Dalam mitologi Hindu, Sukra bergelar sebagai guru para raksasa, saingan Wrehaspati, guru para dewa. Konon Dia mengetahui mantra sakti yang disebut mertasanjiwani, mampu menghidupkan orang mati, meskipun jenazahnya telah menjadi abu. Mantra itu diperolehnya dari Sang Hyang Sangkara (Siwa), dan kemudian diturunkan kepada salah satu muridnya, Kaca, putra Wrehaspati.
Penggambaran
Sukra dapat dilukiskan mengendarai kereta emas yang ditarik delapan kuda, atau mengendarai kereta perak yang ditarik sepuluh kuda. Dia memiliki dua lengan, masing-masing membawa nidhi (harta benda) dan sebuah buku. Kadang kala tampak berlengan empat, masing-masing membawa tasbih, tongkat, dan mangkuk air, sedangkan tangan yang keempat memperagakan Warada Mudra.
Mitologi
Menurut mitologi Hindu, pada zaman dahulu kala, para raksasa sering kali berperang dengan para dewa. Banyak raksasa yang gugur dalam peperangan melawan para dewa. Sukracarya menjadi sedih karena hal tersebut. Kemudian ia bertapa memuja Sang Hyang Sangkara atau Dewa Siwa, dengan dilayani oleh putri Dewa Indra yang bernama Jayanti. Setelah melakukan tapa yang berat selama ribuan tahun, Siwa berkenan mengabulkan permohonan Sukracarya. Siwa memberikan sebuah mantra yang disebut mertasanjiwani, yang mampu digunakan untuk menghidupkan orang mati. Setelah menerima anugerah tersebut, Sukracarya menikah dengan Jayanti sebagai balas budi atas pelayanannya.
Sementara Sukracarya tidak melindungi para raksasa, para raksasa menginap di kediaman Resi Bregu, dengan maksud memperoleh perlindungan disana. Selama berlindung, mereka menjalani kehidupan sebagai pertapa. Wrehaspati, guru para dewa memanfaatkan waktu tersebut dengan menyamar sebagai Sukracarya. Penyamaran tersebut tidak diketahui oleh para raksasa sehingga saat Sukracarya palsu datang, mereka melayaninya dengan sangat baik seolah-olah mereka sedang melayani Sukracarya asli. Ketika Sukracarya asli datang, para raksasa terkejut sebab mereka merasa bahwa ada dua Sukracarya. Keadaan fisik keduanya persis sama sehingga sulit dibedakan. Saat para raksasa diminta menentukan siapa Sukracarya yang asli, mereka menunjuk Sukracarya yang palsu, sebab mereka sudah melayani orang tersebut dengan baik selama sepuluh tahun, sebelum kedatangan Sukracarya yang asli. Hal itu membuat Sukracarya yang asli marah. Lalu ia mengutuk para raksasa bahwa kaum mereka akan hancur. Setelah mengucapkan kutukan tersebut, Sukracarya yang palsu kembali ke wujudnya semula, yaitu Wrehaspati. Kemudian Wrehaspati melesat ke angkasa dengan perasaan lega karena kaum raksasa akan hancur akibat kutukan guru mereka sendiri.
Istri dan keturunan
Sebelum Sukracarya memperoleh mantra mertasanjiwani, Indra mengutus putrinya yang bernama Jayanti untuk menggagalkan tapa Sukracarya. Namun Jayanti tidak mengganggu tapa Sukracarya. Sebaliknya, ia melayani Sukracarya dengan taat selama seribu tahun. Setelah seribu tahun berlalu, mantra mertasanjiwani diperoleh Sukracarya. Pada saat itu pula ia menyadari kehadiran seorang wanita yang selama itu menemaninya bertapa dengan setia. Untuk membalas budi, Sukracarya menanyakan pemohonan Jayanti, dan ia berjanji akan memenuhinya. Jayanti meminta agar Sukracarya bersedia menikahinya dan tinggal bersama, selama sepuluh tahun. Dari pernikahan tersebut, lahirlah Dewayani.
Ilmu menghidupkan orang mati diketahui oleh Sukracarya sehingga bila ada raksasa yang mati, ia akan menghidupkannya kembali. Sedangkan Wrehaspati tidak mengetahui ilmu tersebut, sehingga dewa yang mati tidak dapat dihidupkan kembali olehnya. Untuk mendapatkan ilmu mertasanjiwani, ia mengutus putranya yang bernama Kaca. Kaca ditugaskan menjadi murid Sukracarya dan melayaninya selama seribu tahun dengan tujuan memperoleh pengetahuan tentang mantra mertasanjiwani. Kaca segera menghadap Sukracarya dan memohon agar ia diangkat menjadi murid. Sukracarya menerima penawaran Kaca dengan senang hati. Selain itu, Kaca tidak pernah menyinggung masalah ilmu mertasanjiwani. Selama menjadi murid Sukracarya, Dewayani, putri Sukracarya jatuh cinta kepadanya.
Selama ratusan tahun, Kaca melayani Sukracarya dengan baik. Di sisi lain, para raksasa membenci Kaca dan merencanakan pembunuhan, sebab mereka tahu bahwa Kaca adalah putra Wrehaspati, musuh mereka. Pada suatu hari, para raksasa membunuh Kaca saat berada di hutan. Jenazahnya dibakar hingga menjadi abu, kemudian abu tersebut dicampur bersama makanan. Lalu makanan itu dihidangkan untuk Sukracarya.
Saat hari petang, Dewayani mencemaskan keadaan Kaca sebab ia belum pulang. Sukracarya, dengan kekuatan batinnya mengetahui apa yang terjadi. Ia memberitahu Dewayani bahwa Kaca berada dalam perutnya, dan bila Kaca dihidupkan, maka perut Sukracarya akan terbelah yang akan menyebabkan kematiannya. Maka dari itu Dewayani harus memilih salah satu di antara mereka harus hidup. Dewayani ingin keduanya hidup, maka dari itu ia meminta agar Sukracarya memanggil Kaca yang berada dalam perutnya dan mengajarkan mantra mertasanjiwani padanya. Setelah itu, Kaca membelah perut Sukracarya. Sukracarya meninggal, kemudian dihidupkan kembali oleh Kaca yang telah mempelajari mantra mertasanjiwani.
Raja Yayati, putra Nahusa dari kalangan Dinasti Candra, melamar Dewayani, putri Sukracarya. Lamaran tersebut disetujui oleh Sukracarya. Namun, Sukracarya berjanji akan mengutuk Yayati bila menantunya tersebut diketahui telah menjalin hubungan asmara dengan Sarmista, pelayan Dewayani. Maka dari itu, Yayati berjanji pada Sukracarya dan Dewayani bahwa ia tidak akan menikah dengan Sarmista. Akan tetapi, Yayati melanggar janjinya setelah Dewayani memberikannya dua anak. Setelah perselingkuhan itu diketahui oleh Sukracarya, ia mengutuk Yayati supaya menjadi tua pada usianya yang masih muda. Yayati memohon agar kutukan tersebut dicabut, tetapi Sukracarya tidak mampu melakukannya. Karena masih berbelas kasihan pada menantunya, ia meringankan kutukan tersebut, dengan cara menukarkan usia tua Yayati dengan salah satu cucunya. Hanya satu di antara lima putra Yayati yang bersedia menanggung kutukan tersebut, ialah Sang Puru. Akhirnya, Yayati menikmati masa mudanya kembali sementara Puru menikmati masa tua ayahnya, masing-masing menjalaninya selama seribu tahun. Setelah masa seribu tahun berlalu, Puru memperoleh masa mudanya kembali, sementara Yayati menjadi tua, lalu tahtanya diwarisi oleh Puru.