Tafsir Al-Qur'an
TafsirQur'an (bahasa Arab: تفسير القرآن) adalah ilmu pengetahuan untuk memahami shamil dan qalifffnnn. enafsirkan yang bersangkutan dengan Al-Qur'an dan isinya berfungsi sebagai mubayyin (pemberi penjelasan), menjelaskan tentang arti dan kandungan Al-Qur'an, khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak di pahami dan samar artinya. Kebutuhan u terhadap tafsir Al-Qur'an, sehingga makna-maknanya dapat dipahami secara penuh dan menyeluruh, merupakan hal yang mendasar dalam rangka melaksanakan perintah Allah (Tuhan dalam Islam) sesuai yang dikehendaki-Nya.[1] Dalam memahami dan menafsirkan Al-Qur'an diperlukan bukan hanya pengetahuan bahasa Arab, tetapi juga berbagai macam ilmu pengetahuan yang menyangkut Al-Qur'an dan isinya. Ilmu untuk memahami Al-Qur'an ini disebut dengan Ushul Tafsir atau biasa dikenal dengan Ulumul Qur'an (ilmu-ilmu Al-Qur'an). Terdapat tiga bentuk penafsiran yaitu Tafsîr bil ma’tsûr, at-tafsîr bir ra’yi, dan tafsir isyari, dengan empat metode, yaitu ijmâli, tahlîli, muqârin dan maudhû’i. Sedangkan dari segi corak lebih beragam, ada yang bercorak sastra bahasa, fiqh, teologi, filsafat, tasawuf, ilmiyah dan corak sastra budaya kemasyarakatan. Usaha menafsirkan Al-Qur'an sudah dimulai semenjak zaman para sahabat Nabi ﷺ sendiri. ‘Ali ibn Abi Thâlib (w. 40 H), ‘Abdullah ibn ‘Abbâs (w. 68 H), ‘Abdullah Ibn Mas’ûd (w. 32 H) dan Ubay ibn Ka’ab (w. 32 H) adalah di antara para sahabat yang terkenal banyak menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an dibandingkan dengan sahabat-sahabat yang lain.[2] RAZIN DENGAN ZAFRAN GAGAGAGA DefinisiTafsīr (bahasa Arab: تفسير) adalah kata berakar triliteral f-s-r. F-s-r (ف-س-ر bermakna (1) tampak dan jelasnya sesuatu; (2) penyingkapan makna yang samar.[3] Secara istilah, tafsir (Qur'an) adalah penjelasan firman Allah yang merupakan mukjizat yang diturunkan kepada Muhammad.[3] As-Suyuthi menukil dari az-Zarkasyi, menjelaskan pengertian tafsir sebagai "ilmu untuk memahami kitab Allah yang diturunkan kepada Muhammad, menjelaskan makna-maknanya, menyimpulkan hikmah dan hukum-hukumnya."[2] Sedangkan menurut istilah, ada beberapa ahli yang mengemukakan pendapat mengenai pengertian tafsir menurut istilah. Abu Hayyan dalam Kitab A-Bahru Al-MuhithTafsir adalah ilmu yang membahas tentang bagaimana mengucapkan lafadz Al-Qur’an (ilmu qira’at), madlulnya (ilmu bahasa arab), hukumnya baik yang bersifat tunggal atau dalam untaian kalimat (ilmu sharaf, ilmu I’rab, ilmu bayan, dan ilmu badi’), dan makna-maknanya yang terkandung dalam tarkib (ilmu hakikat dan majaz) serta terkait dengan itu (termasuk di dalamnya ilmu nasakh, mansukh, asbabun-nuzul dan lainnya).[4] Az-Zarkashi dalam kitab Al-Burhan fi Ulum Al-Qur’anTafsir adalah ilmu yang mengenal Kitabullah (Al-Qur’an) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, menjelaskan makna-maknanya serta mengeluarkan hukum-hukum serta hikmah yang terkandung di dalamnya. Dapat disimpulkan, tafsir adalah ilmu yang mempelajari inti kandungan kitab Al-Qur’an yang diturunklan kepada Nabi Muhammad SAW, beserta penjelasan maknanya. Urgensi tafsir Al-Qur'an dalam IslamAl-Qur'an diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui Malaikat Jibril dalam bahasa Arab dengan segala macam kekayaan bahasanya. Di dalamnya terdapat penjelasan mengenai dasar-dasar aqidah, kaidah-kaidah syariat, asas-asas perilaku, menuntun manusia ke jalan yang lurus dalam berpikir dan beramal. Namun, Allah tidak menjamin perincian-perincian dalam masalah-masalah itu sehingga banyak lafal Al-Qur'an yang membutuhkan tafsir, apalagi sering digunakan susunan kalimat yang singkat namun luas pengertiannya. Dalam lafazh yang sedikit saja dapat terhimpun sekian banyak makna. Untuk itulah diperlukan penjelasan yang berupa tafsir Al-Qur'an.[5] Tujuan pewahyuan Al-Qur'an adalah tadabbur. Tadabbur adalah merenungi lafal-lafal Al-Qur'an untuk memahami maknanya. Allah berfirman, "Kitab (Al-Qur'an) yang Kami turunkan kepadamu penuh berkah agar mereka menghayati ayat-ayatnya dan agar orang-orang yang berakal sehat mendapat pelajaran."[Qur'an Sad:29] Jika tidak ada tadabbur, maka manusia akan kehilangan hikmah tersebut dan lafal-lafal Al-Qur'an tidak akan memberi pengaruh. Firman Allah yang lain, "Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur'an ataukah hati mereka terkunci?"[Qur'an Muhammad:24] Allah mencela orang-orang yang tidak men-tadabbur-i Al-Qur'an serta menyebutkan tentang terkuncinya dan tidak adanya kebaikan pada hati mereka.[5] Ulama-ulama terdahulu berpendapat atas wajibnya mempelajari tafsir Al-Qur'an. Mereka mempelajari lafal dan makna Al-Qur'an sehingga mereka bisa melaksanakan amal yang Allah maksudkan dalam Al-Qur'an. Tidak mungkin melakukan suatu amal yang tidak diketahui hakikat maknanya.[5] Abu Abdirrahman as-Sulamiy berkata, "Orang-orang yang mengajari kami Al-Qur'an, seperti Utsman bin Affan dan Abdullah bin Mas'ud, ketika belajar sepuluh ayat dari Al-Qur'an kepada Nabi, mereka tidak meminta tambah sampai mereka memahami ilmu dan amal yang terkandung di dalamnya. Mereka berkata, 'Oleh sebab itu, kami mempelajari Al-Qur'an sekaligus ilmu dan amal.'"[6] Sejarah tafsir Al-Qur'anSejarah ini diawali dengan masa Rasulullah ﷺ masih hidup sering kali timbul beberapa perbedaan pemahaman tentang makna sebuah ayat. Untuk itu mereka dapat langsung menanyakan pada Rasulullah ﷺ. Para sahabat yang terkenal banyak menafsirkan Al-Qur'an antara lain empat khalifah, Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, Ubay bin Ka'ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa al-Asy’ari, Abdullah bin Zubair. Pada masa ini belum terdapat satupun pembukuan tafsir dan masih bercampur dengan hadis. Sesudah generasi sahabat, datanglah generasi tabi’in yang belajar Islam melalui para sahabat di wilayah masing-masing. Ada tiga kota utama dalam pengajaran Al-Qur'an yang masing-masing melahirkan madrasah atau madzhab tersendiri, yaitu
Pada masa ini tafsir masih merupakan bagian dari hadis namun masing-masing madrasah meriwayatkan dari guru mereka sendiri-sendiri. Ketika datang masa kodifikasi hadis, riwayat yang berisi tafsir sudah menjadi bab tersendiri namun belum sistematis sampai masa sesudahnya ketika pertama kali dipisahkan antara kandungan hadits dan tafsir sehingga menjadi kitab tersendiri. Usaha ini dilakukan oleh para ulama sesudahnya seperti Ibnu Majah, Ibnu Jarir ath-Thabari, Abu Bakr ibn al-Munzir an-Naisaburi dan lainnya. Metode pengumpulan inilah yang disebut tafsir bil Ma`tsur. Perkembangan ilmu pengetahuan pada masa Dinasti Abbasiyah menuntut pengembangan metodologi tafsir dengan memasukan unsur ijtihad yang lebih besar. Meskipun begitu mereka tetap berpegangan pada tafsir bi al-Ma`tsur dan metode lama dengan pengembangan ijtihad berdasarkan perkembangan masa tersebut. Hal ini melahirkan apa yang disebut sebagai tafsir bi ar-ra'yi yang memperluas ijtihad dibandingkan masa sebelumnya. Lebih lanjut perkembangan ajaran tasawuf melahirkan pula sebuah tafsir yang biasa disebut sebagai tafsir isyari. Rujukan dalam Tafsir Al-Qur'anAl-Utsaimin menjelaskan bahwa tafsir Al-Qur'an merujuk pada sumber-sumber berikut.[7]
Bentuk Tafsir Al-Qur'anAdapun bentuk-bentuk tafsir Al-Qur'an yang dihasilkan secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga: Tafsir bi al-Ma`tsurDinamai dengan nama ini (dari kata atsar yang berarti sunnah, hadits, jejak, peninggalan) karena dalam melakukan penafsiran seorang mufassir menelusuri jejak atau peninggalan masa lalu dari generasi sebelumnya, terus sampai kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Tafsir bi al-Matsur adalah tafsir yang berdasarkan pada kutipan-kutipan yang shahih yaitu menafsirkan Al-Qur'an dengan Al-Qur'an, Al-Qur'an dengan sunnah, karena ia berfungsi sebagai penjelas Kitabullah, dengan perkataan sahabat. Para sahabatlah yang dianggap paling memahami Kitabullah. Setelah itu barulah perkataan tokoh-tokoh besar tabi'in, karena mereka pada umumnya menerimanya dari para sahabat. Menurut Al-Zarkasyi istilah tafsir Bil Al-matsur merupakan gabungan dari tiga fakta tafsir, bi, dan al-ma’tsur. Secara bahasa tafsir berarti mengungkap atau menyingkap. Bi berarti dengan. Sedangkan al-ma’tsur berarti ungkapan yang dinukil. Sedangkan secara etimologis pengertian tafsir bi al-ma’tsur yaitu : “Tafsir bi al-ma’tsur ialah tafsir yang berpegang kepada riwayat yang shahih, yaitu menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, atau dengan sunnah karena ia berfungsi menjelaskan kitabullah, atau dengan apa yang dikatakan oleh tokoh-tokoh besar tabi’in karena pada umumnya mereka menerima dari para sahabat. Diatas telah dibahas tentang perbedaan dalam memaknai tafsir bi al-ma’tsur. Pertama adalah pendapat yang meyakini tafsir bi al-ma’tsur dengan penafsiran Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, hadits, pendapat sahabat, dan tabi’in. kedua, tafsir yang berupa kompilasi penafsiran nabi, shahabat, dan tabi’in. sekilas redaksionalnya berdekatan, namun hakikat dari kedua definisi ini sangat jauh berbeda. Tidak diragukan lagi, tafsir bi al-Ma’tsur yang berasal dari Sahabat mempunyai nilai tersendiri. Jumhur `ulama berpendapat, tafsir Sahabat mempunyai status hukum marfu’ (disandarkan kepada Rasulullah) bila berkenaan dengan asbab al’nuzul dan semua hal yang tidak mungkin dimasuki ra’yu. Sedang hal yang memungkinkan dimasuki ra’yu maka statusnya adalah mauquf (terhenti) pada sahabat selama tidak disandarkan kepada Rasulullah. Tafsir-tafsir bil ma'tsur yang terkenal antara lain: Tafsir Ibnu Jarir, Tafsir Abu Laits As Samarkandy, Tafsir Ad Dararul Ma'tsur fit Tafsiri bil Ma'tsur (karya Jalaluddin As Sayuthi), Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Al Baghawy dan Tafsir Baqy ibn Makhlad, Asbabun Nuzul (karya Al Wahidy) dan An Nasikh wal Mansukh (karya Abu Ja'far An Nahhas). Tafsir bi ar-Ra'yiSeiring perkembangan zaman yang menuntut pengembangan metode tafsir karena tumbuhnya ilmu pengetahuan pada masa Daulah Abbasiyah maka tafsir ini memperbesar peranan ijtihad dibandingkan dengan penggunaan tafsir bi al-Matsur. Dengan bantuan ilmu-ilmu bahasa Arab, ilmu qiraah, ilmu-ilmu Al-Qur'an, hadits dan ilmu hadits, ushul fikih dan ilmu-ilmu lain seorang mufassir akan menggunakan kemampuan ijtihadnya untuk menerangkan maksud ayat dan mengembangkannya dengan bantuan perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan yang ada. Contoh Tafsir bir ra'yi dalam Tafsir Jalalain: “khalaqal insaana min 'alaq” (Surat Al Alaq: 2) Kata 'alaq disini diberi makna dengan bentuk jamak dari lafaz 'alaqah yang berarti segumpal darah yang kental. Adapun istilah tafsir bir-ra’yi dijadikan sebagai lawan dari tafsir bil ma’tsur, dengan makna ra’yu adalah logika, pendapat, akal dan opini. Maksudnya sumber penafsiran suatu ayat bukan didasarkan pada riwayat dan sanad yang sampai ke shahabat atau Rasulullah SAW, melainkan penjelasannya datang dari diri sang mufassir sendiri. Kadang juga diistilahkan dengan tafsir bid-dirayah dimana maknua dirayah itu sama saja dengan makna ra’yu, yaitu yang artinya mengerti, mengetahui, dan memahami. Bahkan menurut Syekh Muhammad Ali As-Shobuni yang dimaksud ra’yu adalah al-ijtihad. Tafsir bi al-ra’yi disebut juga dengan istilah tafsir bi al-ma’qul, tasfir bi al-ijtihad atau tafsir bi al-istinbath yang secara selintas mengisyratkan tafsir ini lebih berorentasi kepada penalaran ilmiah yang bersifat aqli (rasional) dengan pendekatan kebahasaan yang menjadi dasar penjelasannya. Itulah sebabnya mengapa para ulama berbeda-beda pendapat dalam menilai tafsir bi al-ra’yi. Akan halnya ijtihad yang memungkinkan hasilnya benar atau salah, maka tafsir bi al-ra’yi juga demikian adanya. Ada yang dianggap benar yang karenanya maka layak dipedomani, tetapi ada juga yang dianggap salah atau menyimpang dan karenanya maka harus dijauhi. Misalnya ketika menjelaskan makna bahasa suatu kata dalam Al-Quran, sang mufassir menjelaskan bahwa secara makna bahasa, kata yang dimaksud itu punya akar kata terentu dan juga dijelaskan bagaimana penggunaannya oleh orang Arab. Tentu penjelasan secara kebahasaan seperti ini tidak datang dari Nabi SAW, para shahabat atau tabi’in, melainkan datang dari diri sang mufassir sendiri yang mana dia memang ahli di bidang bahasa Arab. Atau misalnya ketika seorang mufassir menjelaskan pelajaran yang bermanfaat yang didapat dari suatu ayat, tentu saja ini pun tidak ada penjelasan dari Nabi SAW atau atsar para shahabat. Sebab menguraikan pelajaran serta hikmah apa yang bisa didapat dari suatu ayat tentu bisa dilakukan oleh setiap orang. Dan di masa modern para ilmuwan dan pakar ilmu pengetahuan seringkali mengaitkan informasi di dalam suatu ayat dengan apa-apa yang mereka temukan dalam fakta-fakta ilmiyah. Tentu temuan mereka ini juga tidak bersumber dari atsar, melainkan dari hasil pengamatan mereka sendiri serta fakta-fakta dalam ilmu pengetahuan sendiri. Maka semua hal itu oleh kebanyakan ulama masih dianggap sebagai bagian dari bentuk penafsiran Al-Quran, dan dinamakanlah dengan istilah tafsir bir-ra’yi, sebagai antitesis dari tafsir bil ma’tsur. Dalam implementasinya, tafsir bir-ra’yi ini oleh para ulama dibagi menjadi dua macam, yaitu tafsir dengan logika yang terpuji dan tasfir dengan logika yang tidak terpuji. Memang begitulah istilah yang digunakan, yaitu terpuji dan tidak terpuji. Nampaknya penggunaan istilah ini ingin menghindari klaim benar atau salah Beberapa tafsir bir ra'yi yang terkenal antara lain: Tafsir Al Jalalain (karya Jalaluddin Muhammad Al Mahally dan disempurnakan oleh Jalaluddin Abdur Rahman As Sayuthi),Tafsir Al Baidhawi, Tafsir Al Fakhrur Razy, Tafsir Abu Suud, Tafsir An Nasafy, Tafsir Al Khatib, Tafsir Al Khazin. Tafsir IsyariMenurut kaum sufi, setiap ayat mempunyai makna yang zahir dan batin. Yang zahir adalah yang segera mudah dipahami oleh akal pikiran sedangkan yang batin adalah yang isyarat-isyarat yang tersembunyi dibalik itu yang hanya dapat diketahui oleh ahlinya. Isyarat-isyarat kudus yang terdapat di balik ungkapan-ungkapan Al-Qur'an inilah yang akan tercurah ke dalam hati dari limpahan gaib pengetahuan yang dibawa ayat-ayat. Itulah yang biasa disebut tafsir Isyari. tafsyir berdasarkan intuisi, atau bisikan batin Contoh bentuk penafsiran secara Isyari antara lain adalah pada ayat: '“.......Innallaha ya`murukum an tadzbahuu baqarah.....” (Surat Al Baqarah: 67) Yang mempunyai makna zhahir adalah “......Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina...” tetapi dalam tafsir Isyari diberi makna dengan “....Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih nafsu hewaniah...”. Beberapa karya tafsir Isyari yang terkenal antara lain: Tafsir An Naisabury, Tafsir Al Alusy, Tafsir At Tastary, Tafsir Ibnu Araby. Metodologi Tafsir Al-Qur'anMetodologi Tafsir dibagi menjadi empat macam, yaitu metode tahlili, metode ijmali, metode muqarin, dan metode maudlu’i. Metode Tahlili (Analitik)Metode ini adalah yang paling tua dan paling sering digunakan. Menurut Muhammad Baqir ash-Shadr, metode ini, yang ia sebut sebagai metode tajzi'i, adalah metode yang mufasir-nya berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Qur'an dari berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat Al-Qur'an sebagaimana tercantum dalam Al-Qur'an. Tafsir ini dilakukan secara berurutan ayat demi ayat kemudian surat demi surat dari awal hingga akhir sesuai dengan susunan Al-Qur'an. Dia menjelaskan kosakata dan lafazh, menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan ayat, yaitu unsur-unsur i’jaz, balaghah, dan keindahan susunan kalimat, menjelaskan apa yang dapat diambil dari ayat yaitu hukum fiqih, dalil syar’i, arti secara bahasa, norma-norma akhlak dan lain sebagainya. Menurut Malik bin Nabi, tujuan utama ulama menafsirkan Al-Qur'an dengan metode ini adalah untuk meletakkan dasar-dasar rasional bagi pemahaman akan kemukjizatan Al-Qur'an, sesuatu yang dirasa bukan menjadi kebutuhan mendesak bagi umat Islam dewasa ini. Karena itu perlu pengembangan metode penafsiran karena metode ini menghasilkan gagasan yang beraneka ragam dan terpisah-pisah . Kelemahan lain dari metode ini adalah bahwa bahasan-bahasannya amat teoretis, tidak sepenuhnya mengacu kepada persoalan-persoalan khusus yang mereka alami dalam masyarakat mereka, sehingga mengesankan bahwa uraian itulah yang merupakan pandangan Al-Qur'an untuk setiap waktu dan tempat. Hal ini dirasa terlalu “mengikat” generasi berikutnya. Metode Ijmali (Global)Metode ini adalah berusaha menafsirkan Al-Qur'an secara singkat dan global, dengan menjelaskan makna yang dimaksud tiap kalimat dengan bahasa yang ringkas sehingga mudah dipahami. Urutan penafsiran sama dengan metode tahlili namun memiliki perbedaan dalam hal penjelasan yang singkat dan tidak panjang lebar. Keistimewaan tafsir ini ada pada kemudahannya sehingga dapat dikonsumsi oleh lapisan dan tingkatan kaum muslimin secara merata. Sedangkan kelemahannya ada pada penjelasannya yang terlalu ringkas sehingga tidak dapat menguak makna ayat yang luas dan tidak dapat menyelesaikan masalah secara tuntas. Metode MuqarinTafsir ini menggunakan metode perbandingan antara ayat dengan ayat, atau ayat dengan hadits, atau antara pendapat-pendapat para ulama tafsir dengan menonjolkan perbedaan tertentu dari objek yang diperbandingkan itu. Metode Maudhu’i (Tematik)Tafsir berdasarkan tema, yaitu memilih satu tema dalam Al-Qur'an untuk kemudian menghimpun seluruh ayat Al-Qur'an yang berkaitan dengan tema tersebut baru kemudian ditafsirkan untuk menjelaskan makna tema tersebut. Metode ini adalah metode tafsir yang berusaha mencari jawaban Al-Qur'an dengan cara mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur'an yang mempunyai tujuan satu, yang bersama-sama membahas topik atau judul tertentu dan menertibkannya sesuai dengan masa turunnya selaras dengan sebab-sebab turunnya, kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan hubungan-hubungannya dengan ayat-ayat lain kemudian mengambil hukum-hukum darinya. Macam tafsir Al-Qur'anSetiap penafsir akan menghasilkan corak tafsir yang berbeda tergantung dari latar belakang ilmu pengetahuan, aliran kalam, mahzab fiqih, kecenderungan sufisme dari ahli tafsir itu sendiri sehingga tafsir yang dihasilkan akan mempunyai berbagai corak. Abdullah Darraz mengatakan dalam an-Naba’ al-Azhim sebagai berikut:
Di antara berbagai corak itu antara lain adalah:
PerkembanganIlmu tafsir Al-Qur'an terus mengalami perkembangan sesuai dengan tuntutan zaman. Perkembangan ini merupakan suatu keharusan agar Al-Qur'an dapat bermakna bagi umat Islam. Pada perkembangan terbaru mulai diadopsi metode-metode baru guna memenuhi tujuan tersebut. Dengan mengambil beberapa metode dalam ilmu filsafat yang digunakan untuk membaca teks Al-Qur'an maka dihasilkanlah cara-cara baru dalam memaknai Al-Qur'an. Di antara metode-metode tersebut yang cukup populer antara lain adalah Metode Tafsir Hermeneutika dan Metode Tafsir Semiotika. Tafsir terkenal antara lain
Ilmu terkait
Lihat pulaPranala luarReferensiKutipan
Daftar pustaka
Sumber daring
|