Putra Langit atau Tianzi (Hanzi: 天子; Pinyin: Tiānzǐ) adalah gelar suci kepala negara monarki di Tiongkok. Gelar ini mulai dipakai sejak zaman Dinasti Zhou dan terkandung di dalam adicita Amanat Langit. Sejak zaman Dinasti Qin, gelar sehari-hari yang disandang Putra Langit adalah Huangdi (kaisar).
Kemudian hari, kepala-kepala negara monarki lainnya di dalam mandala budaya Tionghoa ikut-ikutan menyandang gelar "Putra Langit" demi mengabsahkan kekuasaan mereka. Di dalam mandala budaya Tionghoa, istilah "dinasti langit" (Hanzi: 天朝; Pinyin: Tiāncháo) juga dipakai untuk merujuk kepada status Kaisar Tiongkok selaku Putra Langit.
Gelar "Putra Langit" (Hanzi: 天子; Pinyin: Tiānzǐ; bahasa Tionghoa Madya: tʰen t͡sɨX; bahasa Tionghoa Lama (B-S): *l̥ˤin *tsəʔ) berpangkal dari adicita Amanat Langit yang diciptakan raja-raja Dinasti Zhou demi membenarkan penggulingan Dinasti Shang oleh dinasti mereka. Menurut mereka, Langit sudah menarik kembali amanatnya dari Dinasti Shang, dan mempercayakan amanat itu kepada Dinasti Zhou, sebagai ganjaran atas kebobrokan dan penyalahgunaan kuasa yang dilakukan Dinasti Shang. Langit mempercayakan amanat tersebut kepada siapa saja yang layak menyelenggarakan pemerintahan. Penyandang gelar "Putra Langit" bertanggung jawab menyejahterakan dan melindungi rakyatnya, dengan ancaman pencabutan Amanat Langit apabila gagal menunaikan tanggung jawab tersebut.[2] "Putra Langit" seringkali menjadi salah satu di antara gelar-gelar yang disandang seorang kepala negara monarki di dalam mandala budaya Tionghoa. Kaisar Taizong dari Dinasti Tang menyandang gelar "Putra Langit", bersama-sama dengan gelar "Tengeri Qaghan" yang ia dapatkan sesudah berhasil mengalahkanKekhanan Turki Timur.[3] Kaisar-kaisar Jepang juga menyandang gelar kedua, yaitu tennō (天皇code: ja is deprecated ), yang berarti "Kaisar Langit". Sebagaimana gelar "Putra Langit", gelar "Kaisar Langit" juga merujuk kepada hubungan kaisar dengan Langit.[4]
Gelar "Putra Langit" menjadi tenar di seantero Asia Timur, bahkan sampai diadopsi Kaisar Jepang pada zaman Asuka.[5] Jepang mengutus rombongan misi diplomatiknya ke Tiongkok, yang ketika itu diperintah Dinasti Sui, dan menjalin hubungan kebudayaan dan perniagaan dengan Tiongkok.[6]Negara Yamato di Jepang meniru sistem birokrasi pemerintahan Kekaisaran Tiongkok yang berasaskan ajaran Konghucu. Rombongan misi diplomatik dari Jepang pada tahun 607 Masehi menyampaikan pesan dari "Putra Langit di negeri matahari terbit ... kepada Putra Langit di negeri matahari terbenam."[5] Meskipun demikian, gelar "Putra Langit" yang disandang Kaisar Jepang tidaklah seberat gelar "Putra Langit" yang disandang Kaisar Tiongkok, karena tidak ada ancaman pencabutan Amanat Langit sebagai hukuman apabila Kaisar Jepang tidak memerintah dengan benar. Kekuasaan Kaisar Jepang yang bersumber dari Dewi Amaterasu bersifat mutlak.[7]
Berdasarkan sebuah prasasti kubur yang berasal dari abad ke-4 dan ke-5, pada masa itu Goguryeo sudah pun sudah memiliki gagasan Putra Langit (天帝之子) dan tianxia.[8][9][10] Para kepala negara Goryeo menyandang gelar kaisar maupun Putra Langit, dan menjadikan negerinya sebagai pusat alam tianxia di Haedong (海東), yaitu pusat alam di bawah langit di sebelah timur samudra, yang meliputi seantero wilayah "Samhan" (Tiga Negara bangsa Korea).[11]
Gelar "Putra Langit" juga diadopsi di Vietnam, dan dilafalkan menjadi Thiên tử (Chữ Hán: 天子) dalam bahasa Vietnam. Kekuasaan Kaisar Vietnam juga dipercaya sebagai Amanat Langit, bukan karena silsilahnya melainkan karena kecakapannya dalam menyelenggarakan pemerintahan.[12] Langkah Vietnam untuk mengadopsi birokrasi yang berasaskan ajaran Konghucu, di bawah kepemimpinan Putra Langit Vietnam, melahirkan suatu sistem pembayaran upeti di Asia Tenggara, yang meniru sistem Sinosentrisme Tiongkok di Asia Timur.[13]
Chanyu, gelar pemimpin tertinggi Xiongnu. Gelar ini didahukui frasa 撐犁孤塗; Chēnglí gūtú. Di dalam Kitab Sejarah Han Terdahulu, Chēnglí gūtú disebut sebagai bentuk penulisan bunyi dari istilah asli dalam bahasa Xiongnu yang berarti "Putra Langit".[14]
Dull, Jack (1990). "The Evolution of Government in China". Heritage of China: Contemporary Perspectives on Chinese Civilization. University of California Press. ISBN978-0-520-06441-6.