Kosmopolitanisme adalah gagasan bahwa seluruh umat manusia adalah anggota dari satu komunitas yang sama. Penganutnya dikenal dengan istilah kosmopolitan atau kosmopolit. Kosmopolitanisme bersifat preskriptif dan aspiratif yang meyakini bahwa umat manusia dapat dan harus menjadi "warga dunia" dalam sebuah "komunitas universal".[1] Idenya mencakup serangkaian dimensi dan tujuan seperti mempromosikan standar moral universal, membangun struktur politik global, atau mengembangkan platform untuk ekspresi budaya bersama dan toleransi.[1]
Kwame Anthony Appiah mengartikulasikan komunitas kosmopolitan yang di dalamnya individu dengan berbagai latar belakang (fisik, ekonomi, kebangsaan, etnis, negara dll.) menjalin hubungan saling menghormati meskipun keyakinan mereka berbeda (agama, politik, dll. ).[2] Sebagai perbandingan, Immanuel Kant mengharapkan adanya dunia kosmopolitan yang bebas dari kekuatan militer dan umat manusia diatur oleh sebuah lembaga global yang representatif. Para pendukung kosmopolitanisme sama-sama menekankan bahwa semua umat manusia harus membentuk satu komunitas yang kohesif dan bersatu.
Dalam teori politik, kosmopolitanisme diartikan sebagai sebuah pandangan bahwa seluruh umat manusia mempunyai hak untuk mendapatkan rasa hormat dan perhatian yang sama, terlepas dari status kewarganegaraan atau afiliasi lain yang mereka miliki.[3] Dalam arti yang lain, istilah "kosmopolitan" juga sering digunakan untuk mendeskripsikan suatu tempat yang mempunyai penduduk dari berbagai belahan dunia.[4]
Etimologi
Istilah kosmopolitanisme berasal dari bahasa Yunani Kuno: κοσμοπολίτης, atau kosmopolitês, dari "κόσμος", kosmos, yaitu "dunia", "alam semesta", atau "kosmos" dan πολίτης, "politês", yaitu "warga negara" atau "[satu] kota". Penggunaan kontemporer mendefinisikan istilah kosmopolitan sebagai "warga dunia".[5][6]
Definisi
Definisi kosmopolitanisme biasanya diawali dengan etimologi Yunani yang artinya adalah "warga dunia". Namun, seperti yang ditunjukkan Appiah, "dunia" dalam arti aslinya berarti "kosmos" atau "alam semesta", bukan bumi atau dunia seperti yang diasumsikan oleh penggunaan saat ini.[7] Satu definisi yang membahas masalah ini terdapat dalam buku terbaru tentang globalisasi politik:
Kosmopolitanisme dapat didefinisikan sebagai politik global yang, pertama, memproyeksikan keterlibatan politik bersama semua umat manusia di seluruh dunia, dan, kedua, menunjukkan bahwa keterlibatan ini harus diistimewakan secara etis atau organisasional dibandingkan bentuk-bentuk keterlibatan sosial lainnya.[8]
Istilah bahasa Mandarin tianxia (semua di bawah Surga), sebuah metonimia untuk kekaisaran, juga telah ditafsirkan ulang di zaman modern sebagai konsepsi kosmopolitanisme. Konsepsi ini digunakan oleh kelompok modernis pada tahun 1930-an sebagai judul jurnal berbahasa Inggris yang berbasis di Shanghai. seni dan sastra dunia, T'ien Hsia Monthly.[9]
Filosofi
Akar filsafat
Kosmopolitanisme dapat ditelusuri jejaknya sampai ke era Diogenes dari Sinope (c. 412 SM), bapak pendiri gerakan sinisisme di Yunani Kuno. Diogenes diceritakan pernah ditanya dari mana asalnya, dan dia menjawab: "Saya adalah warga dunia (kosmopolitês)".[10] Pada saat itu, basis identitas sosial yang paling kuat di antara orang-orang Yunani adalah negara-kota atau kelompok Hellenik yang homogen secara budaya dan bahasa.
Stoikisme, sebuah aliran pemikiran Yunani lain yang didirikan kira-kira seabad kemudian, dibangun berdasarkan ide Diogenes. Banyak pemikir dan pengikut stoikisme yang menekankan bahwa setiap manusia "tinggal [...] di dua komunitas - komunitas lokal tempat kelahiran kita, dan komunitas argumen dan aspirasi manusia".[11] Cara yang umum untuk memahami kosmopolitanisme Stoik adalah melalui model identitas lingkaran Hierocles yang menyatakan bahwa setiap individu harus menganggap diri mereka sebagai lingkaran konsentris: yang pertama di sekitar diri, diikuti oleh keluarga dekat, keluarga besar, kelompok lokal, warga negara, kemanusiaan. Di dalam lingkaran-lingkaran ini, manusia merasakan "kedekatan" atau "kasih sayang" terhadap orang lain, yang oleh orang Stoik disebut Oikeiôsis. Tugas warga dunia, oleh karenanya, adalah "menggambar lingkaran ke arah pusat, dan membuat hubungan seluruh umat manusia lebih seperti sesama penghuni kota, dan seterusnya".[11]:9
Pemikir kosmpolitan modern
Dalam esainya tahun 1795, Perpetual Peace, Immanuel Kant mengusung ius cosmopoliticum (hukum/hak kosmopolitan) sebagai prinsip pemandu untuk melindungi masyarakat dari perang, dan mendasarkan hak kosmopolitan ini secara moral pada prinsip keramahan universal. Kant mengklaim bahwa perluasan keramahan sampai pada "pelaksanaan hak atas permukaan bumi yang dimiliki umat manusia" (lihat warisan bersama manusia) pada akhirnya akan "membawa umat manusia lebih dekat dengan konstitusi kosmopolitan".[12]
Konsep filsafat Emmanuel Levinas mengenai etika dan konsep filsafat Jacques Derrida mengenai keramahan menciptakan kerangka teoretis untuk hubungan antar manusia dalam kehidupan sehari-hari dan terlepas dari berbagai bentuk hukum tertulis. Bagi Levinas, dasar etika sudah termaktub dalam kewajiban menanggapi yang Lain (the Other). Dalam Being for the Other, ia menulis bahwa tidak ada hukum moral universal, melainkan rasa tanggung jawab (kebaikan, rasa iba, amal) yang diinginkan oleh yang Lain dalam keadaan rapuh. Kedekatan yang Lain adalah hal penting dalam konsep Levinas; wajah yang Lain adalah sesuatu yang menggerakkan tanggapan.
Bagi Derrida, dasar etika adalah keramahan, kesiapan, dan keinginan untuk menyambut yang Lain ke rumah seseorang. Menurutnya, etika adalah keramahan. Keramahan yang murni dan tanpa syarat adalah keinginan yang mendasari keramahan bersyarat yang diperlukan dalam hubungan antar manusia. Teori etika dan keramahan Levinas dan Derrida menunjukkan kemungkinan penerimaan yang Lain sebagai sikap yang berbeda namun setara. Isolasi bukan alternatif yang pantas di dunia, jadi penting untuk mempertimbangkan cara terbaik mendekati interaksi semacam ini, sekaligus menentukan apa yang dipertaruhkan untuk kita dan lainnya: syarat keramahan apa yang perlu diterapkan dan sudahkah kita menanggapi panggilan yang Lain. Selain itu, kedua teori ini mengungkapkan pentingnya mempertimbangkan cara terbaik berinteraksi dengan yang Lain dan apa yang dipertaruhkan.
Dalam wawancara dengan Geoffrey Bennington tahun 1997, Derrida merangkum "kosmpolitanisme" seperti ini:
Ada tradisi kosmopolitanisme, dan jika kita punya waktu, kita bisa mempelajari tradisi ini yang datang dari pemikiran Yunani bersama kaum Stoik yang memiliki konsep 'warga dunia'. Kalian juga punya St. Paul dalam tradisi Kristen serta penyamaan warga dunia sebagai saudara. St. Paul mengatakan bahwa kita semua bersaudara, sama-sama anak Tuhan, jadi kita bukanlah orang asing, kita merupakan warga dunia; dan tradisi inilah yang bisa kita terapkan sampai Kant muncul; di dalam konsep kosmpolitanismenya, kita menemukan syarat keramahan. Namun dalam konsep kosmpolitik Kant, ada beberapa syarat: pertama kamu tentu harus menyambut orang asing, orang luar, sampai ia merasa seperti warga negara yang lain, sampai kamu memberinya hak berkunjung dan bukan hak tinggal, dan ada beberapa syarat lain yang tidak bisa saya rangkum di sini dengan cepat, tetapi konsep kosmopolitik yang sangat baru dan patut dihargai (menurutku kosmopolitanisme adalah hal yang sangat bagus) ini adalah konsep yang sangat terbatas.[13]
Keadaan kosmpolitanisme terjadi pasca Perang Dunia Kedua. Sebagai tanggapan atas Holocaust dan pembantaian lainnya, konsep kejahatan terhadap kemanusiaan menjadi kategori hukum internasional yang diterima secara umum. Ini jelas-jelas menunjukkan kemunculan dan penerimaan ide tanggung jawab individu yang dianggap ada di dalam diri seluruh manusia.[14]
Kosmopolitan filosofis adalah universalis moral: Mereka percaya bahwa semua manusia, bukan saja rekan seperjuangan atau sesama warga negara, berasal dari standar moral yang sama. Batas antara bangsa, negara, budaya, dan masyarakat menjadi tidak relevan secara moral. Salah satu kosmopolitan kontemporer yang sering dikutip adalah Kwame Anthony Appiah.[15]
Sejumlah filsuf dan pakar berpendapat bahwa kondisi objektif dan subjektif yang mulai muncul dalam sejarah modern, fase peradaban antar planet, menciptakan suatu potensi kuat untuk penentuan identitas kosmopolitan sebagai warga global dan kemungkinan terbentuknya gerakan warga global.[16] Kondisi objektif dan subjektif baru dalam fase keplanetan ini termasuk diantaranya telekomunikasi mutakhir dan terjangkau; perjalanan luar angkasa dan foto-foto pertama yang menunjukkan planet rapuh kita mengambang di tengah luasnya jagat raya; teori pemanasan global dan ancaman ekologi lain terhadap keberadaan manusia secara kolektif; institusi global baru seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa, Organisasi Perdagangan Dunia, atau Mahkamah Internasional; berdirinya perusahaan transnasional dan integrasi pasar yang sering disebut globalisasi ekonomi; kemunculan lembaga swadaya masyarakat global dan gerakan sosial transnasional seperti World Social Forum; dan lain-lain. Globalisasi, istilah yang lebih lazim, lebih mengacu pada hubungan ekonomi dan perdagangan dan tidak membahas transisi budaya, sosial, politik, lingkungan, demografi, nilai, dan pengetahuan yang sedang terjadi.
Pemikir kosmopolitan kontemporer
Sejumlah ahli teori kontemporer mengusulkan beragam pandangan, baik langsung maupun tidak langsung, tentang menjadi seorang kosmopolitan.
Thich Nhat Hanh membahas apa yang disebutnya "Interbeing" sebagai cara menjalani hidup seseorang dalam hubungannya dengan orang lain; "Interbeing" dapat dibandingkan dengan kosmopolitanisme. Keyakinan filosofis Nhat Hanh didasarkan pada ajaran-ajaran Buddha, yang menekankan pada sikap welas asih dan pengertian untuk melindungi dan hidup dalam harmoni dengan semua orang, hewan, tumbuhan, dan mineral.[17]:88 Dia lebih lanjut menjelaskan tentang "Latihan Perhatian Penuh pada Tatanan Antar-Makhluk" sebagai kesadaran akan penderitaan yang disebabkan oleh, namun tidak terbatas pada, penyebab-penyebab berikut: fanatisme dan intoleransi yang mengganggu sikap welas asih dan hidup harmonis dengan orang lain; indoktrinasi keyakinan yang berpikiran sempit; pemaksaan pandangan; amarah; dan miskomunikasi.[17]:89–95 Pemahaman dan belas kasih bagi orang lain dapat dicapai dengan memahami penderitaan orang lain dan akar penyebab penderitaan itu. Oleh karena itu, sikap bertanggung jawab adalah mengenali dan memahami penderitaan, yang kemudian mengarah pada sikap welas asih. Melalui proses inilah orang lain dapat diperlakukan sebagai manusia.
Ahli teori, filsuf, dan aktivis lain berpendapat bahwa mengakui penderitaan adalah hal yang diperlukan untuk mengakhiri kekerasan. Dalam Scared Sacred, Velcrow Ripper melakukan perjalanan ke berbagai situs penderitaan luar biasa yang pada akhirnya menuntunnya untuk mengembangkan sikap belas kasih.[18] Dalam "The Planet", Paul Gilroy mengeksplorasi bagaimana konstruksi dan naturalisasi ras dan hierarki yang dihasilkan oleh perbedaan menimbulkan kebencian terhadap orang lain. Dekonstruksi ideologi-ideologi inilah yang dapat mengarah pada belas kasih dan humanisasi orang lain. Jadi tanggung jawab individu adalah menyadari apa yang disebut Judith Butler sebagai kerawanan hidup dalam diri dan orang lain; menjadi kosmopolitan merupakan sebuah usaha sosial dan etik.
Dalam Cosmopolitanism: Ethics in a World of Strangers, Kwame Anthony Appiah menjelaskan bagaimana etika sosial berjalan: Kewajiban yang mungkin dimiliki seseorang kepada orang lain, terutama orang asing, tidak menggantikan kewajiban yang dimiliki seseorang kepada orang-orang terdekat mereka. Namun, seperti pertanyaan Judith Butler, "apa kriteria familiar yang harus saya tetapkan" untuk menilai orang lain?[19] Jika seseorang lebih menghargai orang yang akrab daripada yang asing, apa konsekuensinya? Paul Gilroy menawarkan alternatif terhadap kriteria keakraban ini dengan berargumen bahwa "penanaman secara metodis untuk memisahkan seseorang dari budaya dan sejarah seseorang itu ... mungkin memenuhi syarat penting untuk komitmen kosmopolitan." [20]:67 "Pemisahan" ini memerlukan "proses pemaparan terhadap yang lain" (process of exposure to otherness) untuk mendorong "nilai keragaman yang tidak dapat direduksi menjadi kesamaan."[20]:67 Oleh karena itu, pemisahan semacam ini dapat menyebabkan hilangnya penekanan pada hal-hal yang familiar dalam etika dengan mengintegrasikan yang lain.
Bagi Gilroy, menjadi kosmopolitan berarti melibatkan usaha-usaha sosial, etika, dan budaya. Dalam "The Planet", Gilroy mendeskripsikan kasus Tom Hurndall dan Rachel Corrie;[20]:80–81 yang mencontohkan sebagai sosok kosmopolitan dalam konsepsi Gilroy. Baik Hurndall dan Corrie memisahkan diri (secara geografis) dari budaya asal mereka. Secara fisik dan mental, keduanya mengasingkan diri dari budaya dan sejarah mereka sendiri. Hurndall dan Corrie keduanya terbunuh pada tahun 2003 (dalam insiden terpisah). Model keterasingan Gilroy mungkin sebenarnya mengurangi validitas klaimnya melalui contoh-contohnya sendiri; ini dapat ditafsirkan sebagai kegagalan teori Gilroy untuk mengatasi kesulitan praktis mengasingkan diri dari yang sesuatu yang sudah familiar.[20]
Frantz Fanon, dalam The Wretched of the Earth, mengamati bahwa ketika negara-negara mencapai kemerdekaan dari penjajah Eropa, seringkali tidak ada sistem untuk mengamankan masa depan ekonomi mereka, dan mereka menjadi "manajer untuk perusahaan Barat.. .dalam praktiknya menjadikan negaranya sebagai rumah bordil Eropa."[21]:154 Ketika negara-negara "dunia ketiga" masuk dalam kemitraan ekonomi dengan kapital global, hal ini dimaksudkan seolah-olah untuk meningkatkan kualitas hidup nasional mereka. Namun seringkali satu-satunya yang diuntungkan dari kemitraan ini adalah individu-individu yang telah mempunyai tempat yang mapan dan bukan bangsa itu sendiri.
Lebih lanjut, Mahmood Mamdani dalam Good Muslim, Bad Muslim mengemukakan bahwa penerapan norma-norma budaya Barat, seperti demokrasi dan Kristen misalnya, secara historis telah menghasilkan kekerasan nasionalis;[22] namun, Appiah mengungkapkan bahwa demokrasi adalah sebuah prasyarat untuk intervensi kosmopolitan di negara-negara berkembang.[23]:169[24]
Sebagian besar pemikiran politik dalam dua abad terakhir telah menerima begitu saja nasionalisme dan kerangka negara-bangsa yang berdaulat. Dengan kemajuan globalisasi dan peningkatan fasilitas perjalanan dan komunikasi, beberapa pemikir menganggap bahwa sistem politik yang didasarkan pada negara-bangsa telah menjadi usang dan sudah waktunya untuk merancang alternatif yang lebih baik dan lebih efisien. Jesús Mosterín meneliti bagaimana sistem politik dunia seharusnya diatur untuk memaksimalkan kebebasan individu dan kesempatan individu. Dia menolak gagasan metafisik tentang kehendak bebas dan berfokus pada kebebasan politik yang dia pahami sebagai tidak adanya paksaan atau campur tangan orang lain dalam membuat keputusan pribadi. Karena adanya kecenderungan untuk melakukan kekerasan dan agresi yang mengintai dalam sifat manusia, beberapa pembatasan kebebasan diperlukan untuk interaksi sosial yang damai dan bermanfaat.[25]
Beberapa pemikir juga telah memberikan pandangan filosofis yang lebih umum tentang kosmopolitanisme dan multikulturalisme. Carol Nicholson membandingkan penentangan John Searle terhadap multikulturalisme dengan dukungan oleh Charles Taylor. Dia menggunakan Richard Rorty sebagai titik triangulasi karena dia dianggap tetap netral tentang multikulturalisme, tetapi analisis filosofisnya tentang kebenaran dan praktik dapat digunakan untuk membantah Searle dan mendukung Taylor.[26] Pada konferensi "Filsafat dalam Konteks Multikultural", Rasmus Winther menggali asumsi dan praktik filosofis yang terkait dengan kosmopolitanisme dan multikulturalisme. Dia mengembangkan konsepsi Bruno Latour tentang filsuf sebagai diplomat publik.[27]
Politik dan kemasyarakatan
Emile Durkheim (1858–1917) mengamati perkembangan yang disebutnya 'kultus individu', yang merupakan agama baru yang menggantikan Kekristenan yang sedang sekarat, dan yang berpusat pada kesucian martabat manusia. Agama baru ini akan memberikan fondasi baru bagi masyarakat Barat, dan fondasi ini terkait erat dengan hak asasi manusia dan konstitusi individu bangsa. Objek suci suatu masyarakat akan menjadi martabat manusia individu, dan kode moral yang membimbing masyarakat ditemukan dalam cara negara itu menafsirkan martabat manusia dan hak asasi manusia. Jadi, dibandingkan menemukan solidaritas melalui budaya nasional, atau doktrin agama tradisional tertentu, masyarakat akan dipersatukan oleh kepatuhannya pada nilai-nilai politik, yaitu hak-hak individu dan pembelaan martabat manusia.[28] Kultus individu Durkheim memiliki banyak kesamaan dengan liberalisme politikJohn Rawls, yang dikembangkan Rawls hampir satu abad setelah Durkheim.[29]
Dalam karyanya yang diterbitkan secara anumerta (1957) "Professional Ethics and Civic Morals" Durkheim menulis bahwa:
Jika setiap Negara memiliki tujuan utama bukan untuk memperluas atau memperpanjang perbatasannya, tetapi untuk mengatur rumahnya sendiri dan untuk membuat seruan seluas-luasnya kepada warga untuk mempunyai kehidupan moral pada tingkat yang lebih tinggi, maka semua perbedaan antara nasional dan moral manusia akan dikesampingkan. … Semakin masyarakat memusatkan energi mereka ke dalam, pada kehidupan interior, semakin mereka akan dialihkan dari bentrokan antara kosmopolitanisme – atau patriotisme dunia, dan patriotisme … Masyarakat dapat memiliki harga diri mereka, bukan untuk menjadi yang terhebat atau yang terkaya, tetapi menjadi yang paling adil, paling terorganisir dan memiliki konstitusi moral terbaik.[30]
Sejumlah filsuf, termasuk Emmanuel Levinas, telah memperkenalkan konsep "Liyan". Bagi Levinas, Liyan atau "yang lain" diberikan konteks dalam etika dan tanggung jawab; kita harus memikirkan "yang lain" sebagai siapa pun dan semua orang di luar diri kita sendiri. Menurut Levinas, interaksi awal kita dengan yang lain terjadi sebelum kita membentuk kehendak—kemampuan untuk membuat pilihan. Yang lain menyapa kami dan kami merespons: bahkan ketiadaan respons adalah respons. Dengan demikian kita dikondisikan oleh tempat "yang lain" dan mulai membentuk budaya dan identitas. Setelah terbentuknya kehendak, kita memilih apakah akan mengidentifikasi tempat oleh orang lain dan melanjutkan proses pembentukan identitas.[31]
Selama proses ini, adalah mungkin untuk mengenali diri kita sendiri dalam interaksi kita dengan Orang Lain. Bahkan dalam situasi di mana kita terlibat dalam interaksi yang paling minimal, kita menganggap identitas orang lain dan sekaligus diri kita sendiri. Ketergantungan kita pada Yang Lain untuk pembentukan bahasa, budaya, dan identitas yang berkelanjutan berarti bahwa kita bertanggung jawab kepada orang lain dan mereka bertanggung jawab kepada kita. Ketika kita telah membentuk kehendak, juga menjadi mungkin untuk mengenali saling ketergantungan sosial ini. Ketika kita telah memperoleh kapasitas untuk pengakuan, adalah suatu keharusan untuk melakukan pengakuan itu dan dengan demikian menjadi bertanggung jawab secara etis kepada Yang Lain dalam hati nurani.[31]
Kosmopolitanisme berbagi beberapa aspek universalisme – yaitu gagasan martabat manusia yang dapat diterima secara global yang harus dilindungi dan diabadikan dalam hukum internasional. Namun, teori tersebut berbeda dalam melihat perbedaan antara budaya dunia.[32]
Daniele Archibugi mengusulkan model baru untuk kewarganegaraan global:[33] kosmopolitanisme institusional. Ini menganjurkan beberapa reformasi dalam pemerintahan global untuk memungkinkan warga dunia untuk mengambil bagian lebih penting dalam kehidupan politik. Sejumlah usulan telah dibuat untuk mewujudkannya. Demokrasi kosmopolitan, misalnya, menyarankan penguatan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan organisasi internasional lainnya dengan membentuk Majelis Parlemen Dunia.[34]
Kritik
"Kosmopolitanisme" menjadi senjata retorika yang digunakan oleh kaum nasionalis untuk melawan ide-ide yang dianggap "asing" yang bertentangan dengan ortodoksi. Orang-orang Yahudi Eropa sering dituduh sebagai "kosmopolitan tanpa akar".[35]Joseph Stalin dalam pidatonya di Moskow tahun 1946 menyerang tulisan-tulisan dengan mengatakan bahwa "pahlawan Soviet yang baik telah dicemooh dan direndahkan di hadapan segala sesuatu yang asing, dan kosmopolitanisme yang telah kita semua lawan sejak zaman Lenin, karakteristik dari sisa-sisa politik, berkali-kali dipuji."[36]
Di Republik Demokratik Jerman, kosmopolitanisme dianggap sebagai ideologiborjuis - imperialis yang menolak hak bangsa-bangsa untuk kemerdekaan dan kedaulatan nasional. Kosmopolitanisme dikatakan mempromosikan pembongkaran tradisi nasional dan patriotik dan budaya nasional. Dikatakan diadvokasi oleh imperialisme Anglo-Amerika dengan tujuan untuk mendirikan hegemoni dunia (World Government) yang beroperasi untuk kepentingan kapitalisme monopoli. Lawannya bukanlah nasionalisme borjuis chauvinis, tetapi patriotisme; cinta tanah air, tanah air. Cinta tanah air dikatakan sebagai salah satu perasaan terdalam dari orang-orang yang bekerja, diungkapkan dalam perjuangan melawan penakluk dan penindas.[37] Pada abad ke-21, julukan itu menjadi senjata yang digunakan oleh Vladimir Putin di Rusia, dan oleh kaum nasionalis di Hungaria dan Polandia.[38] Di zaman modern, Stephen Miller, penasihat kebijakan senior administrasi Trump, secara terbuka mengkritik reporter CNN Jim Acosta karena menunjukkan "bias kosmopolitan" selama diskusi tentang rencana imigrasi baru pemerintah.[39]
^ abNussbaum, Martha C. (1997). Kant and Stoic Cosmopolitanism, in The Journal of Political Philosophy Volume 5, Nr 1, pp. 1–25
^Immanuel Kant. 'Toward Perpetual Peace' in Practical Philosophy – Cambridge Edition of the Works of Immanuel Kant. Gregor MJ (trans.). Cambridge University Press, Cambridge. 1999. p329 (8:358).
^Miller, Michael L.; Ury, Scott (2010). "Cosmopolitanism: The end of Jewishness?". European Review of History: Revue Européenne d'Histoire. 17 (3): 337–359. doi:10.1080/13507486.2010.481923.
^Jeff Greenfield, "The Ugly History of Stephen Miller’s ‘Cosmopolitan’ Epithet: Surprise, surprise—the insult has its roots in Soviet anti-Semitism." Politico 3 August, 2017
^Taschenkalender der Kasernierten Volkspolizei 1954. Berlin : Verl. d. Minist. d. Innern, pp. 248-249.
^Jeff Greenfield, "The Ugly History of Stephen Miller’s ‘Cosmopolitan’ Epithet"
Ankerl, Guy (2000). Global communication without universal civilization. INU societal research. Geneva: INU Press. ISBN978-2-88155-004-1. OCLC50042854.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Brock, Gillian; Brighouse, Harry (2005). The Political Philosophy of Cosmopolitanism. Cambridge University Press. ISBN978-0-521-84660-8. OCLC470712082.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Cotesta, Vittorio (2012). "Global Society, Cosmopolitanism and Human Rights". Global Society and Human Rights. International Comparative Social Studies. 18. Diterjemahkan oleh D'Auria, Matthew. Leiden: Brill. hlm. 151–164. doi:10.1163/9789004225633_010. ISBN978-90-04-22563-3.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Miller, Michael L.; Ury, Scott, ed. (2015). Cosmopolitanism, Nationalism and the Jews of East Central Europe. Oxon: Routledge. ISBN978-1-138-01852-5. OCLC901035778.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Miller, Michael L., and Scott Ury. "Cosmopolitanism: the end of Jewishness?" European Review of History—Revue européenne d'histoire 17.3 (2010): 337–359. abstract
Schuett, Robert; Stirk, Peter M.R., ed. (2015). The Concept of the State in International Relations: Philosophy, Sovereignty, and Cosmopolitanism. Edinburgh University Press. ISBN978-0-7486-9362-7.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)