Lima Prinsip Hidup Berdampingan Secara DamaiLima Prinsip Hidup Berdampingan Secara Damai (Hanzi: 和平共处五项原则; Pinyin: Hépíng gòngchǔ wǔ xiàng yuánzé) yang juga disebut sebagai Panchsheel, adalah seperangkat prinsip hubungan luar negeri yang diperkenalkan oleh pemerintah Tiongkok dalam Perjanjian Tiongkok-India 1954. Prinsip-prinsip ini kemudian diadopsi dalam berbagai resolusi dan pernyataan, termasuk mukadimah Konstitusi Republik Rakyat Tiongkok.[1] Prinsip-prinsipLima Prinsip, sebagaimana tercantum dalam Perjanjian Sino-India 1954, yaitu:
Prinsip-prinsip ini sangat sesuai dengan prinsip-prinsip tradisional Westfalen yang menekankan kedaulatan negara.[2] SejarahPerjanjian Panchsheel memainkan peran penting dalam memperkuat kerja sama ekonomi dan keamanan antara India dan Tiongkok, yang merupakan tonggak penting dalam hubungan mereka. Perjanjian ini didasarkan pada keyakinan bahwa negara-negara yang baru merdeka, setelah era dekolonisasi, dapat mengembangkan pendekatan yang segar dan berlandaskan etika terhadap urusan global, sehingga membentuk hubungan internasional mereka dengan cara yang lebih berprinsip.[3] Menurut VV Paranjpe, seorang diplomat India yang memiliki pengetahuan luas tentang Tiongkok, Zhou Enlai merupakan orang pertama yang mengartikulasikan prinsip-prinsip Panchsheel di depan umum. Pada tanggal 31 Desember 1953, ketika menerima delegasi India untuk pembicaraan perdagangan Tibet, Zhou Enlai mempresentasikannya sebagai "lima prinsip yang mengatur hubungan Tiongkok dengan negara-negara asing".[4] Selanjutnya, selama pernyataan bersama di Delhi pada 18 Juni 1954,[4] Perdana Menteri Jawaharlal Nehru dan Perdana Menteri Zhou Enlai menekankan prinsip-prinsip ini dalam pidato yang disiarkan di Konferensi Perdana Menteri Asia di Kolombo, Sri Lanka. Nehru bahkan menyatakan keyakinannya bahwa: "Jika semua negara mengakui prinsip-prinsip ini dalam hubungan timbal balik mereka, maka hampir tidak akan ada konflik dan tentu saja tidak ada perang."[5] Ada yang berpendapat bahwa asal-usul kelima prinsip tersebut dapat ditelusuri sebagian dari lima prinsip (Pancasila) yang diproklamasikan oleh pemimpin nasionalis Indonesia, Soekarno, pada Juni 1945. Prinsip-prinsip ini menjadi fondasi bagi lembaga-lembaga di masa depan. Indonesia mencapai kemerdekaan pada tahun 1949.[6] Prinsip-prinsip Panchsheel diadaptasi dan digabungkan, dengan beberapa modifikasi, dalam sebuah pernyataan yang disebut Sepuluh Prinsip Hidup Berdampingan Secara Damai (juga dikenal sebagai Dasasila Bandung).[7] Pernyataan ini dikeluarkan pada April 1955 dalam Konferensi Asia–Afrika yang bersejarah yang diadakan di Bandung, Indonesia. Konferensi ini memainkan peran penting dalam membentuk gagasan bahwa negara-negara pasca-kolonial memiliki kontribusi istimewa untuk ditawarkan kepada dunia. Lebih lanjut, "sebuah resolusi tentang hidup berdampingan secara damai, yang dipresentasikan bersama oleh India, Yugoslavia, dan Swedia, diadopsi dengan suara bulat oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 1957".[8] Lima Prinsip, sebagaimana diadopsi di Kolombo dan forum-forum lainnya, menjadi dasar bagi pembentukan Gerakan Non-Blok di Beograd, Yugoslavia, pada tahun 1961.[9] Tiongkok secara konsisten menyoroti hubungannya yang kuat dengan Lima Prinsip.[10] Pada awalnya, Tingkok mempresentasikannya sebagai Lima Prinsip Hidup Berdampingan Secara Damai selama negosiasi yang diadakan di Delhi dari Desember 1953 hingga April 1954. Perundingan ini melibatkan Delegasi Pemerintah Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan Delegasi Pemerintah India, dengan fokus pada wilayah yang disengketakan di Aksai Chin (yang diklaim oleh Tiongkok) dan wilayah yang disebut Tiongkok sebagai Tibet Selatan (yang diklaim oleh India sebagai Arunachal Pradesh). Perjanjian yang dicapai pada 28 April 1954 ini dimaksudkan untuk berlaku selama delapan tahun.[11] Namun, ketika perjanjian tersebut berakhir, hubungan antara kedua negara sudah mulai memburuk. Ketentuan untuk memperbarui perjanjian tidak dilakukan, yang pada akhirnya menyebabkan pecahnya Perang Tiongkok-India. Selama kunjungan ke Tingkok pada 1979, Atal Bihari Vajpayee, yang merupakan Menteri Luar Negeri India pada saat itu dan kemudian menjadi Perdana Menteri, istilah Panchsheel diangkat dalam diskusi dengan pihak Tiongkok.[12] Pada peringatan 50 tahun perjanjian ini, Kementerian Luar Negeri Republik Rakyat Tiongkok menyatakan pentingnya membangun tatanan internasional baru berdasarkan Lima Prinsip Hidup Berdampingan Secara Damai.[13] Pada tahun 2004, Perdana Menteri Wen Jiabao juga menyampaikan pernyataan yang mendukung prinsip-prinsip ini:[1]
Pada Juni 2014, Tiongkok memberikan sambutan hangat kepada Wakil Presiden India, Hamid Ansari, ketika ia memasuki Aula Besar Rakyat di Beijing untuk memperingati ulang tahun ke-60 penandatanganan Perjanjian Panchsheel.[14] Pada 2017, pemimpin Tiongkok, Xi Jinping menyatakan kesiapan Tiongkok untuk berkolaborasi dengan India, menekankan pentingnya mencari panduan dari lima prinsip Panchsheel.[15] Konteks lainLima Prinsip Hidup Berdampingan Secara Damai tidak hanya terbatas pada perjanjian tertentu tetapi juga dianggap sebagai norma politik yang mendasar di Tiongkok. Hal ini ditekankan dalam laporan Hu Yaobang kepada Kongres Nasional ke-12 Partai Komunis Tiongkok pada 1982. Laporan tersebut menyatakan bahwa Tiongkok menganut kebijakan luar negeri yang independen dan menjalankan hubungannya dengan negara-negara lain dengan berpedoman pada Lima Prinsip Hidup Berdampingan Secara Damai.[16] Sudut pandang Hu, seperti yang diungkapkan dalam laporan tersebut, menekankan tekad Tiongkok untuk mempertahankan kemerdekaannya dan tidak bergantung pada negara atau kelompok negara besar mana pun. Tiongkok juga tidak akan menyerah pada tekanan dari negara besar manapun. Lebih lanjut, Hu menyoroti bahwa Lima Prinsip Hidup Berdampingan Secara Damai berlaku untuk hubungan Tiongkok dengan semua negara, termasuk negara-negara yang menganut sistem sosialis.[16] Lima Prinsip Hidup Berdampingan Secara Damai juga telah memainkan peran penting dalam membentuk hubungan Tiongkok-Pakistan.[16] Dalam pidatonya di parlemen Pakistan pada 1999, Li Peng, Ketua Komite Tetap Kongres Rakyat Nasional Tiongkok, menekankan bahwa Tiongkok secara konsisten mengejar kebijakan luar negeri independen berdasarkan perdamaian, membangun dan membina hubungan dengan negara-negara lain di atas fondasi Lima Prinsip Hidup Berdampingan Secara Damai.[17] Prinsip-prinsip ini kemudian diformalkan lebih lanjut dalam Perjanjian Persahabatan, Kerja Sama, dan Hubungan Bertetangga yang Baik pada April 2005, yang ditandatangani dalam kunjungan Perdana Menteri Tiongkok Wen Jiabao ke Pakistan.[17] Lima Prinsip Hidup Berdampingan Secara Damai berfungsi sebagai norma-norma politik mendasar yang mendukung Forum Kerja Sama Tiongkok-Arab (CACF) dan Forum Kerja Sama Tiongkok-Afrika (FOCAC).[2] Setelah intervensi NATO di Libya pada 2011, Tiongkok telah meningkatkan penekanan pada advokasi untuk Lima Prinsip Hidup Berdampingan Secara Damai.[2] Perilaku pemungutan suara Tiongkok di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa merupakan cerminan dari komitmennya terhadap Lima Prinsip Hidup Berdampingan Secara Damai.[2] Antara tahun 1991 dan 2020, keputusan abstain dan veto Tiongkok sebagian besar terkait dengan masalah yang menyangkut integritas teritorial, terutama sanksi dan yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional. Profesor Dawn C. Murphy, dalam analisisnya mengenai pola pemungutan suara Tiongkok di Dewan Keamanan, menyimpulkan bahwa pemungutan suara ini selaras secara langsung dengan promosi Prinsip-Prinsip Lima yang diusung Tiongkok, terutama menekankan prinsip saling menghormati wilayah dan kedaulatan, serta tidak saling mencampuri urusan internal negara lain.[2] Komentar dan kritikDi Rajya Sabha, Bhimrao Ambedkar menyatakan keterkejutannya atas keseriusan Perdana Menteri yang mulia dalam memperlakukan perjanjian Panchsheel. Ambedkar menunjukkan bahwa Panchsheel memiliki arti penting dalam ajaran Buddha Dharma. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa jika Mao Zedong benar-benar percaya pada Panchsheel, ia akan memperlakukan umat Buddha di negaranya secara berbeda. Pada 1958, Acharya Kriplani mengatakan bahwa Panchsheel "lahir dalam dosa" karena hubungannya dengan kehancuran sebuah bangsa, mengacu pada pengakuan India atas kehancuran Tibet kuno.[18] Menurut Zhao Gancheng, seorang cendekiawan Tiongkok, meskipun Panchsheel mungkin awalnya terlihat dangkal, Panchsheel telah mendapatkan kembali relevansinya di bawah pemerintahan Xi Jinping.[14] Pada 2014, Ram Madhav menulis sebuah artikel berjudul "Bergerak melampaui penipuan Panchsheel" di Indian Express, menyarankan bahwa jika India dan Tiongkok memilih untuk menjauh dari kerangka kerja Panchsheel, hal ini akan bermanfaat bagi kedua negara.[19] Referensi
|