Johannes EmdeJohannes Emde (1774-1859) adalah salah seorang penginjil Jerman yang bekerja di Indonesia.[1] Ia menjadi salah satu pendiri dari gereja-gereja di Jawa Timur.[1] Di Surabaya ia diberi julukan "Santo Surabaya".[1] Riwayat singkatJohannes Emde lahir di Arolsen, Jerman pada tahun 1774 dan meninggal pada tahun 1859.[1] Di Indonesia Emde tinggal di Surabaya dan menikahi seorang perempuan Jawa di sana dari kalangan keraton Solo.[1][2] Ia mempunyai latar belakang pietisme yang kuat.[2] Meskipun menghormati masyarakat Jawa, Emde justru berusaha menjauhkan orang-orang yang diinjilinya dari budaya Jawa maupun agama Islam[2] PekerjaanPenginjilan yang dilakukan oleh Emde dilakukan dengan meminta anak-anak yang menyebarkan Injil Markus terjemahan Bruckner kepada orang yang bisa membaca di pasar Surabaya.[3] Salah satu orang yang menerima Injil Markus ini adalah seseorang yang bernama Kyai Midah asal Madura.[3] Buku Injil ini menjadi bahan percakapan dengan teman-temannya karena buku ini sangat berbeda dan mengundang keingintahuan.[3] Emde melengkapi pengetahuan masyarakat setempat tentang kekristenan dan mengingatkan bahwa orang Kristen itu harus dibaptiskan.[3] Hal ini merupakan hal yang baru karena sebelumnya Coenrad Laurens Coolen tidak memberitahukan hal ini.[3] Setelah mendapatkan pengajaran agama Kristen dari Emde, Kyai Midah dan teman-temannya menerima baptisan dari Pdt. A.W. Meijer di Gereja Prostestan Surabaya.[3] Mereka dibaptiskan pada tanggal 12 Desember 1843.[3] Pengetahuan Emde tentang kekristenan dapat dikatakan dangkal.[3] Oleh karena itu, Emde memutuskan para pengikutnya dari budaya Jawa melalui beberapa larangan dan keharusan.[3] Dengan demikian, jemaat Kristen Emde berbeda dengan jemaat Coolen.[3] Jemaat Emde disebut dengan Kristen Landa karena perilaku budaya mereka diatur menurut budaya orang Belanda.[3] Penerjemahan AlkitabEmde dan saudara-saudara seimannya juga mulai prihatin terhadap Alkitab Leydekker yang sulit dibaca. Sedikit demi sedikit mereka menyadurnya kembali dalam kata-kata yang lebih mudah dipahami. Naskah revisi mereka lalu diteliti di Jakarta oleh Ds. D. Lenting, seorang pendeta Belanda, dan Walter Henry Medhurst, seorang utusan Injil Inggris. Hasil usaha bersama itu adalah suatu Perjanjian Baru lengkap, yang diterbitkan di Jakarta pada tahun 1835. Inilah yang dianggap Perjanjian Baru yang pertama-tama dicetak dalam bahasa Melayu Rendah. Orang-orang Kristen di Surabaya itu bukan hanya menyiapkan terjemahan tersebut melainkan juga mengongkosinya. Walaupun ada banyak kekurangannya, namun terjemahan baru itu cukup laris: Pada tahun 1848 persediaannya sudah habis. Perkumpulan Surabaya itu juga menyediakan Kitab Mazmur dengan cara yang agak sama seperti yang mereka pakai untuk Kitab Perjanjian Baru.[4][5] Referensi
Pranala luar
|