Oei Tiong Ham, Majoor-titulair der Chinezen (Hanzi: 黄仲涵; 19 November 1866 – 6 Juni 1924) adalah pengusaha Hindia Belanda berdarah Tionghoa yang merupakan putra dari Oei Tjie Sien,[2] pendiri perusahaan perdagangan multinasional Kian Gwan. Lahir di Semarang, Jawa Tengah, Hindia Belanda (kini Indonesia), ia menjadi orang terkaya di Hindia Belanda dan Timur Jauh pada awal abad ke-20. Berjuluk "Sang Raja Gula", kekayaannya bertumpu pada industri gula. Ia juga mengabdi sebagai Luitenant der Chinezen dalam pemerintahan kolonial di Semarang dan memiliki pangkat Majoor sampai purna tugasnya.[3]
Di Singapura, tempatnya ia berpindah untuk menghindari pajak dan masalah hukum waris di Hindia Belanda, ada jalan bernama Oei Tiong Ham sebagai tanda penghargaan. Taman di dekat Holland Road, juga diberikan nama Oei Tiong Ham sebagai penghargaan.[4] Julukan lainnya, "Manusia 200 Juta", berasal dari kekayaannya yang berhasil mencapai 200 juta gulden saat kematiannya pada 1924 di Singapura.
Riwayat Hidup
Kehidupan awal
Oei Tiong Ham dilahirkan pada 19 November 1866 di Semarang, Jawa Tengah sebagai anak kedua dari delapan orang anak di dalam keluarganya. Ayahnya, Oei Tjie Sien, adalah seorang pengusaha totok yang berasal dari daerah Tong An di Fujian, Tiongkok. Walaupun mapan, keluarga Oei bukanlah bagian dari kalangan Cabang Atas Peranakan, yang adalah elite tradisional Tionghoa di Hindia Belanda..[1][5] Ibunya, Tjan Bien Nio, adalah seorang Peranakan kelahiran Jawa dari keluarga menengah.[5]
Oei Tiong Ham melakukan ekspansi bisnis ayahnya, Kian Gwan, menjadi Oei Tiong Ham Concern (OTHC), perusahaan konglomerat terbesar di Asia Tenggara pada awal abad ke-20.[5]
Karier
OTHC merupakan kelanjutan dari perusahaan perdagangan Kian Gwan yang dibentuk 1863 oleh Oei Tjie Sien, ayahnya.[5][6]
Pada 1893, Oei mengambil alih usaha Kian Gwan dari ayahnya, dan kemudian berkembang menjadi Handel Maatschappij Kian Gwan.[5] Di bawah Oei, perusahaan ini mengalami diversifikasi bisnis dan menjadi perusahaan besar di Asia Tenggara. Pada saat Oei mengambil alih Kian Gwan, perusahaan itu berfokus pada perdagangan khususnya kapuk, karet, gambir, tapioka, dan kopi. Tambahannya lagi perusahaan ini juga menyelenggarakan jasa gadai, pos, penebangan, dan juga yang paling menguntungkan, perdagangan opium. Diperkirakan antara 1890 dan 1904, Kian Gwan meraup untung sekitar 18 juta gulden dari perdagangan opium yang menjadi peletak dasar pendirian kerajaan bisnis itu.
Berkembang
Strategi awal Oei adalah membangun dominasi pasar opium yang menjanjikan jelang akhir abad ke-19.[7][8] Prestasi ini menjadi luar biasa mengingat monopoli perdagangan opium semula dikontrol oleh perusahaan yang lebih tua dan mapan serta dekat dengan Cabang Atas.[5] Kebangkrutan salah satu perusahaan itu pada 1889 membuat Pemerintah Kolonial turun tangan melelang petani candu baru.[7][8]
Pelelangan itu pun menjadi ajang kompetisi, sebagaimana disebutkan oleh pujangga Boen Sing Hoo dalam Boekoe Sair Binatang (terbit 1895) sebagai "peperangan diantara radja-radja".[7][8] Hal ini memberikan Oei dan Kian Gwan peluang membangun dirinya sendiri sebagai pemain utama. Puisi Boen menyebut capaian Oei, sebagai Anak Sapi, berhasil mengalahkan kemitraan dengan Batavia yang dipimpin Kapitein Loa Tiang Hoei (Boeaja Emas) dan Kapitein Oey Hok Tjiang.[7][8]
Menjadi konglomerat
Kian Gwan pun berpindah dari perdagangan opium ke industri gula.[5][8] Tak seperti orang Tionghoa sezamannya, Oei banyak menggunakan penandatanganan kontrak bisnis. Meski tidak populer di kalangan Tionghoa, model bisnisnya dapat memberikan perlindungan hukum untuk memperoleh jaminan atas pinjaman yang ia berikan. Debiturnya kebanyakan pemilik pabrik gula di Jawa Timur. Bila pabrik-pabrik itu tak mampu melunasi pinjamannya akibat krisis gula pada dekade 1880-an, ia menggunakan haknya sebagai kreditur. Ia pun mengakuisisi lima pabrik gula. Gula menjadi tulang punggung Kian Gwan selama berpuluh-puluh tahun.
Kian Gwan juga mengintegrasikan ladang tebu, pabrik gula, jalur pelayaran, bank, dan perusahaan terkait.[5] Jejaring terintegrasi ini menurut James R. Rush, berbeda dengan kerajaan bisnis opium, dan juga perusahaan Tionghoa lainnya, karena pesaing utamanya bukanlah sesama Tionghoa melainkan perusahaan dagang Eropa.[5] Perusahaan Oei juga menjadi peletak batu pertama dalam mempekerjakan orang-orang profesional, daripada merekrut anggota keluarga Tionghoa sebagai pegawai. Keluarganya hanya mengelola kepemilikan perusahaan Kian Gwan.[5]
Selama periode 1890-an hingga 1920-an, OTHC tumbuh dan berkembang dengan pesat. Punya cabang di London, Amsterdam, Singapura, Bangkok, dan New York, mendirikan bank dan perusahaan pelayaran dan juga ritel. Dari semua konglomerasi Tionghoa di Asia praperang, OTHC adalah yang terbesar, bahkan lebih besar daripada "Lima Besar" perusahaan dagang Belanda yang mendominasi perdagangan internasional di Hindia Belanda. OTHC juga kuat dalam perdagangan internasional, khususnya di Tiongkok. Strateginya adalah memberikan keuntungan bagi pasar dunia dari komoditas buatan Hindia Belanda.
Pada 1912, Kian Gwan, cabang dagang dari konglomerasi tersebut kemudian disuntik modal 15 juta gulden, dua kali lipatnya dari perusahaan Belanda Internatio.
Pascaperang Dunia I, permintaan pasar dunia untuk gula pasir Jawa sangat tinggi, dan memberikan kesempatan bagi pemilik dan pialang industri gula, tetapi keuntungan yang didapat anjlok selama beberapa hari. Oei mengikuti kebijakan yang hati-hati selama masa-masa ledakan itu. Ia tidak banyak berspekulasi dan mengambil langkah untuk meningkatkan administrasi keuangannya. Oei banyak merekrut akuntan profesional untuk mengelola keuangan pabrik gula. Dengan strateginya yang waspada dan independen, perusahaan ini berhasil bertahan dari krisis gula, sedangkan perusahaan Tionghoa lainnya justru binasa.
Di samping menggunakan persetujuan tertulis dan sistem akuntansi modern, praktik bisnis Oei juga berbeda dengan bisnis Tionghoa lainnya pada saat itu. Alih-alih menggunakan keluarganya untuk menjalankan bisnis, ia justru memilih pihak lain seperti dewan direksi, manajer, dan teknisi berkebangsaan Belanda untuk menjalankan usahanya.
Pada 1920, Oei pindah dari Semarang ke Singapura guna menghindari pajak dari Pemerintah Kolonial. Memiliiki delapan istri sah dan 26 anak (13 putra dan 13 putri) dari perkawinan sah, warisan menjadi masalah penting. Ia pun membagi-bagi kekayaannya kepada putri-putri dan juga beberapa putranya. Delapan orang putranya adalah pewaris yang sah dan mereka mendapatkan masing-masing 200 juta gulden. Karena hanya dua yang sudah beranjak dewasa, Oei Tjong Swan dan Oei Tjong Hauw, suksesi sepertinya tidak menjadi masalah.
Di Indonesia, OTHC justru berakhir karena Pengadilan Niaga menyita dan menasionalisasi seluruh aset OTHC di Indonesia termasuk pabrik gula dan ladang tebu. Untuk mengelola aset tersebut, Pemerintah membentuk badan usaha milik negara yang bernama PT PPEN Rajawali Nusantara Indonesia. Cabang-cabang di luar Indonesia berubah menjadi perusahaan independen yang dijalankan oleh putra-putra Oei.
Kematian
Pada 1924, Oei meninggal mendadak di Singapura dan jenazahnya dibawa ke Semarang.[10]
Oei Hui-lan (kemudian bernama Madame Wellington Koo karena menikah dengan V.K. Wellington Koo), putri kedua Oei dari istri kedua, menduga bahwa ayahnya diracun sampai meninggal oleh Lucy Ho, gundiknya saat kematiannya. Jasad Oei dikapalkan ke Semarang dan dimakamkan di samping makam ayahnya.
Kehidupan pribadi
Menurut autobiografi Oei Hui-lan, No Feast Lasts Forever, Goei Bing Nio (Hanzi: 魏明娘; Pinyin: Wèi Míngniáng) dipilih oleh ibu Oei Tiong Ham sebagai istrinya dan menikah pada usia 15 tahun. Dari pernikahannya itu, lahir dua putri, Oei Tjong-lan dan Oei Hui-lan. Oei Tiong Ham juga memiliki 18 gundik yang diakui.
Salah satu saudara perempuan Goei Bing-nio tidak mampu menghasilkan keturunan sehingga ia mengangkat dua anak perempuan dari saudara laki-laki suaminya. Anak-anak itu menjadi gundik Oei Tiong Ham. Yang paling muda, Lucy Ho (atau Hoo Kiem Hoa), pindah ke Singapura bersama Oei Tiong Ham sampai akhir hayatnya. Salah satu putra Oei Tiong Ham dari Lucy Ho menikah dengan cucu Oei Tiong Ham (putri Oei Tjong-swan, salah satu putra Oei Tiong Ham yang tidak lahir dari rahim Lucy Ho).
Oei Tiong Ham Park, jalan di Bukit Timah, dinamai berdasarkan namanya.
Keluarga
Istri
Anak perempuan
Anak laki-laki
Goei Bing Nio
Oei Tjong-lan (Madame Kan Teng Liang)[11]Oei Hui-lan (atau Madame Wellington Koo).
-
The Khiam Nio
Oei Djoe Nio
-
The Tjik Nio
Oei Hwan Nio
Oei Oen Nio
Oei Liang Nio
Oei Siok Kiong Nio
Oei Tjong Tee (menikah dengan Lauw Im-Nio)
Oei Tjong Swan
Oei Tjong Yoe (menikah dengan Fientje Dunk)
Oei Tjong Tiong (menikah dengan Lim Chit-Geck)
Oei Tjong Liam (menikah dengan Lie Pian-Nio)
Ong Tjiang Tjoe Nio
Oei Sioe Kiong Nio
Oei Bien Nio (Mrs. Yeap Hock-Hoe)
-
Ong Mie Hoa Nio
Oei Swat Nio
Oei Tjong Hauw (menikah dengan Bhe Hien-Nio)
Oei Tjong Tjiat (menikah dengan Berdina Van Betuwe)
Oei Tjong Yan
Oei Tjong Ik (menikah dengan Leonie Antoinette Livain)
Njoo Swat Ting Nio
Oei Siok Ing Nio
-
Ho Kiem Hoa Nio (alias Lucy Ho);
pindah ke Singapura bersama Oei hingga Oei meninggal.
Oei Twan Nio
Oei Tjong Ie (menikah dengan Maria Suzanna Mathysen)
^ abHwee Hoon, Lee. "Oei Tiong Ham". Singapore Infopedia. Singapore National Library Board. Diakses tanggal 9 May 2015.
^Rush, James R. (2007). Opium to Java : Revenue Farming and Chinese Enterprise in Colonial Indonesia, 1860-1910 (edisi ke-1st Equinox). Jakarta: Equinox Publishing (Asia) Pte Ltd. ISBN978-9793780498.
K. Yoshihara, The Rise of Ersatz Capitalism in South East Asia, (Singapore: Oxford University Press, 1988)
Ong Hok Ham, The thugs, the curtain thief, and the sugar lord: power, politics, and culture in colonial Java, Metafor, Jakarta (2003), ISBN 979-3019-11-5ISBN 978-979-3019-11-6