Share to: share facebook share twitter share wa share telegram print page

 

Gizi dan kognisi

Secara relatif, otak mengkonsumsi energi yang sangat besar dibandingkan dengan bagian tubuh lainnya. Mekanisme yang terlibat dalam transfer energi dari makanan ke neuron, cenderung menjadi dasar untuk mengatur fungsi otak.[1] Proses tubuh manusia, termasuk otak, semuanya membutuhkan zat gizi makro, juga zat gizi mikro.[2] Kurangnya asupan vitamin tertentu atau gangguan metabolisme tertentu, dapat mempengaruhi proses kognitif melalui gangguan proses yang bergantung pada nutrisi di dalam tubuh, terkait dengan pengendalian energi dalam neuron, yang selanjutnya dapat mempengaruhi plastisitas sinaptik atau kemampuan untuk membuat daya ingat baru.[1]

Nutrisi yang dibutuhkan untuk perkembangan daya ingat

Kolina

Kolina adalah nutrisi penting dan fungsi utamanya dalam tubuh manusia adalah sintesis membran sel,[3] meskipun menjadi fungsi yang lain pula seperti menjaga keutuhan membran sel dalam proses-proses biologi, rangsangan informasi, komunikasi intrasel dan bioenergi. Kolina juga membantu fungsi normal otak melalui pembentukan neurotransmiter asetilkolin yang sangat berperan terhadap fungsi otak, yakni senyawa yang berperan pada proses penyimpanan dan pemanggilan kembali memori (daya ingat), perhatian maupun konsentrasi seseorang. Semakin banyak asetilkolin yang disintesis, makin banyak pula yang dilepaskan ke saraf, sehingga meningkatkan daya ingat dan perhatian.[4] Kolina merupakan molekul prekursor untuk neurotransmiter asetilkolin yang menjadi berbagai fungsi, termasuk kendali motorik dan daya ingat. Kekurangan kolina mungkin berhubungan dengan beberapa gangguan hati dan saraf,[5] juga menyebabkan penimbunan lemak pada hati dan penyumbatan pada ginjal,[6] karena kolina berperan dalam pengeluaran VLDL (very low density lipoprotein) dari hati.[7] Dalam perannya dalam sintesis seluler, kolina merupakan nutrisi penting selama perkembangan prenatal dan periode awal pascamelahirkan, karena berkontribusi pada perkembangan otak.[3] Asupan Kolina dari makanan untuk pria, wanita dan anak-anak mungkin berada di bawah tingkat asupan yang memadai.[5] Wanita, terutama pada saat hamil atau menyusui, kaum tua dan bayi, berisiko mengalami kekurangan zat kolina.[5] Makanan umum yang mengandung kolina di antaranya adalah hati sapi, biji gandum dan kuning telur.[3]

Lutein dan Zeaxanthin

Lutein dan zeaxanthin merupakan karotenoida yang mengandung antioksidan yang sangat kuat. Sejauh ini, sebagian besar penelitian berfokus pada efek karotenoida tersebut pada penglihatan dan peningkatan kecepatan pemrosesan mata. Dalam beberapa tahun terakhir, para ilmuwan telah mengalihkan fokusnya ke kontribusi mereka terhadap perkembanglan otak dan kognisi, karena bio-akumulasi lutein dan zeaxanthin yang baru ditemukan di otak. Nutrisi lutein dan zeaxanthin ini dapat ditemukan di sebagian besar sayuran dengan daun berwarna hijau gelap. Beberapa makanan lain termasuk telur, brokoli, zukini (timun jepang), jagung dan kubis brussel. Untuk mendapatkan gizi yang maksimal, makanan tersebut dapat dikonsumsi mentah atau dikukus.[8]

Asam lemak omega-3

Asam lemak omega-3 sangat penting untuk perkembangan otak dan mendukung kognisi. Asam lemak ini mempengaruhi bagaimana reseptor sel bereaksi di dalam membran-membran sel. Tubuh manusia tidak dapat membuat atau memproduksi sendiri asam omega-3 atau Asam dokosaheksaenoat (DHA). Hal ini berarti bahwa sumber asam lemak yang vital bagi tubuh ini hanya berasal dari makanan yang kita konsumsi. Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa dalam pola makan orang yang mengonsumsi ikan dalam jumlah besar, cenderung tidak menderita depresi. Ikan, terutama salmon, memiliki sejumlah besar kandungan asam lemak omega-3 dan DHA. Dalam 100 tahun terakhir, Peradaban barat telah menunjukkan penurunan jumlah asupan DHA dan omega-3 yang signifikan serta peningkatan lemak jenuh dan lemak trans. Sebagai perbandingan, lokasi-lokasi seperti Amerika Serikat dan Jerman memiliki lebih banyak kasus depresi berat daripada lokasi seperti Jepang, karena sumber makanan utama mereka berasal dari industri perikanannya.[1]

Makanan bagi perkembangan otak yang sehat pada anak

Terdapat banyak makanan yang mendukung bagi perkembangan otak yang sehat. Para ahli merekomendasikan untuk memasukkan beberapa makanan berikut ke dalam makanan sehari-hari seperti:

Ikan Salmon

Salmon mengandung asam omega 3 dan DHA yang sangat tinggi. Terdapat daging ikan "putih" tanpa lemak lainnya, seperti tuna albacore, yang merupakan sumber protein yang baik dengan kadar lemak yang rendah. Daripada tuna salad, sandwich salad salmon juga mengandung protein dan asam lemak omega-3.[9]

Biji rami

Selain banyak nutrisi lain yang terkandung dalam biji rami, minyak yang terkandung dalam biji rami juga kaya akan asam lemak omega-3.

Bluberi dan Stroberi

Banyak buah beri berwarna gelap dan kaya warna, terbukti meningkatkan daya ingat.[10]

Kacang-kacangan

Kacang tanah merupakan antioksidan dan sumber vitamin E yang sangat baik. Kacang tanah juga mengandung tiamina yang membantu mendukung otak dan sistem saraf. Kacang-kacangan juga merupakan sumber protein yang sangat baik dalam memberikan energi dan meningkatkan daya konsentrasi.[1]

Gandum utuh dan daging sapi tanpa lemak

Biji-bijian utuh menyediakan banyak glukosa dan serat. Serat dari biji-bijian membantu mengatur pelepasan glukosa ke dalam tubuh. Gula glukosa digunakan oleh tubuh untuk menghasilkan energi. Tingkat energi yang lebih tinggi terbukti meningkatkan tingkat konsentrasi otak. Daging sapi tanpa lemak adalah sumber zat besi yang sangat baik yang juga terbukti memberikan kadar energi dan meningkatkan konsentrasi.[1]

Sayuran berwarna

Jenis sayuran ini kaya dengan antioksidan yang dibutuhkan untuk membersihkan aliran darah dan membantu menjaga sel-sel otak tetap kuat.[1]

Susu, yogurt dan produk olahan susu

Makanan yang mengandung susu, mengandung Vitamin B dan D. Vitamin B sangat penting untuk pertumbuhan jaringan otak dan juga menyediakan enzim yang diperlukan tubuh.[1]

Sayuran hijau

Sayuran hijau seperti collard greens (sejenis sawi), bayam, kubis, selada cos (romaine lettuce) dan kangkung merupakan sumber folat yang baik dan sangat kaya akan vitamin.[10]

Defisiensi dan kognisi Vitamin B

Vitamin B, juga dikenal sebagai vitamin B-kompleks, merupakan kelompok nutrisi yang saling berkaitan secara bersamaan dalam makanan. Vitamin tersebut terdiri dari: Tiamina (B1), riboflavin (B2), niasin (B3), asam pantotenat (B5), piridoksin (B6), asam folat (B9), cobalamin (B12) dan biotin.[11] Vitamin B tidak diproduksi dalam tubuh, sehingga perlu diperoleh dari asupan makanan. Vitamin B kompleks adalah vitamin yang larut dalam air, yang berarti tidak disimpan di dalam tubuh. Akibatnya, vitamin B memerlukan konsumsi yang berkelanjutan.[12] Dimungkinkan untuk mengidentifikasi efek-efek kognitif yang lebih luas dari vitamin B tertentu, karena vitamin-vitamin tersebut terlibat dalam banyak proses metabolisme yang signifikan di dalam otak.[2]

Pada 2012, dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh sekelompok peneliti, kadar vitamin yang diukur dalam darah subyek, kemudian kadar tersebut dibandingkan dengan hasil dari tes memori yang diberikan kepada subyek tersebut, menunjukkan bahwa orang dengan kadar vitamin yang lebih tinggi, terutama vitamin B, memiliki skor yang lebih tinggi pada tes memori mereka. Meskipun mungkin masih memerlukan konfirmasi secara resmi, penelitian yang dilakukan di Oregon Health & Science University, terdapat cukup bukti yang mendukung fakta bahwa memperbaiki pola makan akan dapat meningkatkan ketajaman otak secara signifikan.[1]

Vitamin B1 (tiamina)

Vitamin ini penting untuk memfasilitasi pemberdayaan glukosa, sehingga memastikan produksi energi untuk otak,[2] dan fungsi normal sistem saraf, otot dan jantung.[12] Tiamina dapat ditemukan di seluruh jaringan saraf mamalia, termasuk otak dan sumsum tulang belakang. Metabolisme dan fungsi koenzim vitamin, menunjukkan fungsi khas tiamina dalam sistem saraf.[13]

Kekurangan thiamina menyebabkan penyakit yang dikenal sebagai beri-beri.[14] Terdapat dua jenis penyakit beri-beri, yakni "basah" dan "kering". Beri-beri kering juga dikenal sebagai beri-beri serebral dan ditandai dengan neuropati periferal,[13] yakni kondisi gangguan kesehatan yang disebabkan karena kerusakan saraf perifer atau saraf tepi.[15] Dilaporkan bahwa hingga 80% para pecandu alkohol, kekurangan zat tiamina karena asupan nutrisi yang tidak memadai karena berkurangnya penyerapan dan gangguan pemanfaatan zat tiamina.[16][17] Tanda-tanda klinis kekurangan vitamin B1, meliputi perubahan mental seperti apatis, penurunan ingatan jangka pendek, kebingungan dan lekas marah,[18] juga meningkatkan tingkat depresi, demensia dan keretakan tulang di usia tua.[17]

Gejala neuropati yang tersisa terkait dengan beri-beri serebral dikenal sebagai sindrom Korsakoff atau fase kronis Wernicke-Korsakoff.[19] Ensefalopati Wernicke ditandai dengan kelainan mata, kelainan cara berjalan, keadaan kebingungan global dan neuropati.[17] Keadaan kebingungan yang terkait dengan Wernicke meliputi hal yang terdiri dari apatis, kurangnya perhatian, disorientasi spasial, ketidakmampuan untuk berkonsentrasi dan kelesuan mental atau kegelisahan.[20] Diagnosis klinis penyakit Wernicke tidak dapat dibuat tanpa bukti gangguan okular, namun kriteria tersebut mungkin terlalu kaku.[21] Sindrom Korsakoff kemungkinan mewakili variasi dalam manifestasi klinis ensefalopati Wernicke, karena keduanya memiliki muasal patologis yang sama.[21] Hal ini sering ditandai dengan konfabulasi atau gangguan pada ingatan,[22] disorientasi dan amnesia yang mendalam.[19] Karakteristik neuropatologi bervariasi, tetapi umumnya terdiri dari lesi garis tengah simetris bilateral pada area batang otak, termasuk wilayah otak (mamilari), talamus, area periaqueductal gray, hipotalamus dan vermis serebelum.[17][19] Pengobatan langsung ensefalopati Wernicke melibatkan pemberian tiamina intravena, diikuti dengan pengobatan jangka panjang dan pencegahan gangguan melalui suplemen tiamina oral, pantang alkohol dan diet seimbang.[20][23] Perbaikan fungsi otak pecandu alkohol kronis dapat terjadi dengan pengobatan yang berhubungan dengan pantangan, yang melibatkan penghentian konsumsi alkohol dan perbaikan nutrisi.[17]

Vitamin B3 (niasin)

Vitamin B3, juga dikenal sebagai niasin, termasuk senyawa nicotinamide serta asam nikotinat, baik yang berfungsi dalam banyak oksidasi dan pengurangan reaksi biologis dalam tubuh. Niasin terlibat dalam sintesis asam lemak dan kolesterol, yang diketahui sebagai mediator biokimia otak, dan pada efeknya, fungsi kognitif.[24] Kekurangan zat niasin dalam tubuh dapat menyebabkan penyakit Pelagra. Pelagra ditandai oleh empat 4 hal, yakni diare, dermatitis, demensia dan kematian. Manifestasi neuropsikiatri pelagra termasuk sakit kepala, lekas marah, tidak dapat berkonsentrasi (berkonsentrasi dengan buruk), kecemasan, halusinasi, pingsan, apatis, kegelisahan psikomotor, fotofobia, tremor, ataksia, paresis spastik, kelelahan dan depresi. Gejala kelelahan dan insomnia dapat berkembang menjadi ensefalopati yang ditandai dengan kebingungan, kehilangan ingatan dan psikosis. Mereka yang menderita pelagra dapat mengalami perubahan patologis pada sistem saraf. Temuan-temuan tersebut mungkin termasuk demilenasi dan degenerasi berbagai bagian yang terdampak dari otak, sumsum tulang belakang dan saraf perifer.[25]

Nikotinamida oral telah dipromosikan sebagai obat bebas untuk pengobatan demensia Alzheimer. Sebaliknya, tidak ada dampak signifikan yang ditemukan secara klinis atas obat tersebut, karena belum ditemukan pemberian nikotinamid dapat meningkatkan fungsi ingatan pada penderita demensia ringan hingga sedang, baik jenis-jenis demensia Alzheimer, vaskular atau fronto-temporal. Bukti ini menunjukkan bahwa nikotinamida dapat mengobati demensia yang terkait dengan pelagra, tetapi pelaksanaanya, tidak secara efektif mengobati jenis demensia lainnya.[26] Meskipun pengobatan dengan niasin tidak banyak mengubah efek demensia Alzheimer, asupan niasin dari makanan berbanding terbalik dengan penyakit tersebut.[27]

Vitamin B9 (asam folat)

Folat dan vitamin B12 memainkan peran penting dalam sintesis S-adenosil metionina (S-adenosyl methionine) yang merupakan kunci penting dalam pemeliharaan dan perbaikan semua sel, termasuk saraf-saraf.[28] Selain itu, folat telah dikaitkan dengan menjaga tingkat kofaktor otak memadai yang diperlukan untuk reaksi kimia yang mengarah pada sintesis neurotransmiter serotonin dan katekolamin.[29] Konsentrasi folat plasma darah dan konsentrasi homosistein berbanding terbalik, sehingga peningkatan folat diet menurunkan konsentrasi homosistein. Dengan demikian, asupan makanan folat merupakan penentu utama kadar homosistein dalam tubuh.[30] Hubungan antara folat dan B12 saling bergantung satu sama lain, sehingga kekurangan vitamin tersebut dapat mengakibatkan anemia megaloblastik, yang ditandai dengan perubahan mental organik.[31]

Hubungan antara kadar folat dan perubahan fungsi mental tidak lah besar, tetapi cukup untuk dapat menunjukkan hubungan sebab akibat.[29] Kekurangan asam folat dapat menyebabkan tingginya kadar homosistein dalam darah,[30] sebagaimana pembersihan zat homosistein memerlukan tindakan enzimatik yang tergantung pada folat dan pada tingkat lebih rendah, vitamin B6 dan B12. Peningkatan homosistein telah dikaitkan dengan peningkatan risiko terjadinya gangguan pada vaskular seperti strok serta demensia.[32]

Perbedaan tersebut terletak pada penyajian anemia megaloblastik yang disebabkan oleh salah satu folat atau B12. Anemia megaloblastik yang terkait dengan kekurangan B12 umumnya menghasilkan neuropati perifer, sedangkan anemia terkait folat sering mengakibatkan gangguan afektif, atau gangguan suasana hati (mood).[31][33] Efek neurologis tidak sering dikaitkan dengan anemia megaloblastik terkait folat, meskipun gangguan demielinasi pada akhirnya dapat muncul.[31] Dalam suatu studi, gangguan suasana hati direkam untuk sebagian besar orang dengan anemia megaloblastik dalam kondisi kekurangan B12.[29] Selain itu, konsentrasi folat dalam plasma darah ditemukan lebih rendah pada orang dengan gangguan depresi unipolar dan bipolar bila dibandingkan dengan kelompok yang diawasi. Selain itu, kelompok depresi dengan konsentrasi folat rendah merespon kurang baik terhadap terapi antidepresan standar bila dibandingkan dengan kelompok dengan kadar normal dalam plasma.[29] Namun, replikasi temuan ini kurang kuat.[34]

Asupan vitamin telah dikaitkan dengan kekurangan dalam hal pembelajaran dan ingatan, terutama pada populasi lanjut usia.[29] Orang lanjut usia yang kekurangan folat dapat mengalami defisit dalam ingatan dan pengenalan bebas, yang menunjukkan bahwa kadar folat mungkin terkait dengan efikasi memori episodik.[35] Kekurangan folat juga dapat menyebabkan bentuk demensia yang dianggap reversibel dengan pemberian vitamin. Memang, terdapat tingkat peningkatan memori yang terkait dengan pemberian folat. Dalam studi longitudinal yang dilakukan selama 3 tahun pada pria dan wanita berusia antara 50-70 tahun dengan peningkatan konsentrasi plasma homosistein, peneliti menemukan bahwa suplementasi asam folat oral 800μg setiap hari menghasilkan peningkatan kadar folat dan penurunan kadar homosistein dalam plasma darah. Selain hasil ini, peningkatan daya ingat dan kecepatan pemrosesan informasi, serta sedikit peningkatan kecepatan sensorimotor juga diamati,[36] yang menunjukkan adanya hubungan antara homosistein dan kinerja kognitif. Namun, sementara jumlah peningkatan kognitif setelah pengobatan dengan folat berkorelasi dengan tingkat keparahan defisiensi folat, tingkat keparahan penurunan kognitif tidak tergantung pada tingkat keparahan defisiensi folat. Hal ini menunjukkan bahwa demensia yang diamati mungkin tidak sepenuhnya terkait dengan kadar folat, karena terdapat faktor tambahan yang tidak diperhitungkan yang mungkin dapat mempengaruhi.[37]

Juga dikenal sebagai kobalamin, vitamin B12 penting untuk pemeliharaan fungsi neurologis dan kesehatan psikiatri.[38] Kekurangan vitamin B12, juga dikenal dengan hipokobalaminemia, yang dihasilkan dari komplikasi-komplikasi yang melibatkan penyerapan ke dalam tubuh.[39] Bermacam-macam efek neurologis dapat diamati dalam 75-90% dari individu-individu dari segala usia yang diamati secara klinis atas defisiensi vitamin B12. Manifestasi defisiensi kobalamin tampak pada kelainan medula spinalis, saraf tepi, saraf optik dan serebrum. Kelainan ini melibatkan degenerasi mielin progresif[40] dan dapat diekspresikan secara perilaku melalui laporan gangguan sensorik pada ekstremitas atau gangguan motorik, seperti gangguan gaya berjalan (gait ataksia), karena kehilangan kendali atas fungsi tubuh. Gabungan mielopati dan neuropati lazim terjadi pada sebagian besar kasus. Perubahan kognitif dapat berkisar mulai dari kehilangan konsentrasi hingga kehilangan ingatan, disorientasi dan demensia. Seluruh gejala ini dapat muncul dengan atau tanpa perubahan suasana hati tambahan. Gejala mental sangat bervariasi, dan termasuk gangguan suasana hati (mood) ringan, kelambatan mental dan cacat ingatan. Cacat ingatan meliputi gejala kebingungan, agitasi dan depresi berat, delusi dan perilaku paranoid, halusinasi visual dan pendengaran, disfasia, perilaku maniak kekerasan dan epilepsi. Telah dikemukakan bahwa gejala mental dapat dikaitkan dengan penurunan metabolisme otak, yang disebabkan karena keadaan defisiensi.[40]

Kasus anemia pernisiosa ringan hinnga sedang mungkin menunjukkan konsentrasi yang buruk. Dalam kasus anemia pernisiosa yang parah, seseorang dapat mengalami berbagai masalah kognitif seperti demensia, dan kehilangan ingatan. Hal ini tidak selalu mudah untuk menentukan apakah terdapat kekurangan vitamin B12, terutama pada orang dewasa yang berusia lebih tua.[39]

Penuaan dan penyakit kognitif

Makanan yang kaya akan asam lemak omega-3 telah terbukti menurunkan risiko terkena penyakit Alzheimer.[41] Asam lemak omega-3, terutama asam dokosaheksaenoat (DHA) yang merupakan asam lemak omega-3 paling umum ditemukan di neuron, telah dipelajari secara ekstensif untuk digunakan dalam kemungkinan pencegahan dan terapi penyakit Alzheimer. Beberapa penelitian (studi potong lintang) menunjukkan bahwa pengurangan asupan atau kadar DHA otak yang rendah, dikaitkan dengan perkembangan sebelumnya atas defisit kognitif atau perkembangan demensia, termasuk penyakit Alzheimer. Beberapa uji klinis menunjukkan bahwa suplementasi asam lemak omega-3 tidak memiliki efek yang signifikan dalam pengobatan penyakit Alzheimer, yang pada gilirannya dapat menunjukkan bahwa manfaat perlindungan dari suplementasi asam lemak omega-3 dapat bergantung pada cakupan penyakit dan faktor-faktor perancu atau faktor yang tidak teratur lainnya.[42] Pola makan yang kaya akan antioksidan juga akan membantu membuang radikal bebas dalam tubuh yang bisa menjadi penyebab alzheimer. Penumpukan plak Beta Amyloid, penanda yang sangat terkait dengan penyakit Alzheimer, menghasilkan radikal bebas yang merusak sel. Oleh karenanya, peran antioksidan sebagai pelindung terhadap penyakit Alzheimer menjadi topik kajian yang hangat.[43]

Selain itu, asam folat juga telah diketahui dapat meningkatkan ingatan pada orang tua. Terdapat beberapa bukti bahwa kekurangan asam folat dapat meningkatkan risiko demensia, terutama penyakit Alzheimer dan demensia vaskular, tetapi terdapat perdebatan tentang apakah hal tersebut dapat menurunkan risiko gangguan kognitif pada populasi yang lebih tua.[44][45] Suplementasi asam folat terbukti menurunkan kadar homosistein darah, sementara kekurangan asam folat dapat menyebabkan kondisi tingkat tinggi homosistein (Hcy) dalam aliran darah yang disebut dengan hiperhomosisteinemia (HHcy). HHcy berhubungan dengan beberapa penyakit pembuluh darah seperti penyakit arteri koroner, penyakit pembuluh darah perifer dan strok.

Lihat pula

Referensi

  1. ^ a b c d e f g h Gómez-Pinilla, Fernando (2008). "Brain foods: The effects of nutrients on brain function". Nature Reviews Neuroscience. 9 (7): 568–78. doi:10.1038/nrn2421. ISSN 1471-003X. PMC 2805706alt=Dapat diakses gratis. PMID 18568016. 
  2. ^ a b c Bourre, JM (2006). "Effects of nutrients (in food) on the structure and function of the nervous system: Update on dietary requirements for brain. Part 1: Micronutrients". The Journal of Nutrition, Health & Aging. 10 (5): 377–85. PMID 17066209. 
  3. ^ a b c "Choline". Micronutrient Information Center, Linus Pauling Institute, Oregon State University. 1 January 2015. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-03-22. Diakses tanggal 22 October 2019. 
  4. ^ Gunawan, Ida (2011). Nadesul, Handrawan; Adji, Nur, ed. Menyayangi Otak. Penerbit Buku Kompas. hlm. 264. ISBN 978-979-709-570-3. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-08-06. Diakses tanggal 2022-02-01. 
  5. ^ a b c Zeisel, Steven H; Da Costa, Kerry-Ann (2009). "Choline: An essential nutrient for public health". Nutrition Reviews. 67 (11): 615–23. doi:10.1111/j.1753-4887.2009.00246.x. PMC 2782876alt=Dapat diakses gratis. PMID 19906248. 
  6. ^ Dewi, Nirmala (2010). Suhanda, Irwan, ed. Nutrition and Food: GIZI UNTUK KELUARGA. Penerbit Buku Kompas. hlm. 93. ISBN 978-979-709-518-5. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-08-06. Diakses tanggal 2022-02-01. 
  7. ^ Soekarti, Moesijanti; Sunita (2013). Gizi Seimbang dalam Daur Kehidupan. Gramedia Pustaka Utama (dipublikasikan tanggal 23 Agustus 2013). hlm. 19. ISBN 978-979-227-581-0. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-08-06. Diakses tanggal 2022-02-01. 
  8. ^ Foods and Raw Materials. Kemerovo State University. 2018. doi:10.12737/issn.2308-4057. 
  9. ^ Davis, Jeanie Lerche. "Top 10 Brain Foods for Children". WebMD. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-10-22. Diakses tanggal 2019-10-22. 
  10. ^ a b "11 Best Foods to Boost Your Brain and Memory". Healthline. 9 May 2017. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-10-03. Diakses tanggal 2019-10-22. 
  11. ^ Institute of Medicine 1998, hlm. 27.
  12. ^ a b Thompson, J (2005). "Vitamins, minerals and supplements: Part two". Community Practitioner. 78 (10): 366–8. PMID 16245676. 
  13. ^ a b Cooper, Jack R.; Pincus, Jonathan H. (1979). "The role of thiamine in nervous tissue". Neurochemical Research. 4 (2): 223–39. doi:10.1007/BF00964146. PMID 37452. 
  14. ^ Wirosaputro, Sukiman; Sumartini, Tri (2018). Chlorella: Makanan Kesehatan Global Alami. UGM Press. hlm. 24. ISBN 6-0238-6138-5. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-08-06. Diakses tanggal 2022-01-31. 
  15. ^ Cholif, Rahma (7 Mei 2021). Oktaviani, Andra Nur, ed. "Mengenal Neuropati Periferal, Kondisi Gangguan Akibat Kerusakan Sistem Saraf Tepi". Orami. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-04-01. Diakses tanggal 31 Januari 2022. 
  16. ^ Hoyumpa, Anastacio M. (1983). "Alcohol and Thiamine Metabolism". Alcoholism: Clinical and Experimental Research. 7 (1): 11–14. doi:10.1111/j.1530-0277.1983.tb05403.x. PMID 6342440. 
  17. ^ a b c d e Singleton., C.K.; Martin, P.R. (2001). "Molecular Mechanisms of Thiamine Utilization". Current Molecular Medicine. 1 (2): 197–207. doi:10.2174/1566524013363870. PMID 11899071. 
  18. ^ Institute of Medicine 1998, hlm. 58.
  19. ^ a b c Harper, C (1979). "Wernicke's encephalopathy: A more common disease than realised. A neuropathological study of 51 cases". Journal of Neurology, Neurosurgery & Psychiatry. 42 (3): 226–31. doi:10.1136/jnnp.42.3.226. PMC 490724alt=Dapat diakses gratis. PMID 438830. 
  20. ^ a b Ogershok, Paul R.; Rahman, Aamer; Nestor, Scott; Brick, James (2002). "Wernicke Encephalopathy in Nonalcoholic Patients". American Journal of the Medical Sciences. 323 (2): 107–11. doi:10.1097/00000441-200202000-00010. PMID 11863078. 
  21. ^ a b Harper, C G; Giles, M; Finlay-Jones, R (1986). "Clinical signs in the Wernicke-Korsakoff complex: A retrospective analysis of 131 cases diagnosed at necropsy". Journal of Neurology, Neurosurgery & Psychiatry. 49 (4): 341–5. doi:10.1136/jnnp.49.4.341. PMC 1028756alt=Dapat diakses gratis. PMID 3701343. 
  22. ^ Olivia, Xena (14 Januari 2022). Eka Ayu Sartika, Eka, ed. "Konfabulasi". Kompas.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-09-13. Diakses tanggal 31 Januari 2022. 
  23. ^ Bond, Nigel W.; Homewood, Judi (1991). "Wernicke's encephalopathy and Korsakoff's psychosis: To fortify or not to fortify?". Neurotoxicology and Teratology. 13 (4): 353–5. doi:10.1016/0892-0362(91)90083-9. PMID 1921914. 
  24. ^ Yehuda, Shlomo; Rabinovitz, Sharon; Mostofsky, David I. (1999). "Essential fatty acids are mediators of brain biochemistry and cognitive functions". Journal of Neuroscience Research. 56 (6): 565–70. doi:10.1002/(SICI)1097-4547(19990615)56:6<565::AID-JNR2>3.0.CO;2-H. PMID 10374811. 
  25. ^ Zimmerman, HM (1939). "The Pathology of the Nervous System in Vitamin Deficiencies". The Yale Journal of Biology and Medicine. 12 (1): 23–28.7. PMC 2602501alt=Dapat diakses gratis. PMID 21433862. 
  26. ^ Rainer, M.; Kraxberger, E.; Haushofer, M.; Mucke, H. A. M.; Jellinger, K. A. (2000). "No evidence for cognitive improvement from oral nicotinamide adenine dinucleotide (NADH) in dementia". Journal of Neural Transmission. 107 (12): 1475–81. doi:10.1007/s007020070011. PMID 11459000. 
  27. ^ Morris, M C (2004). "Dietary niacin and the risk of incident Alzheimer's disease and of cognitive decline". Journal of Neurology, Neurosurgery & Psychiatry. 75 (8): 1093–1099. doi:10.1136/jnnp.2003.025858. PMC 1739176alt=Dapat diakses gratis. PMID 15258207. 
  28. ^ Hauck, MR (1991). "Cognitive abilities of preschool children: Implications for nurses working with young children". Journal of Pediatric Nursing. 6 (4): 230–5. PMID 1865312. 
  29. ^ a b c d e Institute of Medicine 1998, hlm. 196.
  30. ^ a b Homocysteine Lowering Trialists' Collaboration (2005). "Dose-dependent effects of folic acid on blood concentrations of homocysteine: A meta-analysis of the randomized trials". The American Journal of Clinical Nutrition. 82 (4): 806–12. doi:10.1093/ajcn/82.4.806. PMID 16210710. 
  31. ^ a b c Bottiglieri, T (1996). "Folate, vitamin B12, and neuropsychiatric disorders". Nutrition Reviews. 54 (12): 382–90. doi:10.1111/j.1753-4887.1996.tb03851.x. PMID 9155210. 
  32. ^ Quadri, P; Fragiacomo, C; Pezzati, R; Zanda, E; Forloni, G; Tettamanti, M; Lucca, U (2004). "Homocysteine, folate, and vitamin B-12 in mild cognitive impairment, Alzheimer disease, and vascular dementia". The American Journal of Clinical Nutrition. 80 (1): 114–22. doi:10.1093/ajcn/80.1.114 (tidak aktif 31 October 2021). PMID 15213037. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-02-01. Diakses tanggal 2022-01-31. 
  33. ^ Shorvon, S D; Carney, M W; Chanarin, I; Reynolds, E H (1980). "The neuropsychiatry of megaloblastic anaemia". BMJ. 281 (6247): 1036–8. doi:10.1136/bmj.281.6247.1036. PMC 1714413alt=Dapat diakses gratis. PMID 6253016. 
  34. ^ Bryan, J; Calvaresi, E; Hughes, D (2002). "Short-term folate, vitamin B-12 or vitamin B-6 supplementation slightly affects memory performance but not mood in women of various ages". The Journal of Nutrition. 132 (6): 1345–56. doi:10.1093/jn/132.6.1345. PMID 12042457. 
  35. ^ Wahlin, Åke; Hill, Robert D.; Winblad, Bengt; Bäckman, Lars (1996). "Effects of serum vitamin B-sub-1-sub-2 and folate status on episodic memory performance in very old age: A population-based study". Psychology and Aging. 11 (3): 487–96. doi:10.1037/0882-7974.11.3.487. PMID 8893317. 
  36. ^ Durga, Jane; Van Boxtel, Martin PJ; Schouten, Evert G; Kok, Frans J; Jolles, Jelle; Katan, Martijn B; Verhoef, Petra (2007). "Effect of 3-year folic acid supplementation on cognitive function in older adults in the FACIT trial: A randomised, double blind, controlled trial". The Lancet (Submitted manuscript). 369 (9557): 208–216. doi:10.1016/S0140-6736(07)60109-3. PMID 17240287. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-12-23. Diakses tanggal 2022-01-31. 
  37. ^ Fioravanti, M; Ferrario, E; Massaia, M; Cappa, G; Rivolta, G; Grossi, E; Buckley, AE (1998). "Low folate levels in the cognitive decline of elderly patients and the efficacy of folate as a treatment for improving memory deficits". Archives of Gerontology and Geriatrics. 26 (1): 1–13. doi:10.1016/s0167-4943(97)00028-9. PMID 18653121. 
  38. ^ Institute of Medicine 1998, hlm. 306.
  39. ^ a b Hvas, AM; Nexo, E (2006). "Diagnosis and treatment of vitamin B12 deficiency--an update". Haematologica. 91 (11): 1506–12. PMID 17043022. 
  40. ^ a b Holmes, J. M. (1956). "Cerebral Manifestations of Vitamin-B12 Deficiency". BMJ. 2 (5006): 1394–8. doi:10.1136/bmj.2.5006.1394. PMC 2035923alt=Dapat diakses gratis. PMID 13374343. 
  41. ^ Vakhapova, Veronika; Cohen, Tzafra; Richter, Yael; Herzog, Yael; Korczyn, Amos D. (2010). "Phosphatidylserine Containing ω–3 Fatty Acids May Improve Memory Abilities in Non-Demented Elderly with Memory Complaints: A Double-Blind Placebo-Controlled Trial". Dementia and Geriatric Cognitive Disorders. 29 (5): 467–74. doi:10.1159/000310330. PMID 20523044. 
  42. ^ Jicha, GA; Markesbery, WR (Apr 7, 2010). "Omega-3 fatty acids: potential role in the management of early Alzheimer's disease". Clinical Interventions in Aging. 5: 45–61. doi:10.2147/cia.s5231. PMC 2854051alt=Dapat diakses gratis. PMID 20396634. 
  43. ^ Miranda S, Opazo C, Larrondo LF, Muñoz FJ, Ruiz F, Leighton F, Inestrosa NC (2000). "The role of oxidative stress in the toxicity induced by amyloid ß-peptide in Alzheimer's disease". Progress in Neurobiology. 62 (6): 633–648. doi:10.1016/S0301-0082(00)00015-0. PMID 10880853. 
  44. ^ Berry, RJ; Carter, HK; Yang, Q (July 2007). "Cognitive impairment in older Americans in the age of folic acid fortification". The American Journal of Clinical Nutrition. 86 (1): 265–7; author reply 267–9. doi:10.1093/ajcn/86.1.265. PMID 17616791. 
  45. ^ Reynolds, EH (Jun 22, 2002). "Folic acid, ageing, depression, and dementia". BMJ (Clinical Research Ed.). 324 (7352): 1512–5. doi:10.1136/bmj.324.7352.1512. PMC 1123448alt=Dapat diakses gratis. PMID 12077044. 

Pustaka

Kembali kehalaman sebelumnya