Share to: share facebook share twitter share wa share telegram print page

 

Pamflet

Pamflet "Perdjoeangan Rakjat" di Yogyakarta

Pamflet atau Sebaran Lipat (atau dapat juga disebut selebaran, sebaran, risalah, tebaran[1]) adalah tulisan yang dapat disertai dengan gambar atau tidak, tanpa penyampulan maupun penjilidan, yang dicantumkan pada selembar kertas di satu sisi atau kedua sisinya, lalu dilipat atau dipotong setengah, sepertiga, atau bahkan seperempatnya, sehingga terlihat lebih kecil. Pamflet dapat pula terdiri dari beberapa lembar kertas yang dilipat atau disatukan secara sederhana sehingga menjadi sebuah buku kecil. Untuk dapat dikategorikan sebagai sebuah pamflet, UNESCO mendefinisikannya sebagai keperluan publikasi yang bisa terdiri dari 5 sampai 48 halaman tanpa sampul, bila lebih dari itu disebut buku. Disebabkan oleh biayanya yang murah dan kemudahan produksi serta distribusi, pamflet sering digunakan untuk mempopulerkan ide-ide politik dan agama, atau untuk menyebarkan berita dan promosi / iklan.

Etimologi dan sejarah

Kata pamflet dalam Bahasa Indonesia berasal dari Bahasa Inggris, yakni pamphlet. Pamphlet tanpa sampul sampai di Inggris Tengah pada tahun 1387 dengan sebutan awal pamphilet atau panflet, yang diambil dari sebuah puisi lama berjudul Pamphilus: seu de Amore (Pamphilus: Concerning Love) yang ditulis dalam Bahasa Latin. Nama Pamphilus sendiri berasal dari Bahasa Yunani yang berarti “teman semuanya”. Puisi ini sangat terkenal di masanya dengan penyebaran yang sangat luas. Konotasi modern dari kata pamflet terkait dengan isu komtemporer yang dibuat sebagai argumen kebencian mengarahkan pada terjadinya Perang Sipil Inggris; artian ini muncul pada tahun 1642.

Di Jerman, Prancis, dan Italia, pamflet biasanya memiliki konotasi negatif sebagai usaha propaganda agama atau semacamnya; terjemahan netral dari Bahasa Inggris pamphlet, termasuk “flugblatt” dan “broschüre” dalam Bahasa Jerman, serta “fascicule” dalam Bahasa Prancis. Sedangkan dalam Bahasa Romawi, pamflet dapat dikonotasikan sebagai usaha propaganda atau satire, sehingga lebih cocok diterjemahkan menjadi “brochure” (DEX online – Cautare: pamflet). Kemudian dapat disandingkan dengan kata libelle atau libellus dalam Bahasa Latin yang diartikan sebagai “buku kecil”.

Di Spanyol, “panfleto” diartikan sebagai tulisan yang jelas, atau pada umumnya agresif. Lalu diperluas menjadi tulisan propaganda politik. Tidaklah membingungkan terkait kata pamphlet dalam Bahasa Inggris, yang tidak memiliki konotasi negatif. Konotasi negatif di atas, dalam Bahasa Spanyol lebih tepat diterjemahkan sebagai “folleto”. Sebenarnya kata pamphlet ini pertama kali muncul dalam buku Philobiblon (1344) karya Richard de Bury, seorang uskup agung Durham, yang menyebutkan "..panfletos exiguos.." di bab 8. Pada abad ke-17, kata pamphlet disamaartikan dengan sekali pakai, puisi, koran, atau surat kabar (Murray's New English Dict. vii. 410).

Dengan segala contoh tersebut, pamflet sudah diproduksi secara massal, tidak seperti buku pada masa itu yang sangat terbatas produksinya.[2][3] Di Indonesia sendiri, kata pamphlet diserap ke dalam Bahasa Indonesia menjadi pamflet. Berdasarkan sejarah yang disebutkan di atas, pamflet pada awalnya berkembang di Eropa. Kemudian dibawa ke Indonesia oleh bangsa Portugis dan Belanda. Proses adaptasi ini berlangsung selama masa perdagangan abad ke-17, dan masa kolonialisme abad ke-18.

Revolusi di Eropa dan Amerika Utara

Pamflet adalah produk era Renaisans, dan juga sangat berperan pada pergolakan pada era itu. Sebelum ditemukan mesin cetak (press), pamflet sangat terbatas produksinya. Namun dengan penggunaan mesin cetak, maka pamflet dapat diproduksi dengan jumlah ribuan lembar dalam waktu singkat, begitu pula dengan literatur lainnya, yang secara masif menularkan informasi dan ide-ide pencerahan, terutama di bidang politik, sehingga mendorong terjadinya revolusi.

Revolusi Prancis adalah pemicu timbulnya berbagai revolusi di Eropa. Terkuaknya kebangkrutan pemerintahan monarki Prancis karena gaya hidup elit (borguese) yang serba mewah, mendorong diterbitkannya ribuan pamflet di antara tahun 1788 hingga awal 1789. Pamflet-pamflet tersebut banyak mengecam korupsi Raja Louis XVI dan Permaisuri Marie Antoinette. Pada Januari, 1789, Abbé Emmanuel-Joseph Sieyès's memberikan kontribusi literatur yang sangat keras berjudul “Qu'est-ce que le Tiers État?”. Literatur ini adalah adaptasi paling original dari pemikiran JJ. Rosseau mengenai isu pembentukan badan perwakilan yang sebenarnya di Prancis.

Di Amerika Utara, setelah tahun 1763, semua gerak-gerik Parlemen Inggris yang memengaruhi “Thirteen Colonies” di Amerika selalu mendapat respon tegas di pamflet maupun surat kabar. Para penulis politik saat itu percaya bahwa Parlemen Inggris sudah dipenuhi oleh orang-orang korup, yang terus merongrong konstitusi dan dapat mengancam kebebasan di Amerika. Sesudah tahun 1774, lahir implementasi Britain's Coercive Acts, yang semakin membatasi otoritas dewan koloni Massachusetts, dan memberikan maksud jelas kepada rakyat Amerika, bahwa Amerika harus bebas dari Inggris.

Terkait krisis ini, pada awal 1776, Paine Thomas menerbitkan pamflet berjudul “Common Sense” yang sangat menghebohkan. Pamflet ini membantu menyadarkan publik Amerika akan pentingnya kemerdekaan dari Inggris. Ia menganjurkan terbentuknya sebuah republik yang tegas dan menolak segala argumen yang mendukung keseimbangan konstitusi Inggris kuno di tanah Amerika. Hal inilah yang ikut mendorong seluruh rakyat Amerika untuk bersatu merebut kemerdekaan yang nyata dengan satu ide dan tujuan yang sama.

Perjuangan Kemerdekaan Indonesia

Pada tahun 1913, Indische Partij menerbitkan sebuah pamflet yang ditulis oleh RM. Suwardi Suryaningrat (atau kemudian dikenal sebagai Ki Hadjar Dewantara), yang dalam Bahasa Indonesia berjudul "Jika Saya Menjadi Seorang Belanda," yang membuatnya terkenal sekaligus dicari. Pamflet tersebut berisi hal-hal yang dianggap subversif dan kurang ajar oleh pemerintahan kolonial dan orang-orang Belanda. Pamflet ini diterjemahkan ke dalam Bahasa Melayu, yang kemudian membuatnya beserta dua orang temannya, EFE. Douwes Dekker dan Dr. Cipto Mangunkusumo (mereka dikenal sebagai Tiga Serangkai) diasingkan ke Belanda.

Pada awal kemerdekaan Indonesia, yakni tahun 1945, Sutan Syahrir menerbitkan pamflet berjudul “Perjuangan Kita” (“Our Struggle”) yang sangat berpengaruh. Pamflet tersebut mengungkapkan secara khusus keinginannya untuk melihat Indonesia menghindari suatu sistem satu partai di bawah eksekutif yang monolitik. Dia takut jika nantinya berkembang pemerintahan totaliter di Indonesia karena warisan otoritarianisme feodal yang telah hidup lama dan diperkuat oleh periode panjang pemerintahan kolonial.

Kegunaan

Literatur berbentuk pamflet sudah digunakan selama berabad-abad sebagai penggerak ekonomi serta sarana distribusi informasi yang cepat dan luas, terutama kepada pelanggan. Selain itu, pamflet juga telah menjadi alat penting bagi protes politik dan kampanye, karena alasan yang sama. Pamflet dapat menjadi bukti fisik dari sejarah kehidupan manusia, yang mampu memulai maupun menandakan perubahan zaman dalam sebuah gerakan rakyat. Hal itu dapat dilihat pada koleksi New York Public Library, the Tamiment Library of New York University, dan koleksi Jo Labadie di University of Michigan, mengenai sejarah politik Amerika.

Dalam perkembangannya, pamflet mulai berisi beragam informasi, dari informasi perlengkapan dapur sampai obat-obatan, ataupun publikasi hasil penelitian ilmiah. Wujud dari pamflet sendiri semakin beragam. Pamflet pada zaman modern juga dianggap sebagai karya seni dan patut dikoleksi. Telah diadakan lomba-lomba membuat pamflet sebagai ajang ekspresi dan kreasi di berbagai negara. Dalam dunia periklanan, pamflet adalah salah satu sarana promosi acara, jasa, dan produk, yang mudah, efektif, dan murah, sehingga masih terus digunakan sampai sekarang.

Lihat Juga

Referensi

  1. ^ Tesaurus Bahasa Indonesia. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2008.
  2. ^ Dalam Bahasa Inggris, "this leud pamflet" (Test. of Love, bk. iii.), dalam Occleve "Though that this pamfilet" (Reg. of Pr. 2060), dalam Lydgate "Whiche is a paunflet" (Minor Poems, 180), dan dalam Caxton "paunflettis and bookys" (Book of Eneydos, 1490, Prologue). Lalu pada 1495, disebutkan "this pampelet" (Test. Ebor. iv. 26).
  3. ^ Di dalam tulisan “Curiosities of Literature”, oleh Isaac D’Israeli (1766-1848), dengan mengutip tulisan Myles Davies berjudul “Icon Libellorum”, dijelaskan bahwa etimologi kata pamphlet dapat dibedakan ke dalam 4 asal. Pertama, pamflet dapat dihubungkan dengan kisah “Nine Worthies of the World, of the Seven Champions of Christendom”, oleh Tom Thumb, Valentine dan Orson, &c. Penjelasan etimologi ini dapat dilihat pada tradisi Rabbinik, Talmud, serta berkenaan dengan legenda Paus, “Lives of the Saints” yang semuanya berbentuk pamflet. Kedua, arti kata pamflet dapat dikaitkan dengan πάν, all, dan φιλέω, I love (aku cinta), menandakan sesuatu yang dicintai oleh semua orang; berbentuk kecil dan ringkas, serta murah, lalu diadaptasikan pada pemahaman dan bacaan semua orang. Ketiga, berdasarkan pemikiran Dr. Skinner dalam bukunya, “Etymologicon Linguæ Anglicanæ”, kata pamflet berasal dari Bahasa Belgia, “pampier” yang berarti kertas kecil. Keempat, pamflet berasal dari pengakuan seragam mengenai segala jenis buku kecil, baik sedikit atau banyak, disatukan dengan jahitan atau diikat, baik atau buruk, maupun yang serius atau sekadar lelucon.
  • Briggs, Asa. Sejarah Sosial Media. Yayasan Obor Indonesia. ISBN 979-461-551-X, 9789794615515.
  • Gezar, Langitantyo Tri. Pamflet: Sejarah Eropa dan Indonesia. CTD 2011 Press. ISBN 100-669-50-85.

Pranala luar

Kembali kehalaman sebelumnya