Sebagian besar wilayah Sumedang adalah pegunungan, kecuali di sebagian kecil wilayah utara berupa dataran rendah. Gunung Tampomas (1.684 mdpl), merupakan dataran tertinggi di kabupaten ini yang berada di utara Sumedang.
Seiring dengan perubahan zaman dan kepemimpinan, nama Sumedang mengalami beberapa perubahan. Pertama, menjadi Kerajaan Tembong Agung (Tembong artinya tampak dan Agung artinya luhur) dipimpin oleh Prabu Guru Adji Putih pada abad ke-12. Kemudian pada masa zaman Prabu Tajimalela, diganti menjadi Himbar Buana yang berarti menerangi alam, dan kemudian diganti lagi menjadi Kerajaan Sumedang Larang (Sumedang berasal dari kata Insun Medal/Insun Medangan yang berarti aku dilahirkan; aku menerangi dan Larang berarti sesuatu yang tidak ada tandingannya).
Masa Kerajaan Sumedang Larang
Sumedang Larang mengalami masa kejayaan pada waktu dipimpin oleh Pangeran Angkawijaya atau Prabu Geusan Ulun sekitar tahun 1578, dan dikenal luas hingga ke pelosok Jawa Barat dengan daerah kekuasaan meliputi:
Kerajaan ini kemudian menjadi vasal (anak kerajaan) dari Kesultanan Cirebon, dan selanjutnya berada di bawah kendali Kesultanan Mataram, pada masa Sultan Agung. Dalam strategi penyerangan Sultan Agung ke Batavia wilayah Sumedang dijadikan wilayah penyedia logistik pangan. Selain itu, aksara Hanacaraka juga diperkenalkan di wilayah Parahyangan pada masa ini, dan dikenal sebagai Cacarakan. Pusat kota Sumedang juga dirancang pada masa ini. Sebelum Bandung dibangun pada abad ke-19, Sumedang adalah salah satu pusat budaya Sunda yang penting.
Masa Pendudukan Belanda
Ketika Pakubuwana I harus memberikan konsesi kepada VOC, wilayah kekuasaan Sumedang diberikan kepada VOC, yang kemudian dipecah-pecah, sehingga wilayah Sumedang menjadi seperti yang dikenal pada masa kemerdekaan Indonesia sekarang.
Sumedang mempunyai ciri khas sebagai kota kuno khas di Pulau Jawa yang disebut Catur Gatra Tunggal, yaitu terdapat alun-alun sebagai pusat kota yang dikelilingi masjid agung,penjara, dan kantor pemerintahan. Di tengah alun-alun kota terdapat bangunan yang bernama Lingga, tugu peringatan yang dibangun pada tahun 1922. Dibuat oleh Pangeran Siching dari Negeri Belanda dan dipersembahkan untuk Pangeran Aria Suria Atmaja atas jasa-jasanya dalam mengembangkan Kabupaten Sumedang. Lingga diresmikan pada tanggal 22 Juli1922 oleh Gubernur Jenderal Mr. Dr. Dirk Fock. Sampai saat ini Lingga dijadikan lambang daerah Kabupaten Sumedang dan tanggal 22 April diperingati sebagai hari jadi Kabupaten Sumedang. Lambang Kabupaten Sumedang, Lingga, diciptakan oleh R. Maharmartanagara, putra seorang Bupati Bandung Rd. Adipati Aria Martanagara, keturunan Sumedang. Lambang ini diresmikan menjadi lambang Sumedang pada tanggal 13 Mei 1959.
Hal-hal yang terkandung pada logo Lingga:
Perisai: Melambangkan jiwa ksatria utama, percaya kepada diri sendiri
Sisi Merah: Melambangkan semangat keberanian
Dasar Hijau: Melambangkan kesuburan pertanian
Bentuk Setengah Bola dan Bentuk Setengah Kubus Pada Lingga: Melambangkan bahwa manusia tidak ada yang sempurna
Sinar Matahari: Melambangkan semangat dalam mencapai kemajuan
Warna Kuning Emas: Melambangkan keluhuran budi dan kebesaran jiwa
Sinar yang ke 17 Angka: Melambangkan Angka Sakti tanggal Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia
Delapan Bentuk Pada Lingga: Lambang Bulan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia
19 Buah Batu Pada Lingga, 4 Buah Kaki Tembik dan 5 Buah Anak Tangga: Lambang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia Tahun 1945
Tulisan Insun Medal erat kaitannya dengan kata Sumedang yang mengandung arti:
Berdasarkan Prabu Tajimalela, seorang tokoh legendaris dalam sejarah Sumedang, Insun Medal berarti (Insun: Aku, Medal: Keluar).
Berdasarkan data di Museum Prabu Geusan Ulun; Insun Medal berarti (Insun: Daya, Madangan: Terang)
Kedua pengertian ini bersifat mistik.
Berdasarkan keterangan Prof. Anwas Adiwilaga, Insun Medal berasal dari kata Su dan Medang, (Su: bagus dan Medang: sejenis kayu yang bagus pada Jati, yaitu huru yang banyak tumbuh di Sumedang dulu), dan pengertian ini bersifat etimologi.
Menurut Bujangga Manik, di dekat Gunung Tampomas terdapat Kerajaan Kahiyangan, yang diserang pasukan Cirebon dalam masa pemerintahan Surawisesa. Hubungan antara Medang Kahiyangan dan Sumedang Larang masih belum jelas. Namun, pada saat Bujangga Manik memasuki Medang Kahiyangan, menurut versi lainnya, saat itu sudah terdapat kerajaan yang disebut Sumedang Larang. Dalam Kropak 410 disebutkan, pendiri Kerajaan Sumedang Larang tak lain adalah Prabu Resi Tajimalela. Ia berkedudukan di Tembong Agung yang disebut Mandala Himbar Buana. Masih belum jelas pula asal-usulnya tokoh legendaris leluhur Sumedang ini. Sebab, Tadjimalela adalah nama lain dari Panji Romahyang, putra Damung Tabela Panji Ronajaya dari Dayeuh Singapura.
Sumber lain menjelaskan, baik Kitab Waruga Jagat, Layang Darmaraja, maupun riwayat yang berdasarkan tradisi lisan yang masih hidup, disebutkan bahwa Prabu Tajimalela adalah putra Prabu Guru Aji Putih, salah seorang keturunan raja Galuh yang masih bersaudara dengan Sri Baduga Maharaja. Ia melakukan petualangan hingga ke kawasan Timur sekitar pinggiran Sungai Cimanuk.
Prabu Tajimalela masih memiliki sejumlah nama, antara lain: Prabu Resi Agung Cakra Buana, Batara Tuntang Buana, dan Aji Putih.
Dalam Waruga Jagat yang telah disalin dari huruf Arab ke dalam tulisan latin (1117 H), antara lain dikatakan: "Ari putrana Sang Dewa Guru Haji Putih, nyaeta Sang Aji Putih."
Kehadiran Prabu Guru Adji Putih melahirkan perubahan baru dalam kemasyarakatan, yang telah dirintis sejak abad ke-8 oleh Sanghyang Resi Agung. Secara perlahan dusun-dusun di sekitar pinggiran sungai Cimanuk itu diikat oleh suatu struktur pemerintahan dan kemasyarakatan hingga berdirilah Kerajaan Tembong Agung yang merupakan cikal bakal Kerajaan Sumedang Larang. Kerajaan Tembong Agung tersebut, menurut riwayat teletak di Kampung Muhara, Desa Leuwihideung, Kecamatan Darmaraja.
Prabu Guru Haji Putih berputra Prabu Resi Tajimalela. Berdasarkan perbandingan generasi dalam Kropak 410 Tajimalela sejajar dengan tokoh Ragamulya (1340–1350) penguasa di Kawali dan tokoh Surya Dewata, ayahanda Batara Gunung Bitung di Majalengka.
Memang belum diperoleh keterangan sumber yang menyebut–nyebut siapa gerangan istri Sang Prabu Resi Tajimalela. Namun, dalam beberapa sumber baik lisan maupun tertulis, dikatakan Prabu Resi Tadjimalela mempunyai dua orang putra: Prabu Gajah Agung dan Lembu Agung.
Takhta kerajaan Sumedang Larang dari Prabu Tajimalela raja pertama dilanjutkan oleh putranya bernama Atmabrata yang lebih dikenal dengan sebutan Gajah Agung sebagai raja kedua Kerajaan Sumedang Larang yang berkedudukan di Cicanting.
Demikian pula dalam naskah Layang Darmaraja, yang mengisahkan Prabu Lembu Agung dan Gajah Agung yang melanjutkan takhta kepemimpinan dari Prabu Resi Tajimalela.
Dikisahkan, pada suatu ketika Prabu Tajimalela memanggil kedua putra kembarnya Lembu Agung dan Gajah Agung. Prabu Tajimalela berkata kepada mereka agar ada di antara salah seorang putranya ini yang bersedia melanjutkan kepemimpinannya.
"Adinda, adindalah kiranya yang lebih tepat menjadi raja," ujar Lembu Agung kepada adiknya. "Kakanda, sungguh tidak pantas adinda yang masih muda usianya, bila harus menjadi raja. Kakandalah yang lebih tepat," jawab Gajah Agung. Setelah di antara kedua putranya, masing - masing saling menunjuk siapa di antara mereka yang pantas menjadi raja, akhirnya Prabu Resi Tajimalela memetik buah kelapa muda lalu disimpannya kelapa tadi serta sebilah pedang.
Mereka berdua disuruh menungguinya. "Adinda, tolong jaga kelapa ini. Kakanda hendak pergi ke jamban dulu," kata Lembu Agung seraya pergi meninggalkan Gajah Agung. Tiba - tiba sepeninggal Lembu Agung, Gajah Agung merasakan haus yang bukan kepalang.
Apa boleh buat, untuk menghilangkan dahaganya, Prabu Gajah Agung kemudian mengupas kelapa itu dan diminumlah airnya. Karenanya, ketika Lembu Agung kembali lagi, Gajah Agung langsung menyampaikan permohonan maaf kepada Lembu Agung karena rasa bersalahnya telah meminum air kelapa yang semestinya dijaganya.
Semula Prabu Gajah Agung menyangka, Prabu Lembu Agung akan memarahinya. Namun ternyata, dengan kebesaran jiwa Prabu Lembu Agung malah berkata: "Adinda, tampaknya suratan takdir telah menentukan, dengan diminumnya air kelapa tadi oleh adinda, sudah barang tentu Adindalah yang sekarang terpilih menjadi raja," ucap Lembu Agung.
Singkat cerita, jadilah Prabu Gajah Agung meneruskan kepemimpinan Prabu Tajimalela, yang kemudian ia meninggalkan tempat menuju daerah di pinggiran Kali Cipeles untuk mendirikan kerajaan yang sekarang disebut Ciguling.
Kemudian ia bergelar Prabu Pagulingan. Sementara kepemimpinan Prabu Gajah Agung kemudian digantikan oleh putranya, Wirajaya, yang lebih dikenal Sunan Pagulingan sebagai raja ketiga Kerajaan Sumedang Larang. Dalam Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat, Sunan Pagulingan berkedudukan di Cipameungpeuk.
Yang jelas, ketiga raja Sumedang Larang yang pertama ini masing- masing berkedudukan di tempat yang berbeda-beda. Ini merupakan suatu gejala, bahwa kerajaan tersebut belum permanen yang dapat ditinggali turun temurun oleh para penerus pemegang kekuasaannya. Keadaan tersebut berlangsung sampai beberapa generasi berikutnya.
Putri sulung Pagulingan bernama Ratu Ratnasih alias Nyi Mas Rajamantri yang diperistri Sri Baduga Maharaja. Karena itu, adiknya bernama Martalaya menggantikan kedudukan ayahnya menjadi penguasa Kerajaan Sumedang Larang yang keempat dengan gelar Sunan Guling.
Sunan Guling digantikan oleh putranya bernama Tirtakusumah atau Sunan Patuakan sebagai raja kelima Kerajaan Sumedang Larang. Kemudian, ia digantikan lagi oleh putri sulung bernama Sintawati alias Nyi Mas Patuakan sebagai raja keenam Sumedang Larang. Antara Ibu dan anak ini mempunyai gelar yang sama, yaitu Patuakan.
Ratu Sintawati berjodoh dengan Sunan Corenda, raja Talaga. Putra Ratu Simbar Kencana dari Kusumalaya, putra Dewa Niskala. Dengan demikian, ia menjadi cucu menantu penguasa Galuh. Sunan Corenda mempunyai dua permaisuri, yakni Mayangsari putri Langlangbuana dari Kuningan dan Sintawati dari Sumedang.
Dari Mayangsari, Sunan Corenda memperoleh putri bernama Ratu Wulansari alias Ratu Parung. Ratu Parung berjodoh dengan Rangga Mantri alias Sunan Parung Gangsa (Pucuk Umum Talaga), putra Munding Surya Ageung. Tokoh ini putra Sri Baduga. Sunan Parung Gangsa ditaklukkan oleh Cirebon tahun 1530 dan masuk Islam.
Dari Sintawati putri sulung Sunan Guling, Sunan Corenda mempunyai putri bernama Setyasih, yang kemudian menjadi penguasa ketujuh Kerajaan Sumedang Larang dengan gelar Ratu Pucuk Umum. Ratu Pucuk Umum Menikah dengan Ki Gedeng Sumedang yang lebih dikenal dengan nama Pangeran Santri. Pangeran ini adalah putra Pangeran Pamelakaran dari putri Sindangkasih. Pangeran Pamelekaran putra Maulana Abdurrahman alias Pangeran Panjunan putra Syekh Datuk Kahfi. Dengan perkawinan antara Ratu Setyasih dan Ki Gedeng Sumedang inilah agama Islam mulai menyebar di Sumedang pada tahun 1529.
Pangeran Santri dinobatkan sebagai penguasa kedelapan Kerajaan Sumedang Larang pada tanggal 13 bagian gelap bulan Asuji tahun 1452 Saka, atau kira–kira 21 Oktober 1530 M, tiga bulan setelah penobatan Pangeran Santri. Pada tanggal 12 bagian terang bulan Margasira tahun 1452 di Keraton Pakungwati diselenggarakan perjamuan "syukuran" untuk merayakan kemenangan Cirebon atas Galuh dan sekaligus pula merayakan penobatan Pangeran Santri. Hal ini menunjukkan, bahwa Sumedang Larang telah masuk dalam lingkaran pengaruh Cirebon. Pangeran Santri adalah murid Susuhunan Jati. Pangeran Santri sebagai penguasa Sumedang pertama yang menganut Islam. Ia pula yang membangun Kutamaya sebagai Ibu kota baru untuk pemerintahannya.
Dari perkawinannya dengan Ratu Pucuk Umum alias Ratu Inten Dewata, Pangeran Santri yang bergelar Pangeran Kusumahdinata I ini dikaruniai enam orang anak, yaitu:
Pangeran Santri wafat 2 Oktober 1579. Di antara putra-putri Pangeran Santri dari Ratu Inten Dewata (Pucuk Umum), yang melanjutkan pemerintahan di Sumedang Larang ialah Pangeran Angkawijaya bergelar Prabu Geusan Ulun sebagai raja kesembilan. Menurut Babad, daerah kekuasaan Geusan Ulun berbatasan dengan:
Daerah kekuasaan Geusan Ulun dapat disimak dari isi surat Rangga Gempol III yang dikirimkan kepada Gubernur Jenderal Willem Van Outhoorn. Surat ini dibuat hari Senin, 2 Rabi'ul Awal tahun Je atau 4 Desember 1690, yang dimuat dalam buku harian VOC di Batavia tanggal 31 Januari 1691. Dalam surat tadi, Rangga Gempol III (Pangeran Panembahan Kusumahdinata VI) menuntut agar kekuasannya dipulihkan kembali seperti kekuasaan buyutnya, yaitu Geusan Ulun. Rangga Gempol III mengungkapkan bahwa kekuasaan Geusan Ulun meliputi 44 penguasa daerah Parahyangan yang terdiri dari 26 Kandaga Lante dan 18 umbul.
Kabupaten Bandung, dipimpin oleh Ki Astamanggala Umbul Cihaurbeuti, gelar Tumenggung Wirangun-Angun
Batas di sebelah Timur adalah Garis Cimanuk–Cilutung ditambah Sindangkasih (daerah muara Cideres ke Cilutung).
Di sebelah Barat garis Citarum–Cisokan.
Batas di sebelah Selatan laut.
Namun di sebelah Utara diperkirakan tidak meliputi wilayahnya karena telah dikuasai oleh Cirebon.
Masa kekuasaan Prabu Geusan Ulun (1578–1601) bertepatan dengan runtuhnya Kerajaan Pajajaran akibat serangan Banten di bawah Sultan Maulana Yusuf.
Sebelum Prabu Siliwangi meninggalkan Pajajaran mengutus empat Kandaga Lante untuk menyerahkan Mahkota serta menyampaikan amanat untuk Prabu Geusan Ulun yang pada dasarnya Kerajaan Sumedang Larang supaya melanjutkan kekuasaan Pajajaran. Geusan Ulun harus menjadi penerus Pajajaran.
Dalam Pustaka Kertabhumi I/2 yang berbunyi: "Ghesan Ulun nyakrawartti mandala ning Pajajaran kangwus pralaya, ya ta sirna, ing bhumi Parahyangan. Ikang kedatwan ratu Sumedang haneng Kutamaya ri Sumedang mandala" (Geusan Ulun memerintah wilayah Pajajaran yang telah runtuh, yaitu sirna, di bumi Parahyangan. Keraton raja Sumedang ini terletak di Kutamaya dalam daerah Sumedang), selanjutnya diberitakan "Rakyan Samanteng Parahyangan mangastungkara ring sira Pangeran Ghesan Ulun" (Para penguasa lain di Parahiyangan merestui Pangeran Geusan Ulun).
Keempat orang bersaudara, senapati dan pembesar Pajajaran yang diutus ke Sumedang tersebut, yaitu:
Jaya Perkosa (Sanghyang Hawu);
Wiradijaya (Nangganan);
Kondang Hapa; dan
Pancar Buana (Embah Terong Peot).
Dalam Pustaka Kertabhumi I/2menceritakan keempat bersaudara itu: "Sira paniwi dening Prabu Ghesan Ulun, Rikung sira rumaksa wadyabala, sinangguhan niti kaprabhun mwang salwirnya" (Mereka mengabdi kepada Prabu Geusan Ulun. Di sana mereka membina bala tentara, ditugasi mengatur pemerintahan dan lain–lain), sehingga penobatan Prabu Geusan Ulun sebagai nalendra penerus Kerajaan Sunda Pajajaran dan Raja Sumedang Larang ke–9 mendapat restu dari 44 penguasa daerah Parahyangan yang terdiri dari 26 Kandaga Lante, Kandaga Lante adalah semacam kepala yang satu tingkat lebih tinggi daripada cutak (camat) dan 18 umbul dengan cacah sebanyak ± 9000 umpi, untuk menjadi nalendra baru pengganti penguasa Pajajaran yang telah sirna. Pemberian pusaka Pajajaran pada tanggal 22 April 1578 akhirnya ditetapkan sebagai hari jadi Kabupaten Sumedang.
Jaya Perkosa adalah bekas senapati Pajajaran, sedangkan Batara Wiradijaya sesuai julukannya bekas Nangganan. Menurut Kropak 630, jabatan Nangganan lebih tinggi setingkat dari menteri, namun setingkat lebih rendah dari Mangkubumi.
Di samping itu, menurut tradisi hari pasaran Legi (Manis), merupakan saat baik untuk memulainya suatu upaya besar dan sangat penting. Peristiwa itu dianggap sangat penting karena pengukuhan Geusan Ulun sebagai "nyakrawartti" atau nalendra adalah semacam proklamasi kebebasan Sumedang yang mensejajarkan diri dengan Kerajaan Banten dan Kerajaan Cirebon. Arti penting lain yang terkandung dalam peristiwa itu adalah pernyataan bahwa Sumedang Larang menjadi ahli waris serta penerus yang sah dari kekuasaan Kerajaan Pajajaran, di bumi Parahyangan.
Mahkota dan beberapa atribut kerajaan yang dibawa oleh senapati Jaya Perkosa dan diserahkan kepada Prabu Geusan Ulun adalah bukti legalisasi kebesaran Sumedang Larang.
Berdasarkan bukti sejarah, baik yang tertulis maupun babad atau cerita rakyat, maka penetapan Hari Jadi Sumedang ditetapkan berdasarkan pertimbangan sejarah.
Serangan laskar gabungan Banten, Pakungwati, Demak, dan Angke pada abad XVI ke Pajajaran, merupakan peristiwa yang membuat Kerajaan Pajajaran runtag (runtuh).
Berakhirnya Pajajaran pada waktu itu, tidak menyeret Sumedang Larang dibawah kepemimpinan Pangeran Santri ikut runtuh pula. Soalnya, sebagian rakyat Sumedang Larang pada itu sudah memeluk Agama Islam. Justru dengan berakhirnya masa kekuasaan Pajajaran, Sumedang Larang kian berkembang.
Penetapan Hari Jadi
Penetapan Hari Jadi Kabupaten Sumedang erat kaitannya dengan peristiwa di atas. Terdapat tiga sumber yang dijadikan pegangan dalam menentukan Hari Jadi Kabupaten Sumedang:
Pertama: Kitab Waruga Jagat, yang disusun Mas Ngabehi Perana tahun 1117 H. Kendati tak begitu lengkap isinya, namun sangat membantu dalam upaya mencari tanggal tepat untuk dijadikan pegangan atau penentuan Hari Jadi Sumedang. "Pajajaran Merad Kang Merad Ing Dina Selasa Ping 14 Wulan Syafar Tahun Jim Akhir," artinya: Kerajaan Pajajaran runtuh pada 14 Syafar tahun Jim Akhir.
Kedua: Buku Rucatan Sejarah yang disusun Dr. R. Asikin Widjaya Kusumah yang menyertakan antara lain: "Pangeran Geusan Ulun Jumeneng Nalendra (harita teu kabawa kasasaha) di Sumedang Larang sabada burak Pajajaran," artinya: Pangeran Geusan Ulun menjadi raja yang berdaulat di Sumedang Larang setelah Kerajaan Pajajaran berakhir.
Tiga: Dibuat Prof. Dr. Husein Djajadiningrat berjudul: Critise Beshuocing van de Sejarah Banten. Desertasi ini antara lain menyebutkan serangan tentara Islam ke Ibu kota Pajajaran terjadi pada tahun 1579, tepatnya Ahad 1 Muharam tahun Alif.
Mengacu pada ketiga sumber di atas, maka dalam diskusi untuk menentukan Hari Jadi Sumedang yang dihadiri para sejarawan masing–masing Drs. Said Raksa Kusumah; Drs. Amir Sutaarga; Drs. Saleh Dana Sasmita; Dr. Atja dan Drs. A Gurfani, berhasil menyimpulkan bahwa 14 Syafar Tahun Jim Akhir itu jatuh pada tahun 1578 Masehi, bukan tahun 1579, tepatnya 22 April 1578.
Atas dasar itu DPRD Daerah Tingkat II Sumedang waktu itu, dalam Keputusan Nomor 1/Kprs/DPRD/Smd/1973, Tanggal 8 Oktober 1973, menetapkan tanggal 22 April 1578 sebagai Hari Jadi Sumedang.
Kabupaten Sumedang terdiri dari 26 kecamatan, 7 kelurahan, dan 270 desa. Pada tahun 2017, jumlah penduduknya mencapai 1.135.818 jiwa dengan luas wilayah 1.518,33 km² dan sebaran penduduk 748 jiwa/km².[12][13]
Daftar kecamatan dan kelurahan di Kabupaten Sumedang, adalah sebagai berikut:
Pemerintah Kabupaten Sumedang, Jawa Barat berhasil meraih predikat A atau Pelayanan prima dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB).[16]
Transportasi
Bus Jaya Kusuma, Jurusan Depok–Sumedang via Tol Purbaleunyi
Elf Buhe Jaya/Rukun Wargi, Jurusan Bandung–Cikijing (lewat Sumedang) dari Terminal Leuwi Panjang
Bus Sahabat, Bus Bhinneka dan Elf Jurusan Bandung–Cirebon (lewat Sumedang) dari Terminal Cicaheum
Bus Medal Sekarwangi (MS), Jurusan Sumedang–Jakarta Terminal Kampung Rambutan
Bus Cahaya Bakti Utama (CBU), Jurusan Sumedang–Bekasi Via Tol Cipularang
Bus Cipta Raya/Widia Jurusan Wado–Cikarang Via Subang–Tol Trans Jawa–Simpang Cikopo–Tol Cikarang Barat (Jababeka)
Bus Eka Jurusan Bandung Cicaheum–Surabaya Via Pantura/Tol Trans Jawa–Solo–Ngawi–Madiun–Nganjuk
Bus Harapan Jaya Jurusan Bandung Cicaheum–Blitar (Lewat Sumedang–Tol Trans Jawa–Ngawi–Madiun–Nganjuk–Kediri)
Bus Goodwill Jurusan Bandung Cicaheum–Purwokerto (Lewat Sumedang–Cirebon–Tegal)
Bus Arimbi Jurusan Sumedang–Merak via Tol Cipularang
Bus Cahaya Bakti Utama (CBU), Jurusan Sumedang–Jakarta (Kampung Rambutan) Via Tol Cipularang
Bus Damri Jurusan Bandung Cicaheum–Indramayu Via Sumedang–BIJB Kertajati–Jatitujuh–Tukdana–Widasari–Jatibarang
Bus Damri Jurusan Bandung Cicaheum–Kuningan Via Sumedang– Tol Trans Jawa–Ciperna–Cilimus
Bus Budiman Jurusan Tasikmalaya–Cikampek via Rajapolah–Gentong–Cipeundeuy Malangbong–Lingkar Cikareo (Wado)–Darmaraja–Sumedang–Tanjung Siang–Jalan Cagak–Subang–Kalijati–Tol Trans Jawa–Simpang Cikopo
Bus Trans Metro Pasundan Jurusan Jatinangor-Dipatiukur (Kota Bandung) Tol Padaleunyi