Wu Sangui (Tionghoa: 吳三桂; pinyin: Wú Sānguì) (1612-1678) adalah seorang pimpinan militer dinasti Ming yang memainkan peranan penting kejatuhan dinasti kepada suku Manchu yang kemudian mendirikan dinasti Qing.[1] Setelah dinasti Qing berdiri, Wu kembali membelot dengan alasan mempertahankan dinasti Ming.[2]
Kehidupan pribadi
Wu berasal dari keluarga militer dinasti Ming. Dia dan ayahnya bertugas di pasukan pertahanan. Kekuatan Manchu yang sedang berkembang kekuatannya di luar Tembok Besar beberapa kali membujuknya untuk membelot tetapi tidak pernah dia lakukan. Wu Sangui diangkat menjadi komandan utama pasukan perbatasan di perlintasan Shanhai yang membatasi Tembok Besar dengan wilayah Manchuria.[3] Wu Sangui adalah seorang jenderal yang setia kepada kekaisaran Ming yang sudah mulai pudar kejayaannya di saat itu.[4]
Hubungan dengan Dinasti Qing
Pada tahun 1644, pemberontak bernama Li Zicheng berhasil menaklukkan Beijing dan menyatakan berdirinya dinasti Shun.[4] Dalam pemberontakan tersebut, ayah Wu dan istri Wu bernama Chen Yuanyan ditawan. Dalam keadaan genting tersebut, dia memilih bernegosiasi dengan suku Manchu untuk meredam pemberontakan. Pertimbangan Wu adalah suku Manchu telah menerima nilai-nilai Konfusius, berbeda dengan perlakuan yang diperlihatkan oleh Li.[5] Di bawah pimpinan Dorgon, pasukan Manchu memasuki Tiongkok dari sebelah timur Tembok Besar di lintasan Shanhaiguan.[6] Namun, setelah menaklukkan Li, pasukan Manchu tidak meninggalkan Tiongkok dan mendirikan dinasti Qing.[1]
Setelah pendirian dinasti baru, suku Manchu menganugerahi Wu gelar bangsawan dan menikahkannya dengan seorang putri. Wu kemudian mendirikan pasukan tentara dan pemerintahan sendiri di daerah barat daya Tiongkok sementara istana di Beijing rutin memberikannya sejumlah perak setiap tahun.[2] Beberapa tahun kemudian, ketika kekaisaran Qing telah stabil, kekuatan politik dan militer Wu dihapus. Kaisar Kangxi memerintahkan Wu Sangui untuk menyerahkan kekuasaannya secara bertahap. Merasa tidak puas, Wu mulai melancarkan perlawanan. Di dalam pasukannya, terdapat banyak orang yang masih ingin memulihkan Kekaisaran Ming. Wu memanfaatkan hal tersebut dan mulai memberontak dengan alasan mengusir suku Manchu dan memulihkan Kekaisaran Ming. Pemberontakan Tiga Feudatories yang dilancarkannya berlangsung selama 8 tahun. Dalam beberapa tahun pertama, Wu Sangui menduduki hampir separuh Tiongkok berkat keterampilan militer dan pasukannya yang terlatih. Sayangnya, Wu sakit dan meninggal dunia pada 1678, 5 bulan setelah dia mendirikan dinasti baru "Zhou Raya" dan mengangkat dirinya sebagai kaisar. Putra sulungnya dieksekusi oleh kaisar Kangxi dan cucunya bunuh diri setelah menyadari kekalahan.[4]
Dalam budaya populer
Wu Sangui dianggap sebagai pengkhianat terhadap beberapa dinasti Tiongkok sekaligus. Wu Sangui banyak dikritik dalam sejarah Tiongkok karena pengkhianatannya terhadap dinasti Ming, Shun, dan Qing.[4] Sementara itu, gambaran dirinya menjadi positif dalam kisah cintanya dengan Chen Yuanyan. Kisah ini menjadi salah satu kisah terkenal dalam sastra Tiongkok.[7]