Share to: share facebook share twitter share wa share telegram print page

Tata bahasa Sunda

Tata bahasa Sunda (dikenal dalam bahasa Sunda sebagai Tatabasa Sunda[1] atau Nahu Sunda) adalah sebuah aturan berupa tata bahasa dari bahasa Sunda yang menjabarkan bagaimana struktur bahasa Sunda yang mencakup wacana, kalimat, klausa, frasa, kata, morfem, dan suku kata.

Dalam bahasa Sunda, ada banyak variasi yang menyangkut perbedaan berdasarkan media, situasi, dan wilayah geografis. Contoh variasinya bisa berupa dialek-dialek bahasa Sunda yang diklasifikasikan berdasarkan wilayah tempat penuturan ataupun sosiolek yang didasarkan pada derajat formalitas antarpenutur. Hal ini menyebabkan adanya perbedaan tertentu antara bentuk standar dan non-standar dalam bahasa Sunda. Walaupun demikian, biasanya perbedaan tersebut tidak terlalu mencolok. Dalam artikel ini, tentunya tata bahasa Sunda yang dimaksud adalah tata bahasa Sunda baku dalam ragam tulis yang dapat dipahami oleh semua penutur bahasa Sunda.

Bentuk kata

Dalam bagian bentuk kata, kata-kata bahasa Sunda dapat dibedakan menjadi empat macam, yaitu:(1) basa lemes 'bahasa halus' dan basa kasar 'bahasa kasar' (kedua bentuk tutur bahasa Sunda ini dikenal sebagai undak-usuk basa 'sopan santun dalam berbahasa'), (2) kata asal dan kata turunan, (3) kata ulang, dan (4) kata majemuk.[2]

Undak usuk basa

Beberapa kosakata bahasa Sunda biasanya memiliki padanan (dua buah kata/lebih yang bermakna sama), seperti contohnya hulu = mastaka 'kepala', awak = salira 'badan', leungeun = panangan 'lengan, tangan', nyatu = tuang 'makan', déwék = abdi 'saya', dan manéh = gamparan 'engkau, Anda'.[a] Penggunaan diksi-diksi tersebut diatur dalam undak-usuk basa atau yang sekarang dikenal sebagai Tatakrama basa berdasarkan lawan bicara atau orang yang dibicarakan. Undak-usuk basa atau Tatakrama basa sendiri merupakan sebuah sistem tuturan honorifik dalam bahasa Sunda yang secara garis besar membagi bahasa Sunda menjadi dua jenis ragam bahasa yaitu, basa lemes dan basa kasar.[b][2]

Basa lemes

Basa lemes atau basa hormat adalah suatu bentuk bahasa halus yang dipergunakan untuk menghormati lawan bicara, seperti ketika orang muda berbicara dengan yang lebih tua, rakyat berbicara kepada bangsawan, maupun dipergunakan untuk menceritakan pihak yang pangkat, kedudukan atau usianya lebih tinggi.[c] Bahasa ini dicirikan dengan penggunaan kosakata khusus yang disebut sebagai kecap lemes 'kata yang halus' yang bersifat eufemistis.[2]

Basa kasar

Basa kasar atau basa loma adalah bahasa yang dipergunakan antara penutur dengan penutur lainnya yang sederajat, baik itu usia, pangkat, kedudukan, dan lain-lain, contohnya adalah rakyat biasa terhadap sesama rakyat, bangsawan terhadap sesama bangsawan, dan sebagainya. Bahasa ini dicirikan dengan penggunaan kosakata umum dalam bahasa Sunda yang disebut sebagai kecap loma yang bersifat akrab dan fleksibel.[2]

Ragam lainnya

Dalam perkembangannya, ragam bahasa dalam undak-usuk basa sering berubah-ubah, contohnya untuk kosakata dalam basa lemes, beberapa di antaranya masih memiliki padanan lain dengan tingkatan yang lebih tinggi berupa kecap luhur atau kecap lemes pisan 'kata yang sangat halus' yang digunakan dalam bahasa lemes pisan dan ada tingkatan yang lebih rendah seperti kecap sedeng 'kosakata sedang' yang digunakan dalam bahasa sedeng, semua kosakata tersebut memiliki derajat formalitasnya tersendiri dan tingkatannya berada di atas kecap loma. Beberapa contoh padanan kecap lemes dari kecap loma di antaranya adalah, datang 'datang' (loma) = rawuh (lemes pisan), sumping (lemes) dan dongkap (sedeng).[2]

Kecap lemes pisan digunakan terhadap kalangan yang amat dihormati, misalnya raja, presiden, dan bupati. Contoh penggunaannya sebagai berikut:[2][d]

(1) Pangawulaan badé rawuh ka dieu
'Bupati hendak berkunjung ke sini'

Kecap lemes biasanya digunakan untuk kalangan yang cukup dihormati. Contoh penggunaannya dijabarkan dalam kalimat di bawah ini.[2]

(2) Juragan Wadana badé sumping ka dieu
'Bapak Wedana hendak berkunjung ke sini'

Kecap sedeng digunakan untuk diri sendiri dalam konteks basa lemes, seperti contohnya dalam kalimat berikut ini.[3]

(3) Abdi badé dongkap ka dieu
'Saya hendak berkunjung ke sini'

Basa kasar dapat dibagi lagi menjadi dua jenis berdasarkan kosakatanya, yaitu basa kasar biasa yang mempergunakan kecap loma, dan basa kasar pisan yang mempergunakan kecap cohag. Bila basa kasar biasa atau basa loma dipergunakan untuk berbicara dengan orang yang sudah akrab, maka basa kasar pisan atau basa cohag dipergunakan ketika seseorang sedang memarahi lawan bicara serta bisa juga digunakan untuk mendeskripsikan hewan. Contoh kecap loma yang berpadanan dengan kecap cohag adalah,[e] balik = mantog 'pulang', nyatu = negék 'makan', ngomong = nyacapék 'berkata', sungut = bangus, bacot 'mulut', dan héés = molor 'tidur'.[4]

Di samping itu ada pula yang disebut basa panengah 'bahasa pertengahan', yaitu ragam bahasa tidak terlalu kasar atau terlalu halus. Ragam ini dipergunakan untuk menghormati orang yang lebih rendah derajatnya tetapi usianya lebih tua, contohnya ketika bangsawan berbicara dengan orang yang sudah tua. Kosakata yang digunakan dalam basa panengah disebut sebagai kecap panengah dan jumlah kosakatanya terbatas, contohnya, kakandungan 'hamil', hilang 'mati', mireungeuh 'melihat', ngareungeu 'mendengar', nyaneut 'minum kopi', awak 'engkau', dan hidep 'kamu'.

Contoh penggunaan kecap panengah dapat dilihat pada kalimat di bawah ini.[d]

(4) Seug baé, emang, geura mulang
'Silakan saja, paman, Anda pulang'

Tabel perbandingan

Di bawah ini adalah tabel yang berisi perbandingan beberapa contoh kosakata lemes pisan, lemes, sedeng dan loma beserta pengertiannya dalam bahasa Indonesia.[5]

Lemes pisan Lemes Sedeng Loma Arti
rawuh sumping dongkap datang datang
ngadawuh sasauran nyanggem ngomong berkata
nimbalan miwarang ngajurungan nitah menyuruh
garwa geureuha bojo pamajikan istri
ngasta nyandak, ngajayak ngabantun mawa membawa

Kata asal dan Kata turunan

Kata asal, atau kata dasar, adalah kata yang tidak dapat disingkat atau tidak diketahui ciri tertentu yang menunjukkan asalnya, seperti misalnya calana 'celana'. Pada umumnya kata asal atau kata dasar dalam bahasa Sunda terdiri dari dua suku, meskipun ada juga kata asal yang hanya terdiri dari satu suku, seperti bis 'hampir', da 'karena', rék 'akan', di 'di', jeung 'dan', ka 'ke', geus 'sudah', dan sok ,'sering'.[6]

Kata turunan (bahasa Sunda: kecap rundayan) adalah kata-kata yang masih dapat disingkat, dan dapat diketahui ciri-cirinya bahwa kata tersebut mempunyai asal. Misalnya, dicalanaan 'dipakaikan celana', masih dapat dikembalikan kepada bentuk asalnya yakni, calana 'celana'. Ciri yang terdapat pada kata tersebut melekatnya di- pada awal, dan -an pada akhir. Ciri kata turunan disebut rarangkén atau papakéan 'imbuhan'. Jika imbuhan yang melekat pada kata turunan dilepaskan, yang tertinggal adalah asal kecap 'asal kata'. Kata dihurungkeun, misalnya, dapat ditelusur asal katanya adalah hurung 'menyala'.[6] Dari sebuah kata asal, dapat diproduksi banyak sekali kecap rundayan atau kata turunan. Seperti misalnya, Kata inum 'minum', dapat menghasilkan kata turunan nginum 'meminum', diinum 'diminum', kainum 'terminum', sainum 'seminuman', pada nginum 'minum (beramai-ramai)', nginuman 'meminumi', nginumkeun 'meminumkan', inuman 'minuman', diinuman 'diminumi', diinumkeun 'diminumkan', ngarinuman 'meminumi (beramai-ramai)', dan masih banyak lagi.[6]

Dalam bahasa Sunda terdapat tiga macam imbuhan, yaitu:

1) rarangkén hareup (awalan) : n-, ny-, m-, ng-, pa-, pi-, pang-, sa-, si-, ti-, ting-, di-, ka-, mang-, ba-, nyang-, pada, para, silih-, barang-, pri-, per, dan pra-;
2) rarangkén tengah (sisipan) : -ar-, -al-, -um-, dan -in-;
3) rarangkén tukang (akhiran) : -an, -eun, -keun, -na, dan -ing.

Semua imbuhan di atas harus dirangkaikan dengan kata asalnya, kecuali yang tidak diberi tanda strip seperti pada dan para. Awalan n-, ny-, m-, dan ng- disebut sengau, yang perwujudannya sebagai berikut:[7]

  • asal kata yang berawal dengan vokal memperoleh awalan ng-, misalnya ala 'ambil' — ngala 'mengambil', éntép 'beres, rapi' — ngéntép 'beres, rapi', itung 'hitung' — ngitung 'menghitung', olo 'bujuk' — ngolo 'membujuk', useup 'kail' — nguseup 'mengail, memancing', endog 'telur' — ngendog 'bertelur', dan eunteung 'cermin' — ngeunteung 'bercermin'.[8][f][g][h]
  • asal kata yang berawal dengan k-, luluh menjadi ng-.[8]
  • asal kata yang berawal dengan t-, luluh menjadi n-.[8][i]
  • asal kata yang berawal dengan c- dan s-, c- dan s- luluh menjadi ny-.[8]
  • asal kata yang berawal dengan p-, p- luluh menjadi m-.[8][j]
  • asal kata yang berawal dengan h-, g-, r-, d-, /-, y-, w-, dan b-, memperoleh nga-.[8][k]

Banyak sekali kata turunan yang diproduksi dengan lebih dari satu imbuhan (konfiksasi), balk awalan, akhiran, dan juga sisipan. Misalnya, méréan 'memberi (peluang)', dibéréan 'diberi', silialungkeun 'saling melemparkan', mangmawakeun 'menolongbawakan', pakumpulan 'perkumpulan', piluangeun 'apa yang baik (diperingatkan sebagai pengalaman)', satarabasna 'terus-terang', tingkolébat 'berkelebatan', tingcalengir 'menyeringai (ramai-ramai)', tingsoloyong 'bergerak di atas air (perahu)', patingburinyay 'berkilatan', kabaheulaan 'kepurba-purbaan', nyangigirkeun 'mendampingkan', nyanghunjarkeun 'menyelonjorkan', pada nyarekelan '(ramai-ramai, bersama-sama) memegangi', dan barangawaskeun 'mengawaskan'.[9]

Kata ulang

Kata ulang adalah kata yang diucapkan dua kali. Bentuknya terbagi menjadi berbagai macam jenis, di antaranya yaitu:[9]

Kata Majemuk

Kata Majemuk adalah dua patah kata yang selalu dipergunakan bersama-sama, ada tiga jenis kata majemuk dalam bahasa Sunda yang dijabarkan seperti di bawah ini.[13]

  • Dua kata yang sudah dianggap padu sehingga tidak bisa dipecah lagi dan bila diartikan kata demi katanya menjadi tidak memiliki makna ataupun salah satunya tidak digunakan lagi. Beberapa kosakata yang termasuk ke dalam kelompok ini biasanya berasal dari bahasa lain. Contoh kata majemuk di antaranya yaitu, adipati 'adipati', bupati 'bupati', ulabon 'jangankan', anggursi 'lebih baik', apilain 'tak acuh', bangkawarah 'kurang ajar', dangdarat '(musim) pancaroba', piligenti 'bergantian', dan sebagainya.[14]
  • Dua kata yang setara dan di antara keduanya dapat disisipi dengan konjungsi seperti kata jeung 'dan' atau atawa 'atau'. Contoh kosakata yang termasuk ke dalam kelompok ini, indung bapa = indung jeung bapa 'ayah ibu', dan pait peuheur = pait atawa peuheur 'pahit getir'. Beberapa kata-kata dalam kelompok ini makna tiap unsurnya sudah tidak dapat diketahui lagi, untuk beberapa kasus kata kedua sejenis atau semakna dengan kata yang pertama, perangkaian tersebut dimaksudkan untuk menegaskan makna kata pertama maupun untuk menunjukkan bentuk jamak. Contoh, nyatu nginum 'makan minum', anak incu 'anak cucu', gereges gedebug 'terburu-buru', reuneuh beukah 'mulai berisi (padi)', dan lain-lain.[15]
  • Dua kata yang kata keduanya menerangkan kata yang pertama. Kelompok ini cukup banyak contoh kosakatanya dan dapat banyak sekali diproduksi, misal, wadah mangsi 'tempat tinta', jambu kulutuk 'jambu batu', kulub cau 'pisang rebus', buta rajin 'gelap gulita', gindi pikir 'tidak jujur', hurun suluh 'sama rata', dan sebagainya.[16]

Kata Majemuk yang bermakna konotatif disebut sebagai babasan yang kurang lebih berfungsi sebagai sebuah ungkapan (idiom). Contoh babasan seperti, panjang leungeun 'panjang tangan' atau goréng kokod 'tangan jelek' yang bermakna 'suka mencuri'. Di samping itu, ada pula yang disebut kecap ngaruntuy 'runtutan kata' yang berupa dua, tiga atau lebih kata yang diucapkan sama seperti kata majemuk tetapi memiliki makna denotatif. Contoh, geus lain-lainna deui 'sudah bukan apa-apa lagi', teu antaparah atau teu tata pasini 'tanpa basa-basi, tiba-tiba', teu hir teu walahir 'tidak ada hubungan', kateuteuari 'sia-sia', dalah dikumaha 'bagaimana caranya', dan lain sebagainya.[17]

Ada banyak kata majemuk yang masih bisa diturunkan bentuknya, seperti dihurunsuluhkeun 'dianggap sama saja', dialungboyongkeun 'dijadikan bola mainan' ngabuntutbangkong 'tidak ada ujung pangkalnya', diapilainkeun 'diabaikan, tidak dianggap', dan lain-lain.[17]

Catatan

  1. ^ Tidak semua kosakata bahasa Sunda memiliki padanan seperti ini, beberapa di antaranya tidak memiliki padanan, untuk kosakata yang tidak memiliki padanan seperti ini, maka kosakata tersebut dapat dipergunakan dalam semua ragam bahasa.
  2. ^ Istilah basa lemes untuk sekarang telah digantikan dengan istilah basa hormat, sedangkan untuk basa kasar kini telah berubah menjadi basa loma.
  3. ^ Jika penggunaan basa lemes hendak ditujukan untuk menghormati orang lain tetapi usianya lebih muda, maka kosakata yang dipergunakan adalah kecap sedeng.
  4. ^ a b Kata yang bercetak tebal merupakan jenis kosakata yang dimaksud.
  5. ^ Kecap loma berada di sebelah kiri tanda sama dengan, sedangkan kecap cohag berada di sebelah kanan tanda sama dengan.
  6. ^ wétan 'timur' menjadi ngétan 'menuju ke timur'.
  7. ^ pénta 'pinta' sering menjadi énta sehingga bentuk kata kerjanya ménta atau ngénta 'meminta'.
  8. ^ kata-kata iang 'pergi' — miang, ilu 'ikut' — milu, angkat 'pergi' — mangkat, dan unggah 'naik'- munggah, kata turunan ini bukan berasal dari sengau, melainkan dari sisipan -um-.
  9. ^ deuleu sering menjadi neuleu 'melihat', karena sama-sama dental.
  10. ^ Sesuai dengan kaidah ini, batan 'daripada' sering menjadi manan.
  11. ^ Asal kata yang berawal dengan g-, j-, dan b-, dapat berubah atau memperoleh nga-, misalnya gégél 'gigit' — ngégél, ngagégél 'menggigit', jait 'angkat jemuran' — nyait, ngajait 'mengangkat jemuran', jampé 'jampi' — nyampé, ngajampé 'menjampi', jejek 'tendang' — nyejek, ngajejek 'menendang', beuleum 'bakar' — meuleum 'membakar', béré 'beri' — méré 'memberi', bilang 'bilang, hitung' — milang 'membilang, menghitung', bawa 'bawa' — mawa 'membawa', bentur 'lempar' — mentur 'melempar', buru 'buru' — muru 'memburu', beulah 'belah' — meulah 'membelah', balédog 'lempar' — malédog 'melempar', bungkus 'bungkus' — mungkus 'membungkus', bikeun 'berikan' — mikeun 'memberikan', bulen 'bungkus' — mulen 'membungkus', berekat 'makanan (dibawa pulang dari kenduri)' — merekat 'membawa makanan', baca 'baca' – maca 'membaca', boro 'buru' — moro 'berburu', beuli 'beli' — meuli 'membeli', dan buruhan 'upah' — muruhan 'memberi upah'.

Referensi

Sitiran

  1. ^ Sudaryat (2005), hlm. 167.
  2. ^ a b c d e f g Ardiwinata (1984), hlm. 2.
  3. ^ Ardiwinata (1984), hlm. 2-3.
  4. ^ Ardiwinata (1984), hlm. 4.
  5. ^ Ardiwinata (1984), hlm. 3.
  6. ^ a b c Ardiwinata (1984), hlm. 5.
  7. ^ Ardiwinata (1984), hlm. 5-6.
  8. ^ a b c d e f Ardiwinata (1984), hlm. 6.
  9. ^ a b c Ardiwinata (1984), hlm. 7.
  10. ^ Ardiwinata (1984), hlm. 7-8.
  11. ^ a b c d e f Ardiwinata (1984), hlm. 8.
  12. ^ Ardiwinata (1984), hlm. 8-9.
  13. ^ Ardiwinata (1984), hlm. 9-11.
  14. ^ Ardiwinata (1984), hlm. 9.
  15. ^ Ardiwinata (1984), hlm. 9-10.
  16. ^ Ardiwinata (1984), hlm. 10.
  17. ^ a b Ardiwinata (1984), hlm. 11.

Daftar pustaka

Pranala luar

Kembali kehalaman sebelumnya