Songket atau sungkit[10] adalah jenis tenun tradisional Indonesia yang berasal dari Sumatra.[1][2][3][4][5][6][7][8][11] Songket digolongkan dalam keluarga tenunan brokat. Songket ditenun dengan tangan menggunakan benang emas dan perak. Benang logam metalik yang tertenun berlatar kain menimbulkan efek kemilau cemerlang. Bahan kain yang umum digunakan dalam pembuatan Songket yakni meliputi sutra, katun, dan katun sutra.
Songket kerap dikaitkan dengan Kemaharajaan Sriwijaya sebagai asal mula tradisi songket berasal,[12] beberapa jenis Songket yang populer pun tak lepas dari lokasi-lokasi yang pernah berada dibawah kekuasaan Sriwijaya, salah satu lokasi dominan yang juga diyakini sebagai ibukota Kemaharajaan Sriwijaya di masa lampau yakni Palembang, yang terletak di Sumatera Selatan. Selain Palembang, beberapa daerah di Sumatra juga menjadi lokasi penghasil Songket terbaik dalam kelasnya, yakni meliputi daerah-daerah di Minangkabau atau Sumatera Barat seperti Pandai Sikek, Silungkang, Koto Gadang, dan Padang. Di luar Sumatra, kain songket juga dihasilkan oleh daerah-daerah seperti Bali, Lombok, Sambas, Sumba, Makassar, Sulawesi, dan daerah-daerah lain di Indonesia.[13]
Pada 2021, Songket telah diakui sebagai milik Malaysia oleh Warisan Budaya Tak Benda UNESCO. Tradisi Songket diakui sebagai Warisan Budaya Takbenda oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.[15] Tradisi Songket tersebut meliputi tradisi Songket asal Palembang dan Sambas pada 2013; Songket Pandai Sikek pada 2014; tradisi Songket asal Beratan, Bali pada 2018; dan tradisi Songket Silungkang pada 2019.
Istilah
Secara etimologi, istilah "songket" berasal dari lakuran kata dalam bahasa Melayu Palembang yakni "songsong" + "teket" yang artinya "songsong" dan "sulam" secara berturutan, hal ini berkaitan atau merujuk pada metode pembuatan tenunan Songket itu sendiri; yakni dengan mengaitkan dan mengambil sejumput kain tenun, dan kemudian menyelipkan benang emas.[16][17]
Istilah songket kemudian diserap sebagai "sungkit" dalam bahasa Melayu Riau dan bahasa Indonesia, yang berarti "mengaitkan", "menyungit" atau "mencungkil".[18][19] Namun, bukti tertulis paling awal yang dapat dipastikan mengenai pakaian ini dalam naskah berbahasa Melayu selalu menyebutnya sebagai sungkit bukan songket, misalnya dalam Hikayat Aceh tahun 1620-an dan Hikayat Banjar tahun 1660-an.[10]
Selain itu, dalam teori lain, kata songket juga mungkin berasal dari istilah songka, yang merupakan songkok khas Palembang yang dipercaya pertama kalinya kebiasaan menenun dengan benang emas dimulai.[20]
Sejarah
Penenunan songket secara sejarah dikaitkan dengan kawasan permukiman dan budaya Palembang maupun Minangkabau yang berasal dari pulau Sumatra.[20] Menurut Hikayat Palembang, asal mula kain songket bermula dari kemaharajaan Sriwijaya. Bahan utama pembuatan songket seperti sutra biasanya diproduksi oleh petani ulat sutra lokal, namun untuk menghasilkan kualitas songket yang lebih bagus masyarakat lokal juga mengekspor bahan sutra dari Tiongkok, sedangkan untuk benang emas biasanya diproduksi oleh para masyarakat lokal dengan mengolah emas yang dihasilkan dari beberapa daerah di pulau Sumatra (pada masa lampau, Sumatra dikenali juga sebagai Swarnadwipa, berasal dari gabungan kata dalam Sanskerta: स्वर्णcode: sa is deprecated (svarna; emas) dan द्वीप (dvipa; pulau), yang artinya "pulau emas"). Kain songket ditenun pada alat tenun bingkai, pola-pola rumit diciptakan dengan memperkenalkan benang-benang emas atau perak ekstra dengan penggunaan sehelai jarum leper.
Menurut tradisi Indonesia sendiri, kain songket nan keemasan juga kerap dikaitkan dengan kegemilangan Sriwijaya,[21][22] yang merupakan kemaharajaan niaga maritim nan makmur lagi kaya yang bersemi pada abad ke-7 hingga ke-14 di Sumatra. Dan hingga masa kini, tradisi songket tetap lestari terjaga dengan baik di Palembang, dan daerah ini juga akhirnya dikenali sebagai pusat kerajinan songket paling mahsyur di Indonesia. Songket adalah kain mewah yang aslinya memerlukan sejumlah emas asli untuk dijadikan benang emas, kemudian ditenun tangan menjadi kain yang cantik. Secara sejarah, tambang emas di Sumatra terletak di Sumatera Selatan dan di pedalaman dataran tinggi Minangkabau. Penemuan benang emas di reruntuhan situs Sriwijaya di Sumatra, bersama dengan batu mirah delima yang belum diasah, serta potongan lempeng emas, mengindikasikan bahwa penenun lokal telah menggunakan benang emas seawal tahun 600-an hingga 700-an Masehi di Sumatra.[20] Songket Palembang merupakan songket terbaik di Indonesia baik diukur dari segi kualitasnya, yang berjuluk "Ratu Segala Kain". Songket eksklusif memerlukan di antara satu dan tiga bulan untuk menyelesaikannya, sedangkan songket biasa hanya memerlukan waktu sekitar 3 hari. Mulanya kaum laki-laki menggunakan songket sebagai destar, tanjak atau ikat kepala. Kemudian barulah kaum perempuan etnis Palembang dan Minangkabau mulai memakai songket sarung dengan baju kurung.
Selain dari pengaruh kemaharajaan Srijiwaya yang kuat di Semenanjung Malaya (juga dikenali sebagai Semenanjung Kra), kemungkinan tenun songket mencapai daerah tersebut melalui perkawinan atau persekutuan antar bangsawan Palembang dan Minangkabau, karena songket yang berharga (seperti Songket Palembang dan Songket Minangkabau) kerap kali dijadikan maskawin atau hantaran dalam suatu perkawinan. Pusat kerajinan songket terletak di pusat kerajaan Sriwijaya yakni Palembang (di Sumatera Selatan) yang secara politik penting karena bahan pembuatannya yang mahal karena benang emas sejatinya memang terbuat dari lembaran emas murni asli hasil dari Sumatra.[23] Songket sebagai busana diraja juga disebutkan dalam naskah Abdullah bin Abdul Kadir pada tahun ca 1849.[24]
Motif
Songket memiliki motif-motif tradisional yang sudah merupakan ciri khas budaya wilayah penghasil kerajinan ini. Misalnya motif Saik Kalamai, Buah Palo, Barantai Putiah, Barantai Merah, Tampuak Manggih, Salapah, Kunang-kunang, Api-api, Cukie Baserak, Sirangkak, Silala Rabah, dan Simasam adalah khas songket Pandai Sikek, Minangkabau.[25] Beberapa pemerintah daerah telah mempatenkan motif songket tradisional mereka. Dari 71 motif songket yang dimiliki Sumatera Selatan, baru 22 motif yang terdaftar di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Dari 22 motif songket Palembang yang telah terdaftar di antaranya motif Bungo Intan, Lepus Pulis, Nampan Perak, dan Limar Beranti. Sementara 49 motif lainnya belum terdaftar, termasuk motif Berante Berakam pada seragam resmi Sriwijaya Football Club. Selain motif Berante Berakam, beberapa motif lain yang belum terdaftar yakni motif Songket Lepus Bintang Berakam, Nago Besaung, Limar Tigo Negeri Tabur Intan, Limar Tigo Negeri Cantik Manis, Lepus Bintang Penuh, Limar Penuh Mawar Berkandang, dan sejumlah motif lain.[22]
Songket kini
Ditinjau dari bahan, cara pembuatan, dan harganya; songket semula adalah kain mewah para bangsawan yang menujukkan kemuliaan derajat dan martabat pemakainya. Akan tetapi kini songket tidak hanya dimaksudkan untuk golongan masyarakat kaya dan berada semata, karena harganya yang bervariasi; dari yang biasa dan terbilang murah, hingga yang eksklusif dengan harga yang sangat mahal. Kini dengan digunakannya benang emas sintetis maka songket pun tidak lagi luar biasa mahal seperti dahulu kala yang menggunakan emas asli. Meskipun demikian, songket kualitas terbaik tetap dihargai sebagai bentuk kesenian yang anggun dan harganya cukup mahal.
Sejak dahulu kala hingga kini, songket adalah pilihan populer untuk busana adat perkawinan Melayu, Palembang, Minangkabau, Aceh dan Bali. Kain ini sering diberikan oleh pengantin laki-laki kepada pengantin wanita sebagai salah satu hantaran persembahan perkawinan. Pada masa kini, busana resmi laki-laki Melayu pun kerap mengenakan songket sebagai kain yang dililitkan di atas celana panjang atau menjadi destar, tanjak, atau ikat kepala. Sedangkan untuk kaum perempuannya songket dililitkan sebagai kain sarung yang dipadu-padankan dengan kebaya atau baju kurung.
Meskipun berasal dari kerajinan tradisional, industri songket merupakan kerajinan yang terus hidup dan dinamis. Para pengrajin songket terutama di Palembang kini berusaha menciptakan motif-motif baru yang lebih modern dan pilihan warna-warna yang lebih lembut. Hal ini sebagai upaya agar songket senantiasa mengikuti zaman dan digemari masyarakat.[22] Sebagai benda seni, songket pun sering dibingkai dan dijadikan penghias ruangan. Penerapan kain songket secara modern amat beraneka ragam, mulai dari tas wanita, songkok, bahkan kantung ponsel.
Pembuatan songket
songket merupakan jenis kain tenun tradisional yang di tenun menggunnakan benang emas bernama panta (alat tenun yang terbuat dari kayu, tempat benang yang akan di tenun biasaberukuran 2 x 1,5 meter) berikut cara sederhana pembuatan songket :
menyiapkan benang
menangi benang
menyiapkan benang emas
menyambung benang
menggukung benang
pempurnaan / penyulapan tenayan.
Pusat kerajinan songket
Pusat kerajinan tangan tenun songket di Indonesia dapat ditemukan di Sumatra, Kalimantan, Bali, Sulawesi, Lombok dan Sumbawa. Di Pulau Sumatra pusat kerajinan songket yang termahsyur dan unggul adalah Songket Minangkabau di daerah Pandai Sikek dan Silungkang, Sumatera Barat,[25] serta Songket Palembang di Palembang, Sumatera Selatan. Di Bali, desa pengrajin tenun songket dapat ditemukan di kabupaten Klungkung, khususnya di desa Sidemen dan Gelgel. Sementara di Lombok, desa Sukarara di kecamatan Jonggat, kabupaten Lombok Tengah, juga terkenal akan kerajinan songketnya.[26] Di luar Indonesia, kawasan pengrajin songket didapati di Malaysia; antara lain di pesisir timur Semenanjung Malaya[27] khususnya industri rumahan di pinggiran Kota Bahru, Kelantan dan Terengganu; serta di Brunei.[23]
Catatan kaki
^ abPurwanti, Retno; Siregar, Sondang Martini (2016). "Sejarah Songket Berdasarkan Data Arkeologi". Revista de Arqueología Siddhayatra. 21 (2). doi:10.24832/siddhayatra.v21i2.22.
^ abIskandar, Teuku (1958). De Hikajat Atjéh [Hikayat Aceh] (dalam bahasa Belanda). Den Haag, Belanda: Martinus Nijhoff.
^ abSturler, W.L. de (1843). Proeve eener beschrijving van het gebiied van Palembang [Deskripsi Awal Terkait Wilayah Palembang] (dalam bahasa Belanda). Groningen, Belanda: J.Oomrens.
^ abHoëvell, W.R. van (1843). Sjair Bidasari, een oorspronkelijk Maleische gedicht. Verhande-lingen van het Bataviaasch Genootschap [Sjair Bidasari; Puisi Melayu Asli, Risalah Masyarakat Betawi] (dalam bahasa Belanda). 19. hlm. 1–421.
^ abBlume, C.L.; Deel, Eerste; Plates, With (1848). De Indische Bij, Tijdschrift Ter Bevordering van de Kennis der Nederlandsche Volkplantingen en Derzelver Belangen [Mengenai Nusantara, Jurnal untuk Mengembangkan Pengetahuan tentang Pemukiman Belanda dan Kepentingan Minatnya] (dalam bahasa Belanda). Leiden, Belanda.
^ abPraetorius, C.F.G. (1843). Eenige Bijzonderheden Omtrent Palembang [Beberapa Detail Terkait dengan Palembang] (dalam bahasa Belanda). Leiden, Belanda.
^ abSevenhoven, J.I. van (1823). Beschrijving van de Hoofdplaats van Palembang [Deskripsi Terkait Ibukota (Sriwijaya) Palembang] (dalam bahasa Belanda). 9. Tratados de la Sociedad de Batavia. hlm. 41–126.
^ abUchino, Megumi (2005). "Socio-cultural history of Palembang Songket". Indonesia and the Malay World. Routledge. 33 (96): 205–223. doi:10.1080/13639810500283985.Parameter |month= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)