Artikel ini memberikan informasi dasar tentang topik kesehatan. Informasi dalam artikel ini hanya boleh digunakan untuk penjelasan ilmiah; bukan untuk diagnosis diri dan tidak dapat menggantikan diagnosis medis. Wikipedia tidak memberikan konsultasi medis. Jika Anda perlu bantuan atau hendak berobat, berkonsultasilah dengan tenaga kesehatan profesional.
Babesiosis adalah penyakit yang disebabkan oleh protozoa dalam genus Babesia. Protozoa ini menginfeksi sel darah merah manusia dan hewan. Babesiosis termasuk penyakit bawaan vektor yang ditemukan di seluruh dunia. Babesiosis sapi merupakan salah satu daftar penyakit Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE) yang kasusnya wajib dilaporkan oleh negara-negara anggota OIE dan dicegah penularannya secara internasional.[1] Babesiosis juga tergolong zoonosis atau penyakit yang dapat menular dari hewan ke manusia.[2]
Mamalia tertular babesiosis dari caplak yang membawa Babesia dalam tubuhnya. B. microti, misalnya, dibawa oleh caplak Ixodes scapularis yang kemudian mengigit rodensia dan manusia sehingga memindahkan protozoa tersebut ke dalam tubuh mereka.[4] Pada sapi, B. bigemina dan B. bovis disebarkan oleh Rhipicephalus microplus; sementara vektor B. divergens adalah Ixodes ricinus. Vektor lain bagi Babesia yaitu caplak dalam genus Haemaphysalis, Dermacentor, dan Hyalomma.[6][7]
Manifestasi klinis
Manusia
Banyak orang dengan babesiosis tidak mengalami gejala klinis. Sebagian penderita babesiosis merasakan gejala nonspesifik seperti demam, berkeringat dingin, sakit kepala, kehilangan nafsu makan, mual, dan kelelahan. Dalam tubuh, Babesia mendiami dan menghancurkan sel darah merah sehingga menimbulkan anemia hemolitik yang dapat mengakibatkan jaundis dan warna urine menjadi gelap. Babesiosis dapat berbahaya bila terjadi komplikasi dengan penyakit lain.[8]
Sapi
Pada sapi, B. bovis secara umum bersifat lebih patogenik. Spesies ini dapat mengakibatkan demam tinggi, ataksia, anoreksia, syok sistem sirkulasi, dan tanda-tanda gangguan saraf akibat sel darah merah di pembuluh kapiler otak yang terinfeksi. Pada tahap selanjutnya, anemia dan hemoglobinuria bisa terjadi. Tingkat parasitemia atau persentase sel darah merah terinfeksi mencapai 1% pada kasus yang disebabkan oleh B. bovis, dan mencapai 10–30% oleh B. bigemina. Meskipun demikian, B. bigemina cenderung hanya mengakibatkan destruksi sel darah merah. Hewan-hewan yang pulih dari fase akut penyakit akan menjadi pembawa Babesia yang tidak menunjukkan tanda klinis.[7][6]
Diagnosis
Babesiosis perlu dibedakan dengan penyakit lain yang mengakibatkan demam, anemia, hemolisis, jaundis, dan urine kemerahan. Identifikasi Babesia dilakukan dengan membuat sediaan apus darah yang dicat dengan pewarnaan Giemsa dan diperiksa di bawah mikroskop. Spesimen darah dari pembuluh kapiler di telinga atau ekor hewan hidup, sedangkan dari hewan mati, spesimen apus diambil dari otot jantung, ginjal, paru-paru, otak, dan pembuluh darah kaki bagian bawah. B. bovis berukuran kecil (1–1,5 × 0,5–1 µm) yang menempel berpasangan dengan sudut tumpul di dalam sel darah merah, sedangkan B. bigemina berukuran lebih besar (3–3,5 × 1–1,5 µm) dan terlihat berpasangan dengan sudut yang tajam. Meskipun demikian protozoa tunggal juga sering ditemukan di dalam sel darah merah.[6] Babesiosis juga bisa didiagnosis dengan reaksi berantai polimerase (PCR) serta pengujian serologis seperti ELISA, uji imunofluoresen tidak langsung (IFAT), dan imunokromatografik (ICT).[7]
Pengobatan dan pencegahan
Diminazena aseturat dan imidokarb merupakan obat yang umum digunakan untuk mengatasi babesiosis sapi. Terapi suportif seperti obat antiinflamasi dan infus digunakan saat diperlukan. Pada kucing, primakuin fosfat dilaporkan efektif untuk mengobati babesiosis.[6] Sejumlah vaksin telah dihasilkan untuk mencegah babesiosis sapi.[9]
Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (2021), Chapter 3.4.2. Bovine Babesiosis(PDF), Manual of Diagnostic Tests and Vaccines for Terrestrial Animals, World Organisation for Animal Health (OIE)