Ubi kayu, singkong, atau ketela pohon (Manihot esculenta, sinonim: Manihot utilissima) adalah perdu tropis dan subtropis tahunan[2] dari suku Euphorbiaceae. Tanaman ini juga disebut kaspe, ubi sampa, atau ubi prancis. Umbinya dikenal luas sebagai makanan pokok penghasil karbohidrat dan daunnya sebagai sayuran.
Deskripsi
Perdu bisa mencapai hingga 7 meter dengan cabang agak jarang. Singkong memiliki akar tunggang dengan sejumlah akar cabang yang kemudian membesar menjadi umbi akar yang dapat dimakan. Ukuran umbi rata-rata bergaris tengah 2–3 cm dan panjang 50–80 cm, tergantung dari klon/kultivar. Bagian dalam umbinya berwarna putih atau kekuning-kuningan. Umbi singkong tidak tahan simpan meskipun ditempatkan di lemari pendingin. Gejala kerusakan ditandai dengan keluarnya warna biru gelap akibat terbentuknya asam sianida yang bersifat racun bagi manusia.[3]
Manihot esculenta pertama kali dikenal di Amerika Selatan kemudian dikembangkan pada masa prasejarah di Brasil dan Paraguay, sejak kurang lebih 10 ribu tahun yang lalu. Bentuk-bentuk modern dari spesies yang telah dibudidayakan dapat ditemukan bertumbuh liar di Brasil selatan. Meskipun ada banyak spesies Manihot yang liar, semua kultivar M. esculenta dapat dibudidayakan. Walaupun demikian, bukti-bukti arkeologis budi daya singkong justru banyak ditemukan di kebudayaan Indian Maya, tepatnya di Meksiko dan El Salvador.[5]
Produksi singkong dunia, diperkirakan mencapai 192 juta ton pada tahun 2004. Nigeria menempati urutan pertama dengan 52,4 juta ton, disusul Brasil dengan 25,4 juta ton. Indonesia menempati posisi ketiga dengan 24,1 juta ton, diikuti Thailand dengan 21,9 juta ton (FAO, 2004[6]) Sebagian besar produksi dihasilkan di Afrika 99,1 juta ton dan 33,2 juta ton di Amerika Latin dan Kepulauan Karibia.
Di Hindia Belanda
Singkong ditanam secara komersial di wilayah Indonesia (waktu itu Hindia Belanda) pada sekitar tahun 1810,[7] setelah sebelumnya diperkenalkan orang Portugis pada abad ke-16 dari Brasil. Menurut Haryono Rinardi dalam Politik Singkong Zaman Kolonial, singkong masuk ke Indonesia dibawa oleh Portugis ke Maluku sekitar abad ke-16. Tanaman ini dapat dipanen sesuai kebutuhan. “Sifat itulah yang menyebabkan tanaman ubi kayu sering kali disebut sebagai gudang persediaan di bawah tanah,” tulis Haryono.[8]
Butuh waktu lama singkong menyebar ke daerah lain, terutama ke Pulau Jawa. Diperkirakan singkong kali pertama diperkenalkan di suatu kabupaten di Jawa Timur pada 1852. “Bupatinya sebagai seorang pegawai negeri harus memberikan contoh dan bertindak sebagai pelopor. Kalau tidak, rakyat tidak akan memercayainya sama sekali,” tulis Pieter Creutzberg dan J.T.M. van Laanen dalam Sejarah Statistik Ekonomi Indonesia.[9]
Namun hingga 1876, sebagaimana dicatat H.J. van Swieten, kontrolir di Trenggalek, dalam buku De Zoete Cassave (Jatropha janipha) yang terbit 1875, singkong kurang dikenal atau tidak ada sama sekali di beberapa bagian Pulau Jawa, tetapi ditanam besar-besaran di bagian lain. “Bagaimanapun juga, singkong saat ini mempunyai arti yang lebih besar dalam susunan makanan penduduk dibandingkan dengan setengah abad yang lalu,” tulisnya, sebagaimana dikutip Creutzberg dan van Laanen. Sampai sekitar tahun 1875, konsumsi singkong di Jawa masih rendah. Baru pada permulaan abad ke-20, konsumsinya meningkat pesat. Pembudidayaannya juga meluas. Terlebih rakyat diminta memperluas tanaman singkong mereka.[10]
Peningkatan penanaman singkong sejalan dengan pertumbuhan penduduk Pulau Jawa yang pesat. Ditambah lagi produksi padi tertinggal di belakang pertumbuhan penduduk. “Singkong khususnya menjadi sumber pangan tambahan yang disukai,” tulis Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto dalam Sejarah Nasional Indonesia V. Hingga saat ini, singkong telah menjadi salah satu bahan pangan yang utama, tidak saja di Indonesia tetapi juga di dunia. Di Indonesia, singkong merupakan makanan pokok ketiga setelah padi-padian dan jagung.[11][12]
Hindia Belanda pernah menjadi salah satu pengekspor dan penghasil tepung tapioka terbesar di dunia. Di Jawa banyak sekali didirikan pabrik-pabrik pengolahan singkong untuk dijadikan tepung tapioka. Seperti dalam buku Handbook of the Netherlands East Indies, pada tahun 1928 tercatat 21,9% produksi tapioka diekspor ke Amerika Serikat, 16,7% ke Inggris, 8,4% ke Jepang, lalu 7% dikirim ke Belanda, Jerman, Belgia, Denmark dan Norwegia. Biasanya tepung olahan singkong tersebut dimanfaatkan sebagai bahan baku lem dan permen karet, industri tekstil dan furniture.[13]
Sampai dan Singkong adalah nama lokal di kawasan Jawa Barat untuk tanaman ini. Nama "ubi kayu" dan "ketela pohon" dipakai dalam bahasa Melayu secara luas. Nama "ketela" secara etimologi berasal dari kata dalam bahasa Portugis "castilla" (dibaca "kastiya"), karena tanaman ini dibawa oleh orang Portugis dan Castilla (Spanyol).[14]
Pengolahan
Umbi singkong dapat dimakan mentah. Kandungan utamanya adalah pati dengan sedikit glukosa sehingga rasanya sedikit manis. Pada keadaan tertentu, terutama bila teroksidasi, akan terbentuk glukosida racun yang selanjutnya membentuk asam sianida (HCN). Sianida ini akan memberikan rasa pahit. Umbi yang rasanya manis menghasilkan paling sedikit 20 mg HCN per kilogram umbi segar, dan 50 kali lebih banyak pada umbi yang rasanya pahit. Proses pemasakan dapat secara efektif menurunkan kadar racun.[butuh rujukan]
Dimasak dengan berbagai cara, singkong banyak digunakan pada berbagai macam masakan. Direbus untuk menggantikan kentang, dan pelengkap masakan. Tepung singkong dapat digunakan untuk mengganti tepung gandum, cocok untuk pengidap alergi gluten.
Kadar gizi
Kandungan gizi singkong per 100 gram meliputi:[15]
Tanaman singkong disebut manis atau beracun, tergantung kandungan asam hydrocyanic dalam akarnya, yang umum diakui mengandung kurang dari 50 miligram asam hydrocyanic per kilogram bahan segar. Saat ini tersedia 10 varietas ubi kayu di pasaran. Kesepuluh varietas tersebut dikelompokkan menjadi dua, yakni kelompok varietas ubi kayu untuk pangan dan untuk industri.
Varietas untuk pangan adalah
N1 Mekarmanik
Adira 1
Malang 1
Malang 2
Darul Hidayah.
Sedangkan untuk ubi industri adalah
N1 Mekarmanik
Adira 2
Adira 4
Malang 4
Malang 6
UJ 5
UJ 3.
Varietas untuk pangan mempunyai tekstur umbi yang pulen dengan kadar HCN < 50 miligram per kilogram dan mempunyai rasa tidak pahit. Sedangkan ubi jalar untuk industri mempunyai kadar patin atau kadar bahan kering sekitar 0,6 gram per kilogram
Beberapa varietas unggul singkong yang telah dilepas oleh Kementrian Pertanian antara lain Adira 1, Adira 2, Adira 4, Malang 1, Malang 2, Darul Hidayah, Malang 4 maupun Malang 6.
Etimologi
Nama "ubi kayu" dan "ketela pohon" dipakai dalam bahasa Melayu secara luas. Nama "ketela" secara etimologi berasal dari kata "castilla" (dibaca "kastilya"), karena tanaman ini dibawa oleh orang Portugis dan Castilla (Spanyol).[butuh rujukan]
Ikram, M.; Sutjiatiningsih, Sri; Dalip, Achmaddin; Soejanto, Soejanto (1993). Sejarah Pengaruh Pelita terhadap Masyarakat Pedesaan di Bengkulu. Jakarta: Departemen Pedidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional. hlm. 58. Diakses tanggal 7 Desember 2021.