Syekh Nuruddin Muhammad ibnu 'Ali ibnu Hasanji ibnu Muhammad Hamid ar-Raniri al-Quraisyi atau populer dengan nama Syekh Nuruddin Al-Raniri adalah ulama penasehat Kesultanan Aceh pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Tsani (Iskandar II).
Ar-Raniri berperan penting saat berhasil memimpin ulama Aceh menghancurkan ajaran tasawuf falsafinya Hamzah al-Fansuri yang dikhawatirkan dapat merusak akidah umat Islam awam terutama yang baru memeluknya.[butuh rujukan] Tasawuf falsafi berasal dari ajaran Al-Hallaj, Ibn 'Arabi, dan Suhrawardi, yang khas dengan doktrinWihdatul Wujud (Menyatunya Kewujudan) di mana sewaktu dalam keadaan sukr ('mabuk' dalam kecintaan kepada Allah Ta'ala) dan fana' fillah ('hilang' bersama Allah), seseorang wali itu mungkin mengeluarkan kata-kata yang lahiriahnya atau menyimpang dari syariat Islam.[butuh rujukan]
Maka oleh mereka yang tidak mengerti hakikat ucapan-ucapan tersebut, dapat membahayakan akidah dan menimbulkan fitnah pada masyarakat Islam. Karena individu-individu tersebut syuhud ('menyaksikan') hanya Allah sedang semua ciptaan termasuk dirinya sendiri tidak wujud dan kelihatan.[butuh rujukan] Maka dikatakan wahdatul wujud karena yang wajib wujudnya itu hanyalah Allah Ta'ala sedang para makhluk tidak berkewajiban untuk wujud tanpa kehendak Allah.[butuh rujukan] Sama seperti bayang-bayang pada pewayangan kulit.[butuh rujukan]
Konstruksi wahdatul wujud ini jauh berbeda malah dapat dikatakan berlawanan dengan paham 'manunggaling kawula lan Gusti'.[butuh rujukan] Karena pada konsep 'manunggaling kawula lan Gusti', dapat diibaratkan umpama bercampurnya kopi dengan susu—maka substansi dua-duanya sesudah menyatu adalah berbeda dari sebelumnya.[butuh rujukan] Sedangkan pada paham wahdatul wujud, dapat di umpamakan seperti satu tetesan air murni pada ujung jari yang dicelupkan ke dalam lautan air murni. Sewaktu itu, tidak dapat dibedakan air pada ujung jari dari air lautan. Karena semuanya 'kembali' kepada Allah.[butuh rujukan]
Maka pluralisme (menyamakan semua agama) menjadi lanjutan terhadap gagasan begini dimana yang penting dan utama adalah Pencipta, dan semua ciptaan adalah sama—hadir di alam mayapada hanya karena kehendak Allah Ta'ala.[butuh rujukan]
Maka paham ini, tanpa dibarengi dengan pemahaman dan kepercayaan syariat, dapat membelokkan akidah. Pada zaman dahulu, para waliullah di negara-negara Islam Timur Tengah sering, apabila di dalam keadaan begini, dianjurkan untuk tidak tampil di khalayak ramai.[butuh rujukan]
Tasawuf falsafi diperkenalkan di Nusantara oleh Fansuri dan Syekh Siti Jenar.[butuh rujukan] Syekh Siti Jenar kemudian diberi hukuman mati oleh Sunan Giri selaku salah satu anggota Wali Songo di lingkup Kesultanan Demak.[4] Ini adalah hukuman yang disepakati bagi pelanggaran syariat, manakala hakikatnya hanya Allah yang dapat maha mengetahui.[butuh rujukan]
Al-Hallaj setelah dipancung lehernya, badannya masih dapat bergerak, dan lidahnya masih dapat berzikir. Darahnya pula mengalir mengeja asma Allah—ini semua karamah untuk mempertahankan namanya.[butuh rujukan]
Ronggowarsito (Bapak Kebatinan Indonesia) dianggap sebagai penerus Siti Jenar. Karya-karyanya, seperti Suluk Jiwa, Serat Pamoring Kawula Gusti, Suluk Lukma Lelana, dan Serat Hidayat Jati, sering diaku-aku Ronggowarsito berdasarkan kitab dan sunnah.[butuh rujukan] Namun banyak terdapat kesalahan tafsir dan transformasi pemikiran dalam karya-karyanya itu.[butuh rujukan] Ronggowarsito hanya mengandalkan terjemahan buku-buku tasawuf dari bahasa Jawa dan tidak melakukan perbandingan dengan naskah asli bahasa Arab.[butuh rujukan] Tanpa referensi kepada kitab-kitab Arab yang ditulis oleh ulama ahli syariat dan hakikat yang mu'tabar seperti Syeikh Abdul Qadir Jailani dan Ibn 'Arabi, maka ini adalah sangat berbahaya.[butuh rujukan]
Ar-Raniri dikatakan pulang kembali ke India setelah dia dikalahkan oleh dua orang murid Hamzah Fansuri pada suatu perdebatan umum. Ada riwayat mengatakan dia meninggal di India.[butuh rujukan]