Schopenhauer merupakan salah satu pemikir filsafat Barat pertama yang mempelajari dan membenarkan prinsip-prinsip penting dari filsafat timur, seperti asketisisme, penyangkalan diri, dan gagasan tentang dunia sebagai bayangan dari realitas.[11] Karyanya dideskripsikan sebagai manifestasi dari filsafat pesimisme.[12] Meskipun di sebagian besar masa hidupnya karyanya tidak banyak menarik perhatian umum, paska kematiannya, Schopenhauer mempunyai pengaruh yang luas di berbagai disiplin ilmu, termasuk filsafat, sastra, dan sains. Tulisannya mengenai estetika, moralitas, dan psikologi telah mempengaruhi banyak pemikir, artis dan seniman.
Kehidupan
Masa muda
Arthur Schopenhauer lahir pada tanggal 22 Februari 1788 di Danzig (yang saat itu merupakan bagian dari Persemakmuran Polandia-Lithuania; sekarang Gdańsk, Polandia) di Heiligegeistgasse (sekarang Św. Ducha 47), putra Johanna Schopenhauer (née Trosiener; 1766–1838) dan Heinrich Floris Schopenhauer (1747–1805),[13] keduanya merupakan keturunan keluarga bangsawan kaya Jerman. Meskipun mereka berasal dari latar belakang Protestan, tidak satu pun dari mereka yang sangat religius;[14][15] keduanya mendukung Revolusi Perancis.[14] Selain itu, kedua orang tua Schopenhauer adalah kaum republikan, kosmopolitan, dan Anglofil.[14] Ketika Danzig menjadi bagian dari Prusia pada tahun 1793, Heinrich pindah ke Hamburg —sebuah kota bebas dengan konstitusi republikan. Heinrich terus menjalankan perusahaannya di Danzig, tempat sebagian besar keluarga besar mereka tinggal. Adele, satu-satunya saudara Schopenhauer, lahir pada 12 Juli 1797.
Ayah Schopenhauer berharap agar anaknya melanjutkan bisnis keluarga yang sukses. Pada tahun 1803, ia menemani orang tuanya dalam tur bisnis Eropa ke Belanda, Inggris, Prancis, Swiss, Austria, dan Prusia. Dia sangat menyesali pilihannya karena pelatihan bisnis itu dianggapnya sangat membosankan. Selanjutnya, Schopenhauer menghabiskan dua belas minggu bersekolah di Wimbledon, tempat dia kecewa dengan religiusitas Anglikan yang dianggapnya kaku dan dangkal secara intelektual. Dia terus mengkritik tajam religiusitas Anglikan di kemudian hari meskipun dia secara umum adalah orang yang menyukai kebudayaan Inggris.[14]:56
Pada tahun 1805, Ayah Schopenhauer ditemukan meninggal di sebuah sungai dekat rumah mereka di Hamburg. Meskipun kematiannya mungkin karena kecelakaan, istri dan putranya percaya bahwa kematiannya disebabkan oleh bunuh diri. Ayah Schopenhauer rentan terhadap kegelisahan dan depresi, yang terus menjadi lebih parah di akhir masa hidupnya.[16]
Schopenhauer menunjukkan kemurungan serupa selama masa mudanya dan sering kali mengakui bahwa ia mewarisi kemurungan tersebut dari ayahnya.[14]:4 Ayah Schopenhauer meninggalkan keluarga warisan yang besar yang dibagi tiga bersama ibu dan adiknya.
Setelah berhenti dari magang bisnisnya, dengan dorongan dari ibunya, Schopenhauer kemudian belajar di Gimnasium Ernestine, Gotha, di Saxe-Gotha-Altenburg. Selama di sana, ia menikmati kehidupan sosial bersama kalangan bangsawan setempat, menghabiskan banyak uang, yang kemudian membuat ibunya sangat prihatin.[14]:128 Dia meninggalkan Gimnasium setelah menulis puisi satir tentang kepala sekolahnya. Meskipun Schopenhauer menyatakan bahwa dia pergi secara sukarela, surat ibunya menunjukkan bahwa dia mungkin dikeluarkan oleh sekolahnya.[14]:129
Schopenhauer menghabiskan dua tahun bekerja sebagai pedagang untuk menghormati ayahnya. Pada waktu itu, ia sempat ragu untuk memulai hidup baru sebagai seorang sarjana.[14] Sebagian besar pendidikannya sebelumnya adalah sebagai pedagang praktis dan dia kesulitan belajar bahasa Latin; sebuah prasyarat untuk karir akademis.[14]
Ibunya pindah, bersama putrinya Adele, ke Weimar —yang saat itu merupakan pusat sastra Jerman — untuk menikmati kehidupan sosial di antara para penulis dan seniman. Schopenhauer dan ibunya tidak berpisah dengan baik. Dalam surat perpisahannya, ibunya menulis: "Amat berat dan sangat sulit untuk hidup bersama dengan kamu; semua kualitas baikmu telah dikaburkan oleh kesombonganmu, dan menjadi tidak berguna bagi dunia hanya karena kamu tidak dapat menahan kecenderunganmu untuk mengkritik orang lain.."[17] Ibu Schopenhauer secara umum merupakan orang yang bersemangat dan mudah bergaul.[14]:9 Beberapa opini negatif Schopenhauer tentang wanita mungkin berakar pada hubungannya yang bermasalah dengan ibunya.[18]
Pendidikan
Schopenhauer kemudian menjadi mahasiswa di Universitas Göttingen pada tahun 1809. Tidak ada alasan tertulis mengapa Schopenhauer memilih universitas tersebut dibandingkan Universitas Jena yang saat itu lebih terkenal, namun Göttingen dikenal sebagai universitas yang lebih modern dan berorientasi ilmiah dan mempunyai sedikit perhatian pada teologi.[14]:140 Ilmu hukum atau kedokteran biasanya merupakan pilihan bidang studi bagi para pemuda yang mempunyai status sosial seperti Schopenhauer; dia memilih kedokteran karena minatnya terhadap ilmu alam.
Di Göttingen, ia mempelajari metafisika, psikologi dan logika di bawah bimbingan Gottlob Ernst Schulze, penulis Aenesidemus, yang sangat berkesan baginya. Schulze menyarankan Schopenhauer untuk mempelajari filsafat Plato dan Immanuel Kant.[14]:144 Setelah itu, Schopenhauer memutuskan untuk pindah jurusan dari ilmu kedokteran ke bidang filsafat sekitar tahun 1810–11. Dia memutuskan meninggalkan Göttingen karena dianggap tidak memiliki program studi filsafat yang kuat.[14]:150 Namun, Schopenhauer tidak menyesali studi kedokteran dan ilmu alamnya; dia mengklaim bahwa hal-hal tersebut diperlukan bagi seorang filsuf, dan bahkan di Berlin dia lebih banyak mengikuti kuliah di bidang sains dibandingkan filsafat.[14]:170 Selama hari-harinya di Göttingen, dia menghabiskan banyak waktu untuk belajar, tetapi juga melanjutkan permainan seruling dan kehidupan sosialnya.[14]:151
Schopenhauer pindah untuk melanjutkan studi filsafatnya ke Universitas Berlin yang baru didirikan di musim dingin pada tahun 1811–12. Di sana, ia mengikuti kuliah filsuf terkemuka pasca-Kantian Johann Gottlieb Fichte, tetapi kemudian mempunyai banyak poin ketidaksepakatan dengan Wissenschaftslehre-nya; dia juga menganggap kuliah Fichte membosankan dan susah dimengerti.[14]:159 Schopenhauer kemudian sering mengutip Fichte secara kritis dan negatif[14]:159 Dia menganggap filosofi Fichte mempunyai kualitas yang rendah dan hanya berguna karena argumen Fichte yang buruk secara tidak sengaja menunjukkan beberapa kelemahan Kantianisme.[14]
Schopenhauer juga mengikuti kuliah teolog Protestan terkenal Friedrich Schleiermacher.[14]:174 Catatan dan komentarnya terhadap kuliah Schleiermacher menunjukkan bahwa ia menjadi sangat kritis terhadap agama dan beranjak menuju ateisme.[14]:175 Selain mempelajari karya-karya Plato, Kant dan Fichte secara mandiri, dia juga membaca karya-karya Schelling, Fries, Jacobi, Bacon, Locke, dan banyak literatur ilmiah terbaru di masanya.[14]:170 Schopenhauer juga mengikuti kuliah filologi August Böckh dan Friedrich August Wolf dan mengikuti minatnya terhadap naturalisme dengan mengikuti kuliah Martin Heinrich Klaproth, Paul Erman, Johann Elert Bode, Ernst Gottfried Fischer, Johann Horkel, Friedrich Christian Rosenthal dan Hinrich Lichtenstein.[14]:171–174
Karya awal
Schopenhauer meninggalkan Berlin pada tahun 1813 karena ia khawatir kota itu akan diserang dan ia akan diharuskan masuk dinas militer karena Prusia baru saja ikut berperang melawan Prancis.[14] Dia menetap sebentar di Rudolstadt dengan harapan tidak ada tentara yang melewati kota kecil itu. Dia menghabiskan waktunya dalam kesendirian, mendaki gunung dan hutan Thuringian dan menulis disertasinya, On the Fourfold Root of the Principle of Sufficient Reason. Ia menyelesaikan disertasinya pada waktu yang hampir bersamaan dengan kekalahan tentara Perancis pada Pertempuran Leipzig. Ibu Schopenhauer, Johanna, mengatakan disertasinya tidak dapat dipahami dan kecil kemungkinan ada orang yang akan membeli salinan disertasinya yang telah dipublikasikan dalam bentuk buku. Dalam keadaan marah, Schopenhauer mengatakan bahwa orang-orang akan membaca karya Schopenhauer lama bahkan setelah novel-novel "sampah" yang ditulis oleh ibunya telah dilupakan.[19][20] Faktanya, perusahaan penerbitan Brockhaus sangat menghargai novel-novel ibu Schopenhauer karena secara konsisten terjual dengan baik. Hans Brockhaus (1888–1965) kemudian mengatakan bahwa para pendahulunya "tidak melihat apa pun [yang berharga] dalam naskah [Schopenhauer] ini, namun ingin menyenangkan salah satu penulis terlaris kami dengan menerbitkan karya putranya. Kami semakin banyak menerbitkan karya putranya, Arthur dan saat ini tidak ada yang mengingat Johanna, namun karya putranya selalu diminati dan berkontribusi terhadap reputasi Brockhaus."[21]
Berbeda dengan ramalan ibunya, disertasi Schopenhauer memberikan kesan terhadap sastrawan dan ilmuwan terkenal Goethe, setelah Schopenhauer mengirimkan salinan disertasinya sebagai hadiah.[14]:241 Meskipun Goethe diragukan setuju dengan posisi filosofis Schopenhauer, Goethe terkesan dengan kecerdasan dan pendidikan ilmu alam Schopenhauer yang luas.[14]:243 Korespondensi mereka kemudian berlangsung secara reguler yang dianggap sebagai suatu kehormatan besar bagi Schopenhauer, yang mengakui bahwa Goethe adalah pahlawan intelektualnya. Mereka kebanyakan mendiskusikan karya-karya Goethe yang baru diterbitkan. Meskipun mereka tetap sopan kepada satu sama lain, ketidaksepakatan teoretis mereka yang semakin besar—dan terutama rasa percaya diri Schopenhauer yang ekstrem serta kritik yang tidak bijaksana—segera membuat Goethe menjauh. Setelah tahun 1816, korespondensi di antara mereka menjadi semakin jarang.[14]:247–265 Schopenhauer kemudian mengakui bahwa dia sangat sedih dengan situasi ini, namun dia terus memuji Goethe dan karya-karyanya.[14]:252,256,265
Pengalaman penting lainnya selama Schopenhauer tinggal di Weimar adalah perkenalannya dengan Friedrich Majer[22] — seorang sejarawan agama, orientalis dan murid Herder yang memperkenalkannya pada filsafat Timur[23] (lihat juga Indologi). Schopenhauer menjadi terkesan dengan Upanisad (dia menyebutnya "produk tertinggi kebijaksanaan manusia", dan percaya bahwa Upanisad berisi konsep-konsep manusia super). Ia juga terkesan oleh Gautama Buddha,[23] dan menempatkannya setara dengan Plato dan Kant.[14] Ia melanjutkan studinya dengan membaca Bhagavad Gita dan jurnal amatir Jerman Asiatisches Magazin dan Asiatick Researches oleh Asiatic Society.[14] Schopenhauer sangat menghormati filsafat India;[24] meskipun ia menyukai teks-teks Hindu, ia menganggap Buddha sebagai agama yang paling terkemuka.[25] Studinya mengenai teks-teks Hindu dan Buddha terbatas karena kurangnya literatur yang memadai,[26] dan literatur Buddhisme sebagian besar terbatas pada Buddhisme Theravada. Ia juga menyatakan bahwa ia merumuskan sebagian besar gagasannya secara mandiri,[23] dan baru kemudian menyadari bahwa terdapat kemiripan antara gagasannya dengan agama Buddha.[14]
Di seluruh dunia, tidak ada pelajaran yang begitu bermanfaat dan begitu penting seperti Upanisad. Ini telah menjadi pelipur lara dalam hidupku dan akan menjadi pelipur lara dalam kematianku.[27]
Ketika hubungan dengan ibunya terus memburuk sampai ke titik terendah, Schopenhauer meninggalkan Weimar dan pindah ke Dresden pada Mei 1814.[14] Ia melanjutkan studi filsafatnya, menikmati kehidupannya dengan bersosialisasi dengan para intelektual dan terlibat dalam perselingkuhan.[14] Pekerjaan utama Schopenhauer selama tinggal di Dresden adalah menulis karya filsafatnya yang paling penting, The World as Will and Representation. Ia mulai menulis karyanya itu pada tahun 1814 dan selesai pada tahun 1818.[28] Karyanya direkomendasikan kepada penerbit Friedrich Arnold Brockhaus oleh Baron Ferdinand von Biedenfeld, seorang kenalan ibunya.[14] Meskipun Brockhaus menerima naskahnya untuk dipublikasikan, Schopenhauer memberikan kesan yang buruk karena karakternya yang suka bertengkar dan cerewet, dan karena penjualan buku yang sangat buruk setelah diterbitkan pada bulan Desember 1818.[14]
Setelah tinggal di Italia selama beberapa waktu, dia kembali ke Dresden.[14]:356 Karena adanya risiko finansial dan kurangnya penerimaan terhadap bukunya, Schopenhauer memutuskan untuk menjadi akademisi di Universitas Berlin agar dapat menerima penghasilan dan mempunyai kesempatan untuk mempromosikan pandangannya.[14]:358 Di sana, dia menjadwalkan kuliahnya bertepatan dengan kuliah filsuf terkenal GWF Hegel, yang dianggap Schopenhauer sebagai "gadungan yang canggung".[29] Dia sangat terkejut dengan Hegel yang dianggapnya mempunyai pengetahuan yang buruk tentang ilmu pengetahuan alam dan mencoba mengajaknya berdebat tentang hal itu pada ujiannya di tahun 1820.[14]:363 Hegel juga menghadapi kecurigaan politik pada saat itu, ketika banyak profesor progresif dipecat, sementara Schopenhauer dengan hati-hati menyebutkan dalam lamarannya ke universitas bahwa dia tidak tertarik pada politik.[14]:362 Terlepas dari perbedaan mereka dan permintaan arogan Schopenhauer untuk menjadwalkan kuliah pada waktu yang sama dengan Hegel, Hegel tetap memilih untuk menerima Schopenhauer di universitas tersebut.[14]:365 Hanya lima mahasiswa yang menghadiri kuliah Schopenhauer. Karena itu, dia keluar dari dunia akademia. Esai terakhirnya, "Tentang Filsafat Universitas", mengungkapkan kebenciannya terhadap pekerjaan yang dilakukan di universitas.
Kehidupan kemudian
Setelah mencoba berkarir di dunia akademis, ia terus melakukan perjalanan selama tiga tahun ke Leipzig, Nuremberg, Stuttgart, Schaffhausen, Vevey, Milan.[14]:411 Sebelum pergi, Schopenhauer mengalami insiden dengan tetangganya di Berlin, penjahit berusia 47 tahun, Caroline Louise Marquet. Rincian kejadian pada bulan Agustus 1821 itu tidak diketahui. Schopenhauer mengklaim bahwa dia baru saja mendorong penjahit itu di depan pintu masuk apartemennya karena penjahit itu dengan kasar menolak untuk pergi, dan bahwa dia sengaja jatuh agar dia bisa menggugatnya untuk mendapatkan ganti rugi. Caroline mengklaim bahwa pria tersebut telah menyerangnya dengan sangat kejam sehingga dia menjadi lumpuh di sisi kanannya dan tidak dapat bekerja. Caroline pun melakukan gugatan hukum terhadap Schopenhauer di pengadilan. Pada Mei 1827, pengadilan memutuskan Schopenhauer bersalah dan diharuskan membayar pensiun tahunan sampai Caroline meninggal pada tahun 1842.[14]:408–411
Selama tinggal di Berlin, Schopenhauer sesekali menyebutkan keinginannya untuk menikah dan berkeluarga.[14]:404,432 Dia pernah berhasil merayu Flora Weiss yang berusia 17 tahun, 22 tahun lebih muda dari dirinya.[14]:433 Tulisannya yang tidak dipublikasikan pada saat itu menunjukkan bahwa ia sudah sangat kritis terhadap monogami, tetapi tetap tidak menganjurkan poligini dan memikirkan tentang hubungan poliamori yang ia sebut dengan istilah "tetragami".[14]:404–408 Dia juga memiliki hubungan dengan seorang penari muda, Caroline Richter.[14]:403 Mereka bertemu ketika Schopenhauer berusia 33 dan Caroline berusia 19 tahun dan bekerja di Opera Berlin. Pada waktu itu, Caroline telah memiliki banyak kekasih dan seorang anak laki-laki di luar nikah, dan kemudian melahirkan seorang anak lagi, kali ini dengan seorang diplomat asing yang tidak disebutkan namanya (dia segera hamil lagi tetapi anak tersebut lahir mati).[14]:403–404 Ketika Schopenhauer bersiap untuk meninggalkan Berlin karena epidemi kolera pada tahun 1831, dia menawarkan Caroline untuk pergi bersamanya dengan syarat dia meninggalkan putranya yang masih kecil.[14]:404 Caroline menolak dan Schopenhauer pergi sendirian.[14]:404
Setelah tiba di Frankfurt, ia mengalami depresi dan kondisi kesehatannya menurun.[14]:454 Dia kemudian berkorespondensi lagi dengan ibunya. Ibunya khawatir bahwa dia akan bunuh diri seperti ayahnya.[14]:454–457 Saat itu, ibunya dan adiknya, Johanna dan Adele, hidup sangat sederhana. Novel-novel Johanna tidak lagi mendatangkan banyak penghasilan, dan popularitasnya pun telah memudar.[14]:458 Schopenhauer tampaknya tidak begitu sedih dengan kematian ibunya pada tahun 1838.[14]:460 Hubungan Schopenhauer dengan saudara perempuannya semakin membaik dan dia terus berkorespondensi sampai adiknya meninggal pada tahun 1849.[14]:463
Di Frankfurt, dia tinggal sendirian bersama seekor anjing pudel peliharaan bernama Atman dan Butz. Pada tahun 1836, dia menerbitkan On the Freedom of the Will yang ia kirimkan dalam kontes yang diadakan oleh Royal Swedish Society of Sciences. Dia memenangkan hadiah karena esainya itu. Selanjutnya, dia mengirim esainya yang lain, "On the Basis of Morality", ke Royal Danish Society for Scientific Studies, tetapi tidak memenangkan hadiah meskipun menjadi satu-satunya kontestan. Royal Danish Society terkejut karena dalam esainya, Schopenhauer mengkritik beberapa filsuf kontemporer terkemuka dengan sangat keras, dan mengklaim bahwa esai tersebut tidak sesuai dengan topik yang ditetapkan dan argumen yang diberikan tidak memadai.[14]:483 Schopenhauer yang tadinya sangat yakin akan menang, menjadi marah dengan penolakan tersebut. Ia kemudian menerbitkan kedua esai tersebut dengan judul The Two Basic Problems of Ethics. Edisi pertama, yang diterbitkan pada tahun 1841, yang sekali lagi gagal menarik perhatian umum. Dalam kata pengantar edisi kedua tahun 1860, ia masih mencerca Royal Danish Society.[14]:484
Schopenhauer mulai menarik minat sebagian kalangan, sebagian besar di luar dunia akademisi, yakni di kalangan profesional praktis (beberapa di antaranya adalah pengacara) yang ingin mempelajari filsafat secara mandiri.[14]:504
Pada tahun 1848, Schopenhauer menyaksikan pemberontakan di Frankfurt setelah Jenderal Hans Adolf Erdmann von Auerswald dan Pangeran Felix Lichnowsky dibunuh. Dia menjadi khawatir akan keselamatan diri dan harta yang dimilikinya.[14]:514 Pemberontakan ini berlalu tanpa kerugian apa pun bagi Schopenhauer, dan dia kemudian memuji Alfred I, Pangeran Windisch-Grätz yang berhasil memulihkan ketertiban.[14]:515 Ketika kelompok Hegelian Muda mengadvokasi perubahan dan progres, Schopenhauer mengklaim bahwa penderitaan adalah hal yang alami bagi manusia, dan bahkan jika masyarakat utopis sudah terbentuk, orang-orang akan tetap berkelahi satu sama lain karena kebosanan yang mereka rasakan, atau karena kelaparan akibat overpopulasi.[14]:515
Pada tahun 1851, Schopenhauer menerbitkan Parerga and Paralipomena, yang berisi esai-esai tambahan untuk karya utamanya. Karya ini adalah buku pertamanya yang sukses dan banyak dibaca. Salah satu alasannya adalah karena ulasan-ulasan positif yang ditulis oleh pengikutnya.[14]:524 Esai-esai yang paling populer adalah esai-esai yang sebenarnya tidak memuat ide-ide sistem filsafatnya.[14]:539
Para filsuf akademik juga mulai memperhatikan karyanya. Pada tahun 1856, Universitas Leipzig mensponsori kontes esai tentang filsafat Schopenhauer. Teman Schopenhauer, Jules Lunteschütz, membuat empat lukisan tentangnya, yang tidak terlalu disukainya. Ketika ketenarannya meningkat, salinan lukisan dan foto dirinya dijual dan pengagumnya mengunjungi tempat-tempat dia pernah tinggal dan menulis karya-karyanya. Orang-orang mengunjungi Englischer Hof di Frankfurt untuk melihat dia makan. Para pengagum memberinya hadiah dan meminta tanda tangannya.[14]:541 Namun, ia mengeluh merasa masih terisolasi karena sifatnya yang kurang mudah bergaul dan banyak teman baiknya yang sudah meninggal di usia tua.[14]:542
Dia tetap sehat di usia tuanya, yang menurutnya disebabkan oleh kebiasaan berjalan kaki terlepas dari cuaca apa pun dan selalu tidur dengan cukup.[14] Ia masih memiliki nafsu makan yang besar dan dapat membaca tanpa kacamata, namun pendengarannya menurun sejak masa mudanya dan ia mengalami masalah reumatik.[14] Ia tetap aktif melanjutkan membaca, menulis, dan berkorespondensi hingga kematiannya.[14] Berbagai catatan tentang penuaan yang dibuatnya selama masa itu diterbitkan secara anumerta dengan judul Senilia.
Pada tahun 1860 kesehatannya mulai menurun. Ia mengalami sesak napas dan jantung berdebar-debar; pada bulan September, dia menderita radang paru-paru yang membuatnya menjadi sangat lemah.[14] Teman terakhir yang mengunjunginya adalah Wilhelm Gwinner. Menurut Gwinner, Schopenhauer khawatir bahwa dia tidak akan dapat menyelesaikan revisi karyanya, Parerga and Paralipomena, tetapi telah menerima kematian.[14] Dia meninggal pada usia 72 tahun karena kegagalan pernafasan paru[30] saat duduk di sofa rumahnya. Pemakamannya dilakukan oleh seorang pendeta Lutheran.[31][32]
Pemikiran
Dunia sebagai representasi
Schopenhauer melihat filsafatnya sebagai kelanjutan dari filsafat Kant. Ia menggunakan hasil penyelidikan epistemologis Kantian (idealisme transendental) sebagai titik awal filsafatnya. Kant sebelumnya berpendapat semua pengalaman yang mungkin terjadi hanya bisa datang kepada manusia dengan melalui kapasitas indra dan pikiran manusia. Oleh karena itu, apa yang dapat manusia alami tidak hanya bergantung pada sifat dari sesuatu yang ada di luar sana, namun juga bergantung pada sifat dari indra dan pikiran yang dimiliki oleh manusia. Menurut Kant, karena pikiran manusia terbatas pada dunia logis dan material yang dipersepsikan melalui panca indranya, maka pikiran manusia hanya dapat menafsirkan dan memahami kejadian berdasarkan penampilan empirisnya. Ia menulis bahwa manusia hanya dapat menyimpulkan sejauh yang dimungkinkan oleh indranya, namun tidak dapat mengalami benda yang sebenarnya itu sendiri.[33]
Kant berargumen bahwa kita memandang realitas sebagai sesuatu yang spasial dan temporal bukan karena realitas tersebut bersifat spasial dan temporal, melainkan karena begitulah cara pikiran kita bekerja dalam mempersepsikan suatu objek. Oleh karena itu, memahami objek dalam ruang dan waktu adalah 'kontribusi' kita terhadap suatu pengalaman. Bagi Schopenhauer, 'jasa terbesar' Kant adalah 'pembedaan antara fenomena dengan benda atau realitas itu sendiri (noumena), berdasarkan pembuktian bahwa antara segala sesuatu dan kita selalu ada pikiran yang mempersepsikan’. Pencapaian utama Kant, dengan kata lain, adalah menunjukkan bahwa alih-alih menjadi lembaran kosong di mana realitas sekadar menunjukkan karakternya, pikiran, dengan dukungan panca indra, justru secara aktif terlibat dalam mengkonstruksikan realitas. Oleh karena itu, Schopenhauer menganggap Kant telah menunjukkan bahwa dunia pengalaman sehari-hari, bahkan, seluruh dunia material yang berkenaan dengan ruang dan waktu adalah 'penampakan' atau 'fenomena' semata-mata, yang sama sekali berbeda dari kenyataan, realitas, atau dunia 'dalam dirinya sendiri'.[34]
Berbeda dengan Kant yang menganggap bahwa realitas atau benda dalam dirinya sendiri (noumena) tidak dapat diketahui oleh manusia, Schopenhauer berpendapat bahwa noumena adalah kehendak untuk hidup yang dimiliki oleh semua entitas yang hidup. Dia tidak menganggap bahwa kehendak merupakan penyebab dari representasi kita. Pendiriannya adalah bahwa kehendak dan representasi adalah realitas yang satu dan sama, tetapi dilihat dari sudut pandang yang berbeda. Menurut Schopenhauer, hubungan antara benda dalam dirinya sendiri dan sensasi yang kita miliki lebih seperti hubungan antara dua sisi mata uang, tidak ada yang menyebabkan satu sama lain, dan keduanya merupakan dua sisi dari mata uang yang sama.[35]
Dunia sebagai kehendak
Dalam Buku Kedua dari The World as Will and Representation, Schopenhauer membahas tentang dunia apakah yang berada di luar dunia yang tampak bagi kita — dunia di luar representasi, dunia yang dianggap sebagai "dalam dirinya sendiri", inti dari dunia yang sebenarnya. Menurut Schopenhauer, esensi dari dunia yang sebenarnya adalah kehendak (Wille). Dunia empiris yang kita lihat dan alami ini adalah dunia representasi yang mempunyai pluralitas dan tertata dalam kerangka ruang dan waktu. Dunia dalam dirinya sendiri berada di luar kerangka ruang dan waktu. Meskipun dunia memanifestasikan dirinya dalam pengalaman kita sebagai keberagaman objek, setiap elemen dari keberagaman ini memiliki esensi yang sama, yakni kehendak untuk hidup dan mempertahankan kehidupan. Pada tingkat fundamental, rasionalitas manusia hanyalah fenomena sekunder yang tidak membedakan umat manusia dari semua entitas yang ada di alam semesta. Kemampuan kognitif manusia yang lebih maju dari yang lain, menurut Schopenhauer, hanyalah bekerja sebagai pendukung dari kehendak. Filsafat Schopenhauer tentang kehendak sebagai realitas esensial di balik dunia representasi ini sering disebut voluntarisme metafisik.[36]
Penemuan Schopenhauer bahwa esensi yang mendasari kehidupan adalah kehendak bukanlah sesuatu yang menggembirakan. Karena, seperti yang dinyatakan dalam “Empat Kebenaran Mulia” Buddha yang kedua, kehendak atau keinginan merupakan penyebab penderitaan. Mengikuti “Kebenaran” yang pertama, bahwa hidup adalah penderitaan (dukkha), Schopenhauer menyimpulkan bahwa “lebih baik kita tidak pernah ada”.[37]
Dia memberikan dua argumen utama untuk mendukung pandangannya bahwa kehendak merupakan penyebab penderitaan. Pertama, Schopenhauer menganggap bahwa dunia ini adalah dunia yang penuh konflik dan perselisihan, yang di dalamnya terjadi “perang antara semua melawan semua” dan hanya pemenanglah yang dapat bertahan. Karena takut akan kepunahan, misalnya, elang harus memakan burung pipit. Begitu pula, burung pipit harus memakan cacing untuk mempertahankan kehidupannya. Kehendak untuk hidup pada satu individu membuatnya tidak mempunyai pilihan selain menghancurkan kehendak untuk hidup pada individu lain. Memang benar bahwa peradaban manusia telah sedikit banyak memperbaiki kebiadaban alam. Namun, pada hakikatnya, manusia tetap harus saling bersaing satu sama lain di medan sosial. Sebagai contoh, jika sebuah partai politik memperoleh kekuasaan, maka partai lain akan kehilangan kekuasaannya; jika seseorang memperoleh kekayaan, maka orang lain akan jatuh miskin. Sebagaimana diketahui oleh orang-orang Romawi, homo homini lupus, manusia adalah serigala bagi manusia: “sumber utama kejahatan paling serius yang menimpa manusia adalah manusia”.[37]
Kedua, Schopenhauer mengemukakan bahwa hidup berarti terus mempunyai kehendak atau keinginan. Alhasil, keinginan itu akan berujung pada terpuaskan atau tidak. Jika tidak puas maka ia akan menderita. Misalnya, jika keinginan untuk makan tidak terpuaskan, seseorang akan menderita sakit karena kelaparan; jika keinginan libido tidak terpuaskan, seseorang akan mengalami frustrasi seksual. Sebaliknya, jika keinginan terpuaskan maka sesaat setelah mengalami kesenangan atau kegembiraan itu, kita akan mengalami kebosanan atau harus memenuhi keinginan lain yang terus muncul. Oleh karena itu, Schopenhauer meggambarkan kehidupan itu seperti “pendulum yang berayun” di antara dua bentuk penderitaan: kekurangan sesuatu yang diinginkan dan kebosanan.[37]
Karena esensi kehidupan adalah kehendak untuk hidup — suatu perjuangan tanpa arah dan tanpa henti yang membuat kehidupan manusia dipenuhi rasa sakit dan penderitaan, Schopenhauer menyimpulkan bahwa ketiadaan adalah lebih baik daripada kehidupan. Namun, ia menolak bahwa bunuh diri adalah solusinya. Menurutnya, seseorang tidak dapat menyelesaikan masalah kehidupan dengan melakukan bunuh diri. Karena semua kehidupan adalah penderitaan, kematian tidak mengakhiri penderitaan seseorang tetapi hanya mengakhiri bentuk penderitaan yang dialaminya.[38] Schopenhauer menyatakan bahwa solusi terhadap penderitaan yang inheren dalam kehidupan adalah penolakan terhadap kehendak dengan diilhami oleh wawasan metafisika bahwa individualitas hanya sekadar ilusi. Baginya, orang yang memiliki "jiwa yang agung" secara intuitif "mengenali realitas secara keseluruhan, memahami esensinya, dan menyadari bahwa ia datang dan pergi, terperangkap dalam usaha yang sia-sia, konflik batin, dan penderitaan abadi".[39] Negasi terhadap kehendak bermula dari pemahaman bahwa dunia dalam dirinya sendiri (yang bebas dari bentuk ruang dan waktu) adalah satu. Praktik asketisisme, kata Schopenhauer, adalah bentuk dari penolakan terhadap kehendak yang menghasilkan keadaan "tanpa keinginan" dan bebas dari penderitaan pada individu yang mempraktikkannya. Dalam hal ini, pemikiran Schopenhauer mendapatkan konfirmasi dari teks-teks filsafat Timur yang ia baca dan ia kagumi, yaitu, bahwa keselamatan hanya dapat ditemukan dalam penolakan atau pengunduran diri.[40][41]
Etika
Schopenhauer menegaskan bahwa dalam filsafat, tujuan etika bukanlah untuk menentukan tindakan moral apa yang harus dilakukan, tetapi menyelidiki tindakan moral itu sendiri. Karena itu, ia menyatakan bahwa filsafat selalu bersifat teoretis: tugasnya menjelaskan apa yang telah menjadi kenyataan.[42]
Menurut Schopenhauer, moralitas tidak berasal dari rasionalitas manusia, yang ia pahami hanya bersifat instrumental untuk mencapai tujuan tertentu yang sudah ada dalam pikiran manusia. Baginya, semua tindakan moral dapat diungkapkan dalam frasa Latin Neminem laede, imo omnes quantum potes, juva (“Jangan melukai siapa pun; sebaliknya, bantulah orang lain sebanyak mungkin yang Anda bisa”). Schopenhauer berpendapat bahwa orang akan tergerak untuk melakukan suatu tindakan jika sesuai dengan motif-motif yang telah menjadi tujuan utama mereka. Misalnya, jika seseorang ingin membujuk seorang egois untuk melakukan tindakan belas kasih, orang itu harus menipunya agar percaya bahwa tindakan tersebut akan menguntungkan dirinya sendiri. Namun tidak seperti orang egois yang cenderung membuat perbedaan besar antara dirinya dengan semua manusia dan semua makhluk hidup lainnya, orang yang berkarakter welas asih tidak membuat perbedaan yang begitu tajam. Sebaliknya, ia melihat dirinya sebagai bagian dari dunia yang dipenuhi dengan penderitaan ini.[43]
Schopenhauer menjelaskan bahwa hal yang memotivasi altruisme adalah rasa belas kasih. Orang altruis merasakan penderitaan orang lain seperti penderitaannya sendiri. Sama halnya, orang yang berbelas kasih tidak dapat menyakiti binatang, meskipun binatang itu berbeda dengan dirinya. Penderitaan orang lain, bagi orang altruis, bukanlah suatu hal yang tidak ia pedulikan, namun ia merasakan keterhubungan dengan semua makhluk yang hidup. Dengan demikian, Schopenhauer menyimpulkan bahwa belas kasih adalah dasar dari moralitas.[44]
Berkaitan dengan pandangannya bahwa esensi kehidupan adalah penderitaan, ia menulis,
Ini mengingatkan kita pada hal-hal yang paling penting dalam kehidupan — toleransi, kesabaran, perhatian, dan kasih terhadap sesama, yang mana setiap orang memerlukannya, dan karenanya, setiap orang berkewajiban [memberikan] kepada sesamanya.[45]
Seni dan estetika
Karena kehendak untuk hidup yang dimiliki manusia — keinginan, nafsu, dsb. — adalah akar penderitaan, cara sementara untuk mengatasi penderitaan adalah dengan melakukan kontemplasi estetika. Dengan terlibat dalam kontemplasi estetika, kesadaran seseorang yang sebelumnya berfokus pada hal-hal individual akan beralih ke kesadaran tentang Ide-Ide Platonis yang abadi, yaitu kesadaran yang bebas dari pengaruh kehendak. Dalam hal ini, seseorang tidak lagi mempersepsikan suatu objek sebagai sesuatu yang terpisah dari dirinya; melainkan "seakan-akan objek itu sendiri ada tanpa ada seorang pun yang mempersepsikannya. Dengan demikian, seseorang tidak lagi memisahkan orang yang mempersepsikan objek dan objek yang dipersepsikannya. Namun, keduanya menjadi satu, yang mana kesadaran sepenuhnya diisi dan ditempati oleh satu gambaran persepsi".[47]
Dari aktivitas mengapresiasi estetika, seseorang tidak lagi menjadi individu yang menderita sebagai akibat penghambaannya terhadap kehendak, melainkan seolah-olah menjadi "subjek kognisi yang murni, tanpa keinginan, tanpa rasa sakit". Seni adalah bentuk praktis dari perenungan estetika, karena seni berupaya untuk menggambarkan esensi atau gagasan murni tentang dunia. Menurut Schopenhauer, musik adalah bentuk seni paling murni karena musik menggambarkan kehendak itu sendiri tanpa membuatnya tampak dalam bentuk objek individual. Ia menilai bahwa musik adalah bahasa universal yang abadi, dapat dipahami di mana pun dan dapat membangkitkan antusiasme global jika memiliki melodi yang bermakna.[48]
Psikologi
Schopenhauer meyakini bahwa dorongan utama dalam diri manusia bukanlah akal (intelek) atau motivasi untuk menjadi orang yang bermoral. Menurutnya, kehendak untuk hidup dan mempertahankan kehidupan (Wille zum Leben) merupakan dorongan utama paling kuat yang melekat dalam diri manusia dan semua makhluk hidup. Kehendak inilah yang mendorong semua entitas yang hidup untuk melakukan reproduksi.[49]
Berbeda dengan kebanyakan filsuf, Schopenhauer menganggap cinta sebagai sesuatu yang sangat penting dan bukan terjadi karena kebetulan. Ia memahami cinta sebagai dorongan yang sangat kuat dan tidak terlihat dalam diri manusia dengan tujuan untuk menjamin kelangsungan hidup umat manusia:
Tujuan akhir dari semua urusan percintaan... adalah lebih penting dibandingkan semua tujuan lain dalam kehidupan manusia; dan karena itu, hal ini dianggap oleh setiap orang sebagai sesuatu yang sangat serius. Apa yang dihasilkan oleh urusan percintaan tidak lain adalah untuk membentuk generasi berikutnya...[50]
Dalam komentarnya dalam bukunya, Parerga and Paralipomena, dan Manuscript Remains, Schopenhauer mendeskripsikan dirinya sebagai pendukung pemerintahan yang terbatas. Ia memiliki pandangan yang sama dengan Thomas Hobbes tentang perlunya negara dan tindakan negara untuk mengendalikan kecenderungan destruktif manusia yang ia anggap sebagai bawaan spesies kita. Ia juga membela independensi cabang kekuasaan legislatif, yudikatif dan eksekutif, dan raja sebagai elemen yang imparsial dalam menerapkan keadilan.[53]
Dia menyatakan bahwa monarki adalah "sesuatu yang alami bagi manusia, sama seperti bagi lebah dan semut, bagi burung bangau yang sedang terbang, bagi gajah yang berkeliaran, bagi serigala yang bergerombol mencari mangsa, dan bagi hewan lainnya".[54] Tingkat kecerdasan di negara-negara monarki, tulisnya, selalu mempunyai "kesempatan yang jauh lebih baik dalam melawan kebodohan dibandingkan di negara-negara republik."[54] Di sisi lain, Schopenhauer menganggap republikanisme sebagai sesuatu yang "tidak wajar bagi manusia dan tidak menguntungkan bagi kehidupan intelektual yang lebih tinggi dan juga bagi seni dan sains".[55]
Berdasarkan pengakuannya, Schopenhauer tidak terlalu memikirkan politik. Dalam beberapa kesempatan, ia menulis dengan bangga betapa sedikitnya perhatian yang ia berikan "pada urusan politik di zamannya". Pada era ketika beberapa revolusi politik terjadi dalam pemerintahan Perancis dan Jerman, dan beberapa perang mengguncang Eropa, ia mempertahankan posisinya yang "tidak memikirkan era tertentu tetapi keabadian". Dia menulis banyak komentar yang mengkritik keras Jerman dan orang Jerman. Contoh tipikalnya adalah: "Bagi orang Jerman, mengucapkan kata-kata yang agak panjang adalah lebih baik, karena dia berpikir dengan lambat, dan kata-kata itu memberinya waktu untuk merenung."[56]
Hukuman
Menurut Schopenhauer, negara menghukum orang yang melakukan tindakan kriminal dengan tujuan untuk mencegah terjadinya tindakan kriminal di masa depan. Ia menulis, “Bersama setiap motif untuk melakukan suatu kejahatan, terdapat motif yang lebih kuat untuk tidak melakukan kejahatan, yakni untuk menghindari hukuman. Oleh karena itu, KUHP berisi daftar lengkap tentang segala tindak pidana yang mungkin dapat dibayangkan..."[57] Ia menyatakan bahwa doktrin ini bukanlah doktrinnya yang orisinal karena sudah pernah dibahas dalam tulisan Plato,[58]Seneca, Hobbes, Pufendorf, dan Anselm Feuerbach
Ras dan agama
Schopenhauer menganggap peradaban orang-orang "ras kulit putih" di Utara lebih unggul karena sensitivitas dan kreativitas mereka. Ia juga menganggap orang-orang Mesir Kuno dan Hindu Kuno setara dengan orang-orang kulit putih Eropa:
Peradaban dan budaya tertinggi, selain Hindu dan Mesir kuno, hanya ditemukan di kalangan ras kulit putih. Bahkan pada banyak masyarakat berkulit gelap, kasta atau ras yang berkuasa memiliki warna kulit yang lebih cerah dibandingkan yang lain. Mereka itu jelas telah berimigrasi, misalnya, kaum Brahmana, suku Inca, dan para penguasa Kepulauan Laut Selatan. Ini semua disebabkan oleh fakta bahwa kebutuhan adalah sumber dari penemuan. Suku-suku yang lebih awal bermigrasi ke utara (dan di sana secara bertahap menjadi kulit putih) harus menggunakan semua kekuatan intelektual mereka dan menciptakan serta menyempurnakan budaya mereka dalam perjuangan untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan, serta dalam menghadapi berbagai bentuk kesulitan yang disebabkan oleh iklim. Hal ini harus mereka lakukan untuk mengimbangi kekejaman alam dan dari situlah muncul peradaban tinggi mereka.[59]
Schopenhauer sangat menentang perbudakan. Tentang perlakuan terhadap budak di negara-negara bagian pemilik budak di Amerika Serikat, ia mengecam keras pemilik-pemilik budak di sana, "setan-setan yang berwujud manusia, para bajingan yang fanatik, suka pergi ke gereja, dan menjalankan hari Sabat dengan ketat, terutama para pendeta Anglikan di antara mereka." Karena cara mereka "memperlakukan saudara-saudara mereka yang berkulit hitam yang tidak bersalah, dengan kekerasan dan ketidakadilan, telah membuat orang-orang itu jatuh ke dalam cakar setan mereka". Negara-negara pemilik budak di Amerika Utara, tulis Schopenhauer, adalah "aib bagi seluruh umat manusia".[60]
Schopenhauer juga mempertahankan sikapnya yang anti-Yahudi. Dia berpendapat bahwa agama Kristen merupakan pemberontakan terhadap apa yang dia sebut sebagai dasar materialistis Yudaisme. Ia menganggap etika Kristen mirip dengan etika India yang mencerminkan penaklukan diri spiritual Arya - Weda. Schopenhauer melihat hal ini sebagai lawan dari dorongan ketidaktahuan yang berujung pada utopianisme duniawi dan kedangkalan semangat duniawi "Yahudi":
Oleh karena itu, [Yudaisme] adalah agama yang paling kasar dan menyedihkan di antara semua agama; ia adalah bentuk teisme yang absurd dan memuakkan. [Dalam Yudaisme] terdapat κύριος ['Tuhan'] yang telah menciptakan dunia, yang ingin disembah dan dipuja; dan yang terpenting, dia cemburu, iri pada semua dewa lainnya; jika pengorbanan diberikan kepada mereka, dia akan marah dan membuat orang-orang Yahudi mengalami sesuatu yang tidak menyenangkan... Sungguh menyedihkan bahwa agama ini telah menjadi dasar agama yang berlaku di Eropa; karena ini adalah agama tanpa dasar metafisika apa pun. Ketika semua agama lain berusaha untuk menjelaskan tentang simbol-simbol metafisika kehidupan, agama Yahudi tetap ada dan tidak menghasilkan apa-apa selain seruan perang melawan bangsa lain.[61]
Wanita
Dalam esainya tahun 1851 "Tentang Wanita", Schopenhauer menyatakan penolakannya terhadap kesetaraan kaum perempuan yang ia anggap tidak masuk akal (abgeschmackten Weiberveneration)".[62] Dia menulis: "Perempuan cocok untuk menjadi perawat dan guru masa kanak-kanak kita karena fakta bahwa mereka sendiri bersifat kekanak-kanakan, sembrono dan dangkal." Ia berpendapat bahwa perempuan kurang memiliki kemampuan seni dan rasa keadilan. Ia juga menyatakan penentangannya terhadap monogami.[63] Ia menyatakan bahwa "wanita pada dasarnya dimaksudkan untuk patuh". Esai tersebut memberikan sedikit pujian: "Perempuan jelas lebih bijaksana dalam menilai dibandingkan [laki-laki]", dan lebih bersimpati terhadap penderitaan orang lain.
Dalam buku Philosophers Behaving Badly, penulis Nigel Rodgers dan Mel Thompson menyatakan bahwa Schopenhauer adalah seorang misoginis tanpa rival dalam sejarah filsafat barat.[64]
Perspektif Schopenhauer tentang wanita ini mempengaruhi feminisme abad kesembilan belas.[65] Analisis biologisnya mengenai perbedaan antara jenis kelamin, dan peran masing-masing dalam perjuangan untuk bertahan hidup dan bereproduksi mendahului beberapa klaim yang kemudian dikemukakan oleh ahli sosiobiologi dan psikolog evolusioner.[66]
Pada tahun 1859, ketika Schopenhauer tua duduk untuk dibuatkan patung oleh pematung Prusia Elisabet Ney, dia sangat terkesan dengan kecerdasan dan kemandirian wanita muda tersebut, serta keahliannya sebagai seniman.[67] Dia kemudian memberitahu teman Richard Wagner, Malwida von Meysenbug: "Saya belum mengucapkan pendapat terakhir saya tentang wanita. Saya percaya bahwa jika seorang perempuan berhasil keluar dari pengaruh massa, atau lebih tepatnya berusaha untuk menjadi lebih baik dari siapa pun, maka ia akan tumbuh tanpa henti dan lebih baik dari laki-laki."[68]
Keturunan dan eugenika
Schopenhauer berpendapat bahwa kepribadian dan kecerdasan adalah sesuatu yang bersifat turun temurun (genetik). Dia mengutip Horatius, "Dari yang berani dan baiklah, dilahirkan orang yang berani" (Odes, iv, 4, 29). Secara teknis, Schopenhauer percaya bahwa seseorang mewarisi kecerdasan dari ibunya, dan karakter serta kepribadian dari ayahnya.[69] Keyakinannya terhadap sifat-sifat manusia yang bersifat genetik juga mempengaruhi pandangannya tentang eugenika atau pembiakan yang "baik". Dalam hal ini, Schopenhauer menulis:
Dengan pengetahuan kita bahwa karakter dan kecerdasan seseorang merupakan sesuatu yang tidak dapat diubah, kita dituntun pada pandangan bahwa kemajuan umat manusia yang nyata dan menyeluruh tidak dapat dicapai dari luar, melainkan dari dalam, tidak melalui teori dan pengajaran, melainkan melalui jalur perbaikan generasi. Plato mempunyai pemikiran serupa, dalam buku kelima Republiknya, dia menjelaskan rencananya untuk meningkatkan dan memperbanyak kasta prajuritnya. Jika kita bisa mengebiri semua bajingan dan memasukkan semua orang-orang bodoh ke dalam biara, dan memberikan seluruh harem kepada laki-laki yang berbudi mulia, dan menyediakan laki-laki, dan tentu saja laki-laki yang sempurna, bagi gadis-gadis yang cerdas dan berakal budi, maka akan segera muncul generasi yang akan menghasilkan zaman yang lebih baik dibandingkan zaman Perikles.[70]
Dalam konteks yang lain, Schopenhauer menegaskan kembali tesis eugenikanya: "Jika Anda menginginkan rencana utopis, saya mengatakan: satu-satunya solusi terhadap masalah ini adalah despotisme orang-orang aristokrat sejati yang bijaksana dan mulia, bangsawan murni, yang dicapai dengan mengawinkan sebagian besar dari mereka, pria yang murah hati dengan wanita terpintar dan paling berbakat. Proposal ini merupakan rencana utopia saya."[71] Para analis (misalnya, Keith Ansell-Pearson) menyatakan bahwa sentimen anti-egalitarianisme Schopenhauer dan dukungannya terhadap eugenika turut mempengaruhi filsafat neo-aristokrat Friedrich Nietzsche, yang menganggap Schopenhauer sebagai seorang pendidik.[72]
Kesejahteraan hewan
Sebagai konsekuensi dari pandangan filsafat monistiknya, Schopenhauer sangat memperhatikan kesejahteraan hewan.[73][74] Menurutnya, semua hewan, termasuk manusia, pada dasarnya adalah manifestasi dari Kehendak. Baginya, kata "kehendak" berarti kekuatan, gaya, dorongan, energi, kemauan dan keinginan. Karena setiap entitas yang hidup memiliki kehendak, manusia dan hewan pada dasarnya adalah sama dan dapat saling memahami satu sama lain.[75] Oleh karena itu, ia mengklaim bahwa orang yang baik pasti akan mempunyai simpati terhadap hewan yang merupakan sesama penderita.
Belas kasih terhadap hewan sangat erat kaitannya dengan kebaikan karakter [seseorang], dan dapat dikatakan bahwa siapa pun yang kejam kepada makhluk hidup tidak bisa menjadi manusia yang baik.
Asumsi bahwa hewan tidak mempunyai hak dan ilusi bahwa perlakuan kita terhadap mereka tidak memiliki signifikansi moral adalah contoh dari keburukan dan kebiadaban peradaban Barat. Belas kasih universal adalah satu-satunya dasar moralitas.
— On the Basis of Morality, chapter 8[76], On the Basis of Morality, chapter 8[76]
Pada tahun 1841, ia memuji pendirian Royal Society for the Prevention of Cruelty to Animals di London dan Animals' Friends Society di Philadelphia. Schopenhauer juga memprotes penggunaan kata ganti "it" (dalam bahasa Inggris) untuk merujuk pada hewan karena hal itu menyebabkan hewan diperlakukan seolah-olah mereka tidak mempunyai kehidupan.[77] Untuk mendukung argumennya, Schopenhauer merujuk pada laporan anekdotal tentang tatapan mata seekor monyet yang ditembak dan juga kesedihan seekor anak gajah yang ibunya mati dibunuh oleh seorang pemburu.
Saya ingat pernah membaca tulisan pengalaman orang Inggris, ketika berburu di India, ia menembak seekor monyet; Ia tidak bisa melupakan tatapan wajah yang diberikan oleh hewan yang sekarat itu, dan sejak itu, ia tidak pernah lagi menembak monyet.
— On the Basis of Morality, § 19, On the Basis of Morality, § 19
Tuan William Harris menceritakan bagaimana ia menembak gajah pertamanya, seekor gajah betina. Keesokan paginya, ia pergi mencari hewan yang mati itu; ketika semua gajah lainnya telah melarikan diri dari kawasan sekitar karena ketakutan, seekor gajah kecil tetap tinggal bersama gajah induknya yang telah mati. Melawan semua rasa takut yang dimilikinya, gajah kecil itu kemudian mendatangi para pemburu itu dengan menunjukkan kesedihan yang mendalam, dan meletakkan belalai kecilnya pada mereka, seolah-olah untuk memohon bantuan. Harris mengatakan bahwa ia kemudian merasa sangat menyesal atas perbuatannya, dan merasa seakan-akan telah melakukan pembunuhan.
— On the Basis of Morality, § 19, On the Basis of Morality, § 19
Schopenhauer sangat mengasihi anjing-anjing pudel peliharaannya. Ia mengkritik pandangan Spinoza[78] yang menganggap bahwa hewan hanyalah sarana yang digunakan untuk kepuasan manusia.[79][80] Penulis dan humanis Tim Madigan menulis bahwa terlepas dari mulut besarnya, Schopenhauer merupakan orang yang mempunyai simpati karena kepeduliannya terhadap penderitaan hewan. Seperti yang ditulisnya dalam Essays and Aphorisms:
Manfaat terbesar yang diberikan oleh usaha perkeretaapian adalah menyelamatkan jutaan kuda penarik dari kehidupan mereka yang menyedihkan.[43]
Minat
Indologi
Schopenhauer suka membaca terjemahan Latin teks-teks Hindu kuno, seperti Upanisad, yang diterjemahkan oleh penulis Perancis Anquetil du Perron.[81] Ia pertama kali diperkenalkan pada terjemahan Upanisad oleh Friedrich Majer pada tahun 1814.[81] Menurut penulis biografi Safranski, mereka bertemu pada tahun tahun 1813–1814 di rumah ibu Schopenhauer di Weimar. Majer adalah pengikut Herder, dan termasuk orang pertama yang mempelajari indologi. Schopenhauer baru memulai studi serius terhadap teks-teks India pada tahun 1814. Safranski berpendapat bahwa, antara tahun 1815 dan 1817, Schopenhauer melakukan transplantasi pemikiran India di Dresden. Hal ini dilakukan bersama tetangganya, Karl Christian Friedrich Krause, selama dua tahun. Krause saat itu adalah seorang filsuf yang agak tidak lazim karena berusaha memadukan gagasannya dengan kebijaksanaan India kuno. Namun tidak seperti Schopenhauer, Krause juga menguasai bahasa Sansekerta. Dari Krauselah Schopenhauer belajar meditasi dan menerima masukan-masukan penting mengenai pemikiran India.[82]
Buku Oupnekhat (Upanisad) selalu terbuka di atas meja Schopenhauer. Ia dikatakan selalu membacanya sebelum tidur. Schopenhauer menyebut bahwa terbukanya akses terhadap sastra Sansekerta adalah "hadiah terbesar sepanjang abad ke-19." Ia meramalkan bahwa filsafat dan pengetahuan Upanisad akan menjadi keyakinan yang dijunjung tinggi di Barat.[83] Bagi Schopenhauer, bagian-bagian Upanisad yang sangat penting antara lain Chandogya Upanishad, yang berisi Mahāvākya dan Tat Tvam Asi, yang sering disebut dalam The World as Will and Representation.[84]
Buddhisme
Schopenhauer mencatat terdapat kesesuaian antara pemikirannya dengan Empat Kebenaran Mulia dalam agama Buddha.[85] Kesamaan itu antara lain pada prinsip-prinsip bahwa esensi kehidupan adalah penderitaan (dukkha), bahwa penderitaan disebabkan oleh keinginan (taṇhā) dan bahwa padamnya keinginan adalah jalan untuk menuju pembebasan. Jadi, tiga dari empat "kebenaran Buddha" mirip dengan filsafat Schopenhauer tentang kehendak.[86]
Konsep Nirwaṇa dalam Buddhisme tidak sama dengan kondisi yang digambarkan oleh Schopenhauer tentang penolakan terhadap keinginan. Nirwana bukanlah pemadaman diri seseorang seperti yang dipahami oleh sebagian sarjana Barat, namun hanya “pemadaman” (arti harfiah dari nirwana) api keserakahan, kebencian, dan khayalan yang menyerang karakter seseorang.[87] Schopenhauer membuat pernyataan berikut dalam diskusinya tentang agama:[88]
Saya harus mengakui bahwa filsafat Buddhis adalah lebih unggul dibandingkan yang lain. Apa pun yang terjadi, saya senang melihat pemikiran saya mempunyai kesesuaian dengan agama yang dianut oleh sebagian besar orang di dunia. Dan kesesuaian ini lebih menyenangkan bagi saya, karena dalam berfilsafat saya tidak dipengaruhi olehnya. Hingga tahun 1818, ketika karya saya terbit, di Eropa hanya ada sedikit catatan tentang agama Buddha.[89]
Menurut filsuf Julian Young, Schopenhauer adalah orang Buddhis Eropa pertama (terjemahan pertama teks-teks Hindu dan Buddha pertama kali muncul saat ia sedang menulis karya utamanya, The World as Will and Representation).[37]
Schopenhauer mendasarkan hal yang gaib pada Kehendak dan menyatakan bahwa semua bentuk transformasi magis bergantung pada Kehendak manusia, bukan pada ritual. Teori ini mempunyai kemiripan dengan okultisme Aleister Crowley dan penekanannya pada kehendak manusia.[90] Schopenhauer menolak teori kekecewaan dan menyatakan bahwa filsafat harus menyatukan dirinya dengan hal yang gaib, yang menurutnya sama dengan "metafisika praktis".[91]
Pengaruh
Schopenhauer adalah filsuf Jerman paling berpengaruh sampai dengan Perang Dunia Pertama.[92] Filsafatnya menjadi dasar pemikiran bagi generasi filsuf selanjutnya, termasuk Karl Robert Eduard von Hartmann, Philipp Mainländer, dan Friedrich Nietzsche. Karya-karyanya mempengaruhi perdebatan-perdebatan intelektual, dan memaksa pandangan-pandangan yang sepenuhnya menentangnya seperti neo-Kantianisme dan positivisme untuk mengatasi isu-isu yang telah mereka abaikan.[92] Penulis Perancis Maupassant berkomentar bahwa "saat ini bahkan mereka yang membencinya tampaknya masih mengadopsi unsur-unsur pemikiran Schopenhauer ke dalam jiwa mereka sendiri". Filsuf abad ke-19 lain yang mengaku terpengaruh filsafat Schopenhauer antara lain Hans Vaihinger, Solovyov dan Weininger.[butuh rujukan]
Karya-karya Schopenhauer juga dibaca dengan baik oleh para fisikawan terutama Einstein, Schrödinger, Wolfgang Pauli,[93] dan Majorana.[94] Einstein menganggap pemikiran Schopenhauer sebagai "sumber penghiburan tiada henti" dan menyebutnya jenius.[95] Di ruang kerja Einstein di Berlin, terdapat tiga tokoh yang dipajang di dinding: Faraday, Maxwell, dan Schopenhauer.[96] Arsitek rumah Einstein, Konrad Wachsmann, menulis: "Dia sering duduk dengan salah satu buku Schopenhauer yang sudah usang. Ketika dia duduk di sana, dia tampak sangat senang, seolah-olah dia sedang sibuk dengan pekerjaan yang syahdu dan ceria."[97]
Ketika Erwin Schrödinger menemukan karya-karya Schopenhauer (yang ia anggap sebagai "sarjana terhebat di Barat") ia mempertimbangkan untuk pindah dari bidang fisika ke filsafat.[98] Namun, Schrödinger tetap mempertahankan pandangan idealisnya selama sisa hidupnya.[99]Wolfgang Pauli setuju dengan prinsip utama metafisika Schopenhauer: bahwa benda dalam dirinya sendiri adalah kehendak.[100][butuh rujukan]
Schopenhauer paling terkenal di antara para artis dan seniman. Komposer Richard Wagner menjadi salah satu pengikut filsafat Schopenhauerian yang paling awal dan terkenal.[101] Namun, kekaguman Wagner tidaklah bersifat timbal-balik; Schopenhauer mengatakan: "Saya tetap setia pada Rossini dan Mozart!"[102] Oleh karena itu, ia dijuluki “filsuf para artis”. Lihat juga Pengaruh Schopenhauer pada Tristan und Isolde.
Karena pengaruh Schopenhauer, sastrawan terkenal Leo Tolstoy menjadi yakin bahwa kebenaran semua agama terletak pada penolakan atau pengunduran diri. Dalam sebuah surat, Tolstoy menulis, “Saya tidak tahu apakah akan mengubah opini saya atau tidak. Tetapi, saat ini saya yakin bahwa Schopenhauer adalah orang paling jenius di antara manusia... [Karya Schopenhauer] adalah seluruh dunia dalam refleksi yang sangat indah dan terang."[103][butuh rujukan] Lebih lanjut Tolstoy mengatakan bahwa apa yang ditulisnya dalam War and Peace juga diungkapkan Schopenhauer dalam The World as Will and Representation.[104]
Penulis Jorge Luis Borges mengatakan bahwa alasan dia tidak pernah menulis secara sistematis tentang pandangan dunianya, meskipun dia menyukai filsafat dan metafisika pada khususnya, adalah karena Schopenhauer telah menuliskan untuknya.[105] Tokoh-tokoh sastra lain yang sangat dipengaruhi oleh Schopenhauer antara lain Thomas Mann, Thomas Hardy, Afanasy Fet, Joris-Karl Huysmans, Hermann Hesse,[106]Machado de Assis,[107]Marcel Proust dan George Santayana.[108] Pada tahun-tahun terakhir novelis Herman Melville, ketika dia menulis Billy Budd, dia membaca esai Schopenhauer dan menandainya dengan cermat. Akademisi Brian Yothers mencatat bahwa Melville "menandai banyak pernyataan misantropis dan bahkan bunuh diri, yang menunjukkan ketertarikannya pada bentuk kesendirian yang paling ekstrem, tetapi dia juga mencatat refleksi Schopenhauer tentang ambiguitas moral orang jenius."[109] Ketertarikan Schopenhauer tentang agama Timur dan Barat secara bersamaan memberikan kesan pada Melville di tahun-tahun terakhirnya.
Filsuf Friedrich Nietzsche menghabiskan sebagian besar masa hidupnya bergelut dengan filsafat Schopenhauer. Nietzsche mengakui bahwa Schopenhauer adalah salah satu dari sedikit filsuf yang ia hormati. Ia menganggap bahwa Schopenhauer adalah orang yang tidak takut untuk melihat dunia secara apa adanya. Ia juga melihat Schopenhauer sebagai filsuf yang mempunyai karakter yang independen dan tidak mau pandangannya didikte oleh orang banyak atau konvensi. Meskipun ia sangat mengagumi Schopenhauer, pada akhirnya Nietzsche menolak filsafat pesimisme Schopenhauer dan mengafirmasi kehidupan. Dalam karyanya, Untimely Meditations, Nietzsche menulis satu esai khusus tentang Schopenhauer yang berjudul Schopenhauer as Educator.[110]
Di awal karirnya, filsuf terkenal abad ke-20 Ludwig Wittgenstein mengadopsi idealisme epistemologis Schopenhauer. Beberapa pengaruh Schopenhauer (khususnya transendentalisme Schopenhauerian) dapat diamati dalam Tractatus Logico-Philosophicus.[111][112] Pada akhirnya, Wittgenstein menolak idealisme transendental epistemologis dan mengikuti realisme konseptual Gottlob Frege. Pada tahun-tahun berikutnya, Wittgenstein menjadi sangat meremehkan Schopenhauer dan menganggapnya sebagai seorang pemikir yang dangkal.[113][114] Filsuf Bertrand Russell juga mempunyai opini yang negatif terhadap Schopenhauer. Dalam bukunya, History of Western Philosophy (Sejarah Filsafat Barat), Russell mengkritik Schopenhauer karena mengadvokasi asketisisme namun ia sendiri tidak mempraktikkannya.[115]
^Frederick C. Beiser reviews the commonly held position that Schopenhauer was a transcendental idealist and he rejects it: "Though it is deeply heretical from the standpoint of transcendental idealism, Schopenhauer's objective standpoint involves a form of realisme transendental, i.e. the assumption of the independent reality of the world of experience." (Beiser 2016, p. 40)
^Arthur Schopenhauer, Arthur Schopenhauer: The World as Will and Presentation, Volume 1, Routledge, 2016, p. 211: "the world [is a] mere presentation, object for a subject ..."
^Lennart Svensson, Borderline: A Traditionalist Outlook for Modern Man, Numen Books, 2015, p. 71: "[Schopenhauer] said that 'the world is our conception'. A world without a perceiver would in that case be an impossibility. But we can—he said—gain knowledge about Essential Reality for looking into ourselves, by introspection. ... This is one of many examples of the anthropic principle. The world is there for the sake of man."
^ abDale Jacquette, ed. (2007). Schopenhauer, Philosophy and the Arts. Cambridge University Press. hlm. 162. ISBN978-0-521-04406-6. For Kant, the mathematical sublime, as seen for example in the starry heavens, suggests to imagination the infinite, which in turn leads by subtle turns of contemplation to the concept of God. Schopenhauer's atheism will have none of this, and he rightly observes that despite adopting Kant's distinction between the dynamical and mathematical sublime, his theory of the sublime, making reference to the struggles and sufferings of struggles and sufferings of Will, is unlike Kant's.
^Wells, John C. (2008), Longman Pronunciation Dictionary (edisi ke-3rd), Longman, ISBN978-1-4058-8118-0
^See the book-length study about oriental influences on the genesis of Schopenhauer's philosophy by Urs App: Schopenhauer's Compass. An Introduction to Schopenhauer's Philosophy and its Origins. Wil: UniversityMedia, 2014 (ISBN978-3-906000-03-9)
^Arthur Schopenhauer (2004). Essays and Aphorisms. Penguin Classics. hlm. 22–36. ISBN978-0-14-044227-4. …but there has been none who tried with so great a show of learning to demonstrate that the pessimistic outlook is justified, that life itself is really bad. It is to this end that Schopenhauer's metaphysic of will and idea exists.
^Schopenhauer, Arthur (2000). Parerga and paralipomena. 2: Reissued. Diterjemahkan oleh Payne, E. F. J. Oxford: Clarendon. hlm. 397. ISBN978-0-19-924221-4.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Although the first volume was published by December 1818, it was printed with a title page erroneously giving the year as 1819 (see Braunschweig, Yael (2013), "Schopenhauer and Rossinian Universiality: On the Italianate in Schopenhauer's Metaphysics of Music", dalam Mathew, Nicholas; Walton, Benjamin, The Invention of Beethoven and Rossini: Historiography, Analysis, Criticism, Cambridge: Cambridge University Press, hlm. 297, n. 7, ISBN978-0-521-76805-4).
^Janaway, Christopher (2002). Schopenhauer: a very short introduction. Very short introductions. Oxford New York: Oxford Univ. Press. ISBN978-0-19-280259-0.
^Schopenhauer, Arthur. The World as Will and Representation. Vol. 1, § 53.
^"Nearly a century before Freud ... in Schopenhauer there is, for the first time, an explicit philosophy of the unconscious and of the body." Safranski p. 345.
^"... he who attempts to punish in accordance with reason does not retaliate on account of the past wrong (for he could not undo something which has been done) but for the future, so that neither the wrongdoer himself, nor others who see him being punished, will do wrong again." Plato, "Protagoras", 324 B. Plato wrote that punishment should "be an example to other men not to offend". Plato, "Laws", Book IX, 863.
^Parerga and Paralipomena, Vol. 2, "On Philosophy and Natural Science," §92, trans. Payne (p. 158-159).
^On the Suffering of the World (1970), p. 35. Penguin Books – Great Ideas.
^Schopenhauer, Arthur (1969). E. F. J. Payne, ed. The World as Will and Representation. II. New York: Dover Publications. hlm. 527. ISBN978-0-486-21762-8.
^Essays and Aphorisms, trans. R.J. Hollingdale, Middlesex: London, 1970, p. 154
^Nietzsche and Modern German Thought by K. Ansell-Pearson – 1991 – Psychology Press.
^Christina Gerhardt, "Thinking With: Animals in Schopenhauer, Horkheimer and Adorno." Critical Theory and Animals. Ed. John Sanbonmatsu. Lanham: Rowland, 2011. 137–157.
^"Unlike the intellect, it [the Will] does not depend on the perfection of the organism, but is essentially the same in all animals as what is known to us so intimately. Accordingly, the animal has all the emotions of humans, such as joy, grief, fear, anger, love, hatred, strong desire, envy, and so on. The great difference between human and animal rests solely on the intellect's degrees of perfection. On the Will in Nature, "Physiology and Pathology".
^Quoted in Ryder, Richard (2000). Animal Revolution: Changing Attitudes Towards Speciesism. Oxford: Berg Publishers. hlm. 57. ISBN978-1-85973-330-1.
^"... in English all animals are of the neuter gender and so are represented by the pronoun 'it,' just as if they were inanimate things. The effect of this artifice is quite revolting, especially in the case of primates, such as dogs, monkeys, and the like...." On the Basis of Morality, § 19.
^"His contempt for animals, who, as mere things for our use, are declared by him to be without rights, ... in conjunction with Pantheism, is at the same time absurd and abominable." The World as Will and Representation, Vol. 2, Chapter 50.
^Spinoza, Ethics, Pt. IV, Prop. XXXVII, Note I.: "Still I do not deny that beasts feel: what I deny is, that we may not consult our own advantage and use them as we please, treating them in a way which best suits us; for their nature is not like ours ..." This is the exact opposite of Schopenhauer's doctrine. Also, Ethics, Appendix, 26, "whatsoever there be in nature beside man, a regard for our advantage does not call on us to preserve, but to preserve or destroy according to its various capacities, and to adapt to our use as best we may."
^"Such are the matters which I engage to prove in Prop. xviii of this Part, whereby it is plain that the law against the slaughtering of animals is founded rather on vain superstition and womanish pity than on sound reason. The rational quest of what is useful to us further teaches us the necessity of associating ourselves with our fellow-men, but not with beasts, or things, whose nature is different from our own; we have the same rights in respect to them as they have in respect to us. Nay, as everyone's right is defined by his virtue, or power, men have far greater rights over beasts than beasts have over men. Still I affirm that beasts feel. But I also affirm that we may consult our own advantage and use them as we please, treating them in the way which best suits us; for their nature is not like ours, and their emotions are naturally different from human emotions." Ethics, Part 4, Prop. 37, Note 1.
^Abelson, Peter (April 1993).
Schopenhauer and BuddhismDiarsipkan 28 June 2011 di Wayback Machine.. Philosophy East and West Volume 43, Number 2, pp. 255–278. University of Hawaii Press. Retrieved on: 12 April 2008.
^Janaway, Christopher, Self and World in Schopenhauer's Philosophy, pp. 28 ff.
^John J. Holder, Early Buddhist Discourses. Hackett Publishing Company, 2006, p. xx.
^"Schopenhauer is often said to be the first modern Western philosopher to attempt integration of his work with Eastern ways of thinking. That he was the first is true, but the claim that he was influenced by Indian thought needs qualification. There is a remarkable correspondence in broad terms between some central Schopenhauerian doctrines and Buddhism: notably in the views that empirical existence is suffering, that suffering originates in desires, and that salvation can be attained by the extinction of desires. These three 'truths of the Buddha' are mirrored closely in the essential structure of the doctrine of the will." (On this, see Dorothea W. Dauer, Schopenhauer as Transmitter of Buddhist Ideas. Note also the discussion by Bryan Magee, The Philosophy of Schopenhauer, pp. 14–15, 316–321). Janaway, Christopher, Self and World in Schopenhauer's Philosophy, p. 28 f.
^ abBeiser, Frederick C. (2008). Weltschmerz, Pessimism in German Philosophy, 1860–1900. Oxford: Oxford University Press. hlm. 14–16. ISBN978-0-19-876871-5. Arthur Schopenhauer was the most famous and influential philosopher in Germany from 1860 until the First World War. ... Schopenhauer had a profound influence on two intellectual movements of the late 19th century that were utterly opposed to him: neo-Kantianism and positivism. He forced these movements to address issues they would otherwise have completely ignored, and in doing so he changed them markedly. ... Schopenhauer set the agenda for his age.
^Howard, Don (1997). A Peek behind the Veil of Maya: Einstein, Schopenhauer, and the Historical Background of the Conception of Space as a Ground for the Individuation of Physical Systems. University of Pittsburgh Press. Pauli greatly admired Schopenhauer. ... Pauli wrote sympathetically about extrasensory perception, noting approvingly that "even such a thoroughly critical philosopher as Schopenhauer not only regarded parapsychological effects going far beyond what is secured by scientific evidence as possible, but even considered them as a support for his philosophy".
^Bassani, Giuseppe-Franco (15 December 2006). Società Italiana di Fisica, ed. Ettore Majorana: Scientific Papers. Springer. hlm. xl. ISBN978-3-540-48091-4. His interest in philosophy, which had always been great, increased and prompted him to reflect deeply on the works of various philosophers, in particular Schopenhauer.
^Halpern, Paul (2015). Einstein's Dice and Schrödinger's Cat: How Two Great Minds Battled Quantum Randomness to Create a Unified Theory of Physics. Basic Books. hlm. 189. ISBN978-0-465-04065-0.
^Raymond B. Marcin. "Schopenhauers Metaphysics and Contemporary Quantum Theory". David Lindorff referred to Schopenhauer as Pauli's "favorite philosopher", and Pauli himself often expressed his agreement with the main tenet of Schopenhauer's philosophy. … Suzanne Gieser cited a 1952 letter from Pauli to Carl Jung, in which Pauli indicated that, while he accepted Schopenhauer's main tenet that the thing-in-itself of all reality is will.[pranala nonaktif]
^Nicholas Mathew, Benjamin Walton. The Invention of Beethoven and Rossini: Historiography, Analysis, Criticism. hlm. 296.
^Tolstoy's letter to Afanasy Fet on 30 August 1869. "Do you know what this summer has meant for me? Constant raptures over Schopenhauer and a whole series of spiritual delights as I've never experienced before. I have brought all of his works and read him over and over, Kant too by the way. Assuredly no student has ever learned and discovered so much in one semester as I have during this summer. I do not know if I shall ever change my opinion, but at present I am convinced that Schopenhauer is the greatest genius among men. You say he is so-so, he has written a few things on philosophy? What is so-so? It is the whole world in an incomparably beautiful and clear reflection. I have started to translate him. Won't you help me? Indeed, I cannot understand how his name can be unknown. The only explanation for this can only be the one he so often repeats, that is, that there is scarcely anyone but idiots in the world."
^Wicks, Robert (2011). Schopenhauer's The world as will and representation: a reader's guide. London: Continuum. ISBN978-0-8264-3181-3. OCLC721337622.
^Caleb Flamm, Matthew (2002). "Santayana and Schopenhauer". Transactions of the Charles S. Peirce Society. 38 (3): 413–431. JSTOR40320900. A thinker of whom it is well known that Santayana had an early, deep admiration, namely, Schopenhauer
^Yothers, Brian (2015). Sacred Uncertainty: Religious Difference and The Shape of Melville's Career. Evanston, Illinois: Northwestern University Press. hlm. 13. ISBN978-0-8101-3071-5.
Safranski, Rüdiger (1990) Schopenhauer and the Wild Years of Philosophy. Harvard University Press, ISBN978-0-674-79275-3; orig. German Schopenhauer und Die wilden Jahre der Philosophie, Carl Hanser Verlag (1987)
Thomas Mann editor, The Living Thoughts of Schopenhauer, Longmans Green & Co., 1939
Bacaan lebih lanjut
Frederick Copleston, Arthur Schopenhauer, philosopher of pessimism (Burns, Oates & Washbourne, 1946)
O. F. Damm, Arthur Schopenhauer – eine Biographie (Reclam, 1912)
Kuno Fischer, Arthur Schopenhauer (Heidelberg: Winter, 1893); revised as Schopenhauers Leben, Werke und Lehre (Heidelberg: Winter, 1898).
Eduard Grisebach, Schopenhauer – Geschichte seines Lebens (Berlin: Hofmann, 1876).
D. W. Hamlyn, Schopenhauer, London: Routledge & Kegan Paul (1980, 1985)
Heinrich Hasse, Schopenhauer. (Reinhardt, 1926)
Arthur Hübscher, Arthur Schopenhauer – Ein Lebensbild (Leipzig: Brockhaus, 1938).
Rüdiger Safranski, Schopenhauer und die wilden Jahre der Philosophie – Eine Biographie, hard cover Carl Hanser Verlag, München 1987, ISBN978-3-446-14490-3, pocket edition Fischer: ISBN978-3-596-14299-6.
Rüdiger Safranski, Schopenhauer and the Wild Years of Philosophy, trans. Ewald Osers (London: Weidenfeld and Nicolson, 1989)
Walther Schneider, Schopenhauer – Eine Biographie (Vienna: Bermann-Fischer, 1937).
William Wallace, Life of Arthur Schopenhauer (London: Scott, 1890; repr., St. Clair Shores, Mich.: Scholarly Press, 1970)
Neymeyr, Barbara, 1996 (reprint 2011): Ästhetische Autonomie als Abnormität. Kritische Analysen zu Schopenhauers Ästhetik im Horizont seiner Willensmetaphysik. (= Quellen und Studien zur Philosophie. Band 42). Walter de Gruyter, Berlin / New York 1996, ISBN3-11-015229-0. (reprint 2011, De Gruyter Berlin / Boston).
Mannion, Gerard, "Schopenhauer, Religion and Morality – The Humble Path to Ethics", Ashgate Press, New Critical Thinking in Philosophy Series, 2003, 314pp.
Trottier, Danick. L'influence de la philosophie schopenhauerienne dans la vie et l'oeuvre de Richard Wagner; et, Qu'est-ce qui séduit, obsède, magnétise le philosophe dans l'art des sons? deux études en esthétique musicale, Université du Québec à Montréal, Département de musique, 2000.
Kastrup, Bernardo. Decoding Schopenhauer's Metaphysics - The key to understanding how it solves the hard problem of consciousness and the paradoxes of quantum mechanics. Winchester/Washington, iff Books, 2020.
(Inggris) Ross, Kelley L., 1998, "Arthur Schopenhauer (1788–1860)." Dua esai pendek tentang kehidupan dan karya Schopenhauer serta pandangannya tentang akademia.