Gunung ini pernah menjadi pulau tersendiri, dipisahkan dari Pulau Jawa oleh Selat Muria.[9] Selat ini menjadi salah satu jalur perdagangan rempah-rempah yang menghubungkan Timur Tengah dengan Maluku dan mungkin dilalui oleh Tomé Pires dalam perjalanannya di Jawa.[10] Selat ini tertutup pada suatu waktu antara abad ke-17 hingga ke-18.[11]
Pada 1970-an, sisi utara gunung ini dipilih oleh Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) sebagai lokasi pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir dengan alasan risiko bencana alamnya yang kecil jika dibandingkan dengan wilayah-wilayah lain di Jawa dan Bali.[12] Namun, gempa bumi yang beberapa kali mengguncang di sekitar gunung sejak tahun 2010-an membuat rencana pembangunan tersebut dibatalkan.
Erupsi di gunung ini terakhir kali terjadi pada sekitar 160 SM.[7]
Geologi
Gunung Muria merupakan salah satu gunung di Jawa yang berhubungan dengan zona subduksi berumur Miosen, bukan zona subduksi yang aktif (seperti Gunung Merapi atau Gunung Kelud), dengan Zona Wadati–Benioff sedalam sekitar 400 kilometer.[13] Meskipun demikian, aktivitas magmatik setidaknya diketahui masih ada di bawah gunung pada tahun 2000.[14]
Gunung Muria memiliki sejarah yang sama dengan Gunung Genuk (gunung kecil yang berada di Donorojo, di utara Muria), terutama dalam pembentukan bentang alam Semenanjung Muria. Keduanya menghasilkan lava koheren baik kubah lava dan sumbat lava maupun maar yang terdapat di kaki gunung dan daratan.[3] Selain itu, dijumpai pula breksi gunung api, lapili, dan tuf yang banyak mengeliling sekitar gunung. Namun, densitasnya hanya mencapai 2.4 gr/cm3 sehingga tidak terlalu besar jika dibandingkan dengan persebaran batuan yang lain.[15]
Antara bulan Juli hingga September 1975, diadakan sebuah survei untuk menentukan lokasi tapak terbaik dari kelima lokasi tersebut. Hasilnya berupa dua lokasi, yaitu Keling di Muria dan Sluke di Lasem.[17] Kemudian, BATAN mengadakan studi kelayakan terhadap kedua lokasi tersebut yang dibantu oleh firmateknik nuklir asal Italia, NIRA.[18] Hasil studi tersebut kemudian keluar pada tahun 1982, yang menyimpulkan bahwa Ujungwatu di Keling (kini bagian dari Donorojo) adalah calon lokasi tapak terbaik.[17]
Pada tahun 1991, diadakan perjanjian antara Kementerian Keuangan dan BATAN dengan perusahaan konsultasi energi asal Jepang, NEWJEC Inc.[19] Perjanjian ini pada dasarnya mengontrak NEWJEC selama empat tahun setengah untuk melakukan analisis dan evaluasi terhadap lokasi tapak. Lokasi yang sebelumnya hanya Ujungwatu diperbarui menjadi enam lokasi, yaitu Ujungwatu, Ujung Bantungan, Ujung Grenggengan, Ujung Lemahabang, Ujung Bayuran, dan Ujung Piring. Pilihan akhirnya jatuh di Ujung Lemahabang (ULA), sebuah dukuh di Balong, Kecamatan Kembang, Kabupaten Jepara.[20][21][22] Pada 1993, NEWJEC mengeluarkan sebuah laporan yang berjudul Feasibility Study of the First Nuclear Power Plants at Muria Peninsula Region. Laporan ini memproyeksikan penawaran dan permintaan kebutuhan energi nuklir serta menyarankan Pemerintah Indonesia untuk membangun 12 reaktor berkekuatan 600 Megawatt.[18] Pemilihan tapak akhirnya selesai pada bulan Mei 1996,[23] dan rencananya akan mulai dibangun pada tahun 1997, tetapi tertunda karena krisis finansial Asia 1997.[24]
PLTN ini diproyeksikan dapat memasok energi listrik sebesar 4.000-6.000 Megawatt.[25][26]
Reaksi dari masyarakat
Ketika warga lokal Balong awalnya mengetahui rencana ini, kebanyakan dari mereka menyetujuinya dengan harapan bahwa mereka bisa meningkatkan pendapatan (dengan adanya kesempatan kerja) dan dapat menikmati pengguna dan pelayanan listrik yang lebih baik. Namun, tumbuh pula kekhawatiran akan rencana tersebut, mulai dari pemindahan penduduk hingga ketakutan pada radiasi, terlebih karena tidak ingin seperti bencana Chernobyl dan limbah radioaktif yang akan mengkontaminasi makanan dan barang.[27]
Pada 2007, muncul penolakan luas terhadap rencana ini dari warga Jepara (termasuk yang di Balong) dan Kudus dengan menggelar aksi unjuk rasa di berbagai tempat.[24][28] Penolakan ini juga diikuti oleh para pengusaha yang tinggal di sekitar gunung dengan mengancam akan meninggalkan tempatnya jika PLTN jadi dibangun.[29] Beberapa akademisi menyebutkan bahwa unjuk rasa ini disebabkan oleh dikeluarkannya Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2006 yang dianggap sarat kepentingan politik dan ekonomi.[30][31]
Pada 2 September 2007, Nahdlatul Ulama Jepara secara khusus mengharamkan pembangunan PLTN di Semenanjung Muria, dengan alasan PLTN hanya bisa memasok kebutuhan energi nasional sebesar 2-4 persen sementara limbah radioaktif yang dibuang dapat berbahaya bagi lingkungan. Namun, mereka menegaskan bahwa keputusan ini hanya berlaku di sana.[32][33] Keputusan ini didukung oleh organisasi lingkungan seperti Greenpeace dan Walhi, dan partai politik PKB.[34][35][36]
Menyusul bencana nuklir Fukushima Daiichi, warga Jepara kembali menggelar aksi unjuk rasa dan menggelar aksi solidaritas terhadap warga Jepang yang terdampak dari bencana tersebut.[37] Peristiwa ini juga membuat warga Bangka Belitung berunjuk rasa menolak PLTN yang akan dibangun di sana.[38] Meskipun demikian, BATAN menyatakan untuk tetap melanjutkan pembangunan PLTN di kedua wilayah tersebut.[39]
Pembatalan
Pada 2012, Gusti Muhammad Hatta, Menteri Riset dan Teknologi saat itu, mengatakan bahwa rencana pembangunan PLTN Muria dibatalkan karena "masalah yang agak rumit", seperti penduduk di sekitarnya yang padat. Namun, ia tidak tahu apakah pembatalannya bersifat permanen dan menyambung bahwa jika dibatalkan, pemerintah akan melanjutkan pembangunan PLTN di tempat lain seperti di Bangka Belitung.[40]
Pada 2015, rencana ini dibatalkan secara permanen karena diketahui beberapa kali gempa bumi di sekitar gunung.[41][42]
Pegunungan Muria di bawah pengawasan Perum Perhutani wilayah kelola Unit I Kesatuan Pemangkuan Hutan Pati dengan total luas 10.107 hektare. Kawasan hutan tersebut dikelola oleh Badan Kesatuan Pemangkuan Hutan Gajah Biru, Muria Pati Ayam, dan Ngarengan. Selain itu terdapat juga kawasan hutan cagar alam seluas 1.402,80 hektare di Kabupaten Pati dan Jepara.[43][44]
Data Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Pemali Jawa Tengah tahun 2007 menunjukkan bahwa kawasan Muria mengalami degradasi dari tahun ke tahun. Total luas hutan kawasan Muria adalah 69.812,08 hektare; terdiri dari hutan di Jepara 21.516,406 hektare, tetapi 17.954 hektare atau 83% di antaranya gundul, termasuk 3,962.66 hektare hutan lindung. Di Kabupaten Pati 47.338 hektare; tetapi 38.344 hektare atau 81 persen rusak, termasuk 1,425 hektare hutan lindung. Sementara di Kabupaten Kudus, 83 persen atau 1.940 hektare hutan rusak, termasuk 53.93 hektar hutan lindung.[44]
Galeri
Pemandangan Jepara pada tahun 1676 dengan latar belakang Gunung Muria.
Gunung Muria sekitar tahun 1900.
Salah satu puncak di Gunung Muria, Puncak Gajahmungkur.
^Roesmanto, Totok (2012). "Lanskap Semarang Yang Hilang"(PDF). Riptek: Jurnal Pembangunan Kota Semarang Berbasis Sains & Teknologi. 6 (1): 11. Diarsipkan(PDF) dari versi asli tanggal 2021-01-30. Diakses tanggal 2021-01-24.
^Tanter, Richard (2011-12-19). "Ujung Lemahabang site". Nautilus Institute for Security and Sustainability (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-04-02. Diakses tanggal 2021-01-16.
^Nugroho, Heru (2007-07-20). "Menolak PLTN Muria"(PDF). Arsip Berita Media Cetak UGM. Diarsipkan dari versi asli(PDF) tanggal 2021-01-28. Diakses tanggal 2020-01-22.
Faza, Muhammad Iqbal (2021). "Konsep Pelestarian Alam melalui Kebudayaan dan Kearifan Lokal Masyarakat Colo". Dalam Masruri, Bukhori. Benantara (dalam bahasa Indonesia). Kepustakaan Populer Gramedia. ISBN978-602-481-654-4. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-08-10. Diakses tanggal 2022-09-27.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
Lihat pula
Wikimedia Commons memiliki media mengenai Gunung Muria.