Godefridus bangsawan Bouillon, kepala negara Kerajaan Yerusalem yang pertama, menampik gelar raja dan hanya bersedia menyandang gelar Advocatus Sancti Sepulchri, Pembela Makam Kudus. Pada tahun 1100, Balduinus I naik takhta menggantikan Godefridus, dan menjadi kepala negara Kerajaan Yerusalem pertama yang dinobatkan sebagai raja. Meskipun Tentara Salib di Yerusalem menyerah pada tahun 1187, Kerajaan Yerusalem belum tumbang. Ibu kotanya dipindahkan ke Ako pada tahun 1191. Yerusalem sempat kembali ke pangkuan Tentara Salib semasa Perang Salib VI, yakni pada selang waktu tahun 1229–1239 dan tahun 1241–1244.
Meskipun negara-negara bentukan Tentara Salib sudah runtuh, sejumlah bangsawan Eropa masih saja mendaku-daku sebagai ahli waris gelar "Raja Yerusalem," yakni bangsawan-bangsawan yang masih termasuk nasab raja-raja Siprus atau raja-raja Napoli, bahkan Raja Spanyol yang memerintah saat ini pun mendaku sebagai ahli waris yang sah atas gelar tersebut.
Raja-raja Yerusalem (1099–1291)
Kerajaan Yerusalem terbentuk pada masa Perang Salib I, ketika usulan-usulan untuk menjadikan kota Yerusalem sebagai sebuah negara agama ditolak. Pada tahun 1099, Godefridus bangsawan Bouillon, terpilih menjadi kepala pemerintahan Yerusalem yang pertama dari kalangan Katolik Latin. Upacara pelantikannya dilangsungkan di Gereja Kelahiran, Betlehem. Ia menyandang gelar pangeran dan Advocatus Sancti Sepulchri, Pembela Makam Kudus. Mungkin sekali alasan di balik pemilihan gelar tersebut adalah anggapan masyarakat bahwa Kristus sajalah yang boleh bertajuk mahkota di Yerusalem.[1]Advocatus adalah gelar yang sudah tidak asing lagi bagi Godefridus, karena jamak dipakai di negeri-negeri asal Tentara Salib sebagai gelar bagi tokoh awam yang melindungi dan mengurus harta benda milik Gereja.[2][3] Godefridus mangkat pada tahun berikutnya. Adiknyalah, Balduinus I, yang pertama kali menyandang gelar raja, dan yang pertama kali dinobatkan menjadi raja di Gereja Makam Kudus.
Jabatan Raja Yerusalem bersifat separuh elektif dan separuh herediter. Pada pertengahan abad ke-12, saat sedang jaya-jayanya, Kerajaan Yerusalem memiliki wangsa penguasa dan alur suksesi kepemimpinan yang relatif jelas, tetapi rajanya dipilih, atau sekurang-kurangnya diakui, oleh Haute Cour. Raja dianggap sebagai primus inter pares (orang yang dituakan di antara rekan-rekan sederajat) di dalam Haute Cour. Bilamana raja berhalangan hadir, tugas-tugasnya dilaksanakan oleh para seneschal-nya.
Sejak dasawarsa 1160-an, raja berdiam di dalam istana yang didirikan baginya di sebelah selatan Benteng Yerusalem.[4] Kerajaan Yerusalem memperkenalkan tatanan feodal Prancis ke Bilad Syam. Selaku orang pribadi, raja menguasai beberapa daerah bumi lungguh. Daerah-daerah tersebut disatukan dengan wilayah kedaulatannya. Oleh karena itu wilayah kedaulatan setiap Raja Yerusalem berbeda-beda luasnya. Raja juga bertanggung jawab memimpin pasukan menuju medan perang, tetapi tugas ini dapat dilimpahkan kepada seorang jagabaya.
Manakala lingkup kewenangan raja di sejumlah negara Eropa kian meluas, lingkup kewenangan Raja Yerusalem justru terus-menerus menyempit, digerogoti tokoh terkuat dari antara para baron bawahannya. Penyebabnya antara lain adalah banyaknya raja yang naik takhta pada usia belia, dan seringnya jabatan pemangku raja dipegang pembesar dari kalangan bangsawan.
Sesudah Yerusalem jatuh ke tangan Mamluk pada tahun 1187, ibu kota Kerajaan Yerusalem berpindah ke Ako sampai tahun 1291, meskipun upacara penobatan dilangsungkan di kota Tirus.
Pada masa itu, jabatan raja sifatnya nominal belaka, disandang seorang petinggi Eropa yang tidak pernah bermastautin di Ako. Ketika si cilik Konradus III menyandang gelar Raja Yerusalem dan bermastautin di Jerman Selatan, mindoan ayahnya, Bupati Brienne, Hugo, menyatakan diri sebagai Pemangku Raja Yerusalem, dan secara tidak langsung mengklaim hak sebagai calon Raja Yerusalem berikutnya. Pernyataan diri yang diumumkan pada tahun 1264 itu dilakukan sang bupati selaku kerabat tertua sekaligus ahli waris yang sah dari Alisia, putri kedua Ratu Isabela I. Ibu Hugo adalah putri tertua pasangan raja dan permaisuri Siprus, Hugo I dan Alisia. Meskipun demikian, Haute Cour mementahkan klaim Hugo dan mempercayakan kedudukan yang diklaimnya kepada saudara misannya, Hugo bangsawan Antiokhia, yang kemudian hari menjadi Raja Hugo III selaku kepala negara Kerajaan Siprus dan Raja Hugo I selaku kepala negara Kerajaan Yerusalem.
Sesudah Konradus III dihukum mati pada tahun 1268 oleh Karolus I, Raja Sisilia, jabatan Raja Yerusalem menjadi hak pusaka wangsa Lusignan, yang juga memangku jabatan Raja Siprus. Meskipun demikian, Raja Karolus I membeli hak itu dari salah seorang ahli waris Kerajaan Yerusalem pada tahun 1277.
Pada tahun itu juga, Raja Karolus I mengutus Rogerus bangsawan San Severino, ke Timur Tengah selaku pengemban titahnya. Rogerus merebut Ako dan memaksa para baron bersembah bakti kepada Raja Karolus I. Ia dipanggil pulang pada tahun 1282 tatkala pecah pemberontakan Sembahyang Larut Senja di Sisilia, dan melimpahkan tugas jabatannya kepada Odo Poilechien. Sumber daya dan kewenangan yang dimiliki Odo Poilechien sangat terbatas. Ia diusir dari Ako saat Raja Henrikus II tiba dari Siprus untuk dinobatkan menjadi Raja Yerusalem.
Jatuhnya Ako ke tangan Mamluk pada tahun 1291 mengakhiri kiprah Tentara Salib di Timur Tengah.
Pada tahun 1127, seorang duta utusan Raja Balduinus II, datang menghadap Bupati Anjou, Fulko V, mempersembahkan tawaran perjodohan dari Kerajaan Yerusalem. Raja Balduinus II tidak dikaruniai putra, tetapi sudah menetapkan putrinya, Melisenda, sebagai calon penerus. Sang raja hendak melindungi hak waris putrinya dengan jalan mengawinkannya dengan seorang bangsawan yang disegani. Fulko adalah anggota Tentara Salib yang kaya, panglima kawakan, dan seorang duda. Pengalaman militer Fulko kelak terbukti sangat berguna bagi Kerajaan Yerusalem, sebuah negara di garis depan yang senantiasa dibayang-bayangi perang.
Fulko mengajukan syarat yang lebih tinggi, bukan hanya sekadar mempersunting Melisenda, ia ingin menjadi raja yang memerintah bersama Melisenda. Dengan pertimbangan kekayaan dan kiprah militer Fulko, Raja Balduinus II menerima syarat tersebut. Fulko melepas jabatan Bupati Anjou kepada putranya, Gefredus, lalu berlayar ke Yerusalem dan mengawini Melisenda pada tanggal 2 Juni 1129. Kemudian hari, Raja Balduinus II mendongkrak kedudukan Melisenda di Kerajaan Yerusalem dengan menjadikannya sebagai satu-satunya wali Balduinus III, buah perkawinannya dengan Fulko yang lahir pada tahun 1130.
Fulko dan Melisenda naik takhta bersama-sama menjadi kepala negara sesudah Raja Balduinus II mangkat pada tahun 1131. Sedari awal Fulko sudah memonopoli urusan pemerintahan, Melisenda sama sekali tidak dilibatkan. Ia mengutamakan orang-orang yang sedaerah-asal dengannya ketimbang kaum bangsawan asli. Negara-negara Tentara Salib lainnya di utara khawatir kalau kalau Fulko akan memaksa mereka menjadi negara bawahan Kerajaan Yerusalem, seperti yang pernah dilakukan Raja Balduinus II, tetapi lantaran Fulko tidak sekuat mendiang mertuanya itu, negara-negara di utara menolak kewenangannya.
Di Yerusalem pun Fulko tidak disenangi warga Kristen generasi kedua yang lahir dan membesar di kota itu sejak zaman Perang Salib I. Warga Kristen "bumiputra" tersebut lebih suka bertuan kepada saudara misan Ratu Melisenda, yakni Bupati Yafo, Hugo II, yang sangat setia berbakti kepada sang ratu. Di mata Fulko, Hugo adalah saingan. Demi menyingkirkan saingannya itu, pada tahun 1134, Fulko menuduh Hugo berbuat serong dengan Melisenda. Hugo menggugat tuduhan itu dengan memberontak. Ia berkubu di Yafo, dan bersekutu dengan umat Islam Askelon. Angkatan perang yang dikerahkan Fulko dapat ia kalahkan, tetapi entah sampai kapan ia sanggup menahan gempuran. Batrik Yerusalem akhirnya turun tangan menengahi, mungkin atas titah Melisenda. Fulko bersedia berdamai, sementara Hugo rela hidup terbuang dari Yerusalem selama tiga tahun, bukan suatu hukuman yang berat.
Meskipun perseteruan sudah mereda, Hugo pernah nyaris saja tewas dibunuh orang. Sekalipun tidak ada bukti yang kuat, sudah menjadi keyakinan umum bahwa Fulko atau para pendukungnyalah yang mendalangi upaya pembunuhan atas diri Hugo. Skandal ini dimanfaatkan para pendukung ratu untuk mengambil alih pemerintahan lewat gerakan yang memuncak pada suatu kudeta istana. Penulis dan sejarawan Bernard Hamilton mengemukakan di dalam bukunya bahwa para pendukung Fulko "dicekam rasa takut kehilangan nyawa" di istana. Pujangga dan sejarawan sezaman, Wilelmus, Uskup Agung Tirus, meriwayatkan di dalam tawarikhnya bahwa Fulko "tidak lagi berani coba-coba mengambil prakarsa, bahkan untuk urusan remeh-temeh sekalipun, tanpa persetujuan (Melisenda)". Akibatnya, sejak tahun 1136, Melisenda mengendalikan pemerintahan secara langsung tanpa diganggu gugat pihak mana pun. Fulko akhirnya kembali rukun dengan istrinya sebelum tahun 1136, dan pasangan itu sekali lagi dikaruniai seorang putra, yang diberi nama Amalrikus.
Pada tahun 1143, ketika sedang berlibur bersama istrinya di Ako, Fulko mangkat akibat kecelakaan selagi asyik berburu. Pujangga Wilelmus meriwayatkan bahwa kuda yang ditungganginya jatuh tersandung, kepala Fulko membentur pelana, "dan otaknya menyembur keluar dari lubang-lubang telinga maupun hidung." Ia segera dilarikan ke Ako, dan terbaring tak sadarkan diri selama tiga hari sebelum akhirnya dijemput ajal. Ia dikebumikan di dalam Gereja Makam Kudus di Yerusalem. Sekalipun rumah tangga mereka diawali dengan konflik, Melisenda berkabung meratapi kepergian Fulko, baik saat sedang sendirian maupun di depan khalayak ramai. Ahli-ahli waris Fulko adalah Gefredus, anaknya dari istri pertama, serta Balduinus III dan Amalrikus I, anak-anaknya dari Melisenda.
Balduinus III naik takta bersama-sama ibunya pada tahun 1143. Awal masa pemerintahannya diwarnai cekcok dengan ibunya terkait kepemilikan Yerusalem. Cekcok anak-beranak itu baru usai sesudah Balduinus III memegang sendiri kendali pemerintahan pada tahun 1153. Pada tahun 1163, Balduinus III mangkat tanpa meninggalkan keturunan. Adiknya, Amalrikus, naik tahkta menggantikannya, kendati perkawinan Amalrikus tidak direstui beberapa pihak di kalangan bangsawan. Pada tahun 1157, saat Balduinus III masih berpeluang dikaruniai seorang putra, pihak-pihak tersebut bersedia merestui perkawinan Amalrikus dengan Agnes, putri Bupati Edesa, tetapi saat Amalrikus mewarisi takhta lantaran abangnya mangkat tanpa keturunan, Haute Cour tidak bersedia mengakui hak warisnya jika perkawinannya dengan Agnes tidak dibatalkan. Harus diakui bahwa mungkin saja kebencian terhadap Agnes terlampau dilebih-lebihkan oleh pujangga Wilelmus, mengingat Agneslah yang menjegal ambisinya menjadi Batrik Yerusalem berpuluh-puluh tahun kemudian, demikian pula oleh pujangga-pujangga yang meneruskan penulisan tawarikh Wilelmus, misalnya Ernoul, yang menyajikan secuil informasi mengenai akhlak Agnes lewat kalimat "car telle n'est que roine doie iestre di si haute cite comme de Jherusalem" (tidak pantas ratu semacam dia memerintah kota sesuci Yerusalem).
Bagaimanapun juga, kedekatan hubungan darah sudah cukup memadai untuk dijadikan alasan penentangan. Amalrikus akhirnya setuju naik takhta tanpa permaisuri, kendati Agnes tetap menyandang gelar Istri Bupati Yafo dan Askelon, serta menerima pensiun dari pendapatan dua daerah bumi lungguh itu. Gereja memutuskan bahwa anak-anak Amalrikus dari Agnes adalah anak-anak yang sah, dan oleh karena itu adalah ahli-ahli waris yang sah atas takhta Kerajaan Yerusalem. Melalui anak-anaknya, Agnes leluasa mencampuri urusan pemerintahan Yerusalem selama hampir 20 tahun. Amalrikus digantikan putranya dari Agnes, Balduinus IV.
Agnes kawin lagi dengan Bupati Sidon, Reginaldus, pada tahun 1170, sementara Permaisuri Maria Komnena, sepeninggal Amalrikus, kawin lagi dengan Tuan Besar Ibelin, Balianus, pada tahun 1177. Saat itu Putri Sibila, anak Amalrikus dan Agnes, sudah tumbuh dewasa, memiliki seorang putra, dan jelas-jelas adalah calon kuat pengganti abangnya, tetapi Putri Isabela, anak Amalrikus dari Maria Komnena, didukung keluarga besar ayah tirinya, wangsa Ibelin.
Pada tahun 1179, Raja Balduinus IV berencana menjodohkan Putri Sibila dengan Adipati Burgundia, Hugo III, tetapi sampai dengan musim seni tahun 1180, usaha perjodohan tersebut tidak kunjung tertuntaskan. Bupati Tripoli, Raimundus III, berusaha melancarkan kudeta. Ia memimpin pasukannya berbaris menuju Yerusalem bersama-sama pasukan Pangeran Antiokhia, Boamundus III, dengan maksud memaksa raja untuk mengawinkan Putri Sibila dengan seorang bangsawan setempat yang ditentukannya sendiri. Mungkin sekali calon yang hendak disodorkan Raimundus adalah Tuan Besar Ramlah, Balduinus, abang Balianus. Demi menggagalkan upaya Raimundus, sang raja buru-buru mengawinkan Putri Sibila dengan Guido, kesatria bangsawan Lusignan, adik Aimerikus, Jagabaya Kerajaan Yerusalem. Perjodohan dengan bangsawan luar negeri dianggap penting karena membuka peluang bagi pengerahan bala bantuan dari luar Kerajaan Yerusalem. Karena Raja Prancis yang baru, Filipus II, masih di bawah umur, status Guido selaku kawula Raja Prancis maupun kawula Raja Inggris yang masih terhitung saudara misan Putri Sibila, yakni Raja Henrikus II – yang diwajibkan Sri Paus untuk melakukan ziarah silih dosa ke Tanah Suci – dianggap ada gunanya.
Pada tahun 1182, Raja Balduinus IV, yang kian kesulitan menjalankan pemerintahan akibat penyakit kusta yang dideritanya, mengangkat Guido menjadi bailli (pengemban titah, wakil raja). Pengangkatan tersebut ditentang Raimundus, tetapi sesudah Guido kehilangan kepercayaan raja setahun kemudian, Raimundus diangkat kembali menjadi bailli dan dihadiahi kepemilikan atas Beirut. Raja Balduinus akhirnya mencapai mufakat dengan Raimundus dan Haute Cour untuk mengangkat Balduinus bangsawan Monferrato, anak Sibila dari suami pertama, menjadi ahli warisnya, dengan hak waris mendahului Sibila dan Guido. Pada tahun 1183, anak Sibila yang masih kanak-kanak itu dinobatkan menjadi Raja Balduinus V, untuk memerintah bersama-sama Balduinus IV, dalam suatu upacara yang dipimpin Raimundus. Disepakati bahwa apabila raja kanak-kanak itu mangkat sebelum akil balik, hak perwaliannya turun kepada "ahli-ahli waris yang paling berhak" sampai para kerabatnya – Raja Inggris, Raja Prancis, dan Kaisar Romawi Suci, Frederikus I – dan Sri Paus dapat memutuskan pihak mana yang lebih berhak dinobatkan menggantikannya, Sibila atau Isabela. Tidak diperinci siapa saja "ahli-ahli waris yang paling berhak" tersebut.
Raja Balduinus IV mangkat pada musim semi tahun 1185, dan digantikan kemenakannya, Balduinus V. Raimundus memegang jabatan bailli, tetapi melimpahkan hak perwaliannya atas Balduinus V kepada Yoselinus III, Bupati Tituler Edesa, adik dari ibu Sibila, lantaran enggan dicurigai yang bukan-bukan apabila sang raja kanak-kanak yang kondisi kesehatannya tidak kunjung membaik itu tiba-tiba mangkat. Raja Balduinus V mangkat pada musim gugur tahun 1186, di Ako. Baik kubu Sibila maupun kubu Isabela mengabaikan wasiat Balduinus IV.
Seusai upacara pengebumian, Yoselinus mencalonkan Sibila sebagai pengganti Balduinus IV, meskipun Sibila harus bersedia menceraikan Guido, sama seperti ayahnya dulu dipaksa menceraikan ibunya, tetapi dijanjikan akan diperbolehkan memilih sendiri pendamping baru. Sesudah dinobatkan, Sibila langsung menobatkan Guido. Sementara itu, Raimundus berangkat ke Nablus, kota tempat Balianus dan Maria bermastautin, lalu mengundang semua bangsawan yang setia kepada Putri Isabela dan wangsa Ibelin. Raimundus menghendaki Isabela dan suaminya, Hunfridus IV, Tuan Besar Toron, dinobatkan menjadi penguasa Yerusalem, tetapi Hunfridus yang berayahtirikan Reginaldus bangsawan Châtillon, salah seorang sekutu Guido, malah membelot dan berprasetia kepada Guido dan Sibila.
Dengan Teodora Komnena tahun 1158 tidak dikaruniai keturunan
Tanggal 10 Februari 1163 di Beirut, Kerajaan Yerusalem pada umur 33 tahun
Dinobatkan menjadi raja untuk memerintah bersama-sama ibunya, Ratu Melisenda, pada hari Natal tahun 1143, tidak lama sesudah kemangkatan ayahnya, Raja Fulko. Begitu naik takhta, raja yang baru berumur 13 tahun itu sudah dihadapkan dengan jatuhnya praja Edesa ke tangan musuh pada tahun 1144, dan Perang Salib II pada tahun 1149. Ia melancarkan perang saudara melawan ibunya dari tahun 1152 sampai 1154 yang berakhir dengan perdamaian di antara keduanya.[6] Dialah yang berjasa merebut kota Askelon, salah satu kubu pertahanan Khilafah Bani Fatimah, pada tahun 1153. Pada tahun 1156, Balduinus terpaksa menandatangani kesepakatan damai dengan Nuruddin, kemudian menjalin persekutuan dengan Kekaisaran Romawi Timur. Ratu Melisenda mangkat pada tanggal 11 September 1161, sementara Balduinus berpulang dua tahun kemudian, pada tanggal 10 Februari 1163. Karena tidak dikaruniai keturunan, ia digantikan adiknya, Amalrikus.
Dengan Putri Maria Komnene tanggal 29 Agustus 1167 dikaruniai 2 orang putra-putri
Tanggal 11 Juli 1174 di Yerusalem pada umur 38 tahun
Dinobatkan pada tanggal 18 Februari 1163. Mula-mula ia memperistri Agnes bangsawati Courtenay, tetapi sesudah perkawinan mereka dibatalkan, ia memperistri Putri Maria Komnene. Tiga orang anaknya kelak menduduki takhta Yerusalem. Ia melancarkan 4 kali penyerbuan ke Mesir antara tahun 1163 sampai 1169, memanfaatkan kelemahan-kelemahan Khilafah Bani Fatimah. Pada umumnya perang tersebut tidak jelas hasilnya, tetapi melapangkan jalan bagi Salahuddin untuk merebut tampuk pemerintahan Mesir pada tahun 1171. Amalrikus mati muda, tutup usia pada tanggal 11 Juli 1174, dan digantikan putranya, Balduinus IV.
Raja Balduinus IVSi Kusta Tahun 1174–1185 bersama Raja Balduinus V sejak tahun 1183
Tanggal 16 Maret 1185 di Yerusalem pada umur 24 tahun [8]
Dinobatkan pada tanggal 5 Juli 1174, saat berumur 13 tahun. Lantaran menderita penyakit kusta, ia diragukan bakal berumur panjang. Sesudah beberapa orang pemangku silih berganti menyelenggarakan pemerintahan mewakilinya, Balduinus IV akhirnya memerintah secara langsung bersama saudara misannya, Raja Balduinus V, sejak tahun 1183. Awal masa pemerintahannya bertepatan dengan kemangkatan Nuruddin dan menanjaknya ketokohan Salahuddin. Patut dicatat bahwa Balduinus dan Reginaldus bangsawan Châtillon berjaya mengalahkan Salahuddin dalam Pertempuran Montgisard tanggal 25 November 1177, serta mematahkan gempurannya dalam Pertempuran Puri Belvoir tahun 1182 dan Pengepungan Karak tahun 1183.[9] Ia mangkat pada tanggal 16 Maret 1185.
Raja Balduinus V Tahun 1183–1186 bersama Raja Balduinus IV sampai tahun 1185[10]
Bulan Agustus 1186 di Ako, Kerakaan Yerusalem pada umur 9 tahun
Menjadi penguasa tunggal seusai kemangkatan pamannya pada tahun 1185, diwakili Bupati Tripoli, Raimundus III, selaku pemangku.[11] Perundingan gencatan senjata dengan Salahuddin yang diupayakan Raimundus melencong dari tujuan semula ketika Balduinus V mangkat pada musim panas tahun 1186.[12] Pengganti Balduinus V adalah ibu kandung bersama ayah tirinya, yakni Putri Sibila, anak Raja Amalrikus, dan Guido bangsawan Lusignan, sang kesatria Prancis.
Diperkirakan tanggal 25 Juli 1190 di Ako, Kerajaan Yerusalem pada umur kira-kira 40 tahun
Bersama suaminya dinobatkan menjadi raja dan ratu Yerusalem pada musim panas tahun 1186, tidak lama sesudah kemangkatan Balduinus V. Begitu naik takhta, Sibila dan Guido langsung kewalahan menghadapi rongrongan Salahuddin, khususnya dalam Pertempuran Hitin tahun 1187. Guido tertangkap musuh dalam pertempuran itu, dan menjadi tawanan Salahuddin sampai tahun 1188. Sesudah Yerusalem jatuh ke tangan musuh, Sibila mengungsi ke Tripoli, dan kemudian hari berjumpa dengan Guido di Ako dalam rangka menyongsong kedatangan pasukan pelopor Perang Salib III. Ia mangkat pada tanggal 25 Juli 1190.
Raja Guido Tahun 1186–1190/1192 bersama Ratu Sibila sampai tahun 1190
Dengan Ratu Sibila bulan April 1180 dikaruniai 2 orang putri
Tanggal 18 Juli 1194 di Nikosia, Siprus pada umur kira-kira 45 tahun
Isabela I Tahun 1190/1192-1205 bersama Raja Konradus sampai tahun 1192 bersama Raja Henrikus I dari tahun 1192 sampai 1197 bersama Raja Aimerikus sejak tahun 1198
Tanggal 5 April 1205 di Ako, Kerajaan Yerusalem pada umur 33 tahun
Selaku adik tiri (seayah lain ibu), Isabela menjadi ahli waris takhta Yerusalem sesudah kemangkatan Ratu Sibila pada tanggal 25 Juli 1190. Sesudah melewati berbagai liku-liku perundingan politik, Isabela akhirnya kawin dengan Konradus bangsawan Monferrato pada tanggal 24 November 1190, dan dengan demikian Konradus secara de jure menjadi Raja Yerusalemn. Pada bulan April 1192, Kondradus terpilih menjadi raja, tetapi keburu mangkat sebelum sempat dinobatkan, tewas di tangan dua orang pembunuh Hasyasin pada tanggal 28 April 1192. Rikardus dicurigai turut andil dalam pembunuhan Konradus, tetapi tidak pernah terbukti bersalah.[13]
Dengan Ratu Isabela I tanggal 6 Mei 1192 dikaruniai 2 orang putri
Tanggal 10 September 1197 di Ako, Kerajaan Yerusalem pada umur 31 tahun
Menjadi raja pada tanggal 5 Mei 1192, bertepatan dengan perkawinannya dengan Isabela. Raja yang 20 tahun lebih muda daripada istrinya ini adalah kemenakan Raja Inggris, Rikardus I, sekaligus kemenakan Raja Prancis, Filipus II, kendati tidak menyandang gelar kebangsawanan dari kedua kerajaan tersebut. Ia mangkat di Ako pada tanggal 10 September 1197 akibat jatuh dari jendela istana.
Dengan Esiva bangsawati Ibelin sebelum tanggal 29 Oktober 1174 dikarunia 6 orang putra-putri
Dengan Ratu Isabela I bulan Januari 1198 dikaruniai 3 orang putra-putri
Tanggal 1 April 1205 di Ako, Kerajaan Yerusalem pada umur 60 tahun
Bertepatan dengan perkawinannya dengan Ratu Isabela, ia dinobatkan pada bulan Januari 1198. Selaku mantan panglima yang pernah terlibat dalam Pertempuran Hitin tahun 1187, dan selaku Raja Siprus sejak kemangkatan Raja Guido, pada tahun 1194, masa pemerintahannya di Yerusalem maupun Siprus diliputi suasana aman dan tenteram. Ia menandatangani kesepakatan gencatan senjata dengan Malikul Adil I, Sultan Mesir dari wangsa Ayubi, pada tahun 1198, yang mengamankan kepemilikan pihak Kristen atas kawasan pesisir Bilad Syam dari Ako sampai ke Antiokhia. Pada hakikatnya kesepakatan ini menghalangi pencapaian misi Perang Salib IV. Aimerikus mangkat pada tanggal 1 April 1205. Putranya, Hugo, menggantikannya menjadi Raja Siprus. Ratu Isabela menyusul 4 hari kemudian, pada tanggal 5 April 1205, dan digantikan anaknya dari Kondradus, Putri Maria, yang memerintah bersama suaminya, Yohanes, bangsawan Brienne, selepas tahun 1210.
Tahun 1268 karena raja mangkat, dan sang pemangku naik takhta menjadi Raja Yerusalem yang baru
Pendaku waris
Dari tahun ke tahun, banyak pemimpin Eropa yang mendaku-daku sebagai ahli waris yang sah atas takhta Kerajaan Yerusalem. Meskipun demikian, tidak sejengkal pun tanah di Outremer yang pernah mereka kuasai:
Bupati Brienne, Hugo, mendaku hak memangku jabatan Pemangku Raja Yerusalem, dan secara tidak langsung mendaku hak menjadi calon raja berikutnya. Klaim ini diajukannya pada tahun 1264 selaku kerabat dan ahli waris terdekat mendiang Permaisuri Siprus, Alisia, putri kedua Ratu Isabela I. Meskipun sang Bupati Brienne adalah anak dari putri pertama Alisia, Haute Cour justru melimpahkan hak yang diklaimnya kepada saudara misannya, Hugo bangsawan Antiokhia, anak dari putri kedua Alisia, yang kemudian hari menjadi Raja Hugo III atas Siprus sekaligus Raja Hugo I atas Yerusalem. Keluarga bangsawan Kabupaten Brienne terus mempertahankan klaim Bupati Hugo ini, tetapi untuk seterusnya tidak pernah lagi terlibat dalam urusan apa pun di Outremer.
Sesudah Kerajaan Yerusalem tumbang, Raja Henrikus II di Siprus terus menyandang gelar Raja Yerusalem. Sesudah ia mangkat, gelar ini diklaim raja-raja Siprus berikutnya.
Gelar Raja Yerusalem terus-menerus disandang raja-raja Napoli dari wangsa Anjou, lantaran leluhur mereka, Bupati Anjou, Karolus I, sudah membeli hak waris takhta Kerajaan Yerusalem dari Maria bangsawati Antiokhia pada tahun 1277. Klaim atas takhta Kerajaan Yerusalem ini selanjutnya diperlakukan seakan-akan salah satu jajahan Raja Napoli, yang sering kali berpindah tangan lewat surat wasiat atau perang penaklukan, alih-alih sebagai pusaka turun-temurun. Karena Napoli adalah salah satu swapraja di dalam Negara Gereja, para paus kerap menyanjung penyandang gelar Raja Yerusalem maupun Raja Napoli, dan membenarkan sejarah klaim tersebut menurut versi Kerajaan Napoli. Saat digulingkan dari takhta, Kaisar Austria dari wangsa Habsburg menyandang gelar Raja Yerusalem, demikian pula Raja Italia dari wangsa Savoya. Gelar Raja Yerusalem temasuk salah satu di antara sekian banyak gelar yang didaku Raja Spanyol, Felipe VI.
^Adrian J. Boas. Jerusalem in the Time of the Crusades: Society, Landscape and Art in the Holy City under Frankish Rule. Halaman 79–82. Routledge 2009. ISBN9780415488754. [1]
^Barker, Ernest (1911). "Baldwin III". Dalam Chisholm, Hugh (penyunting). Encyclopædia Britannica. 3. (edisi ke-11), Cambridge University Press. hlmn. 246–247.
^Barker, Ernest (1911). "Amalric". In Chisholm, Hugh (penyunting). Encyclopædia Britannica. 1. (edisi ke-11), Cambridge University Press. hlmn. 778–779.
^Barker, Ernest (1911). "Baldwin IV". Dalam Chisholm, Hugh (penyunting). Encyclopædia Britannica. 3. (edisi ke-11), Cambridge University Press. hlm. 247.
^Barker, Ernest (1911). "Raynald of Châtillon". Dalam Chisholm, Hugh (penyunting). Encyclopædia Britannica. 22. (edisi ke-11), Cambridge University Press. hlm. 936.
^Goldsmith, Linda (2006). Dalam The Crusades – An Encyclopedia. hlm. 1104.
^Gerish, Deborah (2006). Dalam The Crusades – An Encyclopedia. hlm. 139.
^Barker, Ernest (1911). "Raimundus bangsawan Tripoli". Dalam Chisholm, Hugh (penyunting). Encyclopædia Britannica. 22. (edisi ke-11), Cambridge University Press. hlm. 935.
^Jacoby, David (2006). Dalam The Crusades – An Encyclopedia. hlmn. 273–274.
^Goldsmith, Linda (2006). Dalam The Crusades – An Encyclopedia. hlmn. 570-571.
^Gerish, Deborah (2006). Dalam The Crusades – An Encyclopedia. hlm. 24.
^Dobenecker, Otto (1915). Margarete von Hohenstaufen, die Stammutter der Wettiner. I (1236–1265). Neuenhahn, Jena: Festschrift des Gymnasiums zur Erinnerung an die Erhebung des Herzogtums S.-Weimar zum Großherzogtum (= Beilage zum Jahresberichte des Großh. Gymnasiums in Jena).