Kerajaan Panembahan Mempawah adalah sebuah kerajaan Islam yang saat ini menjadi wilayah Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat, Indonesia.[1] Nama Mempawah diambil dari istilah "Mempauh", yaitu nama pohon yang tumbuh di hulu sungai yang kemudian juga dikenal dengan nama Sungai Mempawah.[2] Pada perkembangannya, Mempawah menjadi lekat sebagai nama salah satu kerajaan/kesultanan yang berkembang di Kalimantan Barat.[1] Riwayat pemerintahan yang pernah ada atau mencakup wilayah Mempawah sendiri terbagi atas dua periode, yakni pemerintahan lokal (pada wilayah terbatas) Suku Dayak kemudian pada masa Islam (kesultanan) yang wilayahnya mencakup seluruh kabupaten Mempawah sekarang yang mana dua politi ini berdiri secara asing dan sendiri-sendiri (tidak berkelanjutan).[1]
Mempawah pada Masa Kerajaan Dayak
Cikal-bakal pemerintahan di wilayah Mempawah di Kalimantan Barat terdiri atas beberapa riwayat politi, di antaranya adalah Kerajaan Bangkule Rajangkng.[3]Kerajaan Bangkule merupakan kerajaan orang-orang Suku Dayak yang berdasarkan cerita lisan didirikan oleh Ne`Rumaga di sebuah tempat yang bernama Bahana.[3]
Pemerintahan Suku Dayak yang juga dipimpin oleh Patih Gumantar ini adalah sebuah pemerintahan yang berdiri sendiri dan dikatakan sudah ada sejak sekitar tahun 1380 Masehi.[4] Dikarenakan pusat kerajaan ini berada di Pegunungan kawasan Sadaniang, di daerah Sangking, Mempawah Hulu, maka kerajaan ini lebih dikenal dengan nama Kerajaan Sidiniang.[4]
Dua ratus tahun kemudian, atau sekitar tahun 1610 M, berdirilah pemerintahan baru.[4] Belum diketahui hubungan antara pendiri kerajaan baru ini dengan Patih Gumantar.[4] Dan sejumlah referensi yang ditemukan, hanya disebutkan bahwa pemimpin kerajaan baru ini bernama Raja Kodong atau Raja Kudung.[4]Raja Kudung kemudian mendirikan pusat pemerintahannya di Pekana.[4]
Pada sekitar tahun 1680 M, Raja Kudung mangkat dan dimakamkan di Pekana.[4] Penerus pemerintahan Raja Kudung adalah Panembahan Senggaok, juga dikenal dengan nama Senggauk atau Sengkuwuk, yang memerintah sejak tahun 1680 M.[2] Penyebutan nama Panembahan “Senggaok” digunakan seiring dengan dipindahkannya pusat pemerintahan dari Pekana ke Senggaok, yakni sebuah daerah di hulu Sungai Mempawah wilayah politi pemerintahan Panembahan Senggaok dan Bangkule Rajangkng sendiri hanyalah dibagian hulu Mempawah yang pada masa ini hanyalah mencakup wilayah Sadaniang, Toho dan wilayah Mempawah Hulu sedangkan wilayah hilir dan lepas pantai selalu berada dalam kekuasaan Kerajaan Matan.[2] Panembahan Senggaok menyunting puteri Raja Qahar dari Kerajaan Baturizal Indragiri di Sumatra, bernama Puteri Cermin, dan dikaruniai seorang anak perempuan bernama Utin Indrawati namun nama Utin Indrawati sendiri adalah nama yang didapat ketika beliau menikah ke istana Matan dan masuk Islam, nama sebelum menikahnya tidak diketahui.[2] Puteri Utin Indrawati kemudian dinikahkan dengan Sultan Muhammad Zainuddin dari Kerajaan Matan Tanjungpura.[3] Dari perkawinan tersebut, mereka dikaruniai seorang anak bernama Puteri Kesumba yang tumbuh di Kerajaan Matan.[4]Puteri Kesumba inilah yang kemudian menikah dengan Opu Daeng Menambun, pelopor pengaruh Islam di Mempawah.[1]
Pada tahun 1740 M, kekuasaan atas Mempawah, yang semula dirangkap bersama tahta Kesultanan Matan, diserahkan kepada Opu Daeng Menambun yang kemudian memakai gelar Pangeran Mas Surya Negara, gelar yang dahulu diberikan oleh almarhum Sultan Muhammad Zainuddin, Sultan Matan yang pertama.[3] Sedangkan istri Opu Daeng Menambun, Ratu Kesumba, menyandang gelar sebagai Ratu Agung Sinuhun.[3] Pada era Opu Daeng Menambun inilah Islam dijadikan sebagai agama resmi kerajaan.[4] Selaras dengan itu, penyebutan kerajaan pun diganti dengan kesultanan.[4]Opu Daeng Menambun memindahkan pusat pemerintahannya dari Senggaok ke Sebukit Rama yang merupakan daerah subur, makmur, strategis, dan ramai didatangi kaum pedagang.[4]
Melihat kondisi ini, Opu Daeng Menambun kemudian menawari Husein Alqadrie untuk tinggal di Mempawah.[8] Tawaran itu disambut baik oleh Husein Alqadrie yang segera pindah ke Istana Opu Daeng Menambun.[8]Husein Alqadrie kemudian diangkat sebagai patih sekaligus imam besar Mempawah.[8] Selain itu, Husein Alqadrie diizinkan menempati daerah Kuala Mempawah (Galah Herang) untuk dijadikan sebagai pusat pengajaran agama Islam.[8] Untuk semakin mempererat hubungan antara keluarga Husein Alqadrie dan Kesultanan Mempawah, maka diadakan pernikahan antara anak lelaki Husein Alqadrie yang bernama Syarif Abdurrahman Alqadrie dengan anak perempuan Opu Daeng Menambon yang bernama Puteri Candramidi.[8] Kelak, pada tahun 1778 M, Syarif Abdurrahman Alqadrie mendirikan Kesultanan Kadriah di Pontianak.[4]
Pada tahun 1761 M, Opu Daeng Menambon wafat dan dimakamkan di Sebukit Rama.[4] Penerus tahta Kesultanan Mempawah selanjutnya adalah putera Opu Daeng Menambun, yaitu Gusti Jamiril yang bergelar Panembahan Adiwijaya Kusumajaya.[4] Di bawah kepemimpinan Panembahan Adiwijaya, wilayah kekuasaan Mempawah semakin luas dan terkenal sebagai bandar perdagangan yang ramai.[4]
Kesultanan Mempawah pada Masa Kolonial
Tidak lama setelah Belanda mendarat di Mempawah pada sekitar tahun 1787 M, terjadilah pertempuran melawan pasukan Kesultanan Mempawah yang dipimpin Panembahan Adiwijaya.[4]Syarif Kasim, anak lelaki Sultan Kadriah Pontianak, Syarif Abdurrahman Alqadrie, berhasil dipengaruhi oleh Belanda untuk ikut menyerbu Mempawah.[4]Panembahan Adiwijaya akhirnya menyingkir ke Karangan di Mempawah Hulu guna mengatur siasat.[4] Namun, pada tahun 1790 M, Panembahan Adiwijaya wafat sebelum sempat melancarkan serangan balasan.[1]Panembahan Adiwijaya meninggalkan 8 orang anak dari dua istri.[1]
Pada sekitar tahun 1794 M, sengketa antara Kesultanan Mempawah dan Kesultanan Kadriah bertambah runyam karena Belanda berhasil membujuk Syarif Kasim agar meluaskan Istana Kadriah hingga ke hulu sungai yang dekat dengan perbatasan Kesultanan Mempawah.[1] Akibatnya, peperangan kembali berkobar di mana pihak Kesultanan Kadriah dibantu oleh orang-orang tionghoa yang ada di Pontianak, sedangkan kubu Kesultanan Mempawah, yang pada waktu itu belum memiliki sultan baru sebagai pengganti Panembahan Adiwijaya, mendapat dukungan dari orang-orang Suku Dayak dan Kesultanan Singkawang.[1] Namun, karena Kesultanan Kadriah disokong penuh oleh Belanda, pihak Kesultanan Mempawah mengalami kekalahan dalam perang tersebut.[1]
Selanjutnya, Belanda mengangkat Syarif Kasim sebagai penguasa Mempawah dengan gelar Panembahan Mempawah.[8] Sultan Syarif Abdurrahman Alqadrie, ayahanda Syarif Kasim, sebenamya tidak menyetujui pengangkatan itu karena antara Kesultanan Mempawah dan Kesultanan Kadriah masih terdapat ikatan kekerabatan yang erat.[9] Istri Sultan Syarif Abdurrahman Alqadrie, Puteri Candramidi, adalah anak perempuan Opu Daeng Menambon.[9] Pengangkatan Syarif Kasim sebagai Panembahan termaktub dalam perjanjian tanggal 27 Agustus 1787.[9]
Pada tahun 1808, Sultan Syarif Abdurrahman Alqadrie wafat.[4]Belanda kemudian menunjuk Syarif Kasim sebagai penguasa Kesultanan Kadriah dengan gelar Sultan Syarif Kasim Alqadrie.[4] Kedudukan Syarif Kasim di Mempawah digantikan oleh saudaranya yang bernama Syarif Hussein.[4] Namun, kekuasaan Syarif Hussein tidak bertahan lama karena kekuatan Belanda di Mempawah mulai goyah akibat perlawanan yang dimotori oleh dua orang putera Panembahan Adiwijaya, yakni putera mahkota, Gusti Jati, dan saudaranya yang bernama Gusti Gusti Mas.[4] Ketika akhimya Belanda berhasil diusir dari Mempawah, Gusti Jati dinobatkan menjadi Sultan Mempawah.[4]Belanda kemudian mundur ke Kesultanan Kadriah di Pontianak di bawah lindungan Sultan Syarif Kasim Alqadrie.[2]
Gusti Jati dinobatkan sebagai pemimpin Kesultanan Mempawah pada sekitar tahun 1820 dengan gelar Sultan Muhammad Zainal Abidin.[2] Gusti Mas tetap setia mendampingi kakaknya untuk turut mengembangkan kehidupan dan keamanan rakyat Mempawah.[2] Oleh Sultan Muhammad Zainal Abidin, pusat pemerintahan kesultanan dipindahkan ke tepi Sungai Mempawah, tepatnya di Pulau Pedalaman.[2] Pada era inilah Kesultanan Mempawah semakin terkenal sebagai pusat perdagangan dan memiliki benteng pertahanan yang kuat.[2] Melihat Kesultanan Mempawah, yang semakin jaya, Belanda kemudian menyusun taktik.[2]Belanda mencoba cara damai untuk menghadapi Sultan Muhammad Zainal Abidin, sementara kekuatan perang Kesultanan Kadriah disiapkan untuk segera menyerbu manakala Mempawah lengah.[2]
Taktik Belanda berhasil.[2] Ketika para punggawa Kesultanan Mempawah terlena oleh ajakan damai Belanda, armada perang Kesultanan Kadriah menyerbu Pulau Pedalaman.[2] Bukti serangan ini masih dapat dilihat pada bekas benteng pertahanan yang dibangun di sisi kanan dan kiri Istana Mempawah.[2] Akibat serbuan mendadak tersebut, Sultan Zainal Abidin terpaksa kembali ke Sebukit Rama untuk menghimpun kekuatan.[2] Serangan balik Sultan Zainal Abidin membuahkan hasil, tentara Kesultanan Kadriah dapat dikalahkan.[2] Namun, Sultan Zainal Abidin tidak kembali ke Pulau Pedalaman, ia memilih menyepi dengan menyusuri hulu Sungai Mempawah.[2]
Terjadi lagi kekosongan pemerintahan Kesultanan Mempawah, dan lagi-lagi Belanda memaksimalkan peluang ini dengan mengangkat adik Sultan Zainal Abidin yang bernama Gusti Amin sebagai Sultan Mempawah yang bergelar Panembahan Adinata Krama Umar Kamaruddin.[10] Pada tahun 1831 itu, Kesultanan Mempawah melemah karena campur-tangan Belanda.[2] Sejak itu, setiap suksesi Kesultanan Mempawah menjadi permainan politik yang diatur oleh Belanda.[2] Selain itu, pihak Kesultanan Mempawah harus tunduk pada aturan-aturan buatan Belanda.[2]
Setelah Gusti Amin wafat pada tahun 1839, Belanda menobatkan Gusti Mukmin menjadi Sultan Mempawah dengan gelar Panembahan Mukmin Nata Jaya Kusuma.[2] Selanjutnya, pada tahun 1858, Belanda menabalkan Gusti Makhmud sebagai Sultan Mempawah dengan gelar Panembahan Muda Makhmud Alauddin.[2] Pada tahun 1858 itu telah diangkat pula Gusti Usman sebagai Sultan Mempawah.[2] Dari tulisan itu, dimungkinkan Gusti Makhmud wafat tidak lama setelah dinobatkan. Gusti Usman, anak Gusti Mukmin, diangkat menjadi Sultan Mempawah untuk sementara.[3] Kemungkinan tersebut mendekati kebenaran karena ketika Gusti Usman meninggal dunia pada tahun 1872, yang diangkat sebagai Sultan Mempawah adalah Gusti Ibrahim gelar Panembahan Ibrahim Muhammad Syafiuddin yang tidak lain adalah putera Gusti Makhmud.[3]
Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, kemudian disusul dengan pengakuan kedaulatan secara penuh dari Belanda kepada Indonesia pada tahun 1949, terjadi perombakan yang signifikan dalam bidang sistem pemerintahan, termasuk sistem pemerintahan di daerah.[1] Hal itu terjadi juga di Kalimantan Barat, dengan terbentuknya Republik Indonesia, segala wewenang yang pernah dilimpahkan kepada Daerah Istimewa Kalimantan Barat dikembalikan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia.[1]
Pada akhirnya kemudian, atas desakan rakyat, para tokoh adat Dayak dan Melayu-Bugis, Gusti Jimmi Muhammad Ibrahim akhirnya bersedia dinobatkan sebagai pemangku adat Kesultanan Mempawah.[1] Karena telah bergabung dan menjadi bagian dari NKRI, kepemimpinan Gusti Jimmi Muhammad Ibrahim yang menyandang gelar sebagai Panembahan XII Kesultanan Amantubillah Mempawah sudah tidak memiliki kewenangan lagi secara politik.[1]
Tanggal 12 Agustus 2002, karena menderita sakit yang tidak kunjung sembuh, Panembahan Gusti Jimmi Muhammad Ibrahim menyerahkan kekuasaan Kesultanan Mempawah kepada puteranya yang bernama Pangeran Ratu Mulawangsa Mardan Adijaya Kesuma Ibrahim yang kemudian dinobatkan sebagai Panembahan XII Kesultanan Amantubillah Mempawah dan bertahta hingga saat ini.[1] Pada tahun 2005, Panembahan Jimmy Mohammad Ibrahim wafat dalam usia 73 tahun dan dimakamkan dengan upacara kebesaran adat Kesultanan Mempawah.[1]
Silsilah pemimpin Mempawah
Silsilah orang yang pernah berkuasa pada wilayah mempawah, antara lain:[1]
Masa Suku Dayak
Patih Gumantar (± 1380)
Raja Kudung (± 1610)
Panembahan Senggaok (± 1680)
Kekuasaan pemerintahan politi masyarakat Dayak terletak pada bagian hulu yang mencakup kecamatan Sadaniang, Toho, dan kecamatan Mempawah Hulu yang sekarang masuk dalam wilayah Kabupaten Landak.
Masa Islam
Pada masa Kesultananlah wilayah Mempawah yang ada pada saat ini wujud, dari yang sebelumnya wilayah hilir yang mencakup wilayah lepas pantai yang merupakan wilayah dalam kekuasaan Matan dan wilayah hulu yang berada dalam wilayah Panembahan Senggaok kemudian bersatu membentuk wilayah Kesultanan Mempawah.
Puteri Kesumba bergelar Ratu Agung Sinuhun & Opu Daeng Menambon bergelar Pangeran Mas Surya Negara (1740-1761)
Gusti Jamiril bergelar Raja Panembahan Adiwijaya Kesuma (1761–1787)
Syarif Kasim bergelar Raja Panembahan Mempawah (1787–1808)
Syarif Hussein (1808–1820)
Gusti Jati bergelar Sri Paduka Muhammad Zainal Abidin (1820–1831)
Gusti Amir bergelar Raja Panembahan Adinata Krama Umar Kamaruddin (1831–1839)
Gusti Mukmin bergelar Raja Panembahan Mukmin Nata Jaya Kusuma (1839–1858),
Gusti Makhmud bergelar Raja Panembahan Muda Makhmud Alauddin (1858)
Gusti Usman bergelar Raja Panembahan Usman (1858–1872)
Gusti Ibrahim bergelar Raja Panembahan Ibrahim Muhammad Syafiuddin (1872–1892)
Panembahan Muda Gusti Mustaaan (1946-1956),Pendukung berdirinya negara Republik Indonesia
Pemangku Adat, Gusti Mardan bergelar Pangeran Ratu Mulawangsa Mardan Adijaya Kesuma Ibrahim (2002–sekarang),
Pemangku Adat ,Tengku Pangeran Abdullah Ali Chandrarupa Wibowo bergelar Raja Muda Arya Mamangkunegara (2014-sekarang)
Pemangku Adat, Ratu Arini Mariam bergelar Ratu Kencana Wangsa (2002-sekarang)
Pemangku Adat ,PRA Herri Kusuma bergelar Prabu Anom (2013-sekarang)
Pemangku Adat , Gusti Dzulkarnaen bergelar Pangeran Pemangku Adat (2002-sekarang)
Wilayah Kekuasaan
Sepanjang riwayat sejarahnya, baik ketika masih berwujud kerajaan Suku Dayak maupun kesultanan bercorak Islam, pusat pemerintahan Kerajaan/Kesultanan Mempawah telah mengalami beberapa kali perpindahan tempat.[1] Daerah-daerah yang pernah menjadi pusat pemerintahan Kerajaan/Kesultanan Mempawah tersebut berada di wilayah Mempawah Hulu atau Mempawah Hilir yang kini termasuk ke dalam wilayah Provinsi Kalimantan Barat.[1] Beberapa tempat yang pemah menjadi wilayah kekuasaan Kesultanan Mempawah tersebut antara lain Bahana, Sidiniang (Sangking), Pekana (Karangan), Senggaok, Sebukit Rama, Kuala Mempawah (Galah Herang), Sunga, dan Pulau Pedalaman.[1]
^ abcdefghijklmnopqrstuvwxyzaaabacadaeJ.U. Lontaan, 1975. Sejarah-hukum adat dan adat istiadat Kalimantan-Barat. Kalbar: Pemda Tingkat I Kalimantan Barat.
^ abcdefghijklmErwin Rizal, tt. “Kesultanan Mempawah dan Kubu," dalam Istana-istana di Kalimantan Barat. Pontianak: Inventarisasi Istana di Kalimantan Barat.
^ abcdefghijklmnopqrstuvwxyzaaabacadaeafagahMusni Umberan et.al., 1996-1997. Kerajaan-kerajaan di Kalimantan Barat. Pontianak: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Pontianak.
^ abcRaja Ali Haji, 2002. Tuhfat AI-Nafis: Sejarah Riau-Lingga dan daerah takluknya 1699-1864. Tanjungpinang: Yayasan Khazanah Melayu.
^ abcdGusti Mhd Mulia (ed.), 2007. Sekilas menapak langkah Kerajaan Tanjungpura. Pontianak: Tanpa Penerbit.
^Mahayudin Haji Yahya, 1999. “Islam di Pontianak berdasarkan Hikayat Al-Habib Husain AI-Qadri", disampaikan dalam seminar Brunei Malay Sultanate in Nusantara, Brunei Darussalam: The Sultan Haji Hasanal Bolkiah Foundation.
^ abcdefghMuhammad Hidayat, tt. “Istana Kesultanan Kadriah - Pontianak", dalam Istana-istana di Kalimantan Barat. Pontianak: Inventarisasi Istana di Kalimantan Barat.
^ abcAnsar Rahman, et.aI., 2000. Syarif Abdurrahman Alkadri, perspektif sejarah berdirinya Kota Pontianak. Pontianak: Romeo Grafika - Pemerintah Kota Pontianak.
^ abcJohan Wahyudi, “Berdirinya Kerajaan Amantubillah Mempawah", dalam Borneo Tribune, Desember 2007.