Artikel ini memberikan informasi dasar tentang topik kesehatan. Informasi dalam artikel ini hanya boleh digunakan untuk penjelasan ilmiah; bukan untuk diagnosis diri dan tidak dapat menggantikan diagnosis medis. Wikipedia tidak memberikan konsultasi medis. Jika Anda perlu bantuan atau hendak berobat, berkonsultasilah dengan tenaga kesehatan profesional.
Penyakit Jembrana
Sapi bali merupakan hewan yang rentan terhadap penyakit Jembrana.
Penyakit Jembrana adalah penyakit hewanmenular pada sapi yang disebabkan oleh virus Jembrana. Penyakit ini bersifat akut dan menimbulkan tanda klinis yang jelas pada sapi bali (Bos javanicus domesticus), sedangkan pada jenis sapi lainnya hanya bersifat subklinis dan tidak menunjukkan tanda klinis yang nyata.[1][2] Penyakit Jembrana merupakan penyakit yang hanya ditemukan di Indonesia, kasusnya pertama kali ditemukan di Kabupaten Jembrana, Provinsi Bali pada tahun 1964,[3] dan kini telah menyebar ke berbagai daerah di Indonesia.
Hewan peka
Spesies rentan bagi virus Jembrana hanyalah sapi bali (banteng domestik), baik jantan maupun betina.[2] Sapi termuda yang terinfeksi berumur 4 minggu dan tertua berumur 9 tahun.[4] Sapi yang bertahan hidup akan menjadi pembawa virus selama minimum 2 tahun setelah pulih dari kasus klinis, tetapi perannya dalam penularan penyakit tidak diketahui.[1][5]
Melalui infeksi buatan, sapi ongole (Bos indicus), sapi friesian holstein (Bos taurus), kerbau (Bubalus bubalis), dan babi mengalami demam ringan setelah diinokulasi virus Jembrana, tetapi tidak ada tanda klinis lain yang nyata.[1] Meskipun tidak menunjukkan tanda klinis yang jelas, kerbau, babi, kambing, dan domba mampu membawa virus Jembrana hingga enam bulan.[2]
Tanda klinis
Masa inkubasi penyakit pada infeksi alami sulit diketahui, tetapi pada infeksi buatan masa inkubasinya berkisar antara 4-12 hari.[6][7] Sapi bisa mati mendadak tanpa tanda klinis yang dapat diamati pada kasus akut, terutama pada periode awal wabah.[7] Tanda klinis yang muncul secara konsisten yaitu demam tinggi dan pembesaran kelenjar getah bening.[8] Pembesaran ini terlihat jelas pada hari ke-5 hingga ke-7 di daerah bahu (preskapularis), depan lutut (prefemoralis), dan bawah telinga (parotis).[7][8]Diare berdarah dapat ditemukan beberapa hari setelah demam dan/atau menjelang kematian.[7]
Tanda klinis lain yang terlihat yaitu bercak darah pada kulit (keringat darah atau hemohidrosis) di daerah punggung, paha bagian dalam, perut, kaki, dan skrotum.[7][8] Keringat darah ini terjadi akibat gigitan serangga dan tidak teramati pada infeksi buatan karena hewan ditempatkan pada kandang bebas serangga.[8] Erosi membran mukosa dapat terjadi di vagina dan di bagian mulut seperti lidah, bibir bawah, dan gusi yang akan mengakibatkan peningkatan air liur (hipersalivasi).[8] Membran mukosa mulut, mata, dan alat kelamin juga bisa menjadi pucat. [7] Hewan yang bunting dapat mengalami keguguran yang terjadi pada semua masa kebuntingan.[8]
Cara penularan
Penularan terjadi melalui kontak langsung antara hewan terinfeksi dan hewan sehat. Selain itu, penularan juga terjadi serta secara tidak langsung melalui perantara vektor mekanis berupa serangga seperti lalatTabanus rubidus dan jarum suntik.[9][10] Pada fase akut, partikel virus dapat dideteksi di air liur dan susu sapi.[5] Pada fase ini, titer virus Jembrana dalam darah mencapai 108 ID50/ml (setara dengan 1010 hingga 1011 kopi genom virus/ml plasma)[11] dan akan turun hingga 101 ID50/ml pada 60 hari setelah pulih dari penyakit akut.[5] Sapi menjadi tertular melalui rute mulut (oral) dan hidung (intranasal), serta melalui lapisan mukosa pada konjungtiva.[5] Secara eksperimental, penularan penyakit dari sapi terinfeksi ke sapi peka terjadi ketika sapi-sapi tersebut ditempatkan pada ruangan yang sama.[5]
Penegakan diagnosis sementara di lapangan dapat dilakukan dengan melihat tanda klinis seperti demam tinggi, pembengkakan kelenjar getah bening, dan diare berdarah.[13] Apabila sapi telah mati, pemeriksaan bedah bangkai dapat dilakukan untuk melihat perubahan patologis berupa perdarahan pada seluruh organ, terutama pada organ limfoid atau jaringan limfoid, serta pembengkakan limpa.[13]
Pengujian laboratorium
Spesimen yang dapat diambil untuk pengujian laboratorium yaitu serum untuk uji serologi, serta darah dengan antikoagulan atau spesimen limpa segar dingin untuk uji reaksi berantai polimerase (PCR).[14] Untuk pemeriksaan histopatologi, spesimennya dapat berupa limpa, kelenjar getah bening, hati, ginjal, otak, paru-paru, dan kelenjar adrenal yang diawetkan dengan formalin.[14] Uji serologi dapat berupa ELISA untuk mendeteksi antibodi dan blot Western.[15] Karena antigen yang digunakan dalam uji ELISA mampu bereaksi silang dengan Lentivirus lainnya, maka uji ELISA Jembrana memiliki spesifisitas yang rendah walaupun sensitivitasnya tinggi.[15] Uji imunohistokimia digunakan untuk melihat perubahan warna pada sel terinfeksi, sedangkan uji biologis dengan menyuntikkan spesimen pada sapi bali yang peka merupakan uji diagnostik yang paling tepat.[13][16] Di Indonesia, laboratorium referensi untuk diagnosis penyakit Jembrana adalah Balai Besar Veteriner Denpasar.[14]
Pencegahan
Pencegahan penyakit Jembrana dilakukan dengan pemberian vaksin. Vaksin yang digunakan berasal dari inaktivasi suspensi limpa yang mengandung virus.[17] Dosis yang diberikan sebanyak 3 ml/ekor secara intramuskuler dengan pemberian awal sebanyak dua kali berturut-turut dengan interval satu bulan, lalu selanjutnya diulang setiap tahun.[17] Sapi bali yang akan diberangkatkan dari daerah tanpa kasus Jembrana ke daerah endemik harus divaksinasi tiga hari sebelum diberangkatkan dan divaksin ulang 3-4 minggu setelah vaksinasi pertama di daerah tujuan.[18] Vaksinasi juga diberikan jika sapi berangkat dari daerah endemik ke daerah endemik lainnya.[18] Sebuah studi pada tahun 2015 menyatakan bahwa pemberian vaksin belum mampu memberikan perlindungan terhadap infeksi eksperimental.[19]
Distribusi penyakit
Sangkaragung
Lokasi Desa Sangkaragung di Kabupaten Jembrana, tempat penyakit ini pertama kali muncul.
Sejarah
Dua peristiwa besar terjadi di Bali sebelum munculnya wabah penyakit Jembrana. Peristiwa pertama adalah vaksinasi masal terhadap penyakit mulut dan kuku pada tahun 1963. Vaksinasi tersebut menyebabkan reaksi pascavaksin yang berat sehingga sejumlah sapi bali milik peternak ambruk.[20] Pemberian vaksin yang diproduksi di Surabaya dihentikan, lalu dilanjutkan dengan vaksin yang diproduksi di Inggris.[20] Peristiwa kedua adalah meletusnya Gunung Agung pada 1963–1964 yang menyebabkan lebih dari 1.000 penduduk meninggal dunia. Abu dari letusan gunung menutupi lingkungan, termasuk rumput, sehingga petani perlu mencuci rumput tersebut sebelum diberikan sebagai pakan sapi. Kejadian ini berlangsung selama beberapa pekan sehingga sapi menjadi stres. Walaupun demikian, tidak diketahui apakah ada hubungan tidak langsung antara letusan Gunung Agung dengan munculnya wabah penyakit Jembrana.[20]
Penyakit Jembrana pertama kali muncul dan mewabah pada sapi bali dan kerbau di Desa Sangkaragung, Kabupaten Jembrana pada bulan Desember 1964.[20][21] Ketika itu, penyakit yang umum ditemui adalah septisemia epizotik (SE) sehingga antiserum dan vaksin SE diberikan oleh dokter hewan setempat.[20] Kasus penyakit tidak turun walaupun pemberian antiserum dan vaksin telah dilakukan. Pada bulan Agustus 1965, penyakit ini telah meluas ke semua kabupaten di Pulau Bali dengan angka kematian yang tinggi.[20][21] Diperkirakan lebih dari 26.000 ekor sapi bali dan sekitar 5.000 ekor kerbau mengalami kematian.[3]
Rama Dewa
Lokasi Desa Rama Dewa di Lampung, tempat penyakit Jembrana muncul di Sumatra
Pada bulan Mei 1976, penyakit yang sama juga terjadi di Desa Rama Dewa, Kecamatan Seputih Raman, Kabupaten Lampung (secara administratif, saat ini terletak di Kabupaten Lampung Tengah), Provinsi Lampung.[9] Penyakit ini pun disebut sebagai penyakit Rama Dewa. Kasus penyakit Jembrana di Pulau Jawa tercatat di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur pada bulan Mei 1976[9][22] (sumber lain menyatakan bulan November 1978).[20]
Berbagai tim—baik terdiri dari ilmuwan dalam negeri dan luar negeri—dibentuk untuk mengidentifikasi agen penyebab penyakit ini. Rickettsia sempat diduga merupakan penyebab penyakit Jembrana hingga akhirnya tim yang dibentuk pada tahun 1989–1992 menyimpulkan bahwa agen penyebab penyakit Jembrana adalah virus yang termasuk dalam keluarga Retroviridae, genus Lentivirus.[23]
Direktorat Kesehatan Hewan (2015). Pedoman Pengendalian dan Penanggulangan Penyakit Jembrana(PDF). Jakarta: Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian Republik Indonesia. Diarsipkan dari versi asli(PDF) tanggal 2020-10-15. Diakses tanggal 2020-01-25.
Direktorat Kesehatan Hewan (2018). Peta Status dan Situasi Penyakit Hewan Indonesia 2017. Jakarta: Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian Republik Indonesia.
Direktorat Kesehatan Hewan (2019). Peta Status dan Situasi Penyakit Hewan Indonesia 2018. Jakarta: Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian Republik Indonesia.
Direktorat Kesehatan Hewan (2020). Peta Status dan Situasi Penyakit Hewan Indonesia 2019. Jakarta: Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian Republik Indonesia.
Soeharsono, S.; Budiantono, A.; Sulistyana, K.; Tenaya, M.; Hartaningsih, N.; Dharma, D.M.N.; Soesanto, M.; Wilcox, G.E. (1997). "Clinical Changes in Bali Cattle and Other Ruminants Following Infection with Jembrana Disease Virus". Dalam Wilcox, G.E.; Soeharsono, S.; Dharma, D.M.N.; Copland, J.W. Jembrana Disease and the Bovine Lentiviruses: Proceedings of a Workshop 10-13 June 1996 Bali, Indonesia. ACIAR Proceedings. Brisbane: Australian Centre for International Agricultural Research. hlm. 10–25. ISBN1-86320-197-1. OCLC37039261.
Pranoto, R.A.; Pudjiastono, A. (1967). "An Outbreak of Highly Infectious Disease in Cattle and Buffaloes on the Island of Bali. Diagnosis Based on Clinical Signs and Post Mortem Findings". Folia Veterinaria Elveka. 2: 10–53.