Share to: share facebook share twitter share wa share telegram print page

Bahasa Sunda Modern

Bahasa Sunda Modern adalah tahapan bahasa Sunda yang berawal sejak awal abad ke-20 sampai saat ini. Secara umum, perkembangannya dibagi menjadi tiga periode, didahului dengan periode bahasa Sunda masa III yang berawal dari sekitar tahun 1800 sampai 1900,[1] kemudian dilanjutkan oleh periode bahasa Sunda masa IV dari tahun 1900 hingga kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945[2] dan akhirnya periode bahasa Sunda masa V dari tahun 1946 sampai kini.[3]

Sejarah

Modern Awal (1800-1900)

Sebagai salah satu penduduk yang menempati wilayah jajahan bernama Hindia Belanda, masyarakat Sunda sejak tahun 1800 telah berada di bawah kekuasaan penjajah dengan segala macam variasi bentuk pemerintahannya, mulai dari pemerintahan Republik Bataaf, kemudian Kerajaan Holland yang berada di bawah kendali Kekaisaran Prancis Pertama, hingga pada akhirnya Belanda menjadi negara berdaulat dan mempunyai kuasa penuh dalam memberlakukan aturan-aturan yang berdampak dalam segala bidang, termasuk bahasa. Di Hindia Belanda, para bupati (regent) sebagai ambtenaar menjadi penghubung antara pribumi dan penjajah.[1]

Kontak yang terjadi antara masyarakat Sunda dan orang-orang Belanda memberi pengaruh yang signifikan terhadap perkembangan bahasa Sunda, terutama orang-orang Belanda dari kalangan akademisi yang membawa ide-ide baru yang terpengaruh romantisisme. Para akademisi tersebut menjadi pendorong bagi masyarakat Sunda untuk mendapatkan wawasan-wawasan baru yang disalurkan melalui sekolah-sekolah. Tercatat, hingga tahun 1879 ada 64 sekolah yang didirikan. Di sekolah-sekolah tersebut, disediakan bahan-bahan pengajaran untuk bahasa Sunda.[1]

Dengan adanya kebutuhan akan bahan bacaan untuk pengajaran bahasa Sunda, maka dimulailah proses modernisasi bahasa Sunda melalui perkembangan budaya cetak yang signifikan untuk menghasilkan buku-buku yang menggunakan bahasa Sunda. Periode ini mengubah persepsi yang sebelumnya menyatakan bahwa bahasa Sunda hanya sekadar bahasa lisan menjadi bahasa tulisan dan menjadi bahasa pengantar dalam proses pendidikan. Bersamaan dengan perkembangan ini, tulisan Latin menjadi semakin dominan dipergunakan untuk menulis bahasa Sunda.[1]

Usaha-usaha untuk menjadikan bahasa Sunda sebagai bahasa yang mandiri dibuktikan dengan penerbitan berbagai kamus dan buku-buku tentang bahasa Sunda yang pada awalnya banyak dikarang oleh sarjana dan misionaris Eropa, seperti Andries De Wilde, Taco Roorda, Jonathan Rigg, G.J. Grashuis, Sierk Coolsma, dan sebagainya.[4] Kemudian, selain dari pihak Eropa, dari dalam pihak Sunda sendiri mulai banyak bermunculan tokoh-tokoh yang berkontribusi, seperti R.A.A. Kusumahningrat yang melakukan penyusunan kamus, kemudian ada juga tokoh-tokoh yang mengarang karya-karya sastra, seperti Muhamad Musa, Lasminingrat, Kartawinata, Hasan Mustapa, dan sebagainya. Beberapa judul-judul buku dan karya sastra tersebut di antaranya adalah Soendasch Woordenboek (Roorda, 1841), Nederduitsch Maleisch en Soendasch Woordenboek (Wilde, 1841), Lexicon een Woordenboek in Manuscript (Kusumahningrat, 1843-1864) A Dictionary of the Sunda Language (Rigg, 1862), Soendaneesch Leesboek (Grashuis, 1874), Seondaneesch-Hollandsch Woordenboek (Coolsma, 1884), Wawacan Panji Wulung (Musa, 1876), dan lain-lain.[5]

Usaha pendokumentasian dialek bahasa Sunda juga sudah dilakukan pada masa ini, seperti yang banyak dilakukan oleh J.J. Meijer.[2]

Kebangkitan Nasional (1900-1945)

Pemerintah Belanda pada awal abad ke-20 melalui pemberlakuan politik etis semakin memperbanyak sekolah-sekolah, banyak jenis sekolah yang disediakan, seperti sekolah dokter, sekolah guru, sekolah khusus bangsawan, dan OSVIA. Bahkan untuk kalangan rakyat bawah pun disediakan sekolah seperti sekolah kelas I, sekolah kelas II dan sekolah desa. Dari sinilah mulai muncul pergerakan nasional dalam melawan kolonial.[2]

Ide-ide sastra dari barat semakin memengaruhi bahasa Sunda pada masa ini, pada masa ini pertama kalinya terbit novel dalam bahasa Sunda, yaitu Baruang ka nu Ngarora (Ardiwinata, 1914), dilanjutkan oleh penulis-penulis lain yang menulis Agan Permas (Yuhana, 1926), Siti Rayati (Moh. Sanoesi, 1927), Rasiah nu Goreng Patut (Yuhana, 1926), Mantri Jero (R. Memed Sastrahadiprawira, 1928), dan sebagainya.[2]

Peneliti bahasa Sunda semakin banyak dari kalangan pribumi, buku-buku yang dihasilkan semakin beragam, seperti Elmoening Basa Soenda (Ardiwinata, 1916), Kamus Sunda-Malayu, Kamus Sunda-Indonesia, Kamus Indonesia-Sunda (Satjadibrata, 1913-1970), dialek-dialek bahasa Sunda juga semakin diperhatikan, mulai dari dialek Bogor, Bungbulang, Cilacap, Cirebon, Jatiwangi, Karawang, Kuningan, Luragung, Menes, Sumedang, dan lain-lain.[3]

Bahasa Sunda pada masa ini terus menerus digunakan dalam bidang pendidikan dan kebudayaan hingga datangnya Jepang saat pecahnya Perang Dunia II, bahasa Sunda sudah banyak bercampur dengan bahasa-bahasa lain di dunia.[3]

Masa ini pulalah yang menjadi pelopor lahirnya harian atau surat kabar berbahasa Sunda, seperti Papaes Nonoman (1915), Pasoendan (1917), Padjadjaran (1918), Siliwangi (1918), Poesaka Soenda (1923) yang diredakturi oleh Hussein Jayadiningrat, Sipatahoenan (1923) yang didirikan oleh Bakrie Soeraatmadja dan Soetisna Sendjaja, dan Parahiangan.[3]

Pascakemerdekaan (1945-kini)

Bahasa Sunda selepas Perang Dunia II semakin mengalami banyak perubahan, kebijakan pada masa pendudukan Jepang yang mewajibkan masyarakat Sunda untuk menggunakan bahasa Melayu (Indonesia) membuat bahasa Sunda mengalami banyak kontak bahasa dengan bahasa Indonesia. [3]

Semenjak tahun 1950 mulai bermunculan majalah-majalah berbahasa Sunda, seperti Lingga (1950), Medan Bahasa Sunda (1950), Warga (1951), Sunda (1952), Sawawa (1954), Tjandra (1954), Panghegar (1955), Kudjang (1955), Siliwangi (1956), Kiwari (1957), Mangle (1957), Sari (1963), Langensari (1963), Sangkuriang (1964), Tjampaka (1965), Wangsit (1965), Panglajang, Pelet, Handjuang, Pitaloka, Gondewa, Balebat, Baranangsiang, Giwangkara, Galura, Kania, Katumbiri, Cakakak, dan lain-lain. Majalah-majalah tersebut berfokus pada kebudayaan, bahasa, dan sastra Sunda.[6]

Pada tahun 1952 diadakan Konferensi Bahasa Sunda yang melahirkan Lembaga Basa jeung Sastra Sunda (LBSS) yang bertujuan untuk memelihara, melestarikan, dan mengembangkan kesusastraan Sunda. Beberapa kegiatan yang dilaksanakan oleh LBBS adalah Kongres Bahasa Sunda I (1954), II (1956), III (1958), IV (1961), menerbitkan majalah Kalawarta, menyusun buku-buku pelajaran bahasa Sunda, serta menerbitkan Kamus Umum Basa Sunda.[7]

Buku-buku, kamus, laporan penelitian semakin berlimpah, di antaranya: Pamelaran Basa (Adiwidjaja & Sumapradja); Adegan Basa Sunda (Adiwidjaja, 1951); kamus-kamus karya Satjadibrata: Kamus Sunda-Indonesia (1946); seri Kandaga (Bacaan, Tata bahasa, Tata kalimat, Bahan pengajaran, Kesusastraan) karya M.A. Salmun, R. Momon Wirakusumah dan I. Buldan Djajawiguna; Tatabasa Sunda (Tisnawerdaya, 1975); Tata Basa Sunda (Djajasudarma, 1980), Tatabasa Sunda (Faturohman, 1982); Panggelar Basa (Prawirasumantri dkk., 1984); Pedaran Basa Sunda (Sudaryat, 1985); Gapura Basa (Suryalaga dkk., 1987); Piwulang Basa (Faturohman dkk., 1988); Mitra Basa (Yus Rusyana, 1985), dan lain-lain.[7]

Penelitian dari segi linguistik semakin banyak dihasilkan, baik itu hasil dari penelitian para mahasiswa dari jurusan terkait dengan bahasa Sunda, maupun penelitian yang didanai oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, beberapa di antaranya, seperti Struktur Bahasa Sunda Dialek Priangan (Sutawijaya, 1976), Struktur Bahasa Sunda Dialek Bogor (Sutawijaya, 1977), Morfologi kata Kerja Bahasa Sunda (Prawirasumantri, 1978), Kata Tugas Bahasa Sunda (Mulyono, 1981), Sistem Perulangan Bahasa Sunda (Sutawijaya, 1981), Morfologi kata Benda Bahasa Sunda (Sutawijaya, 1984), Morfologi Kata sifat dan Kata Bilangan (Prawirasumantri, 1985), Sistem Pemajemukan Bahasa Sunda (Yus Rusyana, 1985), dan lain sebagainya. Penelitian mengenai dialek secara spesifik juga terus dilanjutkan oleh peneliti lain seperti Dudu Prawiraatmaja dan Agus Suriamiharja, misalnya mengenai Bahasa Sunda Dialek Ciamis, Tasikmalaya, Sumedang, Bogor, Cirebon, Banten, Serang, Pandeglang, dan lain-lain.[8]

Lihat pula

Referensi

Catatan kaki

  1. ^ a b c d Prawirasumantri (1990), hlm. 15.
  2. ^ a b c d Prawirasumantri (1990), hlm. 17.
  3. ^ a b c d e Prawirasumantri (1990), hlm. 18.
  4. ^ Prawirasumantri (1990), hlm. 16.
  5. ^ Prawirasumantri (1990), hlm. 16-17.
  6. ^ Prawirasumantri (1990), hlm. 18-19.
  7. ^ a b Prawirasumantri (1990), hlm. 19.
  8. ^ Prawirasumantri (1990), hlm. 19-20.

Bibliografi

Pranala luar

Kembali kehalaman sebelumnya