Surah An-Nisa' (bahasa Arab: سورة النسآء, translit. sūrah an-nisā’, har.'perempuan')[2][3] adalah surah ke-4 dalam Al-Qur'an yang terdiri atas 176 ayat.[4] Dinamakan An- Nisa (wanita) karena dalam surah ini banyak dibicarakan hal-hal yang berhubungan dengan wanita[4] serta merupakan surah yang paling membicarakan hal itu dibanding dengan surah-surah yang lain. Surah ini digolongkan Madaniyyah sebagaimana ditetapkan oleh Muhammad Husain Thabathaba'i yang mengatakan bahwa berdasarkan isinya, surah ini diwahyukan setelah hijrahnya Nabi Muhammad.[5]
Surah yang lain banyak juga yang membicarakan tentang hal wanita ialah surah At-Talaq. Dalam hubungan ini biasa disebut surah An-Nisa dengan sebutan "Surah An-Nisa al-Kubra" (surah An-Nisa yang besar), sedang surah At-Talaq disebut dengan sebutan "Surah An-Nisa Ash-Shughra" (surah An-Nisa yang kecil).[6]
Meski surah ini muncul sebagai surah ke-4 dalam mushaf, menurut klasifikasi Nöldeke, berdasarkan tradisi Islam, An-Nisa' diturunkan sebagai surah ke-100.[7] Amir-Ali menempatkannya sebagai surah ke-94, sedangkan Utsman dan Ibnu Abbas meyakini sebagai surah ke-92 yang diturunkan.[8]Ja'far ash-Shadiq menempatkannya sebagai surah ke-91 yang diturunkan.[8] Berdasarkan hukum anak yatim, surah ini kemungkinan besar diturunkan setelah banyak umat Islam terbunuh dalam Perang Uhud, meninggalkan banyak tanggungan di masyarakat Muslim baru.[9] Dengan demikian, pewahyuannya dimulai sekitar tahun ketiga Hijriah, tetapi baru selesai pada tahun kedelapan Hijriah.[10] Akibatnya, bagian dari surah ini, yang terpanjang kedua dalam al-Qur'an, diwahyukan bersamaan dengan sebagian dari Surah Al-Mumtahanah 60.[10] Akan tetapi, surah tersebut menunjukkan beberapa koherensi tematik, meskipun pewahyuannya terputus-putus.[11]
Lebih lanjut, sehubungan dengan penempatan surah ini di dalam Al-Qur'an secara keseluruhan, Neal Robinson mencatat apa yang dia sebut sebagai "berkesinambungannya" surah-surah.[12] Berdasarkan gagasan struktur ini, satu surah diakhiri dengan bahasan yang dilanjutkan pada surah berikutnya.[12] Surah Ali Imran, membahas laki-laki dan perempuan menjelang akhir surah (3:195).[12] Tema ini dilanjutkan dalam surah ini:[12] "Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri)nya; dan dari keduanya Allah mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan."[13] Kecocokan ini mungkin menunjukkan proses editorial yang kompleks dalam penyusunan mushaf.[14]
Isi
Hukum keluarga
Kewajiban para washi terhadap asuhannya dan kewajiban para wali terhadap orang yang di bawah perwaliannya (1–6)
Pokok-pokok hukum waris (7–14)
Dasar untuk menetapkan perbuatan keji dan hukumnya (15–18)
Surah yang termasuk Madaniyah ini diturunkan untuk melindungi kelompok Muslim yang sedang bertumbuh,[10] serta menjelaskan peranan Al-Qur'an sebagai sumber hukum Islam tertinggi.[15] Surah ini juga diturunkan untuk memberantas kesyirikan serta tradisi yang bertentangan dengan syariat, khususnya di masyarakat Arab pra-Islam (jahiliah).[10] Misalnya, salah satu ayat surah ini memuat keharusan berlaku adil terhadap yatim piatu (4:2-4) dan diturunkan dalam rangka membahas praktik masyarakat jahiliah yang mengawini gadis yatim piatu untuk mengambil harta mereka..[16]
Perbuatan syirik (4:48 dan 4:116)[2] adalah bentuk kekafiran dan kezaliman paling keji, dan dianggap sebagai dosa yang tidak diampuni Allah.[17]
Surah An-Nisā tidak hanya membahas persoalan perempuan, tetapi juga membahas tentang hukum syariat seperti waris, perkawinan, cara merawat anak dan yatim piatu, hukum, jihad, hubungan umat Islam dan Ahli Kitab, perang, dan peran Isa (Yesus) sebagai seorang nabi, bukan "anak Tuhan" atau bagian dari "Tritunggal" seperti yang diklaim orang Nasrani.[10] Lebih jauh lagi, dalam membahas perang, surah ini mendorong umat Islam untuk berjuang melindungi yang lemah[16] sebagaimana ayat 4:75: "Dan mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang yang lemah, baik laki-laki, perempuan maupun anak-anak yang berdoa, 'Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekkah) yang penduduknya zalim. Berilah kami pelindung dari sisi-Mu, dan berilah kami penolong dari sisi-Mu.'?"[18] Surah ini membahas banyak masalah yang dihadapi masyarakat Muslim awal serta menanggapi tantangan yang dihadapi masyarakat. Beragamnya persoalan yang dibahas dalam surah ini membuat sulit dalam pemaknaan sastrawinya. Namun, berdasarkan telaah terhadap tema-tema yang ada di setiap bagian surah, Amin Ahsan Islāhī membagi surah tersebut menjadi tiga bagian: reformasi sosial, masyarakat Islam dan penentangnya, serta kesimpulan.[19] Mathias Zahniser menghadirkan cara alternatif dalam melihat struktur surat ini. Ia mengeklaim bahwa tema sentral dari surah ini adalah ditujukan kepada orang-orang Nasrani. Kesimpulannya, berdasarkan pengujian tersebut, surah ini memiliki keteraturan struktural seperti kesejajaran, pengulangan, dan komposisi.[20] Namun, Carl Ernst mengakui bahwa lebih banyak penelitian perlu dilakukan dalam jenis analisis struktural ini untuk lebih memahami komposisi surah yang begitu luas.[20]
Dalam bukunya yang berjudul Qur'an and Woman,Amina Wadud menempatkan pendekatan tafsir Al-Quran ke dalam tiga kategori: tradisional, reaktif, dan holistik.[21] Jenis penafsiran yang diterapkan pada surah ini mempengaruhi cara pandang seseorang terhadap peran perempuan dalam masyarakat muslim. Mengambil pendekatan ketiga, pendekatan holistik memungkinkan pembacaan Alquran secara feminis,[22] yang secara khusus relevan dengan an-Nisā dan dapat membentuk kembali pemahaman tentang surah ini.
Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim.
Ibnu Katsir berkata dalam tafsirnya sebagai berikut
4:3 Ayat ini memerintahkan bahwa jika kamu khawatir tidak mampu bersikap adil di antara istri-istrimu dengan menikah lebih dari satu, maka cukup nikahi satu istri, atau puaskan dengan hamba sahaya saja.[2]:4:3
4:3 Seorang pria boleh menikahi 2, 3, atau 4 istri tetapi janganlah melebihi ini; tetapi jika kamu takut kamu tidak bersikap adil terhadap mereka dalam hal nafkah dan bagiannya secara individu; sebaiknya nikahi satu saja atau batasi hamba sahaya yang menjadi milikmu karena mereka tidak memiliki hak yang sama dengan istri; jadi dengan menikahi hanya empat atau hanya satu atau mengambil hamba sahaya, kemungkinan besar lebih dekat dengan sifat tidak zalim atau aniaya.[23]
Dalam ayat 15-16, terdapat perintah untuk menjauhi sikap keji terhadap perempuan (zina). Ayat 15 membahas tentang wanita yang melakukan perbuatan keji di antara wanita-wanita lain. Hukuman yang dijatuhkan adalah mengurung mereka sampai ajal atau sampai Allah memberikan jalan lain. Ayat 16 berhubungan dengan kedua jenis kelamin. Perintah tersebut menetapkan bahwa mereka harus dihukum - yaitu, mereka harus dipukuli dan dicela di depan umum. Kemudian, perintah lain terungkap lihat (surah 24:2) yang menetapkan bahwa laki-laki dan perempuan harus dicambuk seratus kali.[24]
4:34 Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang saleh, adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Mahatinggi, Mahabesar
Banyak sekali tafsir mengenai ayat 34 ini.[29]The Encyclopedia of Islam and the Muslim World menyatakan bahwa ayat ini merupakan ayat yang paling tidak egaliter.[30]
Beberapa Muslim, seperti kelompok feminis Islam, berpendapat bahwa pria Muslim menggunakan teks tersebut sebagai alasan untuk melakukan kekerasan dalam rumah tangga.[31]
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) karena mempersekutukan-Nya (syirik), dan Dia mengampuni apa (dosa) yang selain (syirik) itu bagi siapa yang Dia kehendaki. Barang siapa mempersekutukan Allah, maka sungguh, dia telah berbuat dosa yang besar.
Allah tidak akan mengampuni dosa syirik (mempersekutukan Allah dengan sesuatu), dan Dia mengampuni dosa selain itu bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan barang siapa mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sungguh, dia telah tersesat jauh sekali.
TafsirIbnu Katsir berbunyi, "Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) karena mempersekutukan-Nya (syirik), maksudnya, Dia tidak akan menganpuni hamba-hamba-Nya jika seseorang dalam menyembah-Nya juga mempersekutukan segala sesuatu dengan-Nya".[2]:4:48 The Enlightening Commentary into the Light of the Holy Qur'an juga berbunyi, "Syirik adalah bentuk dosa paling buruk dan dapat menghalangi orang dari pengampunan Allah."[32]
Juga dalam tafsir tersebut: "Syirik tidak akan diampuni, tambahannya lagi mereka juga dianggap menyembah setan".[2]
Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulilamri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Alquran) dan Rasul (sunahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu, lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Imam al-Bukhari, Muslim, Ibnu Majah, dan an-Nasa'i meriwayatkan sebuah hadis yang diriwayatkan dari Zubair bin Awwam, yang diyakini oleh para ulama sebagai asbabunnuzul ayat 65 surah ini.[33][34] Namun, ada fatwa yang cukup kontemporer bahwa riwayat Zubair ini dhaif, karena hadis yang lebih kuat yang dikaitkan dengan wahyu ayat ini justru dikaitkan dengan tradisi Umar, Khulafaur Rasyidin kedua.[35]
Mereka yang mati syahid
Muhammad bin Sulaiman mencatat bahwa ash-Shadiq menyampaikan kepada ayahnya yang sudah lanjut usia, tentang maksud ayat berikut: "Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul (Muhammad), maka mereka itu akan bersama-sama dengan orang yang diberikan nikmat oleh Allah, (yaitu) para nabi, para pecinta kebenaran, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (4:69). "Rasulullah" dalam ayat ini adalah dari para nabi, dan kami (ahlulbait) dalam hal ini adalah orang-orang yang benar, dan para syuhada dan kalian (pengikut kami), adalah orang-orang yang saleh."[36]
Menurut Dipak Kutha, banyak kekerasan yang dilakukan oleh kelompok jihadisme terhadap kelompok kafir dilakukan berdasarkan "ayat-ayat pedang" dalam al-Qur'an[37] (contohnya Qur'anAt-Taubah:5). Qur'anAn-Nisa’:74-76 memuat kata-kata yang dianggap mengizinkan perilaku kekerasan,[38]
Bunyinya:
Karena itu, hendaklah orang-orang yang menjual kehidupan dunia untuk (kehidupan) akhirat berperang di jalan Allah. Dan barang siapa berperang di jalan Allah, lalu gugur atau memperoleh kemenangan maka akan Kami berikan pahala yang besar kepadanya. Dan mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang yang lemah, baik laki-laki, perempuan maupun anak-anak yang berdoa, "Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekkah) yang penduduknya zalim. Berilah kami pelindung dari sisi-Mu, dan berilah kami penolong dari sisi-Mu." Orang-orang yang beriman, mereka berperang di jalan Allah, dan orang-orang yang kafir berperang di jalan Tagut, maka perangilah kawan-kawan setan itu, (karena) sesungguhnya tipu daya setan itu lemah.
TafsirIbnu Katsir berkata, "Oleh karena itu, orang-orang beriman berperang dalam ketaatan kepada Allah dan untuk mendapatkan keridaan-Nya, sedangkan orang-orang kafir berperang dalam ketaatan kepada setan. Allah kemudian mendorong orang-orang beriman untuk memerangi musuh-musuh-Nya".[2]:4.74 - 4:75 Islam membolehkan perang untuk membela diri (Quran 22:39), untuk membela Islam (bukan untuk menyebarkannya), untuk melindungi orang-orang yang diusir secara paksa karena mereka Muslim (Quran 22:40), serta untuk melindungi yang tidak bersalah dari penindasan (Quran 4:75).
"Sejumlah pemikir Muslim di masa lalu dan Muslim radikal saat ini... (terkait Ayat 76)... yang disebut 'ayat pedang', telah "mencabut" (maksudnya menghapus atau membatalkan) ayat-ayat yang membolehkan peperangan saja, sebagai pembelaan. Mereka menggunakan 'ayat pedang' ini untuk membenarkan perang melawan orang kafir sebagai alat untuk menyebarkan Islam."[39]
"Bunuhlah mereka di mana pun kamu menemukannya"
Mereka ingin agar kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, sehingga kamu menjadi sama (dengan mereka). Janganlah kamu jadikan dari antara mereka sebagai teman-teman(mu), sebelum mereka berpindah pada jalan Allah. Apabila mereka berpaling, maka tawanlah mereka dan bunuhlah mereka di mana pun mereka kamu temukan, dan janganlah kamu jadikan seorang pun di antara mereka sebagai teman setia dan penolong, kecuali orang-orang yang meminta perlindungan kepada sesuatu kaum, yang antara kamu dan kaum itu telah ada perjanjian (damai) atau orang yang datang kepadamu sedang hati mereka merasa keberatan untuk memerangi kamu atau memerangi kaumnya. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya diberikan-Nya kekuasaan kepada mereka (dalam) menghadapi kamu, maka pastilah mereka memerangimu. Tetapi jika mereka membiarkan kamu, dan tidak memerangimu serta menawarkan perdamaian kepadamu (menyerah) maka Allah tidak memberi jalan bagimu (untuk menawan dan membunuh) mereka.
Muhammad meminta semua sahabatnya untuk tidak menjadikan orang kafir sebagai teman setia atau pemimpin.[36] Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas, jika mereka tidak mau berhijrah, As-Saddi mengatakan bagian ayat yang bermakna: "Apabila mereka berpaling, maka tawanlah mereka dan bunuhlah mereka di mana pun mereka kamu temukan, dan janganlah kamu jadikan seorang pun di antara mereka sebagai teman setia dan penolong". Namun, Ibnu Katsir mengklarifikasi bahwa non-kombatan, mereka yang netral atau ragu-ragu untuk berperang dan mereka yang menawarkan perdamaian tidak boleh dilawan.[2]
Perempuan yatim, suami nusyuz, keinginan untuk damai dalam ikatan pernikahan, serta perceraian
Ayat-ayat ini mencakup masalah yang berkaitan dengan perempuan yatim, suami yang bersikap keras terhadap istri (nusyuz), dan keinginan perdamaian perkawinan.[2]:4:127–130
Kemunafikan
Dalam kitab Syiah, Kitab al-Kafi, Ja'far ash-Shadiq menulis sepucuk surat kepada para sahabatnya menekankan pentingnya mematuhi Allah, Rasul-Nya, dan "Ulilamri", serta mengatakan bahwa siapa pun yang tidak menaati dan menyangkal kebajikan mereka adalah "pendusta dan munafik". Ia menegaskan bahwa ini adalah orang-orang yang digambarkan sebagai "orang-orang munafik" dalam ayat tersebut, "Sesungguhnya orang-orang munafik itu berada di kedalaman Neraka yang paling rendah - dan kamu tidak akan pernah menemukan penolong bagi mereka."
dan (Kami hukum juga) karena ucapan mereka, "Sesungguhnya kami telah membunuh Al-Masih, Isa putra Maryam, Rasul Allah,1 padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh adalah) orang yang diserupakan dengan Isa. Sesungguhnya mereka yang berselisih pendapat tentang (pembunuhan) Isa, selalu dalam keragu-raguan tentang siapa yang dibunuh. Mereka benar-benar tidak tahu (siapa sebenarnya yang dibunuh), melainkan mengikuti persangkaan belaka, jadi mereka tidak yakin telah membunuhnya,
^Tafsir Al-Mizan - An Exegesis of the Holy Quran by the Late Allamah Muhammad Hussain Tabatabai.” Web. 25 Nov. 2012.
^ abcdRobinson, Neal. Discovering the Qur'an: A Contemporary Approach to a Veiled Text. London: SCM Press LTD, 1996. Print. 266.
^Haleem, M. A. S. Abdel. The Qur'an. New York: Oxford University Press, 2008. Print. 50
^Robinson, Neal. Discovering the Qur'an: A Contemporary Approach to a Veiled Text. London: SCM Press LTD, 1996. Print. 270.
^Ernst, Carl W. How to Read the Qur'an : A New Guide, with Select Translations. Chapel Hill: The University of North Carolina Press, 2011. Ebook Library. Web. 25 Nov. 2012.
^ abHaleem, M. A. S. Abdel. The Qur'an. New York: Oxford University Press, 2008. Print. 50.
^Haleem, M. A. S. Abdel. The Qur'an. New York: Oxford University Press, 2008. Print. 57.
^Boullata, Issa J. Literary Structures of Religious Meaning in the Qur'an. Richmond: Curzon Press, 2000. eBook. 29
^ abErnst, Carl W. How to Read the Qur'an : A New Guide, with Select Translations. Chapel Hill: The University of North Carolina Press, 2011. Ebook Library. Web. 25 Nov. 2012. 190.
^Wadud, Amina. Qur'an and Woman: Rereading the Sacred Texts from a Woman's Perspective. New York: Oxford University Press, 1999. Print. 1.
^Wadud, Amina. Qur'an and Woman: Rereading the Sacred Texts from a Woman's Perspective. New York: Oxford University Press, 1999. Print. 3.
^Al-Faqeeh, Abdullaah (2006). "Fatwa of Quranic verse (4:65)"(Printed). Islamweb center. committee comprises a group of licentiate graduates from the Islamic University, Al-Imaam Muhammad Bin Sa’oud Islamic University in Saudi Arabia. Diakses tanggal 28 November 2021.Fatwa center
^ abal-Kulayni, Muhammad ibn Ya‘qūb (2015). Al-Kafi (edisi ke-Volume 8). NY: Islamic Seminary Incorporated. ISBN9780991430864.