Gifu (岐阜市code: ja is deprecated , Gifu-shi) adalah kota di Jepang yang terletak di bagian tengah-selatan Prefektur Gifu, dan berkedudukan sebagai ibu kota prefektur. Kota ini berperan penting dalam sejarah Jepang karena letaknya yang strategis di Jepang bagian tengah. Pada zaman Sengoku, wilayah Gifu dijadikan markas para samurai pemimpin perang, termasuk Saitō Dōsan dan Oda Nobunaga yang berusaha menjadi pemersatu Jepang.[2][3]
Setelah Jepang bersatu, Gifu sepanjang zaman Edo terus berkembang dan makmur sebagai kota penginapan (shukuba) di jalur Nakasendō.[4] Kawasan Kanō-juku waktu itu merupakan kawasan yang penuh dengan rumah-rumah penginapan. Gifu selanjutnya dikenal sebagai pusat industri busana karena memiliki banyak perusahaan konfeksi. Kota ini dulunya pernah berada di bawah administrasi Distrik Atsumi sebelum Pemerintah Jepang menetapkannya sebagai kota inti.
Kota Gifu terletak di dataran rendah aluvialSungai Nagara yang subur. Penduduk Gifu sejak zaman dulu sudah mengandalkan sumber daya alam kawasan sekeliling tempat tinggal mereka sebagai sumber penghasilan. Gifu merupakan pusat industri kertas tradisional Jepang (mino washi) dan produk-produk pertanian. Di bidang pariwisata, Gifu terkenal dengan atraksi "memancing dengan burung kormoran" di Sungai Nagara.[5] Di tengah kota menjulang Gunung Kinka yang merupakan simbol kota sekaligus tujuan wisata andalan Kota Gifu. Di puncak gunung terdapat Istana Gifu yang dibangun sebagai replika istana Oda Nobunaga.
Gifu memiliki hubungan aktif dengan enam kota kembar. Di kota ini terdapat pusat-pusat konvensi sebagai tempat penyelenggaraan konferensi internasional.[8]
Sejarah
Dari dua situs arkeologi di kota ini diketahui bahwa daerah yang sekarang disebut Kota Gifu yang berada di Dataran Rendah Nōbi yang subur telah dijadikan tempat tinggal orang sejak zaman prasejarah.[9] Situs arkeologi Ryomonji dan Kotozuka mengungkap adanya gundukan makam ukuran besar yang berasal dari akhir zaman Yayoi,[9] ketika teknik bertanam padi mulai dikenal di Jepang. Sejalan dengan perkembangan peradaban di Jepang, permukiman permanen mulai bermunculan, dan kemudian terbentuk Desa Inokuchi yang sekarang dikenal sebagai Kota Gifu.
Zaman Sengoku
"Kuasai Gifu dan seluruh Jepang dapat kau kuasai"[3] adalah pepatah yang dikenal selama zaman Sengoku. Letak geografis Gifu yang berada di tengah-tengah Pulau Honshu membuat daerah ini dijadikan pangkalan militer oleh para pemimpin perang zaman Sengoku. Selama lebih dari 200 tahun, Provinsi Mino (termasuk wilayah yang sekarang disebut kota Gifu) berada di bawah kendali klan Toki yang merupakan klan yang berpengaruh di daerah ini.[2] Namun selama zaman Sengoku, samurai bawahan dari klan Toki yang bernama Saitō Dōsan memberontak terhadap klannya sendiri. Provinsi Mino dikuasai Saitō Dōsan pada tahun 1542 yang kemudian membangun Istana Inabayama di atas Gunung Inaba[3] sebagai langkah awal dalam usahanya menjadi pemersatu Jepang.
Sewaktu Dōsan berkuasa, putrinya yang bernama Nōhime menikah dengan Oda Nobunaga yang waktu itu adalah pemimpin perang dari Provinsi Owari yang bertetangga. Pernikahan tersebut dimaksudkan sebagai usaha menyatukan kekuatan militer dari dua keluarga.[3] Seperti halnya Dōsan, Nobunaga memiliki ambisi menyatukan Jepang, dan akhirnya memberontak serta menggulingkan kekuasaan bapak mertuanya pada pertengahan abad ke-16.[10] Nobunaga memberi nama daerah yang menjadi wilayah kekuasaannya setelah berkonsultasi dengan seorang biksu.[3] Desa Inokuchi dan daerah di sekelilingnya di Provinsi Mino disebutnya sebagai Gifu pada tahun 1567.[11] Karakter kanjigi (岐) untuk menulis kata Gifu diambilnya dari nama gunung legendaris di Cina, Qishan (岐山) yang merupakan tempat berawalnya Dinasti Zhou, pemersatu Cina zaman kuno. Karakter kedua, 阜 (fu) berarti kaki gunung dan diambil dari nama tempat kelahiran Kong Hu Cu di kota Qufu.[12] Walaupun Nobunaga bukan orang kelahiran Gifu, ia memilih gunung dan istana bekas milik Dōsan sebagai pangkalan militer yang diberinya nama Gunung Kinka dan Istana Gifu.
Perekonomian Gifu tumbuh dengan pesat sepanjang zaman Sengoku, terutama setelah dijadikan pusat kekuasaan Oda Nobunaga yang semakin meluas. Nobunaga memperkenalkan sistem pasar bebas yang disebut Rakuichi Rakuza (楽市楽座). Penduduk dapat berdagang secara leluasa, dan perdagangan tidak lagi dimonopoli kuil-kuil Buddha dan Shinto daerah-daerah. Kota Gifu begitu ramai hingga misionaris Yesuit Portugis Louis Frois yang mengunjungi Gifu sebagai tamu Nobunaga menyebut Gifu sebagai "Babilonia yang ramai".[13]
Zaman Edo dan zaman Meiji
Setelah Nobunaga tewas terbunuh, Gifu terus berkembang sepanjang zaman Edo karena adanya rute Nakasendō yang merupakan salah satu dari lima jalan menuju Edo yang dibangun Keshogunan Tokugawa.[4]Kanō-juku dan Gōdo-juku yang waktu itu berada di pinggiran kota merupakan dua kota persinggahan yang ramai di jalur Nakasendō sebelum keduanya dijadikan bagian dari Kota Gifu.
Pada pertengahan zaman Meiji, Gifu secara resmi ditetapkan sebagai sebuah kota pada 1 Juli1889. Luas kota awalnya hanya 10 km² dan penduduk kota hanya berjumlah 25.750 orang.[14] Dua tahun kemudian terjadi gempa bumi Mino-Owari 28 Oktober 1891 yang berkekuatan 8 skala Richter.[15] Sekitar 37% dari luas kota habis terbakar. Gempa bumi tersebut menelan korban 1.505 orang (245 tewas dan 1.260 luka). Kerugian harta benda antara lain berupa 6.336 bangunan, 3.993 di antaranya rusak total).[16] Gedung Peringatan Gempa Bumi Gifu setiap bulannya pada tanggal 28 mengadakan upacara peringatan bagi korban gempa bumi Mino-Owari 1891.[13]
Gifu pulih dari kerusakan yang diakibatkan gempa bumi pada akhir zaman Meiji. Pada 1911, kota ini sudah cukup makmur untuk membangun sebuah jaringan trem dalam kota.[14]
Perang Dunia II
Kota Gifu makin bertambah luas setelah wilayah bekas kota persinggahan Kanō-juku diserap pada tahun 1940. Di Kanō terdapat banyak industri tradisional sehingga Gifu kemudian dikenal sebagai kota pusat industri yang besar. Di pusat kota selama Perang Dunia II terdapat pabrik-pabrik sektor manufaktur.[17] Kota Kakamigahara yang bertetangga adalah pusat dirgantara Jepang. Sebagai akibatnya, Gifu dijadikan sasaran pengeboman api oleh Angkatan Udara Amerika Serikat. Puncaknya berupa Serangan Udara Gifu 9 Juli 1945 yang mengakibatkan korban 1.383 orang (863 tewas, 520 luka), dan 20.426 bangunan rusak.[14] Peristiwa Serangan Udara Gifu diperingati setiap 9 Juli dengan dibunyikannya genta-genta perdamaian di kuil-kuil yang ada di dalam kota.
Selama Perang Dunia II, Gifu juga dijadikan pusat pembuatan balon api. Balon-balon udara tersebut dibuat dari kertas tipis mino washi yang direkatkan dengan lem dari konnyaku.[18] Balon udara buatan murid-murid putri sekolah menengah atas itu diharapkan terbawa oleh arus jet di atas Samudra Pasifik hingga sampai di Amerika Serikat dan Kanada. Pada awalnya sutra berlapis karet antiair pada salah satu sisi dipakai untuk membuat balon-balon tersebut, namun mino washi ternyata lebih kuat, lebih ringan, dan lebih kedap udara.[19]
Zaman modern
Pada 12 September 1976, Taifun 17 (Taifun Super Fran) melewati Kota Gifu, dan jatuh korban 5 orang tewas dan 40.000 keluarga kehilangan tempat tinggal.[14] Kota ini kembali pulih berkat keberadaan berbagai industri lokal. Pemerintah Jepang menetapkan Gifu sebagai kota inti pada tahun 1996.[20] Setelah perannya sebagai kota industri busana berakhir, kota ini berusaha memulihkan perekenomian dengan beralih ke industri manufaktur. Pembangunan gedung-gedung di kawasan sekitar Stasiun JR Gifu turut membantu perbaikan keadaan ekonomi. Proyek pembangunan fasilitas umum termasuk renovasi kawasan stasiun dan jembatan yang ditinggikan menuju Stasiun Meitetsu Gifu dan Gifu City Tower 43.[20] Gedung Gifu City Tower 43 dibangun berkat adanya kerja sama pemerintah kota dan sektor swasta. Sebagian dari gedung merupakan milik pemerintah kota dan sisanya merupakan milik swasta.[21] Luas kota bertambah setelah diserapnya kota tetangga Yanaizu dalam rangka kebijakan merger kota-kota di Jepang.[16]
Geografi
Kota Gifu berada di bagian selatan Prefektur Gifu, dan berada di ujung utara Dataran Rendah Nōbi. Kota ini menjadi makin luas setelah merger dengan kota yang bertetangga. Kota Kanō diserap pada tahun 1940 dan Yanaizu pada tahun 2006. Sebagai hasilnya, Gifu memiliki pusat kota yang penuh dengan gedung-gedung sekaligus kebun-kebun persik dan stroberi di pinggiran kota.[22]
Bagian utara kota berbatasan dengan pegunungan yang berhutan lebat, sementara di bagian selatan terdapat pusat kota Gifu. Sungai Nagara mengalir dari timur laut ke barat daya, dan membelah kota menjadi dua bagian. Sebagian besar wilayah kota merupakan dataran aluvial Sungai Nagara yang dijadikan daerah konservasi lingkungan. Daerah ini sering banjir ketika terjadi hujan besar, namun proyek tanggul dan bantaran telah selesai dibangun untuk mengendalikan luapan air sungai. Tanah yang subur di daerah ini merupakan lahan pertanian prima. Pada tahun 2005 tercatat 6.731 lahan pertanian di daerah seluas 136,74 hektare (1.367 km²).[16]
Angin fohn dari pegunungan di barat membawa udara hangat dan kering ke dalam kota sepanjang musim dingin. Pada tahun 2005, suhu terendah −3,8 °C dan suhu tertinggi 36,4 °C, serta suhu rata-rata 15,9 °C. Curah hujan tahun 2005 sebesar 1.451 milimeter.[16]
Ketika dijadikan subah kota pada 1889, Gifu adalah sebuah kota kecil. Selama industrialisasi Jepang awal abad ke-20, kota ini hanya mengalami pertumbuhan tingkat sedang. Ketika Jepang sedang membangun kekuatan militernya pada tahun 1930-an, Gifu dijadikan pusat industri dan mengalami pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Seusai Perang Dunia II, Gifu tetap makmur sebelum terjadinya penurunan jumlah penduduk. Hal serupa juga terjadi di kota-kota lain di Jepang pada tahun 1980-an dan 1990-an. Walaupun penduduk kota kembali meningkat pada dekade 1980-an, peningkatan tersebut disebabkan merger Gifu dengan kota Yanaizu yang bertetangga. Sekitar 1.300 orang penduduk Yanaizu ikut dihitung sebagai penduduk Gifu.[16] Selain itu, penduduk kota ini juga bertambah dengan kedatangan penduduk asing yang berjumlah di atas 9.000 orang.[25]
Penduduk Gifu menurut data 1 Januari 2009 berjumlah 422.061 orang; 201.370 laki-laki dan 220.691 perempuan, dengan total 168.187 rumah tangga yang tinggal di dalam kota.[1] Sama halnya dengan kota-kota lainnya di Jepang, persentase penduduk usia lanjut di atas 65 tahun mencapai sekitar 21,67%, sedangkan penduduk berusia 15 tahun ke bawah hanya sejumlah 14,13%.[25] Persentase penduduk berusia lanjut di kota ini tidak jauh berbeda dengan persentase penduduk berusia lanjut di Prefektur Gifu, dan Jepang secara keseluruhan. Di Prefektur Gifu, 22,1% dari total penduduk berusia di atas 65 tahun, sementara penduduk berusia 15 tahun ke bawah hanya 14,4%.[26] Di Jepang, 21% dari total penduduk berusia di atas 65 tahun, dan hanya 13,6% berusia kurang dari 15 tahun.[27] Usia rata-rata penduduk kota ini adalah 43,37 tahun.[25]
Pemerintah kota
Pemerintah kota Gifu dipimpin oleh seorang wali kota yang dipilih secara langsung oleh warga dalam satu kali masa jabatan selama 4 tahun. Wali kota dibantu oleh dua wakil wali kota dan seorang bendahara kota yang semuanya diangkat oleh wali kota.
Penduduk kota diwakili oleh dewan kota yang terdiri dari 44 anggota dewan kota yang masing-masing mewakili 44 distrik pemilihan di dalam kota.[28] Anggota dewan kota yang mewakili distrik pemilihan hanya dapat dipilih oleh warga yang tinggal di distrik pemilihan tersebut. Satu kali masa jabatan anggota dewan selama 4 tahun, dan semua kursi diperebutkan dalam pemilihan umum pada waktu yang bersamaan. Ketua dan wakil dewan kota dipilih oleh anggota dewan kota.[28]
Gaya hidup
Kawasan pusat kota merupakan tempat tinggal para penglaju yang bekerja untuk perusahaan-perusahaan besar di Nagoya, termasuk di antaranya pegawai Toyota.[29] Gifu dijadikan pilihan bagi para penglaju karena kemudahan transportasi antara Gifu dan Nagoya dan tersedianya banyak bangunan apartemen di dalam kota. Di sisi utara Stasiun JR Gifu terdapat gedung pencakar langit erlantai 43, Gifu City Tower 43 yang dibangun Takenaka Corporation. Gedung ini diresmikan 13 Oktober 2007, dan merupakan gedung tertinggi di Prefektur Gifu.[20][30] Tiga puluh lantai teratas dibangun sebagai apartemen dua kamar dan tiga kamar, termasuk apartemen yang dibangun khusus untuk penduduk berusia lanjut.[30] Lantai-lantai bawah disediakan untuk kantor, toko, dan pusat-pusat layanan masyarakat seperti klinik dan praktik dokter. Lantai paling atas dibuka untuk umum sebagai lantai observasi. Dari lantai observasi, pengunjung dapat melihat pemandangan kota dari atas.[20]
Pemerintah Kota Gifu sedang mempromosikan "gaya hidup lambat"[31] yang idenya berasal dari konsep makanan lambat. Warga kota dianjurkan untuk menjalani kehidupan yang lebih lambat sebagai alternatif dari kehidupan serba sibuk di sebuah kota yang modern. Kampanye ini dimaksudkan untuk mempertinggi ketergantungan warga kota terhadap bahan makanan yang diproduksi petani lokal, memberi kesempatan warga kota untuk menikmati seni dan budaya tradisional, serta partisipasi dalam kegiatan warga setempat.[31]
Industri
Industri tekstil pernah menjadi industri andalan bagi kota ini.[32] Gifu dulunya adalah salah satu pusat industri busana Jepang, dan pernah memiliki industri konfeksi yang bersaing dengan Tokyo dan Osaka. Kawasan di utara Stasiun JR Gifu hingga kini masih dapat ditemui berbagai toko-toko kecil yang menjual pakaian.
Industri manufaktur sekarang ini telah menggantikan industri tekstil sebagai industri andalan Gifu. Kota ini berada berdekatan dengan Prefektur Aichi yang memiliki berbagai perusahaan industri berat dan otomotif, termasuk Toyota.[29] Gifu ikut menjadi makmur dengan adanya perusahaan subkontraktor suku cadang, cetakan komponen, dan pengerjaan logam. Kemudahan transportasi umum dan jalan raya memungkinkan perusahaan dan industri untuk mendirikan pabrik dan bengkel di kota ini.
Selain industri modern, Gifu juga mengandalkan industri kerajinan seperti kipas kertas, mino washi, dan makanan dari ikan ayu.[22] Industri kerajinan yang paling terkenal dari Gifu adalah lampion Gifu dan payung Gifu. Di kota ini terdapat sekitar 15 perusahaan yang membuat lampion, dan perusahaan yang terbesar adalah Ozeki Lantern, Co.[33] Di kawasan Kanō, pengunjung dapat mengikuti kursus singkat cara membuat payung kertas tradisional.
Atraksi pariwisata yang paling utama di Gifu adalah memancing dengan burung kormoran. Walaupun burung kormoran juga dipakai untuk memancing di tempat-tempat lain di Jepang, memancing dengan kormoran di Sungai Nagara memiliki sejarah lebih dari 1.300 tahun.[5] Aktraksi memancing dengan kormoran di Gifu adalah atraksi terbesar dibandingkan atraksi serupa di tempat lain di Jepang. Dari atas perahu yang melaju dengan cepat, enam pawang burung kormoran mengendalikan burung-burung kormoran yang menyelam sambil menelani ikan-ikan ayu. Atraksi memancing berlangsung setiap malam sepanjang musim memancing yang berlangsung dari 11 Mei hingga 15 Oktober, kecuali bila air sungai sedang tinggi dan bulan purnama pada bulan September.[34]
Penyair haiku dari periode Edo, Matsuo Basho berwisata berbulan-bulan di Gifu dan menulis haiku mengenai berbagai macam tema, termasuk memancing dengan burung kormoran. Charlie Chaplin bahkan menyaksikan atraksi ini sampai dua kali, dan kabarnya sangat terkesan.[5]
Museum
Museum terbesar di kota ini adalah Museum Sejarah Kota Gifu. Museum ini berada di Taman Gifu, dan memiliki pameran permanen mengenai sejarah kota dan sebagian di antaranya merupakan pameran interaktif.[35] Di lokasi yang berdekatan di Taman Gifu juga terdapat Museum Seni Eizō & Tōichi Katō. Museum ini merupakan cabang dari Museum Sejarah Kota Gifu, dan didirikan untuk menyimpan karya pelukis kakak beradik kelahiran Prefektur Gifu, Eizō dan Tōichi Katō. Sejumlah lukisan dari keduanya menggambarkan atraksi memancing dengan burung kormoran. Museum Sejarah Kota Gifu juga memiliki sebuah cabang di Yanaizu yang disebut Museum Folklor Yanaizu.[35]
Dua museum lainnya yang berlokasi di Taman Gifu adalah Museum Serangga Nawa yang bersebelahan dengan Museum Sejarah Kota Gifu, dan Museum Arsip Istana Gifu yang bersebelahan dengan Istana Gifu di puncak Gunung Kinka. Museum Serangga Nawa didirikan tahun 1919 oleh ahli entomologiYasushi Nawa.[36]
Kota ini juga memiliki Museum Sains Kota Gifu dan Museum Seni Rupa Gifu yang keduanya berada di dekat kantor prefektur. Di Museum Sains terdapat planetarium dan sebuah observatorium di lantai atap. Museum Seni Rupa Gifu diresmikan pada tahun 1982, dan terutama mengkhususkan diri pada karya seni dan seniman yang berhubungan dengan Prefektur Gifu.[37]
Festival dan acara tahunan
Acara tahunan di musim semi adalah Festival Dōsan (Sabtu dan hari Minggu pertama di bulan April) dan Festival Gifu (Sabtu malam pertama bulan April.[38] Festival Dōsan diadakan untuk memperingati Saitō Dōsan sehingga keramaian dipusatkan di Jōzai-ji yang dijadikan makam Dōsan. Arak-arakan Festival Gifu dimulai dari Kuil Inaba dan menyinggahi kuil-kuil Shinto lainnya di dalam kota Gifu.
Festival musim gugur yang terbesar di Gifu adalah Festival Gifu Nobunaga yang diadakan pada Sabtu dan hari Minggu pertama bulan Oktober. Festival Nobunaga menampilkan prosesi samurai berkuda di jalan-jalan utama kota untuk memperingati Oda Nobunaga yang mendirikan Gifu.[16]
Festival Api Tejikara dilangsungkan dua kali setahun. Penyelenggaraan musim semi dilakukan Kuil Tejikarao pada Sabtu kedua bulan April. Pada musim panas, Festival Api Tejikara kembali dilakukan pada Minggu kedua bulan Agustus di Taman Sungai Nagara.[38] Laki-laki peserta matsuri membawa mikoshi yang menyemburkan kembang api.
Pemerintah Kota Gifu mensponsori pertunjukan Takigi Noh di bantaran Sungai Nagara setiap akhir Agustus. Sandiwara noh dipentaskan dengan penerangan api unggun dan api di atas perahu-perahu pemancing dengan burung kormoran.[38]
Dua pesta kembang api berskala besar diadakan pada musim panas di bantaran Sungai Nagara, antara Jembatan Nagara dan Jembatan Kinka.[36] Festival kembang api yang diadakan harian Chunichi Shimbun dilangsungkan pada Sabtu terakhir bulan Juli. Festival kembang api yang disebut Pameran Kembang Api Nasional Sungai Nagara dilangsungkan pada Sabtu pertama bulan Agustus.[38]
Di antara tempat-tempat wisata lainnya di dalam kota terdapat Taman Bairin dan pemandian air panas Nagaragawa Onsen. Taman Bairin memiliki sekitar 1.300 batang pohon ume dari sekitar 50 spesies.[40] Nagaragawa Onsen adalah sebutan untuk hotel dan ryokan yang berada di tepi Sungai Nagara. Air panas dari onsen Sungai Nagara memiliki kandungan besi yang tinggi.[41]
Kolam Matsuo yang berada di selatan kaki Dodogamine (417.9 m) merupakan tempat melihat pemandangan daun-daun merah musim gugur. Ada 6 rute pendakian menuju puncak Dodogamine. Dari puncak gunung dapat dilihat Gunung Haku di kejauhan dan Sungai Nagara.
Di pusat kota terdapat pusat perbelanjaan Yanagase yang dulunya pernah dikenal di seluruh Jepang berkat lagu hit dari Kenichi Mikawa, "Yanagase Blues" pada tahun 1966.[42] Di Yanagase terdapat toko serba ada Takashimaya, Muji, dan bioskop.
Tempat bersejarah
Istana Gifu
Istana Gifu pertama kali dibangun oleh klan Nikaidō pada zaman Kamakura, dan telah berulang kali dibangun kembali. Bangunan istana yang sekarang dibangun pada tahun 1956.[36] Salah seorang samurai penguasa Istana Gifu adalah Saitō Dōsan ketika istana ini masih bernama Istana Inabayama. Penguasa berikutnya adalah Oda Nobunaga yang menamakan tempat tinggalnya sebagai Istana Gifu, dan kota di bawahnya sebagai Gifu. Bagian dalam gedung istana juga berfungsi sebagai museum.[13] Di kota ini dulunya terdapat dua bangunan istana yang lain, Istana Kanō dan Istana Kawate, namun keduanya sekarang hanya menyisakan lokasi bekas istana.
Kuil Inaba konon pertama kali dibangun pada masa pemerintahan Kaisar Keikō, dan diperkirakan memiliki sejarah sepanjang lebih dari 1900 tahun. Kuil yang terletak di kaki Gunung Kinka ini populer sebagai tempat hatsumōde dan Shichi-Go-San.
Kuil Kogane terletak di pusat kota, dan populer sebagai kuil untuk memohon kesuksesan di bidang keuangan. Kuil ini ramai dikunjungi orang untuk hatsumōde. Bersama-sama dengan Kuil Inaba dan Kuil Kashimori, Kuil Kogane setiap tahunnya menyelenggarakan Festival Gifu.
Kuil ini dipercaya sebagai tempat untuk memohon keberuntungan bagi anak-anak dan pasangan suami istri. Di dalam kuil ini terdapat batu besar bekas tapak kuda dalam mitologi ketika turun ke bumi.
Kuil Tejikarao terletak di bagian timur kota, dan dipercaya sebagai kuil penyelamat dari kebakaran. Kuil yang pertama kali dibangun pada tahun 860 ini setiap tahunnya menyelenggarakan Festival Api Tejikarao.
Kuil sekte Ōbaku, cabang dari Mampuku-ji di Uji, Prefektur Kyoto. Di kuil ini terdapat Gifu Daibutsu, sebuah rupang Buddha berukuran 13,7 meter yang pembangunannya memakan waktu 38 tahun, dan selesai dibangun pada 1832. Daibutsu ini merupakan salah satu dari 3 daibutsu terbesar di Jepang. Dua daibutsu lainnya adalah daibutsu di Nara dan daibutsu di Kamakura.[43]
Kuil sekte RinzaiMyōshin-ji yang merupakan kuil keluarga Oda Nobunaga dan Arisugawa-no-miya. Setelah Nobunaga dan putranya, Nobutada terbunuh oleh Akechi Mitsuhide dan Peristiwa Honnō-ji, sebagian dari harta milik pribadinya dikirim oleh salah seorang istri Nobunaga, Onabe-no-kata ke kuil ini untuk disimpan. Langit-langit kuil utama Sōfuku-ji disebut "Langit-Langit Berdarah" karena dibangun dari bekas lantai Istana Gifu. Kayu-kayu bagian lantai istana yang bernoda darah dijadikan langit-langit di Sōfuku-ji.[44]
Transportasi dari dan ke Kota Gifu dilayani dua perusahaan kereta api, JR Tōkai dan Meitetsu. Dua stasiun kereta api di Kota Gifu adalah Stasiun JR Gifu dan Stasiun Gifu Meitetsu.[6] Hingga 1 April 2005, kota ini memiliki jalur trem dalam kota yang dioperasikan oleh Meitetsu.
Kota Gifu sudah memiliki jalur bus dalam kota sejak tahun 1949. Semua jalur bus melewati terminal bus di depan Stasiun JR Gifu. Jalur bus dalam kota sekarang ini dilayani oleh perusahaan swasta Gifu Bus. Perusahaan yang sama juga melayani jalur bus antarkota antara Kota Gifu dan Osaka, Kobe, Kyoto, dan Shinjuku (Tokyo), serta Shirakawa-gō melalui Seki dan Mino, dan Gujō.