Proteksionisme atau Proteksi Perdagangan (bahasa Inggris: trade protection) adalah suatu kebijakan yang diambil pemerintah suatu negara yang mengarah pada perlindungan ekonomi yang mengetatkan perdagangan atau membatasi persaingan dengan negara-negara lain melalui cara-cara pembatasan arus ekspor dan impor barang dan jasa seperti tarif barang impor, batas kuota impor, dan berbagai peraturan pemerintah yang bertujuan melindungi ekonomi dalam negeri.[1]
Proteksi perdagangan diambil dengan berbagai bentuk seperti tarif impor, subsidi, kuota, pelabelan, persyaratan keamanan dan kesehatan produk. Tujuannya adalah untuk melindungi kepentingan perekonomian domestik, misalnya melindungi produsen lokal dari persaingan impor. Kebijakan ini bertentangan dengan perdagangan bebas yang meminimalkan pembatasan perdagangan oleh pemerintah.
Di era modern, proteksionisme semakin erat kaitannya dengan anti-globalisasi dan anti-imigrasi. Istilah ini sering digunakan dalam konteks ekonomi; proteksionisme dalam ekonomi mengacu pada kebijakan atau doktrin yang melindungi perusahaan dan pekerja di suatu negara dengan membatasi atau mengatur perdagangan luar negeri.[2]
Kebijakan proteksionis
Berbagai kebijakan telah diterapkan untuk mencapai tujuan-tujuan proteksionis, yaitu:
Kampanye politik yang mendorong konsumsi produk dalam negeri (e.g. kampanye "100% Indonesia" yang dianggap sebagai proteksionisme di luar hukum)
Belanja pemerintah preferensial, misalnya Buy American Act, UU federal yang meminta pemerintah Amerika Serikat mengutamakan pembelian produk-produk buatan A.S.
Dalam perdagangan modern, sejumlah inisiatif selain tarif disebut sebagai tindakan proteksionis. Contohnya, Jagdish Bhagwati memandang upaya negara-negara maju dalam menegakkan standar tenaga kerja atau standar lingkungan sebagai tindakan proteksionis. Selain itu, pelaksanaan prosedur sertifikasi ketat untuk barang impor juga dianggap proteksionisme.
Pihak lainnya memaparkan bahwa perjanjian perdagangan bebas biasanya memiliki pasal proteksionis untuk properti intelektual, hak cipta, dan pembatasan paten yang menguntungkan perusahaan besar. Pasal seperti ini menyerahkan perdagangan musik, film, obat-obatan, perangkat lunak, dan barang manufaktur lain kepada produsen berbiaya tinggi dan menghapus kuota produsen berbiaya rendah.[4][5]
Sejarah
Kebanyakan negara maju yang sekarang mendukung perdagangan bebas pernah menerapkan proteksionisme, seperti penetapan tarif dan subsidi, untuk mengembangkan industri mereka. Pada awal abad ke-19, Britania Raya menerapkan kebijakan industri dan perdagangan yang melindungi industri di dalam negeri. Sementara Amerika Serikat merupakan negara yang paling memproteksi perekonomiannya selama periode antara Perang Sipil hingga Perang Dunia II seperti yang disarankan oleh Alexander Hamilton. Untuk melindungi industri-industrinya, pemerintah AS tidak mendengarkan saran dari Adam Smith, David Ricardo, hingga Jean-Baptiste Say yang melihat pertanian sebagai sektor masa depan. Pada saat itu, AS memilih meniru Britania Raya yang sukses melalui kebijakan proteksi dan subsidi. Sebagian besar negara kapitalis maju telah menerapkan proteksionisme untuk melindungi dan mempromosikan industrinya pada fase awal, seperti Jerman, Jepang, Korea Selatan, dan Swedia.[6]