Mangkunegara VI naik takhta menggantikan kakanya, Mangkunegara V, diusianya sekitar 40 tahun. Menjadi hal yang biasa di dalam tradisi Mangkunegaran, bahwa Mangkunegara yang turun takhta karena usia lanjut atau meninggal tidak selalu digantikan oleh putra tertuanya. Kebiasaan ini sudah dimulai sejak Mangkunegara I yang digantikan oleh cucunya yang menjadi Mangkunegara II. Begitu pula dengan Mangkunegara IV yang merupakan sepupu Mangkunegara III. Berikutnya Mangkunegara VII adalah keponakan dari Mangkunegara VI, anak dari Mangkunegara V, tetapi bukan putra tertuanya.
Tampil Sebagai Penguasa Mangkunegaran
Mangkunegara VI mulai bertakhta pada tanggal 21 November 1896, dan selanjutnya tampil sebagai penguasa yang membawa pembaharuan dan perubahan. Berbeda dengan kakaknya Mangkunegara V yang mengedepankan kesenian, Mangkunegara VI lebih mengedepankan keuangan dan ekonomi sehingga kas kerajaan yang pada zaman kakaknya memerintah hampir kosong oleh Mangkunegara VI digemukkan kembali. Segala macam kebutuhan yang menghisap keuangan dan tidak terlalu utama disingkirkan untuk efisiensi. Keuangan Mangkunegaran pada masa itu sedang jatuh akibat kurang tertibnya manajemen pengelolaan dalam bisnisnya. Disamping itu, harga gula di pasaran dunia juga sedang jatuh karena mendapat pesaing baru dari Brasil. Pada masa Mangkunegara VI ini, utang kerajaan yang ditinggalkan pendahulunya dapat dilunasi.
Mangkunegara VI juga mempelopori model penampilan dengan pemotongan rambut yang pendek dengan memotong rambutnya sendiri dan semua pejabat serta kawula diwajibkan untuk tidak memelihara rambut panjang bagi laki laki. Sembah sungkem kepada atasan juga diubah tidak berkali-kali, tetapi cukup tiga kali. Ikatan dengan Kasunanan yang mewajibkan Mangkunegara harus menghadap setiap persidangan kerajaan diputus sehingga Mangkunegaran selain otonom juga menjadi pesaing semakin serius dalam memperebutkan hegemoni kebudayaan di Jawa.
Sebelum Mangkunegara VI bertakhta, sistem pertemuan dengan duduk dilantai dan pada masa pemerintahannya diubah dengan sistem duduk di kursi dan hal ini adalah yang pertama kali sejak Mangkunegaran berdiri. Mangkunegara VI pulalah yang memberi izin bagi kerabat pura untuk memeluk agama Kristen.
Pemerintahan
Perekonomian Mangkunegaran
Terhitung 1 Juni 1899 semua kepengurusan perusahaan perusahaan Mangkunegaran kembali lagi ke Praja Mangkunegaran dengan pengendali langsung oleh Mangkunegara VI yang memisahkan antara keuangan perusahaan dan keuangan kerajaan. Akibat dari kebijakan penguasa Mangkunegaran ini, semua perusahaan berada dalam kontrol seorang superintenden (Wasino, 2008) dan campur tangan residen Belanda dalam keuangan perusahaan berakhir. Sektor-sektor ekonomi pedesaan tradisional diubah menjadi modern dengan jalan memperbanyak perkebunan dengan ditanami kopi, nila, tebu, atau gula di wilayah Praja (Lombard, 1996). Kondisi wilayah Mangkunegaran yang agraris difungsikan dan dikelola dengan prinsip keteraturan warisan ayahnya.
Konflik antara Residen dengan Mangkunegara VI sering terjadi dalam tarik ulur karena pihak Mangkunegaran yang memiliki otonomi pengaturan menolak campur tangan Residen. Residen Surakarta Van Wijk melakukan intervensi dengan cara pihak Mangkunegaran diwajibkan untuk konsultasi dalam melakukan anggaran keuangan kerajaan. Disamping itu MangkunegaraVI juga pernah melakukan penyitaan terhadap Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (perusahaan kereta api swasta Belanda), yang tidak mampu membayar pajak untuk tanah-tanah yang disewanya.
Politik Dan Kebijakan Pemerintahan
1. Politik Ikat Pinggang
Politik ikat pinggang menerangkan pada maksud bahwa demi menyelamatkan Mangkunegaran dari keterpurukan dan kebangkrutan sebagai suatu kadipaten, maka efisiensi penggunaan keuangan diupayakan untuk ditekan sedemikian rupa sehingga keterpurukan yang mengancam pada kebangkrutan dapat diatasi.
2. Kebijakan Praja
Kebijakan yang diterapkan sehubungan dengan target memperoleh kembali perolehan yang memadai menyebabkan sang penguasa memperoleh predikat sebagai penguasa dan pedagang (Tempo, 16 Mei 1987), hal mana yang demikian ini kemudian hari ditiru dan diikuti oleh Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Dari aktivitas penguasa yang juga berperan sebagai seorang saudagar di kalangan Jawa sering terungkap istilah ndoro Bakulan.
Semua tanah di wilayah Mangkunegaran dicabut dari tradisi dan dijadikan perkebunan-perkebunan yang menghasilkan di pasaran dunia.
3. Kebijakan Dalam Reorganisasi Legiun
Jabatan Komandan Utama Legiun Mangkunegaran secara otomatis berada di tangan Mangkunegara yang sedang bertakhta dengan pangkat Kolonel. Di bawah Komandan Utama adalah Wakil Komandan yang pada waktu itu dijabat oleh KPH Gondosuputra. Perampingan organisasi untuk kesesuaian anggaran dijalankan oleh Mangkunegara VI dengan menghapus jabatan Wakil Komandan. KPH Gondosuputra, oleh Mangkunegara VI diberhentikan dengan hormat sebagai pensiunan Letnan Kolonel Wakil Komandan Legiun Mangkunegaran
4. Sewa Tanah
Sewa tanah yang dijalankan oleh penguasa Mangkunegaran yang keenam adalah sewa tanah di Banjarsari, Surakarta. Tanah ini disewakan kepada bangsa Belanda untuk digunakan sebagai pemukiman elit. Dengan tumbuhnya pemukiman elit, tanah di Banjarsari menjadi Villa park yang menghasilkan pemasukan finansial bagi praja.
Mengundurkan diri Sebagai Penguasa
Pemerintahannya yang tampil dengan banyak perubahan dan anti Belanda berkesudahan dengan ketegangan dan tragis. Mangkunegara VI memiliki putera dan putri: KPA Suyono Handayaningrat dan BRAy Suwasti Hatmosurono. Ketika Mangkunegara VI berkehendak menjadikan putranya sebagai calon pengganti dia di-veto oleh kelompok kerabat Pangeran dan Belanda. Akhirnya Mangkunegara VI mengundurkan diri dan bermukim di Surabaya. Mangkunegara VI adalah satu-satunya raja di Mangkunegaran yang mengundurkan diri atas kehendak sendiri (Media Komunikasi Keluarga Ex-HIK Yogyakarta, 1987). Dalam kesaksian Partini dikatakan bahwa Mangkunegara VI pada bulan 11 Januari 1916 mengundurkan diri secara diam-diam dan berangkat dengan seluruh keluarganya menuju Surabaya ( Singgih, Pamoentjak, Roswitha, 1986)
Di Surabaya, putra dan menantu Mangkunegara VI yaitu KPA Suyono Handayaningrat dan RMP Hatmosurono aktif dalam pergerakan Budi Utomo dan bersama dengan Dr. Sutomo mendirikan partai politik bernama Parindra.
Ketika wafat Mangkunegara VI tidak disemayamkan di Astana Mangadeg atau Astana Girilayu melainkan di Astana Utoro Nayu, Surakarta. Di Mangkunegaran yang bertakhta selanjutnya adalah keponakannya yaitu RMA. Suryasuparta sebagai Mangkunegara VII. Mangkunegara VI memilih Surabaya sebagai tempat pada hari tua nya untuk mempersiapkan putra dan menantunya melanjutkan konsep tata negara yang tidak dapat dilaksanakan melalui sebuah Kadipaten.
Bacaan lain
Gema Edisi Yubileum HIK Yogyakarta 60 tahun, Juli 1987, dalam:Media Komunikasi Keluarga Ex-HIK Yogyakarta, 1987.
Damar Pustaka, Sufism in Javanese spiritual life; Literary Study based on Serat Wedhatama written by K.G.P.A.A. Mangkunegara IV.
Haryanto, S.,Pratiwimba adhiluhung;Sejarah dan Perkembangan Wayang,Jakarta:Djambatan, 1988
Soetomo(Raden),Paul W.Van der Veur,Kenang-kenangan Dokter Soetomo,Jakarta:Sinar Harapan, 1984.
Samad, Bahrin, Suka duka pelajar Indonesia di Jepang sekitar Perang Pasifik, 1942-1945,Collection of accounts of Indonesian alumni from Japanese universities, 1942-1945.
Ktut Sudiri Panyarikan,Dr. Saharjo, S.H., Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1983.
The Journal of Asian studies, Volume 47, Association for Asian Studies, 1988.
Sutan takdir Alisyahbana, Achdiad Kartamiharja,Polemik kebudayaan: pergulatan pemikiran terbesar dalam sejarah kebangsaan, JAKARTA: PT Balai Pustaka, 2008.
Wasino, Kapitalisme bumi putra: perubahan masyarakat Mangkunegaran, Yogyakarta:LKIS, 2008.
Suara Merdeka, Semarang, 4 November 2009.
Pranoto, W. Suhartono, Bandit-Bandit Pedesaan di Jawa, study historis 1850-1942, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010.
Suryo Danisworo,Hendri Tanjung, Membuat Tempat Kerja Feel at Home: 7 Prinsip Suryo Management , Jakarta: GRASINDO, 2004.