Istana Korea adalah arsitektur Korea yang berupa istana-istana kerajaan yang dibangun pada masa kuno di Korea.[1][2][3] Walaupun rancangan ibu kota dan istana Korea mengikuti prinsip-prinsip Cina kuno, tetapi Korea yang telah mengembangkan budaya independen selama 2000 tahun menghasilkan perbedaan-perbedaan yang tidak sedikit. Bangsa Korea mempertahankan elemen asli yang tidak dapat ditemui di negara-negara tetangganya.[3]
Kerajaan-kerajaan kuno Korea telah mendirikan ibu kota dan istana mulai abad ke-1 Sebelum Masehi, namun bentuk-bentuknya tidak lagi dapat diketahui.[3] Bahkan tidak ada sedikitpun bukti arsitektur yang bisa dipelajari dari kerajaan Gojoseon (2333 SM-250 SM). Istana-istana Tiga Kerajaan (57 SM-668 M) dapat diketahui secara kasar lewat beberapa catatan sejarah dan situs-situs bersejarah. Gambaran awal yang paling jelas dapat ditelusuri lewat rancangan ibu kota Dinasti Goryeo (918-1392), Gaegyeong.[3]
Rancangan tata kota Cina kuno
Berdasarkan kitab Upacara Zhou ("Zhouli") yang berisi tentang tatacara membangun bangsa dan negara yang ideal, sebuah kota harus berbentuk persegi yang dikelilingi tembok, dengan masing-masing sisi memiliki panjang 9 li (1 li kurang lebih 0,4 km). Di dalamnya harus terdapat 3 jalan memanjang dari utara ke selatan dan bersilangan dengan 3 jalan yang memanjang dari timur ke barat. Pada tiap sisi harus dijaga oleh 3 gerbang. Istana kerajaan berada di tengah-tengah, kuil leluhur di sebelah kiri dan altar Dewa Bumi dan Palawija di sebelah kanan. Pengadilan didirikan dan pasar masing-masing diletakkan di depan dan belakang istana.
Kuil leluhur adalah bangunan dimana ritual pemujaan dilaksanakan oleh raja dan keturunannya. Di altar Dewa Bumi dan Palawija, ritual kurban dilaksanakan untuk memohon panen yang berhasil setiap tahun. Pengaturan letak kuil leluhur dan altar kurban di tiap sisi istana melambangkan bahwa arwah leluhur dan dewa-dewa ada untuk melindungi raja. Pengaturan letak pengadilan di depan dan pasar di belakang menandakan bahwa para menteri harus mengutamakan kepentingan negara, sementara rakyat berkontribusi dalam bidang perdagangan.
Berdasarkan rencana Zhouli, kota dan istana dilindungi tembok (gungseong) dan tembok luar (hwangseong). Kota-kota yang meniru tata cara Zhou umumnya memiliki 3 lapis tembok kokoh dengan istana di tengah-tengahnya. Tembok dalam yang dikelilingi tembok luar dimaksudkan untuk melindungi istana dimana raja tinggal. Tembok paling luar (oeseong) mengelilingi kantor-kantor pemerintahan dan rumah-rumah rakyat.
Tidak semua istana dan ibu kota di Asia Timur benar-benar mengaplikasikan panduan kitab Zhou. Kota-kota terkenal yang mengikuti pola ini antara lain Chang'an, ibu kota Dinasti Tang (abad ke-6) dan Beijing, ibu kota Dinasti Ming (abad ke-14) di daratan Cina. Di Jepang, kota seperti ini adalah Heijokyo (Nara) yang dimodelkan dari Chang’an, tetapi dalam skala yang lebih kecil.
Tiga Kerajaan
Para penguasa Tiga Kerajaan saling bermusuhan satu sama lain. Mereka sering memindahkan ibu kota dan membangun istana baru. Ada dua karakteristik yang bisa diamati dari ibu kota Tiga Kerajaan, pertama, selalu dibangun di dataran berbukit-bukit dekat sungai dan komplek istana diposisikan mengikuti aliran sungai. Kedua, adanya konstruksi benteng gunung (sanseong) sebagai tempat pengungsian di saat darurat.
Goguryeo
Ibu kota Goguryeo yang kedua terletak di kota yang sekarang bernama Ji'an, sebelah utara Sungai Yalu. Tempat ini dilindungi gunung-gunung tinggi di tiap sisi dan di situ pernah dibangun istana dan benteng gunung. Pada tahun 413, ibu kota Goguryeo dipindahkan ke dataran berbukit di sisi Sungai Taedong, Pyongyang bagian tengah. Tembok luar dan dalam didirikan untuk melindungi istana. Tidak diketahui secara jelas bagaimana posisi dan bentuknya yang asli karena hanya tinggal situsnya saja.
Selain di Pyongyang, istana lain bernama Anhakgung (makna:"Istana Bangau Kedamaian") dibangun di bagian barat daya, di kaki Gunung Daeseong. Menurut investigasi dan penelitian, Istana Anhak dikelilingi tembok pertahanan kuat yang berbentuk persegi dan tidak rata. Di dalamnya terdapat banyak bangunan penting seperti gerbang utama yang sejajar dengan poros tengah utara-selatan. Satu sisi tembok bagian dalam, panjangnya 600 meter dan bangunan inti didirikan dalam skala besar dimana sepanjang bagian depan berukuran 50 meter. Pada sudut barat laut di tembok bagian dalam, terdapat bukit yang dikhususkan menjadi taman belakang (huwon).
Setelah membangun ibu kota pertama di wilayah Hanseong sebelah selatan Sungai Han, yang sekarang adalah bagian kota Seoul, Baekje kembali memindahkan ibu kota ke Ungjin (kini Gongju, Chungcheong Selatan) pada tahun 475 dan ke Sabi (kini Buyeo) pada tahun 538. Bekas ibu kota pertama Baekje masih belum bisa diketahui. Beberapa teori menyebutkan berada di daerah Pungnamni dan Mongchon dimana ditemukannya artefak-artefak tembikar.
Tembok benteng (seonggwak) ibu kota Baekje di Ungjin dan Sabi dibangun pada dataran landai dekat sungai besar. Istana kerajaan berada di dalamnya. Karakteristik ini serupa dengan rancangan ibu kota Goguryeo di Pyongyang.
Di dalam komplek Ungjin telah diekskavasi sumur besar, kolam teratai, dan situs paviliun tinggi (nugak). Dalam babad Samguk Sagi dituliskan bahwa istana Baekje pada masa itu berukuran besar. Dilengkapi dengan taman belakang yang ditanami pohon dan bunga-bunga eksotis untuk dinikmati raja dan para menterinya.
Baekje Cultural Land dibuka pada tahun 2006 di Buyeo, bekas ibu kota Baekje.[4] Tempat ini menjadi reproduksi arsitektur istana beserta kuil khas Baekje.[4] Situs bekas istana asli berada pada kaki Gunung Buso, Buyeo.[5]
Kerajaan Silla di sudut tenggara semenanjung baru menjadi kuat pada abad ke-4 dan diperkirakan istananya dibangun mulai saat itu. Menurut Samguk Sagi, istana pertama Silla dinamakan Geumseong ("Istana Emas"), dibangun dalam komplek Banwolseong ("Istana Bulan Separuh") di Gyeongju. Sama seperti istana Goguryeo dan Baekje, Geumseong juga didirikan di lahan perbukitan dekat sungai.
Setelah menyatukan Tiga Kerajaan, Silla Bersatu tidak memindahkan ibu kota ke tempat baru, melainkan diperbesar dan diperbaharui. Lokasi Gyeongju yang berada di sudut sebenarnya tidak sesuai dalam mengendalikan keseluruhan bagian Semenanjung Korea. Karakteristik Gyeongju adalah jalan-jalannya dibuat dalam pola garis lurus dimana dalam temboknya dibangun kuil besar bernama Hwangnyongsa (Kuil Raja Naga).
Atas perintah Raja Munmu (masa berkuasa 661–681), sebuah kolam besar bernama Anapji ("Kolam Itik dan Angsa Liar") dibangun dalam komplek vila kerajaan. Kolam Anap berbentuk tidak teratur dimana salah satu sisi dibentuk dengan tanggul tinggi dan lurus dan sisanya di seberang yang lain mempertahankan bentuk alami yang berkelok-kelok. Kolam ini dilengkapi pula dengan miniatur gunung dan bebatuan. Di tempat ini diselenggarakan perayaan-perayaan nasional dan pesta-pesta, jamuan untuk utusan asing apabila sedang tidak digunakan untuk beristirahat. Walau kini Anapji masih terawat dengan baik, lokasi dan bentuk istana asli tidak diketahui.
Sama seperti rancangan istana dan ibu kota Tiga Kerajaan, Dinasti Goryeo juga memilih situs yang dikelilingi oleh pegunungan. Dikenal sebagai Gaegyeong, ibu kota Goryeo ini dikelilingi oleh Gunung Songak dan gunung-gunung lain di 3 sisi. Penguasa Goryeo mendirikan istana dan kantor pemerintahan di lokasi ini dan memadukannya dengan keadaan topografi. Kuil leluhur penguasa dibangun di sebelah kiri istana dan altar Dewa Bumi dan Palawija di sebelah kanan. Istana dikelilingi tembok dalam dan tembok luar, mirip ibu kota Cina. Perbedaannya, di Goryeo istana tidak terletak di pusat kota, melainkan di kaki gunung. Tembok istana dalam dan luar berbentuk persegi tak beraturan yang disesuaikan dengan dataran yang bergelombang. Sungai-sungai kecil mengalir melewati dataran berbukit dimana istana berdiri.
Pada saat tentara Mongol menginvasi Goryeo, ibu kota dipindahkan ke Pulau Ganghwa di Laut Barat, sementara istana di Gaegyeong musnah dilalap api. Ibu kota di Ganghwa bertahan selama 38 tahun. Di sana dibangun istana sementara, kantor dan kuil Buddha. Pada tahun 1270, akhirnya Ganghwa jatuh ke tangan Mongol yang telah mendirikan Dinasti Yuan di daratan Cina. Ibu kota dipindahkan lagi ke tempat semula di Gaegyeong. Istana baru dibangun namun tidak semegah yang terdahulu.
Setelah Kekaisaran Mongol runtuh, Dinasti Ming muncul di Cina pada tahun 1350-an dan Goryeo kembali mendapatkan kemerdekaannya. Istana baru bermunculan di luar kota dan istana lama dinamakan Bongwol ("Istana Utama") untuk membedakannya dari istana lain. Bongwol berkali-kali terbakar namun diperbaiki lagi. Setelah dipaksa menyerah oleh pendiri Joseon, Yi Seong-gye, komplek Bongwol diabaikan dan lenyap bersamaan dengan istana lain di sekitar Gaegyeong. Ibu kota berpindah ke Seoul, pusat pemerintahan Dinasti Joseon yang baru. Orang-orang Joseon menamakan puing-puing Bongwol sebagai Manwoldae atau "Istana Bulan Purnama".
Dinasti Joseon (1392-1910) didirikan setelah kejatuhan Dinasti Goryeo dengan ibu kota Seoul. Dengan mengamati topografi Seoul, dapat dilihat bahwa rancangannya mengikuti pola Goryeo. Sekeliling Seoul dipagari oleh pegunungan dimana di utara berdiri Gunung Baegak, di timur ada Gunung Nak, di barat ada Gunung Inwang dan di selatan ada Gunung Nam. Setelah memutuskan pada lokasi tersebut, istana dibangun di sudut barat laut dekat kaki Gunung Baegak dan menghadap ke selatan. Kantor 6 menteri dibangun dalam 2 baris di sebelah kiri dan kanan di depan istana. Kuil leluhur (Jongmyo) dibangun di sisi kiri istana dan Altar Dewa Bumi dan Palawija (Sajikdan) di sebelah kanan.
Istana yang didirikan pada masa Joseon masih berdiri di 5 lokasi. Jika dihitung bersama istana lama yang telah hancur, jumlahnya dapat lebih banyak. Setiap istana didirikan dengan tujuan yang berbeda-beda. Beberapa digunakan untuk kediaman raja (jeonggung), sementara istana lain untuk kediaman para selir. Suatu istana didirikan apabila seorang cenayang meramalkan bahwa raja akan lahir di sana. Yang lainnya didirikan di tempat yang dianggap berpengaruh karena gunung yang berdiri di dekatnya. Bentuk dan penampilan tiap istana berbeda-beda pula menurut fungsinya.
Istana-istana besar Joseon yang tersisa hingga kini antara lain Gyeongbokgung ("Istana Kebahagiaan Agung"), terletak di belakang Gwanghwamun ("Gerbang Perubahan Bersinar"), gerbang utama istana yang terletak di pusat kota. Satu kilometer di sebelah timur terdapat Changdeokgung ("Istana Kebajikan Gemilang") dan Changgyeonggung ("Istana Perayaan Gemilang"). Deoksugung ("Istana Dirgahayu Luhur") berada di samping Balai Kota Seoul dan di sebelah barat lebih jauh terdapat Gyeonghuigung ("Istana Semarak Kebahagiaan").