Surah Al-Fatihah (bahasa Arab: الفاتحة, translit. al-fātiḥah, har.'pembuka' IPA:[ʔalfaːtiħah]) adalah surah pertama dalam al-Qur'an. Surah ini diturunkan di Makkah sehingga tergolong surah makiyah dan terdiri dari tujuh ayat. Al-Fatihah merupakan surah yang pertama-tama diturunkan dengan lengkap di antara surah-surah yang ada dalam Al-Qur'an. Surah ini memuat doa untuk memohon petunjuk dan kasih sayang kepada Allah.[4]
Surah ini disebut Al-Fatihah (Pembukaan) karena dengan surah inilah dibuka dan dimulainya Al-Quran, serta dinamakan Ummul Qur'an (أمّ القرءان; induk al-Quran) atau Ummul Kitab (أمّ الكتاب; induk Al-Kitab) karena merupakan induk dari semua isi Al-Quran. Selain itu, surah ini dinamakan pula As Sab'ul matsaany (السبع المثاني; tujuh yang berulang-ulang) karena jumlah ayatnya yang tujuh dan dibaca berulang-ulang dalam salat.[5]
Pokok pikiran
Diriwayatkan dari hadis, Surah Al-Fatihah terbagi menjadi dua, yakni separuh bagian pertama untuk Allah dan separuh bagian kedua untuk hamba-hamba-Nya.[6] Terdapat perbedaan pendapat apakah Bismillah adalah ayat pertama Surah al-Fatihah, atau ayat tidak bernomor.[7] Surah ini diawali dengan memuji Allah (Alhamdulillah) dan menyatakan bahwa Allah adalah Tuhan seru sekalian alam (ayat 1/2),[8]Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang (ayat 2/3),[9] dan Dia-lah yang menguasai Hari Pembalasan (ayat 3/4).[10]
Pada akhirnya, imam empat mazhab Sunni terbagi menjadi beberapa pendapat:
Mazhab Syafi'i berpendapat bahwa salat tidak sah bila tidak membaca basmalah karena basmalah adalah kalimat suci yang diucapkan oleh Allah sendiri dalam surah Al-Fatihah.
Mazhab Maliki berpendapat bahwa basmalah tidak pernah diucapkan oleh Allah dalam surah Al-Fatihah. Hal ini dianggap bersifat makruh; tidak kena dosa tetapi juga tidak dapat pahala.
Mazhab Hanafi dan Hambali menyetujui mazhab Maliki bahwa basmalah tidak pernah diucapkan Allah dalam surah Al-Fatihah, namun mereka mengambil posisi tengah (tepatnya ambigu) dengan cara mengucapkan Bismillah secara pelan saja.[11]
Tiga ayat terakhir merupakan separuh bagian hamba, dimulai dengan "Hanya kepada Engkau-lah kami menyembah, dan hanya kepada-Mu-lah, kami memohon pertolongan" (ayat 4/5), kemudian memohon untuk menunjukkan siratalmustakim (jalan yang lurus), yakni jalan yang diberikan telah diberikan nikmat (ayat 5-6/6-7).[12]
Beberapa pemikir Muslim meyakini bahwa orang Yahudi dan Nasrani adalah contoh dari orang-orang yang dimurkai dan orang-orang tersesat, berturut-turut.[13][14][15][16][17][18][19][20]:45 Yang lain memandang ini sebagai kecaman terhadap semua orang Yahudi dan Nasrani dari masa ke masa.[21][22][23] Sementara itu, yang lain berpendapat bahwa ayat ini merujuk pada semua orang secara umum tanpa memandang kelompok tertentu.[24][25][26][27][28][29][30]
Teks
Surah Al-Fatihah
(1) Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ
(2) Segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam,
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
(3) Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang,
الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ
(4) Pemilik hari pembalasan.
مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ
(5) Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
(6) Tunjukilah kami jalan yang lurus
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
(7) (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya; bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.
Al-Fatihah merupakan satu-satunya surah yang dipandang penting dalam salat. Salat dianggap tidak sah apabila pembacanya tidak membaca surah ini.[31] Dalam hadis dinyatakan bahwa salat yang tidak disertai al-Fatihah adalah salat yang "buntung" dan "tidak sempurna".[32] Walau begitu, hal tersebut tidak berlaku bagi orang yang tidak hafal Al-Fatihah. Dalam hadis lain disebutkan bahwa orang yang tidak hafal Al-Fatihah diperintahkan membaca:
"Maha Suci Allah, segala puji milik Allah, tidak ada tuhan kecuali Allah, Allah Maha Besar, tidak ada daya dan kekuatan kecuali karena pertolongan Allah."[33]
Dalam pelaksanaan salat, Al-Fatihah dibaca setelah pembacaan Doa Iftitah dan dilanjutkan dengan "Aamiin" dan kemudian membaca ayat atau surah al-Qur'an (pada raka'at tertentu). Al-Fatihah yang dibaca pada rakaat pertama dan kedua dalam salat, harus diiringi dengan ayat atau surah lain al-Qur'an. Sedangkan pada rakaat ketiga hingga keempat, hanya Al-Fatihah saja yang dibaca.[34]
Disebutkan bahwa pembacaan Al-Fatihah seperti yang dicontohkan Nabi Muhammad adalah dengan memberi jeda pada setiap ayat hingga selesai membacanya,[35] misal:
Selain itu, kadang bacaan Nabi Muhammad pada ayat Maliki yaumiddīn dengan ma pendek dibaca Māliki yaumiddīn dengan ma panjang.[36]
Dalam salat, Al-Fatihah biasanya diakhiri dengan kata "Aamiin". "Aamiin" dalam salat Jahr biasanya didahului oleh imam dan kemudian diikuti oleh makmum. Pembacaan "Aamiin" diharuskan dengan suara keras dan panjang.[37] Dalam hadis disebutkan bahwa makmum harus mengucapkan "aamiin" karena malaikat juga mengucapkannya, sedangkan pendapat lain mengatakan bahwa "aamiin" diucapkan apabila imam mengucapkannya.[38]
Pembacaan Al-Fatihah dan surah-surah lain dalam salat ada yang membacanya keras dan ada yang lirih. Hal itu tergantung dai salat yang sedang dijalankan dan urutan raka'at dalam salat. Salat yang melirihkan seluruh bacaannya (termasuk Al-Fatihah dan surah-surah lain) dari awal hingga akhir salat, disebut Salat Sir (membaca tanpa suara). Salat Sir contohnya adalah Salat Zuhur dan Salat Ashar di mana seluruh bacaan salat dalam salat itu dilirihkan. Selain salat Sir, terdapat pula salat Jahr, yaitu salat yang membaca dengan suara keras. Salat Jahr contohnya adalah salat Subuh, salat Maghrib, dan salat Isya'. Dalam salat Jahr yang berjamaah, Al-Fatihah dan surah-surah lain dibaca dengan keras oleh imam salat. Sedangkan pada saat itu, makmum tidak diperbolehkan mengikuti bacaan Imam karena dapat mengganggu bacaan Imam dan hanya untuk mendengarkan. Makmum diperbolehkan membaca (dengan lirih) apabila imam tidak mengeraskan suaranya.[38] Sementara dalam Salat Lail, bacaan Al-Fatihah diperbolehkan membaca keras dan diperbolehkan lirih, hal ini seperti yang tertera dalam hadits:
"Rasulullah bersabda, "Wahai Abu Bakar, saya telah lewat di depan rumahmu ketika engkau salat Lail dengan bacaan lirih." Abu Bakar menjawab, "Wahai Rasulullah, Dzat yang aku bisiki sudah mendengar." Dia bersabda kepada Umar, "Aku telah lewat di depan rumahmu ketika kamu salat Lail dengan bacaan yang keras." Jawabnya, "Wahai Rasulullah, aku membangunkan orang yang terlelap dan mengusir setan." Nabi Muhammad bersabda, "Wahai Abu Bakar, keraskan sedikit suaramu." Kepada Umar dia bersabda, "Lirihkan sedikit suaramu."[39]
Dalam Salat, pembacaan Surah Al-Fatihah sifatnya wajib bagi imam, makmum maupun orang yang salat sendirian. Pembacaan Surah Al-Fatihah merupakan salah satu syarat sah dalam salat. Pengecualian pembacaan Surah Al-Fatihah dengan salat yang dianggap sah berlaku bagi makmum masbuk yang hanya mendapati imam ketika rukuk.[40] Pembacaan Surah Al-Fatihah di dalam salat harus tepat pada posisi berdiri. Salat dianggap tidak sah ketika Surah Al-Fatihah mulai dibaca ketika sedang menuju berdiri pada rakaat baru. Pembacaan Surah Al-Fatihah secara keliru hingga mengubah makna juga membuat salat menjadi tidak sah. Hal ini juga berlaku ketika pembacaannya melupakan salah satu huruf maupun tasydid.[41]
Asal usul
Pandangan yang cukup umum tentang asal usul surah ini berasal dari riwayat Abdullah bin Abbas (raḍiyallāhu ‘anhu) bahwa surah ini termasuk dalam kelompok Makiyah, meski ada yang meyakini apakah surah itu Madaniyah, atau bahkan diturunkan di kedua kota.[42] Para ulama sepakat bahwa surah ini merupakan surah pertama yang diturunkan secara lengkap kepada Nabi Muhammad.[4]
Penamaan
Nama surah ini, yang berarti "Pembukaan", maksudnya adalah surah pertama yang muncul dalam Mus'haf, dibacakan setiap rakaat salat. Akar kata nama surah ini adalah F-T-Ḥ (ف ت ح), yang berarti "membuka" atau "menaklukkan".[4][43] Selain dinamai Al-Fatihah (Pembukaan), surah ini sering juga disebut Fātiḥatul Kitāb (Pembukaan Kitab), Al-Ḥamd (Segala Puji), Aṣ-Ṣalah (Salat), Ummul-Kitāb (Induk Kitab), Ummul Qur'ān (Induk Al-Qur'an),[44]As-Sab'ul Maṡani (Tujuh yang Diulang dari Surah 15:87),[45]asy-Syifa' (Obat),[46][47]Al-Wafiyah (Yang Sempurna), al-Kanz (Simpanan Yang Tebal), asy-Syafiyah (Yang Menyembuhkan), al-Kafiyah (Yang Mencukupi), al-Asas (Pokok), ar-Ruqyah (Mantra), asy-Syukru (Syukur), ad-Du'au (Do'a), dan al-Waqiyah (Yang Melindungi dari Kesesatan).[1]
^ abcMaududi, Sayyid Abul Ala. Tafhim Al Quran. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-07-28. Diakses tanggal 2013-06-17.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Ibn al-Hajjaj, Abul Hussain Muslim (2007). Sahih Muslim - 7 Volumes. 1. Darussalam. hlm. 501–503. ISBN978-9960991900.
^Mubarakpuri, Safiur Rahman (2000). Tafsir Ibn Kathir (10 Volumes; Abridged). Darussalam. hlm. 25. ISBN9781591440208. [The scholars] disagree over whether [Bismillah] is a separate Ayah before every Surah, or if it is an Ayah, or a part of an Ayah, included in every Surah where the Bismillah appears in its beginning. [...] The opinion that Bismillah is an Ayah of every Surah, except [At-Tawbah], was attributed to (the Companions) Ibn 'Abbas, Ibn 'Umar, Ibn Az-Zubayr, Abu Hurayrah and 'Ali. This opinion was also attributed to the Tabi'in 'Ata', Tawus, Sa'id bin Jubayr, Makhul and Az-Zuhri. This is also the view of 'Abdullah bin Al-Mubarak, Ash-Shaf i'i, Ahmad bin Hanbal, (in one report from him) Ishaq bin Rahwayh, and Abu 'Ubayd Al-Qasim bin Salam. On the other hand, Malik, Abu Hanifah and their followers said that Bismillah is not an Ayah in Al-Fatihah or any other Surah. Dawud said that it is a separate Ayah in the beginning of every Surah, not part of the Surah itself, and this opinion was also attributed to Ahmad bin Hanbal. Malik, Abu Hanifah and their followers said that Bismillah is not an Ayah in Al-Fatihah or any other Surah. Dawud said that it is a separate Ayah in the beginning of every Surah, not part of the Surah itself, and this opinion was also attributed to Ahmad bin Hanbal.
^Leaman, Oliver (2006). Leaman, Oliver, ed. The Qur'an: an Encyclopedia. Routledge. hlm. 614. ISBN0-415-32639-7. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-03-28. Diakses tanggal 2020-11-05. The Prophet interpreted those who incurred God's wrath as the Jews and the misguided as the Christians.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Ayoub, Mahmoud M. (January 1984). The Qur'an and Its Interpreters: v.1: Vol 1. State University of New York Press. hlm. 49. ISBN978-0873957274. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-03-28. Diakses tanggal 2020-11-05. Most commentators have included the Jews among those who have "incurred" divine wrath and the Christians among those who have "gone astray".(Tabari, I, pp. 185-195; Zamakhshari, I, p. 71)Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Al Kindari, Fahad (6 June 2007). The greatest recitation of Surat al-Fatiha. Sweden Dawah Media Production (on behalf of High Quality & I-Media); LatinAutor - Warner Chappell. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-11-17. Diakses tanggal 20 December 2019. The saying of the Exalted, 'not the Path of those who have earned Your Anger, nor of those that went astray': the majority of the scholars of tafseer said that 'those who have earned Your Anger' are the Jews, and 'those that went astray' are the Christians, and there is the hadeeth of the Messenger of Allaah (SAW) reported from Adee bin Haatim (RA) concerning this. And the Jews and the Christians even though both of them are misguided and both of them have Allaah's Anger on them - the Anger is specified to the Jews, even though the Christians share this with them because the Jews knew the truth and rejected it and deliberately came with falsehood, so the Anger (of Allah being upon them) was the description most befitting them. And the Christians were ignorant, not knowing the truth, so misguidance was the description most befitting them. So with this the saying of Allaah, 'so they have drawn on themselves anger upon anger' (2:90) clarifies that the Jews are those that 'have earned your Anger'. And likewise His sayings, 'Say: shall I inform you of something worse than that, regarding the recompense from Allaah: those (Jews) who incurred the Curse of Allaah and His Anger' (5:60)Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^"Surah Al-Fatihah, Chapter 1". al-islam.org. 23 January 2014. Diarsipkan dari versi asli tanggal 8 December 2019. Diakses tanggal 11 December 2019. Some of the commentators believe that / dallin / 'those gone astray' refers to the misguided of the Christians; and / maqdubi 'alayhim / 'those inflicted with His Wrath' refers to the misguided of the Jews.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^al-Jalalayn. "The Tasfirs". altafsir.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 4 September 2019. Diakses tanggal 7 February 2020.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Asad, Muhammad. The Message of the Quran, Commentary on Surah Fatiha(PDF). hlm. 23–24. Diarsipkan dari versi asli(PDF) tanggal 2019-11-26. Diakses tanggal 2019-12-13. According to almost all the commentators, God's "condemnation" (ghadab, lit., "wrath") is synonymous with the evil consequences which man brings upon himself by wilfully rejecting God's guidance and acting contrary to His injunctions. ... As regards the two categories of people following a wrong course, some of the greatest Islamic thinkers (e.g. Al-Ghazali or, in recent times, Muhammad 'Abduh) held the view that the people described as having incurred "God's condemnation" - that is, having deprived themselves of His grace - are those who have become fully cognizant of God's message and, having understood it, have rejected it; while by "those who go astray" are meant people whom the truth has either not reached at all, or to whom it has come in so garbled and corrupted a form as to make it difficult for them to recognize it as the truth (see 'Abduh in Manar I, 68 ff.).Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Ali, Abdullah Yusuf (2006). The Meaning of The Noble Qur'an, Commentary on al-Fatiha(PDF). hlm. 7. Diarsipkan dari versi asli(PDF) tanggal 2017-03-12. ...those who are in the darkness of Wrath and those who stray? The first are those who deliberately break God's law; the second those who stray out of carelessness or negligence. Both are responsible for their own acts or omissions. In opposition to both are the people who are in the light of God's Grace: for His Grace not only protects them from active wrong ... but also from straying into paths of temptation or carelessness. The negative gair should be construed as applying not to the way, but as describing men protected from two dangers by God's Grace.
^HR. Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah, Hakim, Thabarani, dan Ibnu Hibban. Disahkan oleh Hakim dan disetujui Dzahabi. Baca Al-Irwa' Hadits no. 303
^HR. Ibnu Majah dengan sanad shahih. Baca Al-Irwa' Hadits no.506
^HR. Abu Dawud dan Sahmi, disahkan oleh Hakim dan disetujui oleh Dzahabi. Baca Al-Irwa' Hadits no. 343. Diriwayatkan pula oleh 'Amr ad-Dani dalam Kitab Muktafa 5/2.
^HR. Tamam ar-Razi dalam Al-Fawaaid, Ibnu Abu Dawud dalam Al-Mushahif 7/2, Abu Nu'aim dalam Akhbaari Asbahan 1/104, dan Hakim, disahkan oleh Hakim dan disetujui Dzahabi.
^Ahmad, Mirza Bahir Ud-Din (1988). The Quran with English Translation and Commentary. Islam International Publications Ltd. hlm. 1. ISBN1-85372-045-3.
^Joseph E. B. Lumbard "Commentary on Sūrat al-Fātiḥah," The Study of the Quran. ed. Seyyed Hossein Nasr, Caner Dagli, Maria Dakake, Joseph Lumbard, Muhammad Rustom (San Francisco: Harper One, 2015), p. 3.
^Joseph E. B. Lumbard, "Introduction to Sūrat al-Fātiḥah", The Study Quran. ed. Seyyed Hossein Nasr, Caner Dagli, Maria Dakake, Joseph Lumbard, Muhammad Rustom (San Francisco: Harper One, 2015), p. 3.
Adil, Abu Abdirrahman (2018). Mujtahid, Umar, ed. Ensiklopedi Salat. Jakarta: Ummul Qura. ISBN978-602-7637-03-0.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)