AsuraAsura (Dewanagari: असुर; IAST: Aśura ) dalam mitologi agama Hindu dan Buddha merupakan makhluk yang memiliki kesaktian dan menguasai ilmu gaib tertentu, mirip dengan dewa atau Sura.[1] Asura merupakan salah satu aspek dalam mitologi India (Hindu-Buddha), sebagaimana dewa, yaksa (makhluk gaib), dan raksasa.[2][3] Arti dan penggunaan kataMonier-Williams menelusuri akar kata Asura (असुर) yaitu Asu (असु), yang berarti kehidupan alam spiritual atau roh orang mati.[4] Pada sloka-sloka kuno bagian Samhita dalam naskah Weda, para Asura merupakan makhluk gaib yang bersifat baik maupun jahat, dan dapat bersikap merusak atau memelihara alam semesta.[4] Pada sloka-sloka berikutnya pada bagian Samhita, Monier Williams menyatakan bahwa Asura merupakan "roh jahat, raksasa, dan musuh para dewa". Dalam mitologi Hindu dan Persia (Arya) tentang pertempuran antara kebaikan melawan kejahatan, Asura diidentikkan dengan makhluk pembuat bencana.[4] Asura digunakan sebagai kata sifat yang berarti "sakti" atau "perkasa". Dalam Regweda, dua raja yang bijaksana, demikian pula sejumlah pendeta, disebut sebagai asura. Dalam 9 lagu, Indra disebut sebagai asura, sedangkan Agni 12 kali, Baruna 10 kali, Mitra 8 kali, dan Rudra 6 kali. Mandala 1 Regweda menyatakan Savitr sebagai asura yang merupakan "pemimpin yang cakap".[5] Dalam kitab-kitab yang disusun setelah Weda, seperti Purana dan Itihasa dengan Bhagawadgita di dalamnya, kata dewa sering merujuk kepada sifat-sifat yang baik, sedangkan asura sifat-sifat yang jahat.[6][7] Menurut Bhagawadgita (16.6-16.7), seluruh makhluk di alam semesta memiliki sifat-sifat kedewataan (daiwi-sampad) dan sifat-sifat keraksasaan (asuri-sampad).[7][8] Bab ke-16 dalam Bhagawadgita menyatakan bahwa di antara umat manusia, orang yang sepenuhnya bersifat baik tanpa cela sangatlah langka, dan yang sepenuhnya jahat tiada tara sangatlah langka, dan sebagian besar manusia memiliki sifat yang bercampur, dengan sifat buruk yang sedikit atau banyak.[7] Menurut Jeaneane Fowler, Bhagawadgita menyatakan bahwa hasrat, keseganan, keserakahan, keinginan, dan berbagai bentuk emosi merupakan "wajah biasa dalam kehidupan sehari-hari", dan ketika berubah menjadi nafsu, kebencian, kesombongan, keangkuhan, kemarahan, kekasaran, kemunafikan, kekejaman, dan segala bentuk negatif lainnya, maka sifat alami manusia berubah menjadi sifat-sifat keraksasaan (Asura).[7][8] Dapat disimpulkan bahwa asura adalah semacam iblis sebagaimana yang digambarkan oleh kepercayaan Islam, Kristen, dan Yahudi. Mitologi HinduPada lembaran-lembaran awal kitab Weda, Agni, Indra, dan para dewa lainnya juga disebut asura, dalam pengertian sebagai "penguasa" bagi ranah, pengetahuan, dan kemampuan masing-masing. Dalam susastra Hindu yang ditulis setelah penyusunan Weda, para dewa yang baik disebut "Dewa" (atau Dewata), sedangkan asura yang jahat kerap diidentikkan sebagai musuh para dewa, atau raksasa.[9] Dalam mitologi Hindu yang terhimpun setelah Periode Weda, terutama yang tercatat dalam kitab-kitab Purana, asura sering dikisahkan memiliki sifat yang buruk, yakni memusuhi Dewata, meskipun sebagian di antaranya merupakan pemuja salah satu Trimurti. Kadang kala, para Asura disamakan dengan raksasa atau makhluk yang jahat, meskipun susastra Hindu juga mencatat bahwa mereka terbagi menjadi kelompok yang baik dan jahat. Kelompok Asura yang baik disebut Aditya (keturunan Aditi), dipimpin oleh Baruna, sedangkan yang jahat disebut Danawa (keturunan Danu), dipimpin oleh Wretra.[10] Mitologi BuddhaMenurut agama Buddha, asura adalah golongan makhluk gaib non-dewa, tapi bukan merupakan hantu. Mereka menjalani kehidupan sebagai penghuni salah satu alam kehidupan—sebagaimana halnya manusia dan dewa—karena masih menjalani samsara atau tumimbal kelahiran, akibat karma yang mereka lakukan pada kehidupan sebelumnya.[11] Mereka dikatakan sebagai makhluk yang menghuni bagian bawah gunung Sumeru, masih suka melekat pada kenikmatan duniawi, bersikap iri hati dan berseteru dengan makhluk yang disebut dewa.[12] Seiring dengan persebaran agama Buddha ke Asia Timur, maka konsep tentang asura dikembangkan, bahkan dipadupadankan dengan kepercayaan akan dewa-dewi lokal yang sudah ada sebelum kedatangan agama Buddha, dan dimasukkan sebagai bagian dari panteon Buddhis di daerah bersangkutan.[12] Lihat pulaReferensi
|