Galangan Apung Admiralti IX di Pangkalan Angkatan Laut Singapura selama bulan Maret 1941. Galangan ini merupakan target dari dua serangan USAAF pada 1945.
Pengeboman Singapura (1944–1945) adalah kampanye militer yang dilakukan oleh angkatan udara Sekutu selama Perang Dunia II. Unit pengebom jarak jauh Pasukan Udara Angkatan Darat Amerika Serikat (United States Army Air Forces, USAAF) melakukan 11 serangan udara kepada Singapura yang diduduki Jepang antara November 1944 dan Maret 1945. Sebagian besar serangan ini menargetkan pangkalan angkatan laut dan fasilitas galangan di pulau tersebut. Misi peletakan ranjau juga dilakukan di perairan sekitar. Setelah pengebom Amerika dipindahkan, Angkatan Udara Britania Raya mengambil tanggung jawab atas operasi peletakan ranjau di sekitar Singapura. Hal ini berlanjut hingga 24 Mei 1945.
Serangan ini memiliki hasil yang beragam. Sementara kerusakan signifikan dihasilkan kepada pangkalan angkatan laut dan pelabuhan komersial penting Singapura, beberapa serangan pada target ini tidak sukses dan serangan lain pada fasilitas penyimpanan minyak di kepulauan sekitar Singapura tidak efektif. Kampanye peletakan ranjau mengganggu pelayaran Jepang di area Singapura tersebut dan menyebabkan mereka kehilangan tiga kapal dan kerusakan terhadap sepuluh lainnya, tetapi tidak fatal. Serangan udara Sekutu berhasil meningkatkan moral penduduk sipil Singapura, yang percaya bahwa serangan tersebut menandakan pembebasan kota tersebut yang akan segera tiba. Jumlah keseluruhan korban sipil dari pengeboman sedikit, meskipun beberapa pekerja sipil tewas selama serangan pada fasilitas militer; satu serangan menyebabkan ratusan orang tidak memiliki tempat tinggal.
Dalam beberapa dekade setelah Perang Dunia I, Britania memperluas Pangkalan Angkatan Laut Singapura di Sembawang di pantai utara pulau tersebut sebagai bagian dari rencana untuk menghalangi ekspansi Jepang di wilayah tersebut (Strategi Singapura).[1] Fasilitas yang dihasilkan merupakan salah satu yang paling penting bagi Imperium Britania termasuk dok galian besar King George VI dan galangan appung Admiralty IX.[2][3] Pasukan Persemakmuran yang dialokasikan untuk Malaya dan Singapura dikalahkan dengan cepat beberapa bulan setelah pecahnya Perang Pasifik. Namun, pulau ini menyerah kepada Jepang pada 15 Februari 1942.[4] Singapura dibom oleh pesawat Jepang beberapa kali selama Pertempuran Malaya dan kemudian perlawanan di pulau itu sendiri; serangan ini menyebabkan banyak korban sipil.[5]
Pangkalan Angkatan Laut menderita kerusakan kecil selama pertempuran pada 1941 dan 1942. Pangkalan ini menjadi fasilitas paling penting bagi Angkatan Laut Kekaisaran Jepang di luar kepulauan Jepang sendiri.[6] Seperti halnya di bawah peraturan Britania, banyak warga sipil lokal direkrut untuk bekerja di pangkalan meskipun Angkatan Laut Jepang menerapkan disiplin yang keras termasuk penganiayaan fisik dan penahanan atau eksekusi untuk pencurian dan pembocoran informasi.[7]Armada Kedua dan Ketiga Jepang dipindahkan dari Pasifik tengah ke Singapura dan sekitar Kepulauan Lingga antara Februari dan April 1944 agar lebih dekat dengan sumber bahan bakar mereka. Kedua armada terdiri dari tubuh utama Angkatan Laut Jepang. Keduanya mengoperasikan sebagian besar kapal perang dan kapal pembawa pesawat yang tersisa.[8]
Pasukan yang dialokasikan untuk mempertahankan Singapura tidak kuat. Di awal 1945, pertahanan udara Jepang untuk pulau ini hanya terdiri dari dua kompi Angkatan Darat dilengkapi dengan meriam otomatis, beberapa unit anti-pesawat, dan sejumlah kecil pesawat tempur. Beberapa senjata anti-pesawat diawaki oleh pembantu dari Malaya.[9][10] Efektivitas dari kekuatan pertahanan udara yang tidak memadai ditambah lagi dengan kurangnya koordinasi antara Angkatan Darat dan Angkatan laut, kurangnya peralatan pengendali tembakan untuk senjata, serta tidak tersedianya radar pengendali tembakan atau balon bedilan.[10] Pertahanan terhadap serangan malam lemah karena tidak adanya petempur malam ditempatkan di dekat Singapura, serta koordinasi antara senjata anti-pesawat dan unit penyorot yang buruk.[11]
Pada bulan Juni 1944, Komando Pengebom XX USAAF memulai operasi tempur di udara dengan pengebom berat B-29 Superfortress dari pangkalan udara dekat Kharagpur di timur laut India.[12] Meskipun peran utama komando ini untuk menyerang target industri di kepulauan Jepang, kurang lebih setengah dari misinya dilaksanakan untuk mendukung operasi lain dari Sekutu di Pasifik.[13] Komando Pengebom XX melapor ke Pasukan Udara Ke-20 USAAF, yang diarahkan secara personal dari Washington, D.C., oleh komandan USAAF Jenderal Henry H. Arnold, bukan komandan teater Sekutu di India dan China.[14] Mayor Jenderal Curtis LeMay mengambil komando dari Komando Pengebom XX pada tanggal 29 Agustus setelah Arnold menegaskan komandan pertamanya.[15]
Setelah kekalahan Jepang di Pertempuran Teluk Leyte di akhir Oktober 1944, sisa Angkatan Laut Kekaisaran Jepang terkonsentrasi ke dalam dua kelompok kapal. Satu kelompok kembali ke pangkalan di Laut Pedalaman, sementara lainnya ditempatkan di Kepulauan Lingga.[16] Pada tanggal 27 Oktober, Arnold memberi tahu LeMay bahwa kekalahan Jepang di Leyte mungkin telah meningkatkan kepentingan fasilitas angkatan laut Singapura dan meminta kesediaan Komando Pengebom XX untuk menyerang target di pulau tersebut. Intelijen kecil terkini di Singapura tersedia, dan pada 30 Oktober sebuah foto pengintaian B-29 terbang melewati Singapura untuk pertama kalinya dan mengambil gambar bagus terhadap pulau tersebut. Meskipun hal ini sukses, staf LeMay yakin bahwa serangan siang hari kepada Singapura—yang membutuhkan jarak pulang pergi sejauh 4.000 mi (6.400 km) dari Kharagpur—tidak akan sukses. Meskipun begitu, Arnold memerintahkan komando tersebut untuk menyerang Singapura.[6]
Serangan
Serangan awal
Serangan pertama kepada Singapura berlangsung pada tanggal 5 November 1944. Komando Pengebom XX mengirimkan 76 pesawat B-29 dari pangkalan mereka di sekitar Kharagpur. Karena jarak yang ekstrem dari target, setiap pesawat dipasang hanya dua bom 1.000 pon; pilotnya juga diperintahkan untuk mengebom dari ketinggian lebih-rendah-daripada-normal 20.000 ft (6.100 m), dan mempertahankan formasi yang longgar. Target utama serangan ini adalah Dok Galian King George VI. Kilang minyal Pangkalan brandan di utara Sumatra ditetapkan sebagai target sekunder.[6]
Gelombang pesawat B-29 pertama tiba di atas Pangkalan Angkatan Laut Singapura pukul 06:44. Pengeboman dilakukan sangat akurat dengan pesawat pemimpin meluncurkan bom berjarak 50 ft (15 m) dari gerbang caisson dok galian. Bom dari gelombang B-29 ketiga mendarat di dekat dok galian tersebut. Pesawat lainnya mengebom tepat di dok tersebut, menyebabkan dok ini tidak dapat digunakan tiga bulan lamanya. Bom yang mendarat tepat pada dan di dekat Dok Galian King George VI juga merusak kapal barang berukuran 465 ft (142 m) yang diperbaiki di sana saat itu. Banyak pekerja sipil di galangan dan sekitarnya yang tidak bisa kabur akhirnya terbunuh. Serangan juga menghasilkan kerusakan pada fasilitas lain di pangkalan angkatan laut tersebut. Secara keseluruhan, 53 Superfortress mengebom Pangkalan Angkatan Laut Singapura sementara tujuh pesawat menyerang kilang minyak Pangkalan brandan. Sedikit senjata anti-pesawat atau pesawat Jepang menembaki pesawat penyerang, tetapi dua B-29 hilang dalam kecelakaan.[6][17] Serangan ini merupakan operasi pengeboman siang hari terpanjang yang telah dilakukan pada waktu itu.[18] Setelah serangan, tentara Jepang membunuh sekelompok pekerja Indonesia yang cedera.[17] Kerusakan pada Dok Galian King George VI mengakibatkan dok ini tidak bisa digunakan untuk memperbaiki kapal perang Jepang pada Pertempuran Teluk Leyte.[19]
Serangan bom berikutnya
Serangan berikutnya pada Singapura berlangsung pada bulan Januari 1945. Melanjuti laporan yang mengabarkan bahwa kapal perang Jepang yang rusak selama Pertempuran Filipina diperbaiki di Singapura, 47 Superfortress dikirimkan dari India untuk menyerang Galangan Apung Admiralti IX juga Dok Galian di pantai selatan pulau tersebut. Pesawat ini berangkat sekitar tengah malam tanggal 10 Januari dan tiba di atas Singapura pukul 08:20 tanggal 11 Januari. Hanya 27 dari pesawat penyerang yang berhasil mengenai dok. Karena tembakan anti-pesawat sengit dari kapal perang Jepang di Selat Johor, pesawat pengebom tidak menghasilkan kerusakan. Pesawat lainnya mengebom Penang di Malaya, Mergui di Burma, dan beberapa target kesempatan, secara umum tanpa keberhasilan. Dua pesawat B-29 hilang selama operasi ini.[11][20][21]
Pada bulan Januari 1945, Komando Pengebom XX memulai persiapan untuk pemindahan ke Kepulauan Mariana. Komando ini menghentikan serangannya atas Jepang dan Asia Timur, yang komando ini gunakan pangkalan di China untuk mengisi bahan bakar pesawat B-29 en route target mereka, sebagai gantinya memfokuskan pada target di Asia Tenggara yang dapat dijangkau dari Kharagpur. Karena hanya ada sedikit target industrial dalam jangkauan Kharagpur, prioritas tertinggi yang diberikan kepada penyerangan adalah pengeboman pelayaran dan peletakan ranjau laut. Sebagai bagian dari transisi, LeMay berangkat ke Kepulauan Mariana pada tanggal 18 Januari dan digantikan Brigadir Jenderal Roger M. Ramsey.[22]
Komando Pengebom XX melakukan sebuah serangan bom utama yang konvensional pada Pangkalan Angkatan Laut Singapura pada tanggal 1 Februari. Pada hari itu, 112 pesawat B-29 dikirimkan dengan masing-masing dilengkapi 4 bom 1.000 pon (450 kg). Target utama serangan, Galangan Apung Admiralti IX, dibom oleh 67 dari 88 pesawat yang mencapai Singapura. Serangan ini menenggelamkan galangan dan menghancurkan kapal sepanjang 460 ft (140 m) yang berlabuh di sana. Sebanyak 21 pesawat lain yang menyerang Singapura mengebom area Dinding Barat dari pangkalan tersebut dan menghancurkan banyak bangunan serta alat berat; area ini merupakan perkantoran utama pangkalan tersebut. Dari pesawat yang tersisa, sebanyak 20 pesawat beralih menyerang Penang dan Martaban. Petempur Jepang menembak jatuh satu dari pesawat B-29 tersebut dan satu Superfortress hancur ketika mendarat setelah menderita kerusakan dari serangan udara.[23][24]
Meskipun Komando Pengebom XX memulai persiapan untuk menyerang pangkalan tersebut kembali pada tanggal 6 Februari, serangan ini dibatalkan di bulan ketiga oleh Laksamana Louis Mountbatten, komandan pasukan Sekutu di teater Asia Tenggara. Mountbatten memerintahkan instalasi angkatan laut di Singapura dan Penang untuk tidak ditarget karena akan dibutuhkan pasukan Sekutu setelah pembebasan Malaya dan Singapura yang direncanakan kemudian tahun 1945.[23][25] Setelah meminta klarifikasi atas perintah ini, Ramsey menemui Mountbatten di Kandy. Pada pertemuan ini, Mountbatten menetapkan target di area Kuala Lumpur sebagai prioritas pertama Komando Pengebom XX, sementara prioritas kedua diberikan ke beberapa area di Singapura yang dipilih secara saksama. Area ini tidak termasuk Dok Galian King George VI dan beberapa dok lain serta wilayah dengan alat berat. Akan tetapi, Mountbatten memperbolehkan penyerangan terhadap area Dinding Barat pangkalan, penyimpanan minyak, dan fasilitas dok komersial. Saigon ditetapkan sebagai prioritas ketiga komando. Prioritas keempat komando adalah tempat pembuangan minyak di pulau-pulau sekitar Singapura.[26]
Serangan bom berikutnya pada Singapura berlangsung pada tanggal 24 Februari. Pada hari itu, 116 pesawat B-29 dikirimkan untuk mengebom area Dok Kekaisaran di ujung selatan Singapura. Dok ini adalah dok komersial dan dianggap oleh perencana di Komando Pengebom XX sebagai "target utama satu-satunya yang cocok dan bebas dari penetapan yang tersisa di teater ini". Pesawat pengebom dilengkapi dengan perangkat pembakar, dan 105 pesawat B-29 yang mencapai Singapura berhasil membakar 39 persen area gudang dekat dok.[27] Dikarenakan target yang kabur oleh asap, 26 pesawat B-29 melakukan pengeboman buta, bukan visual, menghasilkan akurasi yang buruk dan kerusakan terhadap perumahan sipil dan area komersial di sekitar dok. Surat kabar Syonan Shimbun melaporkan 396 orang kehilangan tempat tinggal akibat serangan tersebut.[28] USAAF kehilangan satu pesawat B-29 yang jatuh setelah kehabisan bahan bakar ketika kembali ke India.[29]
Komando Pengebom XX kembali menyerang Singapura pada tanggal 2 Maret. Karena banyak unit layanan komando en route ke Mariana, hanya 64 pesawat B-29 yang dapat dikirimkan. Pesawat ini menargetkan area toko dan gudang di Pangkalan Angkatan Laut Singapura dengan bom 500 pon (230 kg). Sebanyak 49 pesawat B-29 yang mencapai Singapura mengebom area ini dan menambahkan kerusakan yang disebabkan serangan sebelumnya, tetapi hasil dari serangan ini terbatas karena adanya serangan dari senjata anti-pesawat dari kapal perang Jepang. Dua pesawat B-29 tertembak jatuh oleh senjata tersebut.[11][30]
Dua serangan terakhir dilakukan Komando Pengebom XX sebelum komando ini dipindah ke Mariana menargetkan fasilitas penyimpanan minyak di pulau-pulau sekitar area Singapura. Pada tanggal 12 Maret, tiga kelompok pesawat B-29 dikirimkan untuk menyerang pulau Bukom dan Sebarok di lepas pantai selatan Singapura dan juga Pulau Samboe, yang hanya beberapa mil di selatan dekat Pulau Batam, Hindia Belanda. Setiap grup ditugaskan ke pulau berbeda dan tidak ada senjata anti-pesawat atau petempur Jepang yang ditemui. Meskipun begitu, cuaca buruk mengakibatkan 44 pesawat B-29 yang mencapai area target harus mengebom secara buta, bukan visual, dan mengakibatkan sedikit kerusakan. Serangan terakhir komando sebelum kepindahannya ke Mariana berlangsung pada malam 29/30 Maret ketika 29 Superfortress dikirim untuk menyerang Pulau Bukom. Dalam rangka melatih awak pesawat untuk taktik terbang rendah yang digunakan di kepulauan Jepang, pesawat pengebom menyerang target secara individu dari ketinggian antara 5.000 ft (1.500 m) dan 7.000 ft (2.100 m). Serangan ini menghancurkan tujuh dari 49 tangki minyak di pulau tersebut, dan tiga lainnya rusak. Tidak ada pesawat B-29 yang hilang di serangan ini.[11][30]
Peletakan ranjau di sekitar Singapura
Sebagai bagian dari kampanye terhadap pelayaran Jepang, sekitar setiap bulan purnama dari akhir Januari 1945, Komando Pengebom XX melakukan misi peletakan ranjau. Pada malam 25/26 Januari, 41 pesawat B-29 dari Kelompok Bombardemen 444 dan 468 meletakkan enam ladang ranjau di jalur menuju Singapura.[31] Pada malam yang sama, pesawat B-29 lain meletakkan ranjau di Saigon dan Teluk Cam Ranh sebagai bagian dari usaha terbesar peletakan ranjau dari udara di Pasifik hingga saat itu.[32] Pada malam 27/28 Februari, dua belas pesawat B-29 dikirimkan untuk meletakkan ranjau di Selat Johor di dekat Singapura. Sepuluh pesawat berhasil meletakkan 55 ranjau di area target, satu pesawat lain meletakkannya di Penang. Selama periode bulan purnama berikutnya pada tanggal 28/29 Maret, 22 pesawat B-29 meletakkan ranjau dekat Singapura. Tidak ada pesawat yang hilang selama misi ini.[33]
Setelah penarikan Komando Pengebom XX, Kelompok No. 222Angkatan Udara Britania Raya mengambil tanggung jawab untuk operasi peletakkan ranjau di area Singapura menggunakan pesawat pengebom B-24 Liberator.[34][35] Peletakan ranjau dihentikan pada tanggal 24 Mei agar ranjau yang tidak tersapu tidak mengganggu pendaratan di Malaya yang dipimpin Britania yang sudah direncanakan pada bulan September.[36] Jepang membentuk pos pengamatan pada pulau-pulau di Selat Singapura untuk menemukan ladang ranjau, tetapi hal ini tidak efektif dan secara umum ladang tidak terdeteksi hingga kapal menabrak ranjau. Secara keseluruhan, ranjau yang diluncurkan dari udara menenggelamkan tiga kapal di dekat Singapura dan merusak sepuluh lainnya. Lebih lagi, ladang ranjau mengganggu rute konvoi dan usaha Jepang untuk memperbaiki kapal.[37] Namun, kampanye peletakan ranjau Sekutu terlalu singkat untuk meraih hasil yang menentukan.[33]
Akibat
Serangan Komando Pengebom XX ke Singapura menghasilkan hasil yang beragam. Serangan pada Pangkalan Angkatan Laut Singapura merusak atau menghancurkan banyak bengkel dan memaksa Jepang untuk tidak menggunakan Dok Galian King George VI antara akhir 1944 dan awal 1945, serta Galangan Admiralti IX dari Februari 1945. Tambahan pula, pekerja di pangkalan tidak kembali bekerja setelah serangan untuk beberapa waktu, dan harus diberikan bayaran yang lebih baik, porsi makanan yang lebih banyak, serta perlindungan dari serangan udara. Meskipun kerusakan yang dihasilkan pada area Dok Kekaisaran menghambat operasi pelabuhan Jepang, kondisi buruk area pelabuhan juga menghambat usaha Britania untuk merehabilitasi Singapura setelah perang. Serangan pada tangki penyimpanan minyak di pulau-pulau sekitar Singapura kurang berhasil, dan banyak yang masih dapat beroperasi setelah Jepang menyerah.[38]
Usaha militer Jepang untuk mempertahankan Singapura dari serangan udara tidak berhasil. Karena keadaan pertahanan udara pulau tersebut yang lemah, hanya sembilan pesawat B-29 yang ditembak jatuh selama kampanye Amerika tersebut, yang semuanya serangan siang hari.[39] Operasi penyapuan ranjau juga lambat, dan membutuhkan tiga minggu untuk mengumumkan keamanan pelabuhan setelah tiap-tiap serangan peletakan ranjau Sekutu.[37] Anggota yang selamat dari pengebom Amerika yang ditembak jatuh memiliki nasib yang berbeda; sejumlah kecil dihubungkan dengan gerakan perlawanan semacam Tentara Anti-Jepang Rakyat Malaya, sementara lainnya ditangkap Jepang dan ditahan dengan kondisi kejam. Mereka yang ditangkap Angkatan Laut Kekaisaran Jepang dan ditahan di pangkalan dipenggal. Setelah perang, personel Jepang yang diyakini bertanggung jawab atas kekejaman terhadap tahanan perang diadili di Pengadilan Kejahatan Perang Seletar dan mereka yang terbukti bersalah dieksekusi atau divonis penjara dalam jangka waktu yang lama.[10]
Serangan udara pada Singapura meningkatkan moral penduduk sipil pulau tersebut. Mereka terlihat mengabarkan pembebasan Singapura dari penindasan Jepang, meskipun penduduk sipil ini secara umum berhati-hati untuk menyembunyikan hal ini dari personel pendudukan Jepang.[40] Pesawat B-29 diyakini secara luas sebagai pesawat yang kebal, dan penduduk sipil terhibur dari kemampuan nyata pesawat untuk menyerang Jepang sesuai keinginan. Dalam upaya untuk melawan pandangan ini, otoritas pendudukan memamerkan bangkai pesawat B-29 yang ditembak jatuh dan awak pesawat yang selamat dan juga rekaman film satu Superfortress yang ditembak jatuh. Kampanye propaganda ini tidak sukses. Jepang juga gagal dalam upaya mereka untuk membangkitkan penduduk Muslim Singapura terhadap serangan dengan menyoroti kerusakan yang didera satu masjid pada tanggal 11 Januari dan 24 Februari, yang mana serangan kedua ini bertepatan dengan peringatan Maulid Nabi.[41] Faktor lain yang berpengaruh pada dukungan publik untuk serangan Sekutu adalah kebijakan yang menargetkan instalasi militer yang berarti korban sipil hanya dalam jumlah terbatas, dan pengeboman Amerika termasuk sangat akurat.[42] Ekspektasi serangan selanjutnya menghasilkan harga makanan dan komoditas lainnya semakin mahal. Namun, karena masyarakat menimbun kebutuhan ini, usaha Jepang untuk menghentikan penimbunan dan pencatutan ini tidak berhasil.[43]
Kirby, S. Woodburn (1965). The War Against Japan Volume IV: The Reconquest of Burma. History of the Second World War. United Kingdom Military Series. London: Her Majesty's Stationery Office.
Liew, Kai Khiun (2006). "Labour Formation, Identity, and Resistance in HM Dockyard, Singapore (1921–1971)". International Review of Social History. The Netherlands: Internationaal Instituut voor Sociale Geschiedenis. 51 (3). ISSN0020-8590.
Polmar, Norman (2004). The Enola Gay: The B-29 That Dropped the Atomic Bomb on Hiroshima. Washington, D.C.: Smithsonian National Air and Space Museum. ISBN1-57488-859-5.
Royal Navy (1995a). War with Japan. Volume IV The South-East Asia Operations and Central Pacific Advance. London: HMSO. ISBN0-11-772820-9.
Royal Navy (1995b). War with Japan. Volume V The Blockade of Japan. London: HMSO. ISBN0-11-772820-9.
Royal Navy (1995c). War with Japan. Volume VI Advance to Japan. London: HMSO. ISBN0-11-772821-7.
Toh, Boon Kwan (July 2009). ""It was a thrill to see rows of B-29s going through the sky" The American Strategic Bombing of Singapore, 1944–45". The Journal of Military History. 3. Society for Military History. 73.
Murfett, Malcolm H.; et al. (1999). Between Two Oceans: A Military History of Singapore From First Settlement to Final British Withdrawal. Singapore: Oxford University Press. ISBN0-19-588482-5.