Leang Jarie (Ejaan van Ophuijsen: Leang Djarie; LontaraBugis: ᨒᨙᨕ ᨍᨑᨗᨕᨙ , transliterasi: Léang Jarié ) atau Leang Jaria (LontaraMakassar: ᨒᨙᨕ ᨍᨑᨗᨕ , transliterasi: Léang Jaria ) atau Gua Jarie (LontaraIndonesia: ᨁᨘᨕ ᨍᨑᨗᨕᨙ , transliterasi: Gua Jarie ) adalah situs arkeologi di wilayah Kabupaten Maros. Gua ini merupakan jenis gua prasejarah dan tipe gua horizontal dengan panjang ± 900 meter. Tinggalan arkeologi di gua ini antara lain lukisan dinding gua dan alat batu (serpih, bilah, tatal), dan pecahan yang terbuat dari batu chert dan gamping kersikan. Di dalam gua ini terdapat lukisan tangan manusia purba dan lukisan manusia purba (laki-laki) dengan kemaluan menjuntai ke bawah. Dari sekian banyak penemuan arkeologi di Kabupaten Maros, penemuan rangka manusia di situs gua ini pada 3 Mei 2018 oleh Tim Peneliti Balai Arkeologi Makassar yang paling spektakuler. Karena baru kali ini ditemukan rangka manusia purba dan nyaris utuh.[1][2][3][4][5][6]
Etimologi
Kata "léang" baik dalam Bahasa Bugis (Basa Ugi) maupun dalam Bahasa Makassar (Basa Mangkasara') memiliki makna "gua". Begitu pun juga kata "jari" baik dalam Bahasa Bugis (Basa Ugi) maupun dalam Bahasa Makassar (Basa Mangkasara') memiliki makna "tangan". Huruf "é" yang terletak di koda pada kata "jarié" menunjukkan penciri Bahasa Bugis yang mengandung makna penegasan pada objek. Huruf "a" yang terletak di koda pada kata "jaria" menunjukkan penciri Bahasa Makassar yang mengandung makna penegasan pada objek. Penamaan atau penyebutan "Leang Jarie" dan "Leang Jaria" berdasarkan pada berdasarkan pada kelompok etnis, namun memiliki makna yang sama.
Hendrik Robbert van Heekeren dalam karyanya The Stone Age of Indonesia (1972), meneliti dan memetakan Leang Jarie serta memasukannya ke klasifikasi situs gua prasejarah peninggalan Budaya Toala. Kehidupan penghuni gua Budaya Toala berlangsung sejak kala Pasca Plestosen hingga awal Masehi. Kehidupan Budaya Toala ini berlangsung cukup lama dan mampu bertahan beratus-ratus tahun lamanya. Kehidupan budaya tersebut masih sangat bergantung pada potensi ekologi sumber alam sekitarnya.[7][8]
Pada 3 Mei 2018, Tim Peneliti Balai Arkeologi Makassar telah menemukan kerangka manusia yang diduga jejak peninggalan manusia lampau dan diperkirakan berusia ribuan tahun yang lalu. Penemuan ini menjadikan Leang Jarie sebagai destinasi wisata baru, terkhusus wisata budaya dan arkeologi. Pengunjung bisa datang dengan gratis dan melihat kerangka manusia purba yang 75 persen tingkat utuhnya, sembari menyaksikan gambar tangan manusia purba berusia 39.000 tahun, stalagtit, dan stalagmit yang unik dan udara kaki gunung yang sejuk. Ketersediaan jajanan jagung masak dari Samanggi yang khas dan menggelar tikar atau duduk diatas bale-bale. TACB Kabupaten Maros dan Disbudpar Kabupaten Maros memberikan perhatian serius. Mereka menindaklanjuti dalam hal pengkajian pelestarian dan pemanfaatan. Upaya pelestarian situs Leang Jarie dapat dimanfaatkan sebagai sarana edukasi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pengembangan tempat wisata khususnya wisata budaya. TACB Kabupaten Maros menilai bahwa penentuan tanggal kerangka manusia di Leang Jarie berpatokan pada sisa arang di lapisan rangka yang diprediksi berusia 6.985 tahun yang lalu, namun berpatokan arang dari lapisan lainnya, yakni sekitar 2.692 tahun yang lalu sehingga masih harus diteliti lebih lanjut. Namun, karena rangka ini telah di eskavasi, sehingga harus ada upaya konservasi dan kajian penyelamatan terhadap rangka manusia ini karena melihat berbagai faktor yang mengancam kondisinya seperti cuaca, kelembaban, serta gangguan binatang atau pun manusia. Di sekitar kerangka tersebut telah dibuat pembatas papan untuk menjaga garis batas dan penutup sehingga menyerupai peti. Masyarakat sekitar juga turut aktif menjaga dan mengunjungi situs ini untuk memastikan kondisi kerangka tidak terganggu.[6]
Cagar budaya
Leang Jarie ditetapkan sebagai cagar budaya kategori situs berperingkat kabupaten oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Maros (Disbudpar Kabupaten Maros) pada 10 Januari 2018. Penetapan situs menjadi cagar budaya berdasarkan SK Bupati Maros. Hal ini juga sudah berdasarkan perintah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Sebelumnya, terlebih dahulu telah dilakukan pengkajian kelayakan oleh Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kabupaten Maros untuk memberikan rekomendasi ke Pemerintah Daerah Kabupaten Maros. Setelah penetapan tersebut, Pemerintah Daerah Kabupaten Maros telah memiliki dasar hukum untuk mengelola, melestarikan, pengembangan, dan pemanfaatan cagar budaya. Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan telah mencatat hingga saat ini, bahwa di wilayah Kabupaten Maros ada 209 situs gua.[2][3]
^ abAhmad, Amran; A. Siady Hamzah (2016). Database Karst Sulawesi Selatan 2016(PDF). Makassar: Badan Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sulawesi Selatan. hlm. 44.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Heekeren, van H.R. (1972). "The Stone Age of Indonesia (Second rev. ed., VKI No. LXI)". The Hague-Martinus Nijhoof.Tidak memiliki atau membutuhkan |url= (bantuan)
Nama yang dimiringkan berarti merupakan cagar budaya peringkat provinsi di Indonesia. Nama yang tebal dan dimiringkan berarti merupakan cagar budaya peringkat nasional di Indonesia.