Johannes Jacobus Wilhelmus Eliza Verstege
Johannes Jacobus Wilhelmus Eliza Verstege (4 Juli 1836 – 2 September 1890) adalah penulis, letnan kolonel yang berdinas di Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger, dan ksatria Militaire Willems-Orde. KarierVerstege mengecap pendidikan di Koninklijke Militaire Academie dan pada tanggal 11 Juli 1856 berpangkat letnan dua lalu ditugaskan ke Hindia Timur. Ia pergi pada tanggal 22 Desember pada tahun itu juga sebagai ko-pimpinan detasemen pasukan pelengkap (110 bintara dan pasukan) di bawah komando LetTu. Johannes Cornelis Hamakers dengan menumpangi Eline Susanna. Ko-pimpinan lainnya adalah LetDa. JN. Maquine dan perwira kesehatan kelas III HG. Bakker. Pada pukul 20.00 pada hari ke-12, prajurit Grune memperingatkan komandan bahwa dalam detasemen itu (17 orang Belanda dan tak lebih dari 93 prajurit asing) sedang dibuat rencana dan dalam 1 jam akan pecah pergolakan; para perwira, kapiten, dan banyak lagi lainnya akan dibunuh; para pemberontak akan mengambil alih kapal dan kargo serta mengarahkannya ke pelabuhan di Amerika Selatan. Pergolakan pecah dan dalam laporannya, sang komandan khususnya memuji tindakan heroik dan bersemangat LetDa. Verstege; antara lain, kepadanya, maka ia menulis, kita harus bersyukur kepada Tuhan tak hanya karena keselamatan hidup kita, tetapi juga kapal dan kargo kita. Perang BanjarSetelah datang di Hindia Belanda, Verstege ditempatkan di Batalyon Infanteri VII. Lalu, ia dipindahkan ke Batalyon IX dengan ketentuan ia akan meneruskan kedudukan ajudannya di Batalyon XI. Pada tahun 1859, ia naik pangkat sebagai letnan satu dan pada tanggal 1 Juni dikirim ke Banjarmasin, yang saat itu sedang mengalami pergolakan dan pembunuhan di Kalangan dan sekitarnya, lalu menyebar ke sebagian besar Kalimantan. Awalnya menyerbu ke Muning, Tapin, kemudian karena mengalami nasib buruk, pimpinan ekspedisi Gustave Marie Verspyck berencana membawa pasukannya keluar menuju Tanah Laut pada tanggal 10 Desember. Pada dasarnya, rencana telah dibuat untuk menyerbu Tanah Laut dari 3 penjuru. Sebuah pasukan bertolak dari Martapura ke Pelaihari, lainnya masuk dari Talok, sementara sebuah kapal barkas bersenjata beroperasi sepanjang sungai di Swarangan. Untuk tujuan itu, May. Gustave Verspyck pergi ke kapal Boni bersama sebarisan pasukan, 100 bayonet yang kuat (di bawah pimpinan Graas), 3 penumbuk dan 1 mortir lempar dengan staf (dipimpin oleh George Frederik Willem Borel), 1 detasemen yang terdiri atas 7 sapper dan ratusan pembawa pasungan (di bawah pimpinan mandor Koeler). Pada pukul 8.00 mereka diberangkatkan dan tiba 7,5 jam kemudian di Gunung Talok. Ombak besar menyebabkan pendaratan tidak mungkin. Regu prajurit itu akhirnya mendarat di Tabanio pada pk. 18.30 dan bergerak sepanjang pesisir itu menuju Talok dengan mengandalkan cahaya bulan. Kampung Pagatan Kecil dan Pagatan Besar dilewati. Mendekati Talok (sekitar pk. 21.30), mereka menemukan sebuah permukiman yang terbakar; tahulah mereka pejuang Banjar mendirikan gardu dekat situ. G.M. Verspyck mengirim seorang sersan dengan 10 prajurit menyisir hutan untuk mengepung permukiman itu, dan di saat yang sama, Verstege dapat maju di jalan yang sama sepanjang pantai, sehingga mencegah tibanya musuh. Pengepungan itu hampir berhasil, hingga seorang fusilier pribumi menembakkan peringatan sebelum waktunya dan para penduduknya melarikan diri. 3 tubuh terkapar akibat tembakan silang Belanda. Di dalam rumah-rumah itu, mereka menemukan banyak senapan, ganjur, dan parang, di samping itu gudang kecil berisi mesiu dan amunisi. Untuk mencegah larinya para buronan ke Pelaihari, prajurit itu mencoba mendekati, dan Verspyck mencoba berbaris malam itu juga. Namun, kegelapan di hutan lebat dan tanah yang berawa menghalangi mereka dan 3 penumbuk untuk menembus hutan pertama. Kemudian, Verspyck kembali ke Talok dan meninggalkan bivak di sana. Besoknya, mereka mencapai Banua Tengah pada pk. 10.00 dan 5,5 jam kemudian di Kalampayan. Sepanjang perjalanan, mereka berjumpa sekawanan kerbau, tetapi tidak ada musuh.[1] Di tanggal 3 Maret 1862, Verstege juga mengiringi perjalanan Sultan Hidayatullah II beserta keluarganya dari Banjarmasin menuju Batavia sebelum diasingkan ke Cianjur.[2][3] Verstege tetap di sini hingga tahun 1863. 3 tahun sebelumnya, ia awalnya diangkat sebagai ajudan di Batalyon IX dan kemudian kontrolir kelas III sementara di daerah Kuin. Berdasarkan Surat Keputusan no. 82 tanggal 18 Februari 1861, ia diangkat sebagai ksatria di Militaire Willems-Orde: atas penghargaan untuknya yang sejak awal ekspedisi di Daerah Kalimantan Tenggara, juga pendaratannya di Sungai Kapuas pada tanggal 28 April 1860 pantas dihargai.[4] Oleh para atasannya Hendrik Willem van Oijen dan Schiff serta pimpinan ekspedisi Augustus Johannes Andresen dan Verspyck, Verstege dipuji-puji dalam berbagai kesempatan atas keberaniannya, perilakunya yang bijaksana dan komandonya yang brilian kepada prajuritnya. Pada bulan Februari 1861, Verstege diberhentikan secara hormat sebagai ajudan di Batalyon IX; pada tanggal 26 Agustus pada tahun itu juga, ia dikirim bersama Syarif Abdul Rahman dengan kapal Boni dalam sebuah komisi ke Pulau Laut untuk menyelidiki dan menyelesaikan sengketa antara pemimpinnya Pangeran Abdul Kadir dan penduduk pulau tersebut. Mereka juga bertugas menangkap seorang Bugis dari Batulicin bernama Wang Makata yang tinggal di Pemancingan. Hal itu dilakukan untuk mencegah musuh memperkuat diri. Misi itu dapat diselesaikan dengan baik.[5] Karier militer selanjutnyaVerstege kemudian diberikan tugas berkenaan dengan penyusunan Politiek verslag van de residentie Zuider– en Oosterafdeling van Borneo over 1859 (Laporan Politik Karesidenan Kalimantan Tenggara tahun 1859), yang untuk pertama kalinya, setelah mengadakan penyelidikan dan analisis pribadi yang mendalam, struktur dan keadaan politik yang berkaitan dengan wilayah tersebut disusun. Di depan ia terkesan keras namun adil dalam bersikap kepada masyarakat, suatu promosi kuat atas kepentingannya dan pemeliharaan atas kebijakan yang tepat. Pembangunan jembatan dan jalan sangat dianjurkan oleh Verstege, yang di bawah perintahnya, hasil panen melimpah ruah dan sekolah untuk pribumi dibangun; pada tahun 1863, dibangunlah sekolah negeri pertama untuk pribumi di Banjarmasin atas perintahnya. Yang terpenting, ia menghapuskan pandelingschap (penahanan atas orang yang tidak mampu membayar pinjaman) secara bertahap. Di akhir tahun 1864, ditempatkan di Departemen Militer, dengan syarat ia akan dipindahkan ke Batalyon IX sebagai à la suite. Pada bulan September 1866, ia diangkat sebagai kapiten dan menerima cuti 2 tahun ke Belanda akibat sakit di saat itu. Sekembalinya ke Hindia Belanda pada bulan Juni 1869, ia ditempatkan di Batalyon XI dan pada bulan Agustus 1870, dipindahkan ke Batalyon X. Di saat itu, ia menjadi sekretaris Buitenzorgse Wedloop-Sociëteit. 2 tahun kemudian, ia dipindahkan ke Batalyon XI. Setelah kekalahan di Aceh pada tahun 1873, ia ditempatkan di Badan Perlengkapan Perang yang baru didirikan dan ditunjuk sebagai kepala staf Brigade III (dalam Batalyon X) yang bertugas selama Perang Aceh Kedua. Namun, Verstege tidak pergi ke Kesultanan Aceh; suhu yang tak bersahabat mencegahnya. Pada tahun 1874, ia dipindahkan dengan kader subsisten ke Batavia (kini Jakarta) dan pada bulan November diangkap sebagai mayor. Sebulan kemudian, ia diangkat sebagai ketua Divisi II di Departemen Perang, berlanjut sebagai ketua biro pertama divisi tersebut.[6] Bersama dengan Kol. EHW. Ubkens dan LetKol. Karel Lodewijk Pfeiffer, ia adalah bagian dalam komisi pemilihan esai menarik di Militair Tijdschrift; akhirnya terpilihlah artikel De Indische Brigade. Pada tahun 1876, Verstege menerima cuti 2 tahun ke Belanda karena sakit. Ia naik pangkat sebagai Letnan Kolonel dan tak lama kemudian menerima pemberhentian secara hormat dari dinas militer dengan tetap mempertahankan hak pensiun. Konflik atas politik AcehKerja di tengah BurgerplichtVerstege kembali ke Belanda. Berkaitan dengan pengajuan pengurangan angkatan bersenjata di Aceh oleh sebuah komisi beranggotakan sejumlah besar perwira, termasuk Verstege, sebuah petisi ditujukan kepada Raja Willem III, tetapi langkah ini ditolak. Di samping Verstege, penanda tangan pidato tersebut antara lain Jend. Verspyck, Karel van der Heijden, Graf Menno David van Limburg Stirum, mantan komandan KNIL C.F. Schimpf, pensiunan laksamana madya PA. van Rees dan jhr. François de Casembroot, mantan ketua Dewan Hindia jhr. W. van Rappard dan mr. G.G. van Harencarspel, profesor mr. C.W. Opzoomer dari Universitas Utrecht, Dr. Christophorus Buys Ballot dan mr. J. de Louter. Di samping itu, ada pula pensiun MayJend. Gerardus Petrus Booms dan pensiunan May. Willem Adriaan van Rees, anggota Algemene Rekenkamer. Antara lain yang tertulis dalam petisi itu adalah: Tidak, tinggalkan di mana kepentingan kekuasaan kita di Hindia, tugas dan kehormatan tetap perlu ada, tempat kita setia, adil, dan toleran namun dengan kekuatan dan tekanan yang membawa ke tujuan yang sama akan membuat kita tidak bisa selamat di luar Aceh, kita tidak bisa! Seharusnya kita tidak! Kita ingin tetap setia pada slogan lama: Je maintiendrai.[7] Setelah lukisan Samalanga diterbitkan pada tahun 1883, Verstege menulis Het Samalangan-schilderij in Amsterdam, beschouwd in haar wordingsgeschiedenis, haar waarde en betekenis, vooral voor het Nederlands-Indische leger (Lukisan Samalanga di Amsterdam, Tampak dalam Sejarah Awalnya, Nilai dan Artinya, Terutama untuk Tentara Hindia Belanda) di koran. Ia mengutip antara lain Jan Pieterszoon Coen mengenai peringatan terhadap pengurangan pasukan dalam jumlah besar: Melalui pengalaman, tuan-tuan harus tau, bahwa di Hindia perdagangan harus diselenggarakan dan dilanjutkan di bawah perlindungan dan dukungan senjata Anda sendiri, dan senjata harus diberi makan dengan laba, di mana kita menikmati perdagangan, agar perdagangan tetap tidak dapat bertahan tanpa peperangan, peperangan tidak dapat bertahan tanpa perdagangan. [8] Pada pk. 7.30 pada hari Selasa, 27 Januari, Verstege maju sebagai pembicara dalam perkumpulan terbuka pemilihan elektoral Burgerplicht. Slogan pidatonya adalah seruan kepada rakyat Belanda dan topik atas posisi Belanda di Aceh.[9] Pidato itu diterbitkan pada tahun yang sama dengan judul Een beroep op het Nederlandse volk inzake het Atjeh-vraagstuk (Seruan kepada Rakyat Belanda Berkaitan dengan Masalah Aceh; De Bussy), dan memuat lampiran dengan data penilaian pengurangan angkatan perang Hindia. Pidato dan publikasinya menimbulkan dampak mendalam dan disusul dengan pleidoi serupa dalam Nieuws van de Dag oleh Von Schmidt auf Altenstadt, seorang pensiunan kapitein-ter-zee, (12 Februari, Een voorname zo niet eerste plicht, dubbel aanbevolen ten opzichte van Atjeh/Sebuah Pendahuluan, Jika Bukan Tugas Pertama, Usulan Ganda Terkait Aceh) dalam Algemeen Handelsblad tanggal 23 April oleh Ampien (Uit Atjeh/Dari Aceh). Publikasi paling berpengaruh terkait dengan seruan Verstege datang dari Kapt. Wouter Cool dan juga diterbitkan di Algemeen Handelsblad (25 Maret 1886) dan Militaire Spectator (2 kali dengan judul: Het Atjeh-vraagstuk/Masalah Aceh). Artikel panjang itu merupakan pembahasan atas selebaran Verstege; ada pula artikel karya 2 gubernur sipil, Jend. Van der Heijden, Abraham Pruijs van der Hoeven dan Philip Franz Laging Tobias. Dengan cara yang tak mengindahkan moral, kebijakan Pruijs van der Hoeven dibelejeti: hingga kepercayaan diri yang besar itu terkikis, berhubungan dengan penghinaan lawan-lawannya, terlalu banyak desakan atas pendapat yang pernah dipahami, dipasangkan dengan optimisme berlebihan dan-tak kurang pentingnya-sikap acuh tak acuh sama sekali atas jabatan dan seruan kepada pasukan, dalam 2 tahun kerja keras oleh pendahulunya dengan mengorbankan tahun-tahun perjuangan, aliran darah dan mendapatkan berton-ton emas. Artikel itu merugikannya; Cool hampir keluar dari karier militernya. Petisi 100Pada tahun yang sama, Verstege menjadi calon dalam perhimpuan elektoral Burgerplicht di daftar kandidat yang diusulkan untuk Dewan Perwakilan namun tak terpilih dengan 7 suara. Pada tahun 1887, ia diangkat sebagai anggota pengurus Indisch Genootschap. Pada tanggal 3 Maret, dikirimkanlah Petisi 100 kepada raja, yang salah satu penanda tangannya adalah Verstege dan juga tokoh-tokoh seperti LaksMa. Francois de Casembroot, Jend. Verspyck, Prof. Buys Ballot, Jend. Willem Jan Knoop, Mr. N.G. Pierson, LaksMa. Frederik Alexander Adolf Gregory, LaksMa. Willem Karel van Gennep dan Prof. Pieter Johannes Veth. Awalan petisi itu adalah sebagai berikut: Yang Mulia, yang bertanda tangan, militer, dan warganegara dari berbagai pangkat dan semuanya bersatu dalam kecintaannya atas tanah air dan demi keagungan mahkota Anda. Mereka menatap dengan kesedihan yang pahit dan belasungkawa yang meningkat menyaksikan keadaan yang tak menguntungkan di mana Hindia Belanda terus-terusan mengalaminya. Hingga sekarang, tanda itu masih jelas menampakkan kesewenang-wenangan pemerintahan, yang sangat banyak membuat kesan paling menyakitkan. Petisi itu diakhiri dengan kata-kata: kami meminta kepada Yang Mulia dengan doa, sudilah Yang Mulia menghentikan kehancuran pasukan dan armada di Hindia Belanda yang mengerikan melalui penguatan material dan personel yang banyak sebagaimana yang nyata diperlukan untuk menunaikan tugas, pada jejak langkah masa lalu yang jaya di Belanda sebagai kekuatan kolonial yang memastikan perdamaian dan masa depan kekuatan kolonialnya.[10] Ketika pertemuan Aceh tidak mencapai tujuannya, Verstege membuat rencana untuk petisi umum di Staten-Generaal. Ia membagikan rancangan petisinya yang menyeluruh dalam selebarannya Geloven en hechten wij nog aan onze volkseer? (Masih Percaya dan Setujukah Kita pada Kehormatan Bangsa Kita) pada tahun 1887. Pada hari Kamis, 26 Januari 1887, ia menyampaikan pidato berjudul Een terugblik op Romeins en Frans Algerië als bijdrage ter vergelijking en beoordeling van sommige handelingen en tijdperken uit onze Atjeh-krijg (Kenangan atas Romawi dan Aljazair Prancis sebagai Sumbangan pada Perbandingan dan Penilaian Beberapa Tindakan dan Masa dari Perang Aceh Kita) dalam pertemuan Koninklijke Vereniging ter Beoefening van de Krijgswetenschap. Kemudian, masih pada tahun itu, ia menerbitkan selebaran tentang komisi beri-beri (pertentangannya dengan mantan ajudan GubJend. James Loudon yang bernama Johannes Isaak de Rochemont). Pada tahun kematiannya, bukunya yang berjudul Militair historische terugblik bij de 75 jarige gedenkdag van Waterloo: De historische oorsprong en betekenis, de grondslagen en het doel van Legioen van Eer, IJzeren Kruis en Militaire Willems-Orde (Kenangan Sejarah Militer di Hari Peringatan ke-75 Waterloo: Asal-Usul dan Arti Bersejarah, Pendirian dan Tujuan Legiun Kehormatan, Salib Besi dan Orde Militer Willem) diterbitkan. Buku itu ditutup dengan kata-kata: Orang-orang yang terlatih baik dalam jumlah yang cukup dari semua lapisan rakyat adalah penting. Izinkan semua yang terlenakan oleh perdamaian dan kesejahteraan mempelajari kata-kata Raja Willem I, yang ditujukan kepada rakyatnya sesaat sebelum Waterloo: kalian semua, rakyatku! Yang menghuni daerah ini, bukalah hatimu untuk iman dan harapan![11] Tahun-tahun terakhirVerstege adalah anggota pengurus Koninklijke Vereniging het Ereteken voor Belangrijke Krijgsbedrijven dan setelah meninggal, kedudukannya sebagai anggota kehormatan digantikan oleh Verspyck. Di samping itu, ia juga pimpinan utama ikatan anti-penggantian dinas. Ia meninggal pada usia 56 tahun setelah sakit parah di waktu yang singkat. Ia berteman dengan Kapt. Cool, Kapt. Van Daalen, Kol. George Frederik Willem Borel dan saudara iparnya Verspyck. Verstege dimakamkan di Algemene Begraafplaats Kerkhoflaan dengan penghormatan militer yang pantas. Upacara diselenggarakan di bawah komando LetKol. Rudolph Paul Verspyck dari kesatuan pemburu. Ujung-ujung kain kafannya dipegang oleh Kol. Louis Guillaume Diepenheim, Overste Michael Théophile Hubert Perelaer, May. Josephus Fredericus Dominicus Bruinsma dan Overste Jules Laurant le Bron de Vexela dari resimen grenadier dan pemburu. Di antara yang hadir adalah Jend. Booms, Knoop, Verspyck, Van der Heijden dan Klerck. May. Gerard de Wijs memberikan pidato terakhir. 42 karangan bunga menghiasi batu nisannya.[12] Bibliografi
Rujukan
|