Tan Jin Sing (1760-1831) adalah seorang kapiten Tionghoa di Kedu (1793-1803) dan Yogyakarta (1803-1813).
Biografi
Tan Jin Sing terlahir dengan nama Raden Luwar dari pasangan Demang Beber dari Wonosobo dan Raden Ajeng Patrawijaya,putri dari Patih Danuredjo I/RT Yudhonegoro III.
Tan Jin Sing lantas diangkat oleh Oei The Long, seorang kapitan Cina dari Wonosobo setelah bapaknya meninggal dan ibunya tidak mampu merawat. Pada usia 11 tahun, Tan Jin Sing sudah menguasai lima bahasa, yaitu Belanda, Inggris, Jawa, Hokkian, Mandarin. Tan Jin Sing sendiri diketahui memang memiliki dua istri, satu dari kalangan Keraton sementara satunya adalah keturunan Tionghoa bermarga Yap.[butuh rujukan]
Pengangkatan sebagai bupati
Atas jasanya dalam membantu Inggris menggulingkan Sultan Sepuh dan mengangkat Sultan Hamengkubuwana III (ayah Pangeran Diponegoro), ia diangkat sebagai bupati (Bupati Nayoko) pada tanggal 18 September 1813 oleh Thomas Stamford Raffles dengan gelar Kanjeng Raden Tumenggung Secadiningrat.[1] Dengan demikian, ia menjadi cikal bakal salah satu dari tiga keturunan Tionghoa di dalam lingkungan Keraton Yogyakarta, yaitu Trah Secodiningrat, sementara dua keturunan lain adalah Trah Honggodrono dan Trah Kartodirjo.[2] Selain diangkat sebagai bupati bagi Keraton Yogyakarta, ia juga mendapatkan lahan sebesar 800 cacah yang sebagian besar berada di Loano di bagian timur Bagelen.[3]
Namun hal ini adalah pemberian jabatan yang dilakukan di bawah tekanan. Pemberian sebuah jabatan kepada seseorang yang merupakan keturunan Tionghoa seperti ini belum pernah terjadi sebelumnya di Keraton Yogyakarta. Walaupun sebelumnya, pada periode pra-Giyanti, hal serupa pernah terjadi, di mana keturunan Tionghoa menjadi pemungut pajak petani di wilayah pesisir utara Jawa. Hal ini sebelumnya malah dilarang oleh Hamengkubuwana I di mana orang keturunan Tionghoa dilarang memiliki hubungan dekat dengan keluarga kerajaan karena hal ini dapat memicu perselisihan. Pengangkatan Tan Jin Sing sebagai bupati juga menjadi pemicu sentimen anti-Tionghoa selama Perang Diponegoro.[3]
Keterlibatan dalam Geger Sepehi
Meskipun memiliki jasa besar terhadap Hamengkubuwana III, pengangkat Tan Jin Sing sebagai bupati memicu kontroversi karena perannya dalam peristiwa Geger Sepehi telah membuatnya dibenci oleh pihak keraton yang membela Sultan Sepuh. Ia juga dibenci oleh kalangan etnis Tionghoa karena dianggap bertanggung jawab dalam peristiwa pembantaian etnis Tionghoa dalam peristiwa Perang Diponegoro.[1][4]
Saat penyerangan Inggris terhadap keraton, Tan Jin Sing berjasa dalam penyelamatan rombongan purtra mahkota Hamengkubuwana III, termasuk Diponegoro, saat mereka dikepung prajurit sipahi di jalan Ngasem waktu sedang mencari perlindungan di Taman Sari. Setelah HB III menjadi sultan pada 21 Juni 1812, Tan Jing Sing terus berjasa dalam negosiasi dengan Inggris tentang perjanjian baru antara pemerintah Inggris dan keraton-keraton Jawa tengah-selatan. Karena jasanya itulah beliau diangkat sebagai seorang tumenggung Keraton Yogyakarta dan tanah apanase 800 cacah (keluarga petani penggarap), terutama di Loano, Bagelen Utara.[5]
Penemuan Candi Borobudur
Tan Jin Sing berjasa besar dalam membuat kemegahan Candi Borobudur dikenal dunia. Candi Borobudur awalnya ditemukan oleh anak buah Tan Jin Sing. Setelahnya, Tan Jin Sing sendiri mengeksplor candi tersebut dan meminta Thomas Stamford Raffles untuk melakukan restorasi.[butuh rujukan]
Akhir Hayat
Tan Jin Sing dikucilkan oleh masyarakat Jawa sekaligus masyarakat Tionghoa dalam akhir hayatnya dan meninggal secara relatif miskin pada Mei 1831. Meskipun setelah mendapatkan posisi istimewa setelah tahun 1812 dan mendapatkan koneksi bagus dengan pejabat Eropa (baik Inggris dan Belanda) maupun Keraton selama pemerintahan HB III dan HB IV namun menimbulkan kecemburuan dan dibenci kalangan konservatif Istana karena sudah merebut hak-hak istimewa untuk dirinya sendiri. Sayangnya dia juga dijauhi dan dicurigai oleh komunitas Tionghoa karena posisi politiknya yang unik dan sikapnya yang meninggalkan adat Tionghoa. Posisi aneh ini menggantung tidak nyaman diantara tiga dunia (dunia Cina, Eropa, dan Jawa) disimpulkan dengan bagus dalam pantun cerdik Yogyakarta: "Cina wurung, Londo durung, Jawa tanggung" (bukan lagi Cina, belum jadi Belanda, seorang Jawa setengah matang).[5]
Tan Jin Sing meninggal pada tahun 1831 pada usia 71. Jejak-jejak kehidupan Tan Jin Sing lainnya bisa ditemukan di Kampung Ketandan, Yogyakarta.[butuh rujukan]
Kultur populer
Referensi
Bacaan lanjut
- T.S. Werdoyo. 1990. "Tan Jin Sing: dari kapiten Cina sampai Bupati Yogyakarta". Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. ISBN 979-444-101-5.