Kekerasan terhadap perempuan (KTP), juga dikenal sebagai kekerasan berbasis gender (KBG)[1] dan kekerasan seksual dan berbasis gender (KSBG),[2] adalah tindakan kekerasan yang para korban utamanya adalah perempuan dan anak perempuan. Kekerasan semacam itu sering dianggap sebagai bentuk kejahatan kebencian,[3] terutama karena kebanyakan korbannya adalah perempuan, dan tindakan ini memiliki bentuk yang beragam.
KTP memiliki sejarah yang panjang. Meskipun begitu, tindakan kekerasan yang terjadi atau tingkat keparahannya bervariasi dari waktu ke waktu dan juga antar masyarakat. Kekerasan semacam itu sering dilihat sebagai suatu cara untuk menindas perempuan, baik dalam masyarakat secara umum maupun dalam hubungan interpersonal. Kekerasan tersebut dapat timbul dari adanya rasa memiliki hak untuk melakukan hal tersebut (entitlement), superioritas, kebencian terhadap wanita (misogini), dorongan-dorongan lain yang serupa, serta sifat kekerasan yang dimiliki pelaku, terutama terhadap perempuan.
Definisi
Sejumlah instrumen internasional yang bertujuan untuk menghapus kekerasan terhadap perempuan dan kekerasan dalam rumah tangga telah disahkan oleh berbagai lembaga internasional. Instrumen-instrumen ini umumnya dimulai dengan definisi mengenai apa itu kekerasan, dengan maksud untuk memerangi praktik dari hal-hal semacam itu. Konvensi Istanbul Dewan Eropa tentang pencegahan dan pemberantasan kekerasan terhadap perempuan dan kekerasan dalam rumah tangga menggambarkan KTP "sebagai pelanggaran hak asasi manusia dan bentuk diskriminasi terhadap perempuan" dan mendefinisikan KTP sebagai "semua tindakan kekerasan berbasis gender yang mengakibatkan, atau mungkin berakibat, kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual, psikologis atau ekonomi, termasuk ancaman untuk melakukan tindakan tersebut, pemaksaan atau perampasan kebebasan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi.[4][5]
Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (bahasa Inggris: Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women, disingkat CEDAW) tahun 1979 oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa membuat rekomendasi yang berkaitan dengan KTP,[6] dan Deklarasi dan Program Aksi Wina menyebutkan KTP.[7] Walaupun begitu, instrumen internasional pertama yang secara eksplisit mendefinisikan KTP dan menguraikan masalah tersebut adalah resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1993 tentang Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan.[8] Definisi lain dari KTP diatur dalam Konvensi Inter-Amerika tahun 1994 tentang Pencegahan, Penghukuman, dan Pemberantasan Kekerasan terhadap Perempuan[9] dan juga oleh Protokol Maputo tahun 2003.[10]
Istilah "kekerasan berbasis gender" dan "kekerasan terhadap perempuan" kerap digunakan sebagai padanan satu sama lain.[11] Hal ini karena kebanyakan kekerasan berbasis gender telah diakui secara luas dillakukan oleh laki-laki, kepada perempuan dan anak perempuan.[12] Meskipun begitu, penggunaan istilah "berbasis gender" yang digunakan bersamaan dengan "kekerasan" juga penting untuk dipahami karena hal tersebut menyoroti kenyataan bahwa kekerasan terhadap perempuan sebenarnya berakar dari adanya kesenjangan kuasa antara perempuan dan laki-laki,[11] di mana perempuan kemudian dipaksa berada dalam status atau posisi yang lebih renda dibandingkan laki-laki.[13][14]
Dalam Rekomendasi Rec(2002)5 dari Komite Menteri untuk negara-negara anggota tentang pelindungan perempuan dari kekerasan, Dewan Eropa menetapkan bahwa KTP "termasuk, tetapi tidak terbatas pada, hal-hal berikut":[15]
kekerasan yang terjadi dalam keluarga atau sebuah rumah tangga, termasuk, antara lain, agresi fisik dan mental, kekerasan emosional dan psikologis, pemerkosaan dan pelecehan seksual, inses, pemerkosaan antara pasangan, baik pasangan tetap atau tidak tetap serta orang yang tinggal bersama, kejahatan yang dilakukan atas nama kehormatan, sunat perempuan dan praktik tradisional lainnya yang membahayakan perempuan, seperti kawin paksa;
kekerasan yang terjadi dalam masyarakat umum, termasuk, antara lain, pemerkosaan, pelecehan seksual, pelecehan dan intimidasi seksual di tempat kerja, dalam lembaga atau di tempat lain, perdagangan perempuan untuk tujuan eksploitasi seksual dan eksploitasi ekonomi, serta pariwisata seks;
kekerasan yang dilakukan maupun dibiarkan oleh negara atau pejabatnya;
pelanggaran hak asasi perempuan dalam situasi konflik bersenjata, khususnya penyanderaan, pemindahan paksa, pemerkosaan sistematis, perbudakan seksual, kehamilan paksa, dan perdagangan untuk tujuan eksploitasi seksual dan eksploitasi ekonomi.
Definisi KTP sebagai kekerasan berbasis gender ini dianggap bermasalah dan tidak memuaskan bagi sebagian orang.[16] Definisi-definisi ini terkonseptualisasi dalam pemahaman bahwa masyarakat itu patriarki, menandakan hubungan yang tidak setara antara laki-laki dan perempuan.[16] Penentang definisi tersebut berpendapat bahwa definisi tersebut mengabaikan kekerasan terhadap laki-laki dan bahwa istilah "gender", seperti yang digunakan dalam "kekerasan berbasis gender", hanya mengacu pada perempuan. Kritikus lain berpendapat bahwa menggunakan istilah gender dalam hal yang khusus ini dapat memperkenalkan gagasan inferioritas dan subordinasi untuk feminitas dan superioritas untuk maskulinitas.[17][18] Saat ini, tidak ada definisi yang diterima secara luas yang mencakup semua dimensi kekerasan berbasis gender, daripada satu definisi untuk perempuan yang cenderung mereproduksi konsep oposisi biner: maskulinitas versus feminitas.[19]
Perbandingan definisi mengenai KTP di beberapa instrumen Hak Asasi Manusia
'Yang dimaksud dengan diskriminasi adalah (hal-hal) yang termasuk kekerasan berbasis gender, yaitu kekerasan yang ditujukan kepada seorang perempuan karena dia perempuan atau (tindakan) yang mempengaruhi perempuan secara tidak proporsional..'[20]
'...istilah "kekerasan terhadap perempuan" berarti setiap tindakan kekerasan berbasis gender yang mengakibatkan, atau mungkin berakibat, kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis'.[21]
'...kekerasan terhadap perempuan harus dipahami sebagai setiap tindakan atau perbuatan, berdasarkan gender, yang menyebabkan kematian atau kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, baik di ruang publik maupun privat.'[22]
'"Kekerasan terhadap perempuan" berarti semua tindakan yang dilakukan terhadap perempuan yang menyebabkan atau dapat menyebabkan penderitaan fisik, seksual, psikologis, dan ekonomi, termasuk ancaman untuk melakukan tindakan tersebut; atau untuk melakukan penjatuhan pembatasan sewenang-wenang atau perampasan kebebasan dasar dalam kehidupan pribadi atau publik baik dalam waktu tanpa perang dan selama situasi konflik bersenjata atau perang...'[23]
'...“kekerasan terhadap perempuan” dipahami sebagai pelanggaran hak asasi manusia dan suatu bentuk diskriminasi terhadap perempuan dan berarti semua tindakan kekerasan berbasis gender yang mengakibatkan, atau mungkin berakibat, kerugian fisik, seksual, psikologis atau ekonomi atau penderitaan terhadap perempuan, termasuk ancaman tindakan kekerasan serupa, pemaksaan atau perampasan kebebasan secara sewenang-wenang, baik di depan umum atau dalam kehidupan pribadi; ... "gender" berarti peran, perilaku, aktivitas dan atribut yang dibangun secara sosial yang dianggap pantas oleh masyarakat tertentu untuk perempuan dan laki-laki; Yang dimaksud dengan "kekerasan berbasis gender terhadap perempuan" adalah kekerasan yang ditujukan terhadap perempuan karena ia perempuan atau (tindakan) yang mempengaruhi perempuan secara tidak proporsional...'. Pembukaan mencatat: '...Mengakui bahwa perempuan dan anak perempuan terpapar pada risiko kekerasan berbasis gender yang lebih tinggi daripada laki-laki; Mengakui bahwa kekerasan dalam rumah tangga mempengaruhi perempuan secara tidak proporsional, dan bahwa laki-laki juga dapat menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga...'[24]
Kekerasan seksual
Pelecehan seksual mencakup berbagai tindakan yang menjurus ke tindakan seksual, termasuk tindakan yang dilakukan secara verbal.[25]Kekerasan seksual merujuk pada tindakan kekerasan yang dilakukan dengan tujuan mendapatkan suatu aktivitas seksual, termasuk contohnya perdagangan manusia.[26][27]Penyerangan seksual yaitu tindakan pemaksaan aktivitas seksual secara fisik terhadap seseorang,[28] dan apabila terdapat penterasi seksual atau hubungan seksual pada tindakan yang dimaksud, maka hal tersebut disebut pemerkosaan.
Pemerkosaan seingkali terjadi kepada perempuan, dan biasanya dilakukan oleh laki-laki yang mereka ketahui atau kenal.[29] Tingkat pelaporan, penuntutan, dan pemberian hukuman untuk tindak pemerkosaan bervariasi di yurisdiksi yang berbeda dan mencerminkan bagaimana masyarakatnya merespon atau menanggapi kejahatan pemerkosaan. Tindak pemerkosaan dianggap sebagai tindak kejahatan yang paling jarang dilaporkan.[30][31]
Dalam sejarah
Sejarah kekerasan terhadap perempuan masih belum secara jelas dituliskan atau dikaji secara ilmiah. Hal ini karena banyak jenis kekerasan terhadap perempuan (terutama pemerkosaan, pelecehan seksual, dan kekerasan dalam rumah tangga) yang masih belum dilaporkan karena berbagai macam alasan, seperti norma sosial, tabu, stigma, dan topik pembahasan yang cenderung sensitif.[32][33] Kurangnya data yang tepercaya mengenai kekerasan terhadap perempuan, merupakan salah satu hambatan dalam mengkaji kekerasan terhadap perempuan.[34]
Meskipun sejarah kekerasan terhadap perempuan masih sulit untuk ditelusuri, satu hal yang nyata yaitu kebanyakan dari bentuk kekerasan terhadap perempuan diterima, dimaafkan, bahkan diberikan sebagai sanksi hukum.[35] Salah satu contohnya, yaitu hukum Romawi memberikan izin kepada para laki-laki untuk menghukum istri mereka, bahkan sampai meninggal,[36] lalu ada juga pembakaran terhadap penyihir, yang diperbolehkan oleh gereja dan negara (walaupun hal ini tidak hanya berlaku terhadap perempuan).[35]
Sejarah kekerasan terhadap perempuan sangat berkaitan dengan pandangan historis tentang perempuan sebagai sebuah properti yang memiliki peran gender yang penuh dengan kepatuhan.[37] Kajian mengenai patriarki, dan semua sistem di dunia ini atau status quo yang melanggengkan kesenjangan gender, kemudian dikutip dan digunakan untuk mempelajari, memahami, serta dan menjelaskan sejarah dan ruang lingkup kekerasan terhadap perempuan.[38][39] Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan (1993) menyatakan, "kekerasan terhadap perempuan adalah sebuah menifestasi dari kesenjangan relasi kuasa yang sudah lama terjadi antara laki-laki dan perempuan, yang mengarah kepada dominasi dan diskriminasi terhadap perempuan oleh laki-laki dan penghambatan kemajuan perempuan, dan kekerasan terhadap perempuan adalah salah satu mekanisme sosial yang krusial, yang memaksa perempuan untuk berada di posisi yang lebih rendah dibandingkan laki-laki"[40][41]
Bentuk kekerasan
Menurut PBB, "tidak ada wilayah, negara, dan budaya di dunia yang telah menjamin kebebasan perempuan dari kekerasan."[42] Beberapa bentuk kekerasan terhadap perempuan lebih sering terjadi di beberapa bagian di dunia, terutama di negara berkembang. Sebagai contoh, dowry violence dan bride burning sering dikaitkan dengan India, Bangladesh, dan Nepal. Pelemparan asam juga sering dikaitkan dengan negara-negara tersebut, dan juga dengan beberapa negara di Asia Tenggara, salah satunya Kamboja. Pembunuhan demi kehormatan sering dikaitkan dengan kawasan Timur Tengah dan Asia Selatan. Sunat perempuan sering ditemukan di Afrika, dan juga di Timur Tengah dan beberapa wilayah di Asia dalam jumlah yang lebih sedikit. Praktik kawin tangkap sering ditemukan di Etiopia, Asia Tengah, dan Kaukasus. Kekerasan yang berkaitan dengan mahar (seperti perdagangan manusia dan kawin paksa) sering dikaitkan dengan beberapa wilayah di Sub-Sahara Afrika dan Oseania (lihat juga Lobolo).[43][44]
Kekerasan seksual karena paksaan
Aksi militer
Aksi militer menciptakan situasi yang mendukung terjadinya peningkatan kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan seksual di masa perang telah terjadi sepanjang sejarah.[45] Pemerkosaan di masa perang dilakukan oleh tentara, kombatan, atau warga sipil saat perana, konflik senjata, atau pendudukan militer terjadi. Tindakan ini berbeda dengan kekerasan seksual yang dilakukan antar tentara yang dilakukan saat bertugas di militer. Pemerkosaan di masa perang juga mencakup situasi di mana perempuan dipaksa untuk melakukan pelacuran atau menjadi budak seks oleh penguasa. Pada masa Perang Dunia II, tentara Jepang mendirikan bordil yang dipenuhi dengan "Ianfu", perempuan yang dijadikan budak seks sebagai saran pelampiasan nafsu para tentara Jepang.[46][47] Jarang ada diskusi mengenai penyebab banyaknya terjadi pemerkosaan saat masa perang. Salah satu penjelasan yang sering muncul adalah karena laki-laki yang terlibat dalam perang memiliki "dorongan seksual" yang harus dilampiaskan.[48] Contoh lain dari kekerasan terhadap perempuan akibat perang adalah peristiwa Kovno Ghetto. Tahanan Yahudi laki-laki memiliki akses ke rumah bordil di mana di dalamnya terdapat perempuan Yahudi yang dipaksa oleh tentara Nazi untuk "melayani" tahanan laki-laki Yahudi atau tentara Nazi sendiri.[49]
Kelly, Liz (December 2005). "Inside outsiders: Mainstreaming violence against women into human rights discourse and practice". International Feminist Journal of Politics. Taylor and Francis. 7 (4): 471–495. doi:10.1080/14616740500284391.
Wagner, Natascha (March 2013). Why female genital cutting persist?(PDF). Working Paper. University of Rotterdam. Diarsipkan dari versi asli(PDF) tanggal 2022-05-03. Diakses tanggal 2020-02-01.
^ abErtürk, Yakin (2009). "Towards a post-patriarchal gender order: confronting the universality and the particularity of violence against women". Sociologisk Forskning. Sveriges Sociologförbund [Swedish Sociological Association]. 46 (4): 61–70. JSTOR20853687.
^Visaria, Leela (13 May 2000). "Violence against women: a field study". Economic and Political Weekly. Sameeksha Trust, Mumbai, India. 35 (20): 1742–1751. JSTOR4409296.
^Michau, Lori (March 2007). "Approaching old problems in new ways: community mobilisation as a primary prevention strategy to combat violence against women". Gender & Development. Taylor and Francis and Oxfam. 15 (1): 95–109. doi:10.1080/13552070601179144. JSTOR20461184.Parameter |s2cid= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Prügl, Elisabeth (Director) (25 November 2013). Violence Against Women. Gender and International Affairs Class 2013. Lecture conducted from The Graduate Institute of International and Development Studies (IHEID). Geneva, Switzerland.
^World Health Organization., World report on violence and health (Geneva: World Health Organization, 2002), Chapter 6, pp. 149.
^[Elements of Crimes, Article 7(1)(g)-6 Crimes against humanity of sexual violence, elements 1. Accessed through "Archived copy". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-05-06. Diakses tanggal 2015-10-19.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)]
^Benedict, Helen (14 August 2008). "Why soldiers rape". In These Times. Diarsipkan dari versi asli tanggal 18 May 2019. Diakses tanggal 10 November 2012.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)