Musim Dingin Arab[1][2][3][4][5] adalah istilah yang menjelaskan bangkitnya otoritarianisme dan ekstremisme agama[6] setelah unjuk rasa Musim Semi Arab di negara-negara Arab.[7] Menurut akademisi Universitas Warsawa, Musim Dingin Arab baru terjadi empat tahun setelah Musim Semi Arab.[8] Musim Dingin Arab ditandai oleh munculnya sejumlah perang saudara regional, ketidakstabilan kawasan,[9] jatuhnya ekonomi dan demografi negara-negara Arab,[10] dan pecahnya perang sektarian etnis-agama.[11] Menurut penelitian American University of Beirut, pada tahun 2014, Musim Dingin Arab menyebabkan seperempat juta orang tewas dan jutaan lainnya mengungsi.[12]
Menurut Moshe Dayan Center for Middle Eastern and African Studies, pada bulan Januari 2014, kerugian yang dipicu oleh Musim Dingin Arab di seluruh kawasan Arab mencapai kurang lebih 800 miliar dolar Amerika Serikat.[10] Sekitar 16 juta orang di Suriah, Mesir, Irak, Yordania, dan Lebanon diperkirakan membutuhkan bantuan kemanusiaan pada tahun 2014.[10]
Menurut The Economist, Malta "mendapat untung" dari Musim Dingin Arab karena wisatawan yang biasanya berlibur ke Mesir atau Tunisia beralih ke tempat-tempat alternatif yang lebih aman.[23]
Kekacauan politik dan kekerasan di Timur Tengah dan Afrika Utara menyebabkan perpindahan penduduk besar-besaran di kawasan tersebut.[24] Akibatnya, "orang-orang kapal", termasuk pengungsi dalam negeri, pencari suaka, dan pengungsi yang sebelumnya menetap di Libya mulai bergerak menuju Uni Eropa.[25] Upaya penduduk Libya dan Tunisia untuk mencari perlindungan dengan menyeberangi Laut Mediterania membuat para politikus dan penduduk Eropa khawatir. Mereka khawatir bahwa para pengungsi akan "membanjiri" pesisir pantai mereka dalam jumlah besar. Peristiwa ini memicu perumusan undang-undang dan pelaksanaan program patroli perairan untuk menangani kapal pengungsi.[25]
^Ahmed H Adam and Ashley D Robinson. Will the Arab Winter spring again in Sudan?. Al-Jazeera. 11 June 2016. [2] "The Arab Spring that swept across the Middle East and succeeded in overthrowing three dictatorships in Tunisia, Egypt and Libya in 2011 was a pivotal point in the history of nations. Despite the subsequent descent into the "Arab Winter", the peaceful protests of young people were heroic..."
^Radoslaw Fiedler, Przemyslaw Osiewicz. Transformation processes in Egypt after 2011. 2015. p182.
^"In Mali AQ achieved to infiltrate and take over Tuareg insurgency. If AQ succeeds to keep the Arab Spring countries destabilized, this will lead to a viral reproduction of Azawad scenario. AQ is the "Islamic Winter"." [3]Diarsipkan 2017-10-09 di Wayback Machine.
^“Displacement in the Middle East and North Africa: Between an Arab Winter and the Arab Spring”. "In the midst of ongoing uprisings, violence, and political turmoil, widespread population displacement took place as a result of the conflict in Libya, the violence in Syria and upheaval in Yemen. In each of these contexts, the new waves of displacement took place in or to areas already struggling with previous waves, leading to multi-layered and complex crises."[4]Diarsipkan 2017-10-09 di Wayback Machine.