR. Dalam Pasal 23 Ayar 2 UDHR secara jelas menyatakan bahwa “Everyone, without discrimination has the right to equal pay for equal work”.[69]
Tabel Praktik Kerja Paksa di Industri Perikanan Thailand di atas juga menunjukkan adanya kekerasan fisik yang dialami oleh pekerja yaitu sebesar 38%. Para penyintas menuturkan penyiksaan fisik yang mereka alami seperti pemukulan dengan batang besi atau balok kayu, pencambukan dengan ekor ikan pari, dirantai di dek kapal, atau dikunci di lemari pendingin bersama dengan ikan- ikan hasil tangkapan.[66] Para penyintas yang berhasil diwawancarai oleh Human Rights Watch pada tahun 2018 menuturkan selain kekerasan fisik yang mereka alami, mereka juga mendapatkan perlakuan yang bersifat merendahkan harkat dan martabat sebagai manusia (humiliation), contohnya ketika nahkoda kapal secara sengaja menempatkan telapak kaki mereka di atas kepala para pekerja kapal.[61]
Kasus Perbudakan Dalam Peradilan Pidana Internasional: Perbudakan Seksual dalam International Military Tribunal for the Far East (IMTFE/ Tokyo Trial)
Perbudakan seringkali diasosiasikan dengan perampasan hak-hak fundamental yang melekat pada diri setiap manusia. Perbudakan secara seksual memliki elemen right of ownership berupa kontrol atau penguasaan terhadap korban. Right of ownership merupakan sine qua non (suatu kondisi yang tidak terelakan adanya) dari segala definisi perbudakan dalam hukum internasional.[71] Beberapa perjanjian internasional seperti intrumen hukum humaniter internasional (Konvensi Den Haag 1907 dan Konvensi Jenewa 1929) secara implisit telah menyebut perbudakan sebagai kejahatan internasional, dan adanya pemaksaan secara seksual merupakan bentuk dari perbudakan.[71] Perbudakan seksual pertama kali dibawa ke dalam yurisdiksi pengadilan pidana internsional dalam kasus comfort women yang dilakukan oleh Jepang pada masa Perang Dunia II.
Secara singkat, sejarah dari adanya perbudakan seksual yang dilakukan oleh Jepang terjadi ketika Jepang melancarkan serangan agresi ke beberapa wilayah di Asia seperti Cina, Tiwan dan Korea. Pada tahun 1937, militer Jepang melakukan invasi ke Nanking, Cina. Dalam peristiwa penyerangan itu, tentara Jepang melakukan pemerkosaan secara masal kepada penduduk sipil Nanking. Kejadian tersebut kemudian dikenal dengan “The Rape of Nanking”.[71]
Tokyo Tribunal 2000 telah membahas mengenai kasus comfort women. Indicia (indikator) yang digunakan adalah; 1) adanya unsur pemaksaan terhadap para korbannya, 2) memperlakukan para korban selakyaknya barang yang dapat dibuang setelah dipakai (disposable), 3) adanya pembatasan hak-hak fundamental dan kebebasan, 4) ketiadaan persetujuan, 5) kerja paksa, dan 6) perlakuan diskriminatif. Satu atau lebih indikator tersebut bisa saja tidak terdapat dalam beberapa kasus tertentu, namun apabila indikator yang lain ditemukan maka telah cukup untuk mengindikasikan adanya status atau kondisi perbudakan, secara spesifik perbudakan seksual. Dalam proses penyelidikan lebih lanjut Tokyo Tribunal 2000 menemukan bahwa semua indikator tersebut terdapat dalam kasus comfort woment. Tokyo Tribunal 2000 juga menyatakan bahwa pemerintah Jepang telah melakukan kejahatan perbudakan seksual terhadap perempuan dan anak-anak sebagai bagian dari agresi militer Jepang di Asia Pasifik. Kejahatan perbudakan seksual dilakukan secara sistematik, meluas, dan terorganisir dengan baik terhadap perempuan yang merupakan penduduk sipil, hal ini tentunya memenuhi karakteristik dari kejahatan terhadap kemanusiaan.[71]
Referensi
Artikel ini tidak memiliki kategori atau memiliki terlalu sedikit kategori. Bantulah dengan menambahi kategori yang sesuai. Lihat artikel yang sejenis untuk menentukan apa kategori yang sesuai. Tolong bantu Wikipedia untuk menambahkankategori. Tag ini diberikan pada Februari 2023.
^ abMannix, Daniel (1962). Black Cargoes. The Viking Press. hlm. Introduction–1–5
^Deborah Gray White, Mia Bay, and Waldo E. Martin, Jr., Freedom on My Mind: A History of African Americans (New York: Bedford/St. Martin’s, 2013), 11
^Weber, Greta (5 Juni 2015). "Shipwreck Shines Light on Historic Shift in Slave Trade". National Geographic Society
^Disampaikan dalam Konferensi PBB tahun 1995 mengenai the crime prevention and the treatment of offers yang diselenggarakan di Cairo, Mesir
^S. Miers, Slavery in the Twentieth Century: e Evolution of a Global Problem, Walnut Creek, AltaMira Press, 2003, p. 73. See also J. Allain, “Slavery and the League of Nations: Ethiopia as a Civilised Nation”, Journal of the History of International Law, vol. 8, 2006, p. 213-244.
^ abLeague of Nations Treaty Series, vol. 60, pp. 254–270. Diambil dari https://treaties.un.org/doc/Publication/UNTS/LON/Volume%2060/v60.pdf
^ abcUnited Nations (1953) . Slavery Convention, signed at Geneva on 25 September 1926 and amended by the Protocol: Signatories and Parties . New York: United Nations. Diambil dari https://treaties.un.org/Pages/ViewDetails.aspx?src=TREATY&mtdsg_no=XVIII2&chapter=18&lang=en
^United Nations (1953) . Slavery Convention, signed at Geneva on 25 September 1926 and amended by the Protocol: Signatories and Parties . New York: United Nations. Diambil dari https://treaties.un.org/Pages/ViewDetails.aspx?src=TREATY&mtdsg_no=XVIII2&chapter=18&lang=en
^ abcdeSupplementary Convention on the Abolition of Slavery, the Slave Trade and Institutions and Practices Similar to Slavery, Final Act and Supplementary Convention, art. 1, U.N. Doc. E/CONF.24/23
^Statuta Roma (1998). Diakses dari https://www.icc-cpi.int/nr/rdonlyres/ea9aeff7-5752-4f84-be94-0a655eb30e16/0/rome_statute_english.pdf
^ abAllain, J (tanpa tahun). The Definition of Slavery in International Law. Belfast: Bristh Academy.
^Charter of the International Military Tribunal Nuremburg (1945). Diakses dari http://www.un.org/en/genocideprevention/documents/atrocitycrimes/Doc.2_Charter%20of%20IMT%201945.pdf
^Siliadin v. France, App. No. 73316/01 (2005), diakses dari http://cmiskp.echr.coe.int/tkp197/search.asp?skin=hudoc-en (search “Siliadin”).
^Prosecutor v. Kunarac, Case Nos. IT-96-23 &-IT-96-23/1-A, Judgment, 118
^Policy Department for External Relations, Directorate General for External Policies of the Union (Desember 2018). "Contemporary forms of slavery"(PDF). Diakses tanggal 28 Juli 2021.line feed character di |title= pada posisi 19 (bantuan)
^Broad, R., & Turnbull, N. (2019). "From Human Trafficking to Modern Slavery: The Development of Anti-Trafficking Policy in the UK". European Journal on Criminal Policy and Research: 119–133. doi:https://doi.org/10.1007/s10610-018-9375-4Periksa nilai |doi= (bantuan).Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
^ ab"What is Modern Slavery?". United States Department of State (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-07-29.
^ abNational Geographic. Diakses dari http://nationalgeographic.grid.id/read/13773563/ mengenal-empat-jenis-perbudakan-yang-pernah-terjadi-di-afrika?page=all
^ILO Forced Labour Convention, 1930 , United Nations Treaty Series, vol. 39, p. 55.
^University of Minnesota Human Rights Library. (tanpa tahun). Ratification of International Human Rights Treaties - Thailand, dari http://hrlibrary.umn.edu/research/ratification- thailand.html
^Hodal, Kate, Kelly, Chris, & Lawrence, Felicity. (June 10, 2014) Revealed: Asian Slave Labour Producing Prawns for Supermarkets in US, UK. The Guardian, diakses dari https://www. theguardian.com/global-development/2014/jun/10/supermarket-prawns- thailand-produced-slave-labour.
^EJF (2013). Sold to the Sea: Human Trafficking in Thailand’s Fishing Industry. London: EJF.
^ abcHuman Rights Watch. (2018). Hidden Chains: Rights Abuses and Forced Labor in Thailand’s Fishing Industry. New York: Human Rights Watch
^Human Right Watch. (2018). Joint Civil Society Statement concerning Ratification of the Work in Fishing Convention, 2007 (No. 188). New York: Human Right Watch.
^Marschke, M., & Vandergeest, P. (2016). Slavery scandals: Unpacking labour challenges and policy responses within the off-shore fisheries sector. Marine Policy, 68, 39–46. https://doi.org/10.1016/j.marpol.2016.02.009
^ILO (2013). Employment Practices and Working Conditions in Thailand's Fishing. Bangkok: International Labour Organization.
^EJF. (2013). Human Trafficking in Thailand ’ s Fishing Industry. London: EJF.
^ abStringer, C., Chantavanich, S., Laodumrongchai, S., & Stringer, C. (2018). Under the shadow : Forced labour among sea fishers in Thailand Under the shadow : Forced labour among sea fi shers in Thailand. Marine Policy, 68(June 2016), 1–7. https://doi.org/10.1016/j.marpol.2015.12.015
^Stringer, C., Chantavanich, S., Laodumrongchai, S., & Stringer, C. (2018). Under the shadow : Forced labour among sea fishers in Thailand Under the shadow : Forced labour among sea fishers in Thailand. Marine Policy, 68(June 2016), 1–7. https://doi.org/10.1016/j.marpol.2015.12.015
^Lawyers, Thai. "Thai Labor Law". Thai Lawyers (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-07-30.
^ abcdCarmen M. Argibay, (2003). Sexual Slavery and the Comfort Women of World War II, 21 Berkeley J. Int'l Law. 375; Allain, J (tanpa tahun). The Definition of Slavery in International Law. Belfast: Bristh Academy.